KISAH SI PEDANG KILAT
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 01
Terbunuhnya Pendekar Kwa Tin
Malam yang gelap dan dingin Hawa yang amat dingin menyusup tulang membuat semua orang lebih suka tinggal di dalam rumah, menghangatkan diri dengan api di perapian. Jalan raya di depan rumah-rumah besar itu amat sepi, tak nampak seorang pun di sana. Angin bertiup lembut, membawa hawa yang amat dingin sehingga lampu-lampu gantung yang bergoyang perlahan. itu seperti ikut kedinginan, cahayanya lembut dan redup. Belum juga tengah malam, namun kota itu seperti kota mati, tidak ada kesibukan di luar rumah.
Akan tetapi, di atas sebuah rumah yang besar dan tinggi karena berloteng, ada kesibukan yang aneh. Lima bayangan hitam berkelebatan di atas wuwungan rumah itu dan dari gerakan mereka yang cepat bagaikan lima ekor burung rajawali, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Angin yang berdesah di antara daun-daun pohon membantu mereka, menghilangkan sedikit suara yang ditimbulkan kaki mereka ketika mereka bengerak di atas wuwungan dan genteng.
Biarpun mereka memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka bersikap hati-hati sekali. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa pemilik rumah itu adalah seorang ahli silat kenamaan yang di kota Nan-ping dikenal sebagai Kwa-enghiong (Pendekar Kwa). Dia bernama Kwa Tin, seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang dihormati semua orang karena wataknya yang gagah perkasa, selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Kwa Tin memiliki perusahaan toko kain yang cukup besar dan maju sehingga keadaan keluarganya tergolong mampu. Rumahnya besar, di bagian depan dibuka sebagai toko kain, di belakang sebagai rumah tinggal di mana dia tinggal bersama isterinya dan anak tunggalnya, seorang anak laki-laki bernama Kwa Bun Houw yang pada waktu itu sudah berusia limabelas tahun.
Nama Kwa-enghiong dihormati di kota Nan-ping karena sudah beberapa kali pendekar ini berhasil membasmi para penjahat yang mengganggu keamanan penduduk Nan-ping. Beberapa kali para penjahat yang menganggap Kwa Tin sebagai pengganggu dan penghalang pekerjaan mereka, mencoba untuk membalas dendam.
Akan tetapi Setelah mereka selalu dikalahkan Kwa Tin yang lihai, kota Nan-ping menjadi aman dan tidak ada penjahat berani beraksi di kota itu atau di dusun-dusun sekitarnya. Apalagi setelah puteranya mulai menjadi pemuda remaja, keluarga Kwa semakin ditakuti penjahat. Sejak kecil, Kwa Bun Houw digembleng oleh ayahnya sendiri. Ternyata dia memiliki bakat yang amat baik, bahkan lebih baik dari pada ayahnya sehingga setelah dia berusia limabelas tahun, ilmu silat ayahnya telah dipelajarinya semua dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit saja di bawah tingkat ayahnya karena dia kalah pengalaman dan kalah matang. Akan tetapi, dalam hal tenaga dan kecepatan gerakan, Bun Houw tidak kalah oleh ayahnya!
Lima sosok bayangan orang itu berkelompok di sudut wuwungan yang gelap, agaknya mereka mengadakan perundingan. Kemudian mereka berpencar. Tak lama kemudian, nampak api berkobar di bagian belakang bangunan itu. Gudang barang telah terbakar! A Piauw, tukang kebun yang tidur di dekat gudang yang terbakar, terkejut dan berteriak-teriak.
"Kebakaran ! Kebakaran ... !"
Ketika dia masih berteriak-teriak, nampak api berkobar di sebelah kanan bangunan, lalu sebelah kiri dan terdengar jeritan dua orang pelayan wanita.
Kwa Tin keluar dari kamarnya bersama isterinya. Dia melihat api berkobar di belakang, kanan dan kiri rumahnya. Selagi dia hendak lari untuk memadamkan api, tiba-tiba nampak lima bayangan hitam berloncatan turun dari atas dan Kwa Tin telah dikepung oleh lima orang berpakaian hitam yang menutupi muka mereka dengan kedok hitam pula, masing-masing memegang sebatang pedang. Tanpa banyak cakap lagi, mereka berlima sudah menyerang Kwa Tin!
Pendekar ini tidak memegang senjata, karena baru keluar dari kamarnya. Melihat munculnya lima orang itu, tahulah dia bahwa rumahnya diserbu penjahat. Dia mendorong tubuh isterinya sehingga isterinya terhuyung dan masuk lagi ke dalam kamar. Wanita itu menutup daun pintu dan menguncinya dari dalam.
Lega melihat isterinya sudah bersembunyi, Kwa Tin lalu menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Dia menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, berloncatan di antara sambaran sinar pedang. Sementara itu, api terus mengamuk dan di luar rumah sudah terdengar para tetangga yang mencoba untuk menyiramkan air dari luar rumah, berusaha memadamkan api yang mengamuk di bagian belakang dan kanan kiri rumah.
Kwa Tin segera mendapat kenyataan bahwa lima orang berkedok yang mengeroyoknya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi! Permainan pedang mereka amat cepat, kuat dan berbahaya sekali. Dia merasa menyesal bahwa dia tidak memegang senjata. Kalau saja dia membawa pedangnya! Akan tetapi penyesalan tiada gunanya dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua kepandaian dan kemampuannya untuk membela diri.
Lima batang pedang itu menyerangnya dengan ganas, menjadi lima gulung sinar yang berkelebatan sehingga amat repot bagi Kwa Tin untuk mengelak dari sambaran lima batang pedang yang bertubi-tubi datangnya itu. Biarpun dia memiliki gerakan lincah, berloncatan ke sana sini dan kadang-kadang menyampok dengan tangannya ke arah tangan yang memegang pedang, namun lewat belasan jurus, pundak kirinya tercium ujung sebatang pedang. Bajunya robek dan pundaknya tengores luka. Dia menyambar sebuah bangku panjang dan mengamuk dengan bangku itu. Namun, sebentar saja dia terpaksa melemparkan bangku yang beberapa kali bertemu pedang dan terpotong-potong. D'sambarnja sebuah meja dan dan g n benda itu dia membela diri, menggunakan meja sebagai perisai dan kakinya kadang-kadang menyambar dengan tendangannya yang kuat. Seorang pengeroyok termakan kakinya, tepat mengenai pahanya dan orang itu terpelanting. Melihat kesempatan ini, Kwa Tin menubruk, menghantamkan mejanya ke arah orang yang sudah roboh itu.
Orang itu menangkis dengan pedangnya.
"Brakkk!"
Meja menghantam lengan itu sehingga pedang itu terpental. Kwa Tin melompat dan menyambar pedang itu sambil melemparkan mejanya ke arah pemilik pedang. Pada saat itu, disamping ada pedang meluncur seperti anak panah.
"Cappp ...!" Pedang memasuki rongga dada Kwa Tin, dari bawah ketiak.
Kwa Tin mengeluarkan suara gerengan dan dia masih berhasil menangkap pedang yang terlepas tadi, lalu membalik dan membabat.
"Crokkk!"
Orang yang menusuknya tadi menjerit, tangan kanannya sebatas pergelangan buntung oleh babatan pedang Kwa Tin! Akan tetapi Kwa Tin sendiri roboh dengan pedang masih menancap di dadanya. Sambil roboh, Kwa Tin masih mampu melemparkan pedang ke depan dan seorang pengeroyok lagi berteriak kesakitan ketika paha kakinya tertusuk pedang yang dilontarkan itu. Para pengeroyok yang melihat Kwa Tin sudah roboh dengan luka parah dan suara tetangga semakin ramai, mereka membawa teman yang terluka dan berlompatan ke atas genteng, menghilang dari atap ke atap. Mereka juga merasa jerih melihat betapa Kwa Tin demikian gagahnya, masih mampu melukai dua orang teman mereka, bahwa yang seorang mengalami cedera buntung lengan tangan sebatas pergelangan! Akan tetapi seorang di antara mereka menendang daun pintu sehingga jebol, lalu keluar lagi sambil memondong tubuh seorang wanita yang kelihatan lemas karena tertotok. itulah isteri Kwa Tin yang mereka culik.
Kwa Tin masih belum tewas, bahkan juga tidak pingsan. Dia melihat betapa Isterinya diculik oleh seorang di antara para penjahat bertopeng itu, akan tetapi ketika dia hendak bangkit untuk menolong isterinya, dia roboh lagi dan mengeluh, dadanya terasa nyeri dan pendekar inipun maklum bahwa ajalnya sudah dekat!
Pada saat itu, di antara para tetangga yang sedang sibuk berusaha memadamkan api, tanpa mengetahui apa yang terjadi di dalam, nampak seorang pemuda menerobos di antara banyak orang dan diapun menendang pintu depan yang sudah terbakar separuh itu sampai jebol lalu dia melompat masuk menerjang api sambil berteriak.
"Ayaaaahhh ... ! Ibuuu ... !"
Semua orang memandang tegang, tidak berani mengikuti pemuda yang menerjang api itu. Pemuda itu adalah Kwa Bun Houw yang tadi tidak berada di rumah karena dia sedang berada di rumah keluarga Cia, yaitu keluarga calon isterinya! Calon ayah mertuanya yang menjadi sahabat baik ayahnya, mengajak dia bercakap-cakap sampai jauh malam. Ketika akhirnya dia mendapat kesempatan berpamit dari calon mertuanya dan tiba di dekat rumah, dia terkejut melihat rumah orang tuanya terbakar dan banyak tetangga sedang berusaha memadamkan api. Dia segera mencari ayah ibunya, akan tetapi para tetangga mengatakan bahwa ayah ibunya tidak nampak keluar dari rumah yang terbakar itu! Mendengar ini, dengan nekat Bun Houw lalu menerjang daun pintu dan melompat ke dalam.
"Ayaihhhh ... !" Dia menubruk orang tua itu yang menggeletak bermandikan darah sendiri dengan sebatang pedang masih menancap di dadanya.
"Ayah, apa yang terjadi? Siapa melakukan semua ini?" Bun Houw memangku kepala ayahnya yang sudah terkulai lemas. Pendekar itu mendengar teriakan anaknya dan dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk membuka mata dan mulutnya.
"Bun Houw ... mereka ... lima orang ... berkedok ... yang seorang ... buntung tangan kanannya ...
" Dia terkulai dan napasnya berhenti.
"Ayah ...!" Bun Houw mengguncang tubuh ayahnya dan sungguh aneh, pendekar itu membuka matanya lagi. Seolah-olah teriakan anaknya tadi menarik kembali nyawanya yang sudah melayang,
"Ibumu ... diculik mereka ...
" Sukar benar dia mengeluarkan kata-kata ini dan kembali dia terkulai, sekali ini benar-benar menghembuskan napas terakhir.
"Ayah ...! Ibuuuu ... !" Bun Houw teringat Ibunya dan dengan cepat bangkit berdiri, meloncat ke dalam kamar. Ketika tidak melihat ibunya, teringat akan kata-kata terakhir ayahnya. Bun Houw meloncat ke atas genteng dan diapun mencari dan memandang ke kanan kiri. Namun, tidak nampak sesuatu kecuali para tetangga yang masih sibuk mencoba memadamkan api yang makin membesar. Bun Houw lalu meloncat keluar dan seolah-olah ada yang mendorongnya, dia lalu berlari keluar kota menuju ke selatan. Dia teringat bahwa di Selatan kota terdapat sebuah hutan, dan entah mengapa, seperti ada bisikan di hatinya bahwa para penjahat itu membawa ibunya ke sana!
Tanpa memperdulikan lagi rumah orang tuanya yang terbakar dan ayahnya yang sudah tewas, Bun Houw mencari-cari di dalam hutan. Sampai pagi dia masih mencari-cari dan akhirnya usahanya berhasil. Di sebuah sudut hutan, di atas rumput tebal, di bawah pohon besar, dia menemukan Ibunya. Sudah mati dan dalam keadaan telanjang bulat!
"Ibuuuu ... !" Dia menjerit dan menubruk mayat yang masih hangat itu. Agaknya belum lama ibunya tewas Bun Houw hampir pingsan, akan tetapi dia menguatkan hatinya, lalu meloncat dan berlari-lari mencari di sekitar tempat itu kalau-kalau akan dapat menemukan para penjahat itu.
Akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka dan akhirnya dengan hati penuh duka, dia menghampiri mayat ibunya, mengenakan kembali pakaian ibunya yang cerai berai di tempat itu, lalu memondong tubuh yang sudah tak bernyawa itu, menuju pulang! Wajahnya pucat dan muram, matanya seperti lampu kehabisan minyak, akan tetapi kadang-kadang mata itu mengeluarkan sinar penuh kebencian dan kemarahan yang membuat orang bengidik ngeri melihatnya.
Rumah keluarga Kwa itu habis terbakar. Rumah tinggal dan tokonya. Seluruh harta kekayaan keluarga itu musnah dan kini Bun Houw tidak memiliki apa-Apalagi kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya! Dia kehilangan ayahnya, ibunya, harta bendanya, rumah tinggalnya.
Para tetangga membantunya sehingga jenazah ayah-ibunya dapat dimakamkan sepantasnya. Setelah semua orang pulang. Bun Houw tinggal di tanah kuburan itu seorang diri, bersila di depan dua buah makam yang masih baru itu. Bau dupa masih mengharumkan sekitar kuburan, dan bagi Bun Houw yang bersila di situ, bau tanah juga menyengat hidungnya, mengingatkan dia bahwa ayah dan ibunya kini berada di dalam tanah itu!
Dia tidak menangis lagi. Sudah habis air matanya sebelum kedua Jenazah itu dikebumikan. Kini dia bersila, termenung. Bayangan mengerikan itu selalu menghantui mata hatinya. Bayangan ayahnya dikeroyok lima orang berkedok, lalu ayahnya roboh dengan dada tertusuk pedang. Lalu bayangan yang lebih menyakitkan hati lagi. Ibunya diperkosa dan dihina lima orang itu sampai mati! Dia mengepal tinju! Mengapa ayahnya dan ibunya dibunuh orang?
Bun Houw membiarkan pikirannya bekerja sendiri. Dibongkarnya semua isi pikirannya yang bertumpuk-tumpuk. Teringatlah dia akan keadaan ayahnya. Ayahnya seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Entah sudah berapa banyak penjahat dibasminya, dibunuhnya atau ditangkapnya, atau dihajarnya. Dia merasa yakin bahwa apa yang menimpa keluarganya itu adalah akibat dari pada dendam para penjahat. Ayahnya telah mengalahkan banyak penjahat, dengan kekerasan, dan hal ini tentu saja mendatangkan dendam. Akhirnya, para penjahat yang menaruh dendam itu berhasil membalas, Ayahnya dibunuh. Ibunya diperkosa dan dibunuh. Apakah dia harus mendendam pula? mendendam kepada siapa ?
Teringat dia akan nasihat-nasihat ayahnya ketika ayahnya menggemblengnya dengan ilmu silat. Satu di antaranya tentang dendam.
"Anakku, seorang pendekar tidak akan bertindak karena benci! Biarpun ayahmu ini menentang kejahatan, menentang para penjahat, namun tidak ada rasa benci di dalam hatiku. Yang ada hanyalah rasa tanggung jawab dan tugas seorang pendekar, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun jahat. Jangan biarkan dirimu menjadi hamba dari nafsu kebencian. Jangan biarkan hatimu menjadi taman, di mana pohon dendam tumbuh dan membesar karena dendam adalah kebencian juga. Kalau kebencian menjadi dasar, maka setiap perbuatan adalah kejahatan, apapun alasannya!"
Teringat akan nasihat ini, Bun Houw menghela napas panjang. Ayahnya dibunuh orang dan ibunya juga dibunuh setelah diperkosa, apakah dia tidak boleh mendendam? Dendam kebencian merupakan racun bagi batin sendiri, demikian ayahnya pernah berkata. Tidak, dia tidak boleh mendendam, akan tetapi dia akan melanjutkan perjuangan ayahnya sebagai seorang pendekar. Dia akan menentang kejahatan dalam bentuk apapun juga, tanpa dendam kebencian. Dia akan membasmi mereka yang membunuh orang tuanya, kalau dia berhasil menemukan mereka, bukan karena dendam kebencian melainkan karena mereka itu penjahat yang harus ditentang.
Tadi keluarga Cia juga datang melayat. Bahkan calon ayah mertuanya membujuknya untuk pulang ke rumah keluarga Cia, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya merekapun pergi. Sejak kecil, oleh ayahnya dia ditunangkan dengan Cia Ling Ay, puteri tunggal Cia Kun Ti, sahabat baik ayahnya. Karena ikatan persahabatan antara ayahnya dan Cia Kun Ti amat erat maka dia dijodohkan dengan gadis itu, sejak mereka berdua masih kanak-kanak. Mereka bahkan diberi kesempatan untuk bergaul dan berteman, dan setelah mereka mulai dewasa, mereka juga saling tertarik dan saling mencintai. Walaupun Bun Houw dan Ling Ay tidak pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih mereka melalui kata-kata, dan bergaul seperti dua orang sahabat biasa, namun masing-masing dapat merasakan akan cinta mereka.
Ling Ay juga ikut bersembahyang di depan peti mati calon ayah dan ibu mertuanya, bahkan Ia menangis sesenggukan ketika melihat keadaan tunangannya yang demikian berduka. Di depan makam tadi, Ling Ay juga menangis dan ikut membujuknya agar mau pulang ke rumahnya dan meninggalkan kuburan, akan tetapi Bun Houw menolak dengan halus.
"Ay-moi, engkau pulanglah dulu. Biar aku sejenak menemani ayah dan Ibu di sini." jawabnya.
"Akan tetapi, Houw-koko, ayah ibumu sudah tiada. Tidak ada gunanya kalau engkau menyiksa diri dalam kedukaan di tempat ini." Gadis itu membujuk dan mencoba untuk menarik lengan pemuda yang menjadi tunangannya, juga sahabat baiknya dan orang yang diam-diam dikasihinya.
"Moi-moi, kau pulanglah dulu, aku masih belum dapat meninggalkan tempat ini. Pengilah dan jangan ganggu aku ...
"
Setelah menarik napas dan menghapus air matanya, gadis itu pun pergi meninggalkannya untuk pulang bersama ayah ibunya.
Kembali Bau Houw melamun. Kini baru dia mengerti benar apa yang dimaksudkan dalam kitab-kitab suci bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Hidup penuh duka yang timbul dari ikatan. Begitu banyaknya ikatan selama ini membelenggu dirinya, bahkan ikatan itu telah mengakar di dalam batinnya. Ikatan kepada ayah Ibunya, kepada harta kekayaan milik keluarganya. Sekarang, dalam sekejap mata saja, semua itu direnggut musnah darinya. Habislah segala-galanya, semua miliknya. Hati siapa takkan berdarah, batin siapa takkan menderita duka? Kini dia mengerti apa artinya itu, setelah merasakannya sendiri. Hidupnya terasa kosong dan sunyi. Dia tidak mempunyai siapa-siApalagi.
Tidak mempunyai siapa-siApalagi? Ah, tidak begitu! Bukankah di sana masih ada Cia Ling Ay? Orang yang dicintanya." Bagaikan orang yang tadinya tenggelam ke dalam kegelapan tiba-tiba melihat setitik sinar terang, Bun Houw bangkit berdiri. Bayangan Ling Ay memberi harapan. Dia memberi hormat kepada kedua makam itu, lalu perlahan-lahan melangkah pergi, menuju ke rumah keluarga Cia. Ke mana lagi dia dapat pergi? Rumahnya sendiri telah menjadi debu. Sedikitpun dia tidak memiliki apa-Apalagi, bahkan pakaianpun hanya yang melekat pada tubuhnya.
Malapetaka dapat menimpa siapapun juga di dalam kehidupan di dunia ini. Tidak pandang bulu! Seorang manusia yang paling berkuasa sekalipun, tidak kebal terhadap malapetaka dan maut, kalau memang Tuhan sudah menghendaki. Tiada kekuatan apapun di dunia dan akhirat yang mampu mengubah kehendak Tuhan. Kehendak Tuhanpun terjadilah. Manusia hanya dapat menerima, tawakal, dengan penuh keikhlasan menyerahkan diri lahir batin sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Hanya inilah satu-satunya jalan. Hanya Tuhan yang dapat menentukan jalan hidup ini, seperti Tuhan pula yang menentukan dan mengatur segala sesuatu yang hidup dan mati, yang nampak dan tidak nampak. Tuhan mendahului yang paling dulu, mengakhiri yang paling akhir, di sebelah dalam yang paling dalam dan di sebelah luar yang paling luar! Tak terjangkau oleh akal pikiran. Kalau segala gerakan badan dan batin diatur oleh kekuasaan Tuhan, barulah sempurna dan benar dan hal ini mungkin saja dapat dicapai dengan penyerahan diri penuh keikhlasan dan kerendahan hati. Sebaliknya, segala gerakan badan dan batin yang diatur oleh akal pikiran selalu ditunggangi nafsu-nafsu dan akibatnya seperti yang kita lihat di sekeliling kita. Konflik dan pertentangan, perebutan, masing-masing menonjolkan kepentingan aku sendiri dan tak dapat dihindarkan lagi, bentrokan-bentrokan dan kekerasanpun terjadilah, di mana-mana!
Akal pikiran dan segala macam nafsu memang sungguh amat kita perlukan dalam kehidupan ini. Akal pikiran dan nafsu adalah alat-alat yang sangat benguna bagi kita untuk mempertahankan hidup di dunia ini. Karena mereka itu hanya alat, maka haruslah dapat kita manfaatkan, kita peralat demi kepentingan dan kebutuhan diri dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi apa kenyataannya? Kita malah yang diperalat oleh mereka! Kita diperalat, diperhamba oleh akal pikiran dan nafsu, maka rusaklah ketenteraman hidup, lenyaplah kebahagiaan hidup. Akal pikiran dan nafsu hanya ingin ini, ingin itu. ingin lebih, ingin enak dan segala macam keinginan. Dan untuk mengejar terlaksananya keinginan itu, kita diperalat untuk mendapatkannya sehingga timbullah segala macam perbuatan kekerasan dan kemaksiatan. Kalaupun rasa kemanusiaan kita, hati nurani kita sewaktu-waktu menyadari akan hal ini, hati nurani kita itu sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu menanggulangi kekuatan daya rendah dari nafsu-nafsu dan akal pikir, dan kita tetap dicengkeram dan dikuasai, dipengaruhi. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu menalukkan kegarangan daya-daya rendah itu, menjinakkannya dan mengembalikan fungsinya sebagai alat, sebagai harta, bukan lagi sebagai majikan.
"Tidak, aku tidak setuju! Pertunangan itu harus dibatalkan! Harus ! Ikatan perjodohan yang tidak seimbang ini harus putus!" Nyonya Cia Kun Ti berkata dengan penuh ketegasan kepada suaminya yang menundukkan mukanya dan duduk di kursi. Cia Kun Ti memang kalah wibawa dan selalu merasa rendah diri terhadap isterinya. Hal ini timbul sejak dia menikah dengan isterinya ini, yang dulu merupakan puteri dari majikannya! Dia hanya seorang karyawan dari toko besar ayah isterinya kemudian dia menjadi mantu. Kini dia dan isterinya membuka sebuah toko kain, juga semua itu milik Isterinya. Oleh karena itu, dalam segala hal isterinyalah yang mengemudikan dan menentukan dan hampir segala keputusan yang diambil isterinya, dia terpaksa meng"amin"kan dan tidak berani membantah.
"Tapi, ketika mendiang ayahnya mengajukan usul pengikatan jodoh, kita sudah menyetujuinya. Bukankah engkau sendiri juga setuju kalau anak kita Ling Ay dijodohkan dengan Bun Houw?" Nada suaranya bukan membantah melainkan mengingatkan isterinya akan janji mereka terhadap mendiang keluarga Kwa.
"Benar, tidak kupungkiri hal itu! Akan tetapi kita berjanji kepada Kwa Tin dan isterinya. Dan sekarang mereka telah meninggal dunia. Dengan demikian, janji antara kita dengan merekapun sudah lenyap dan putus!"
"Akan tetapi, isieriku, Bun Houw sendiri masih hidup dan dia sudah kita terima sebagai calon mantu ...
"
"Tidak, sekarang tidak lagi. Janji kita hanya kepada orang tuanya dan kini telah batal! Bagaimana mungkin aku mau menyerahkan anakku yang hanya satu-satunya itu kepada seorang pemuda yang yatim-piatu, dan tidak mempunyai apa-Apalagi? Kita menyerahkan anak kita dan semua harta benda kita kepadanya? Tidak! Aku tidak mau membikin anak sendiri sengsara!"
"Ah, begitukah maksudmu?" Cia Kun Ti yang merasa tidak enak sekali terhadap arwah sahabatnya, mengangguk.
"Kiranya karena Bun Houw sudah kehilangan segalanya, harta miliknya musnah dimakan api, maka engkau lalu hendak menolaknya sebagai calon mantu?"
"Tentu saja! Mengapa tidak? Dulu, kita menerima Ikatan jodoh itu karena melihat ayahnya, bukan melihat dia, dan kuanggap memang keadaan mereka seimbang dengan keadaan kita. Sekarang? Anak itu yatim piatu dan miskin tidak memiliki apa-apa. Bagaimana mungkin akan menjadi suami Ling Ay? Tidak, harus putus!"
Cia Kun Ti menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa bagaimanapun juga ada kebenaran dalam ucapan isterinya. Dan diapun kasihan kepada Bun Houw. Anak itu baik sekali. Biarlah, biar Ikatan ini diputuskan. Agaknya malah lebih baik bagi Bun Houw dan juga bagi anaknya. Kalau dilanjutkan, tentu pernikahan itu sama keadaannya dengan dirinya sekarang ini! Yang memiliki harta isterinya dan yang berkuasa isterinya! Dia tidak menginginkan puterinya menjadi kuasa atas diri suaminya, dan dia kasihan membayangkan Bun Houw menjadi seperti dia!
Sementara dia termenung, Isterinya sudah berteriak memanggil puterinya,
"Ling Ay ... ke sinilah!"
Gadis itu muncul dan duduk menghadapi ayah ibunya, pandang matanya penuh pertanyaan dan khawatir melihat sikap ayah dan ibunya yang begitu serius.
"Ada apakah, Ibu ?" tanya gadis itu.
Cia Kun Ti tidak dapat mengatakan apapun. Dia tahu bahwa puteri tunggalnya itu sudah menganggap Bun Houw sebagai calon suaminya. Sudah sejak kecil mereka ditunangkan dan puterinya sudah menerimanya sebagai suatu kepastian. Mungkin puterinya sudah terlanjur mencinta pemuda itu. Dia tidak tega untuk menyampaikan pemutusan Ikatan jodoh itu.
"Ling Ay. duduklah dekat Ibu. Aku hendak membicarakan urusan penting sekali, menyangkut kehidupanmu, masa depanmu."
Gadis itu semakin khawatir dan dengan gelisah ia mendekati ibunya.
"Apa yang ibu maksudkan?"
"Engkau tahu apa yang telah terjadi dengan Bun Houw. Dia kematian ayah ibunya, kini dia menjadi seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara, bahkan seluruh harta milik orang tuanyapan musna dimakan api."
"Aku tahu, ibu, dan kasihan sekali Houw-koko." kata gadis remaja itu dan ia menunduk, kedua matanya basah. Ia masih terlalu muda, baru berusia empatbelas tahun untuk mengetahui benar apakah ia mencinta tunangannya itu. Namun, sudah jelas bahwa ia menyayangnya karena memang mereka telah bersahabat sejak kecil, dan Bun Houw adalah seorang sahabat yang selalu bersikap sopan, ramah dan baik kepadanya. Ia merasa pemuda itu seperti saudaranya sendiri, seperti seorang kakak.
"Memang, kita kasihan sekali kepadanya. Akan tetapi, tidak boleh rasa kasihan itu mengharuskan engkau mengorbankan diri."
Gadis remaja itu mengangkat mukanya yang manis, memandang ibunya dengan heran.
"Apa maksudmu, ibu?"
"Ling Ay, ayah ibumu sudah mengambil keputusan bahwa pertunanganmu dengan Bun Houw harus putus! Engkau tidak mungkin dapat berjodoh dengan seorang yatim piatu karena hal itu kelak hanya akan menyengsarakan kalian berdua."
Gadis remaja itu terkejut sekali. Matanya terbelalak memandang ibunya. Baginya, menjadi isteri Bun Houw atau bukan tidak menjadi soal yang terlalu besar baginya. Ia masih belum dewasa dan masih terlalu muda untuk memikirkan soal pernikahan. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw.
"Akan tetapi, ibu! Houw-koko baru saja tertimpa kemalangan. Dia sedang berada dalam keadaan duka, kehilangan ayah ibu dan seluruh harta bendanya. Bagaimana sekarang kita bahkan tidak menghiburnya, melainkan menambah beban dukanya dengan memutuskan pertunangan itu?" Gadis itu memandang kepada ibunya dan air matanya mengalir turun karena ia merasa iba sekali kepada Bun Houw.
"Tidak, anakku. Biarlah engkau tidak perlu mencampuri urusan ini, kami yang akan bicara dengan dia. Aku percaya dia cukup bijaksana untuk menerima pemutusan pertunangan itu."
Ling Ay tidak membantah dan meninggalkan ayah ibunya, masuk ke dalam kamarnya dan menangis. Bukan menangis sedih karena pertunangan itu diputuskan, melainkan menangis karena kasihan kepada Bun Houw.
Sore itu. menjelang senja, dengan pakaian lusuh, rambut awut-awutan dan wajah kusut muram, Bun Houw datang berkunjung ke rumah calon mertuanya. Dia tidak tahu ke mana lagi harus pergi. Tidak mungkin dia tinggal terus di tanah kuburan. dia tidak memiliki rumah, dan tidak memilili keluarga lain di kota Nan-ping kecuali keluarga calon isterinya. Biarpun hatinya terasa berat dan malu, terpaksa dia kini berkunjung ke rumah calon mertuanya yang besar.
Sambutan calon ayah dan ibu mertuanya sungguh di luar dugaannya. Ketika mereka datang berlayat dan ikut mengantar pemakaman, sikap mereka amat baik, menghibur dan juga ikut berduka. Akan tetapi setelah kini dia berhadapan dengan kedua orang calon mertua itu yang mecyambut kedatangannya di ruangan depan, wajah mereka nampak dingin dan sama sekali tidak ramah, Apalagi ikut berduka.
"Duduklah di dalam, Bun Houw. Kebetulan engkau datang karena kami ingin membicarakan urusan penting denganmu." kata Cia Kun Ti dengan suara kering.
Bun Houw masih belum menyangka buruk, mengira bahwa calon mertuanya tentu akan membicarakan urusan perjodohannya demi kebaikannya. Dia pun ikut masuk dan mereka bertiga duduk saling berhadapan, terhalang meja, di ruangan dalam. Akan tetapi calon ayah mertuanya kini tidak bicara, hanya lebih banyak menundukkan mukanya yang tidak seramah biasanya. Kini calon ibu mertuanya yang bicara.
"Bun Houw, kami sekeluarga merasa kasihan kepadamu atas malapetaka yang menimpa keluargamu. Akan tetapi, kami terpaksa bicara denganmu mengenai ikatan jodoh antara engkau dan anak kami, lebih cepat kita bicarakan lebih baik agar tidak menjadi ganjalan di hati."
Pemuda itu mengangkat mukanya yang muram dan diliputi kedukaan yang mendalam.
"Apakah yang ibu maksudkan ?"
Wanita itu menelan ludah dulu sebelum bicara, menenteramkan hatinya yang berdebar.
"Begini, Bun Houw. Kami percaya bahwa engkau sebagai seorang laki-laki, cukup bijaksana untuk dapat memaklumi bahwa ikatan jodoh antara engkau dengan puteri kami itu tidak mungkin dilanjutkan dan terpaksa harus kami putuskan atau batalkan."
Tentu saja Bun Houw terkejut bukan main mendengar ini. Matanya memandang kosong dan bengong seolah-olah dia khawatir salah dengar, wajahnya menjadi semakin pucat dan dia memandang kepada kedua orang tua itu bengantian dengan sinar mata bodoh dan tidak mengerti. Berbeda dengan keadaan hati Ling Ay yang masih kekanak-kanakan, Bun Houw yang baru berusia limabelas tahun itu merasa telah jatuh cinta kepada tunangannya. Dia sudah mencinta Ling Ay dan kini pertalian jodoh itu dibikin putus secara sepihak dan secara tiba-tiba!
"Di ... dibatalkan ... ? Akan tetapi ... saya tidak mengerti ... mengapa? Apa kesalahan saya ... ?"
Melihat pemuda itu kelihatan amat terpukul, Cia Kun Ti merasa kasihan sekali.
"Engkau tidak mempunyai kesalahan apa-apa, Bun Houw ...
" katanya, akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan, isterinya sudah menoleh kepadanya dengan pandang mata tajam penuh teguran.
"Engkau memang tidak bersalah, Bun Houw," kata Nyonya Cia Kun Ti,
"Yang bersalah adalah keadaanmu. Engkau telah menjadi seorang anak yatim piatu. Karena Ling Ay masih mempunyai ayah dan ibu, maka tidak mungkin ia menjadi isteri seorang yang yatim piatu. Nah, itulah sebabnya mengapa kami terpaksa, dengan berat hati, memutuskan tali perjodohan itu, Bun Houw."
Pemuda itu mengerutkan alisnya, tidak dapat menerima begitu saja alasan yang dikemukakan calon ibu mertuanya.
"Akan tetapi, ibu. Kalau saya telah menjadi seorang yatim piatu, lalu mengapa? Kematian seseorang adalah tak dari Tuhan, dan seseorang, cepat atau lambat, sudah pasti akan menjadi yatim piatu, ditinggal mati ayah dan ibunya. Apa bedanya kalau saya sekarang menjadi yatim piatu atau kelak kalau sudah anak lebih tua? Sungguh alasan ini bagi saya tidak masuk di akal!"
Nyonya Cia Kun Ti merasa tersudut oleh bantahan Bun Houw itu dan ia mengerutkan alisnya. Sinar matanya membayangkan kemarahan dan ia lalu berkata, suaranya lantang.
"Kwa Bun Houw, aku telah mengemukakan alasan yang paling halus agar tidak menyinggungmu, akan tetapi engkau malah membantah. Nah, dengarlah baik-baik. Bukan hanya karena engkau yatim piatu saja persoalannya. Engkau sudah yatim piatu, tidak ada lagi ayahmu yang akan mengurus pernikahanmu, dan memberimu warisan. Bahkan seluruh harta milik orang tuamu juga sudah habis terbakar. Engkau tidak mempunyai apa-Apalagi, tidak mempunyai orang tua yang boleh kausandari. Lalu apa akan jadinya kalau engkau menjadi suami anak kami? Engkau tidak memiliki apa-apa, rumah pun tidak, lalu apakah kelak anak kami akan kauberi makan tanah dan batu ? Nah itulah yang memaksa kami membatalkan perjodohan ini! Engkau memaksaku untuk berterus terang!"
Sepasang mata Bun Houw terbelalak, wajahnya kini menjadi merah sekali. Setiap kata yang keluar dari mulut wanita yang pernah dianggapnya sebagai calon ibu mertua, yang biasanya amat ramah kepadanya itu, bagaikan ujung pedang yang menikam ulu hatinya. dia ditolak menjadi calon mantu karena dia sudah yatim piatu dan miskin! Miskin itulah sebab utamanya dan diapun mengerti. Betapapun pahitnya kenyataan itu, harus ditelannya karena memang benar demikian. Dia sendiri sudah tidak memiliki apa-apa, tidak ada makanan untuk dimakan, pakaian untuk dipakai, bahkan tidak ada tempat untuk berteduh. Bagaimana dia dapat memenuhi kebutuhan seorang Isteri ?
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kedua kakinya menggigil, akan tetapi dia menguatkan hatinya yang tenguncang. Kedua matanya terasa panas, matanya kabur oleh air mata yang dipertahankannya agar jangan jatuh, bibirnya gemetar ketika dia hendak bicara. Dia akhirnya dapat menekan semua perasaan terhina itu, dan dia berkata tersendat-seadat.
"Saya mengerti ... saya telah menjadi yatim piatu dan miskin ... saya tidak pantas menjadi calon suami Ay-moi ... saya ... saya mohon pamit ... dia membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan meninggalkan ruangan dalam itu menuju ke luar, tidak tahu betapa suami Isteri itu memanjang kepadanya dengan sinar mata penuh iba. Bagaimanapun juga. Nyonya Cia Kun Ti memang terpaksa melakukan keputusan itu, demi puterinya.
"Houw-koko ... !" Tiba-tiba Ling Ay lari keluar dari dalam dan mengejar Bun Houw yang baru tiba di ambang pintu antara kamar ruangan dalam dan beranda depan.
Mendengar seruan ini, Bun Houw menahan langkahnya dan membalikkan tubuhnya, terpaksa menggunakan punggung tangan menghapus beberapa tilik air mata yang tadi sempat turun dari pelupuk mata dan jatuh ke atas pipinya.
"Houw-koko, engkau hendak pergi ke mana ... ?" Ling Ay bertanya sambil lari menghampiri dan memegang kedua tangan pemuda itu.
Melihat wajah pemuda itu, dan pipi yang masih basah bekas usapan air mata, gadis remaja itu pun merintih,
"Ah, Houw-koko ...!" dan iapun menangis.
Bun Houw merasa jartungnya seperti disayat-sayat. Dia mengusap rambut kepala yang menunduk dan menangis itu.
"Sudahlah, Ay moi ... jangan berduka, Kupujikan agar kelak engkau memperoleh jodoh yang sesuai denganmu, semoga engkau berbahagia, Ay moi ...
" dan Bun Houw membalikkan tubuhnya, cepat berlari keluar.
"Houw-koko ...!" Ling Ay hendak mengejar.
"Ling Ay ...!" Terdengar Ibunya membentak dan gadis itu menahan langkahnya, membalik lalu berlari menubruk kaki ibunya.
"Ibuu ...!" Iapun menangis sesenggukan.
Ibunya merangkulnya dan mengusap-usap rambut kepala anaknya.
Bun Houw berjalan seorang diri. Tubuhnya terasa lemas sekali karena semenjak ayah ibunya tewas dan sampai sekarang, sudah tiga hari tiga malam, dia tidak pernah makan tidak pernah tidur! Ditambah pula pukulan batin bertubi-tubi, ayah ibunya dibunuh orang, rumahnya habis terbakar, musibah pemutusan pertunangannya dengan Ling Ay, merasa dihina dan dipandang rendah, kehilangan segalanya. Langkahnya gontai, bahkan sesekali kakinya tersandung akar atau batu sehingga terhuyung, semangatnya menipis, mendekati keputusasaan.
Semenjak meninggalkan rumah kediaman keluarga Cia, dia berjalan terus meninggalkan kota Nan-ping, tak pernah berhenti dan semalam suntuk dia berjalan. Tanpa tujuan? Kemana? Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini yang dapat dikunjunginya. Tidak ada tujuan tidak ada rencana. dia melangkah asal pergi saja dari keluarga Cia, dari kota Nan-ping, membiarkan kakinya bergerak dan membawa ke mana saja kaki itu melangkah. Seperti sesosok mayat berjalan!
Matahari telah naik tinggi dan dia masih terseok-seok berjalan mendaki bukit itu, jalan yang sunyi. Tak nampak seorangpun manusia. Makin menanjak jalan itu, makin tertatih-tatih dia melangkah karena tubuhnya sudah lelah sekali. Di depan nampak sebuah hutan yang lebat. Kakinya menuju ke hutan itu, tanpa dituntun lagi suatu kehendak atau pikiran.
Begitu dia tiba di tepi hutan, tiba tiba nampak lima bayangan manusia berlari-lari dengan cepatnya dari bawah bukit. Lima orang ini dapat berlari cepat biarpun jalannya menanjak dan ini saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang orang sembarangan. Ketika tiba di tereng bukit itu, mereka berhenti dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba seorang di antara mereka menuding ke atas, ke arah tubuh Bun Houw yang sudah tiba di dekat hutan.
"Itukah orangnya!"
"Mungkin saja! Tidak ada orang lain di sini."
"Kalau begitu mari kita cepat kejar."
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, membasmi rumput harus bersama akar-akarnya!"
Mereka berlima, kelimanya mengenakan kedok hitam, kini berlari lagi ke arah puncak bukit.
Bun Houw tidak mengetahui semua itu. dia kini seperti orang yang ditinggalkan semangatnya. Dia lelah lahir batin. Semalam tadi dia terhimpit perasaan duka yang amat berat. Pikirannya mengenang segala peristiwa yang menimpa dirinya. Makin dikenang, semakin pahit dan semakin menghimpit perasaannya. Timbullah perasaan iba diri yang amat besar dan hal ini menimbulkan duka. Demikian tertekan batinnya sehingga dia lelah, lelah sekali. Dia tidak memperdulikan apa-Apalagi.
"Berhenti ...!" terdengar teriakan dari arah belakang. Bun Houw melangkah terus, tidak mendengar karena tidak memperhatikan.
"Heii, orang yang berjalan di depan! Berhenti ...!" teriakan itu diulang, lebih nyaring.
Bun Houw melangkah terus, sudah mendengar akan tetapi tidak perduli, tidak mengira dia yang disuruh berhenti.
Tiba-tiba Bun Houw melihat ada beberapa bayangan orang berkelebat di kanan kirinya, datang dari belakang dan melewatinya. Ketika dia mengangkat muka, ternyata ada lima orang laki-laki yang kesemuanya memakai kedok hitam telah berdiri menghadang di depannya. Sikap mereka itu garang sekali. seorang di antara mereka, yang berperut gendut dan dagunya terhias bekas luka yang besar, kedok bitam itu hanya menutupi mata dan hidung, berkata dengan suara lantang.
"Hei, berhenti dulu, orang muda! Apakah engkau putera Kwa Tin di Nan-ping?"
Tadinya Bun Houw memandang kepada mereka dengan sikap acuh, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pesan terakhir ayahnya.
"Bun Houw, mereka lima orang berkedok, yang seorang buntung tangan kanannya ...
" demikian pesan ayahnya. Suara ayahnya itu selalu terngiang di telinganya. Dan lima orang di depannya itu berkedok, dan seorang di antaranya memang buntung lengan kanannya!"
"Ah, kalian ... kalian lima orang yang membasmi keluarga Kwa?" tanyanya, wajahnya berubah pucat kemudian merah dan suaranya gemetar.
"Tidak kami sangkal!" kata si perut gendut.
"Dan engkau, siapakah engkau ? Apa hubunganmu dengan keluarga Kwa?"
Bun Houw telah memandang dengan kemarahan memuncak sehingga dia lupa akan tubuhnya yang lemah dan lemas, lupa akan kenyataan bahwa lima orang ini amat lihai sehingga ayahnya sendiripun tewas di tangan mereka.
"Aku Kwa Bun Houw, putera mereka!" teriaknya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang engkau kami cari karena engkau harus menyusul ayah ibumu!"
Bun Houw terkenang akan ayahnya, dan Ibunya yang tewas secara menyedihkan, maka matanya mencorong seperti berapi-api.
"Keparat jahanam, kalian ini Iblis-iblis jahat sekali. Kenapa kalian demikian kejam membunuh ayah dan bahkan menghina dan membunuh ibuku? Apa dosa mereka? Jawab dulu pertanyaanku agar aku tidak penasaran!"
SI gendut itu tertawa.
"Tidak berdosa! Ayahmu tidak berdosa ? Hemm, berapa banyak sudah saudara kami dibunuhnya, dan kami sendiri sampai kehilangan mata pencaharian karena ayahmu! Kami datang membalas dendam atas kematian saudara saudara kami, dan ayahmu selalu merupakan ancaman bagi pekerjaan kami! Ibumu kami bunuh karena ia adalah isteri ayahmu, seperti juga engkau harus kami bunuh karena engkau adalah anak ayahmu!"
"Tapi ... ayah menentang kalian karena kejahatan kalian! Ayah selalu menentang orang ... orang jahat dan itu sudah menjadi tugas seorang pendekar!"
"Huh ! Kami tidak perduli. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa."
"Sudahlah, toako. Kenapa melayani obrolan bocah ini? Bunuh saja dia, habis perkara!" bentak penjahat yang tangan kanannya buntung ketika mereka mengeroyok Kwa Tin.
Berkata demikian, dia sudah melangkah maju dan menyerang dengan tendangan kaki kanannya. Bun Houw cepat mengelak akan tetapi empat orang penjahat lainnya sudah pula menerjang dan mengeroyoknya. Agaknya, lima orang penjahat itu memandang rendah pemuda remaja berusia limabelas tahun itu, maka mereka hanya mempengunakan kaki tangan untuk menyerang, tidak mencabut senjata mereka.
Bun Houw mengamuk! Dia tahu bahwa perkelahian ini adalah prkelahian mati hidup. Dia harus dapat merobohkan lima orang itu kalau dia ingin agar dapat hidup terus, karena kalau dia kalah berarti dia akan mati. Dan dia bertekat untuk melawan sampai mati! Kenekatan inilah yang membuat dia menjadi lebih kuat dari pada biasanya. dia tidak lagi memperdulikan bahaya yang mengancam dirinya. Yang ada dalam hatinya hanyalah keinginan mengalahkan para pmgeroyoknya, maka dia pun menyerang seperti seekor harimau kelaparan.
Akan tetapi, Bun Houw menghadapi pengeroyokan lima orang lawan yang pandai pula, biarpun sejak kecil dia digembleng ayahnya dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, namun dia kurang pengalaman berkelahi, berbeda dengan lima orang lawannya yang merupakan tokoh tokoh kang-ouw yang sudah biasa berkelahi melawan musuh yang tangguh. Oleh karena itu, sukar bagi Bun Houw untuk dapat mengalahkan lima orang itu walaupun dia sudah mengamuk dengan nekat. Dia dihajar jatuh bangun, dihujani pukulan dan tendangan sampai babak belur. Akan tetapi, Bun Houw tidak pernah mengeluh, Apalagi menyerah. Begitu terkena pukulan atau tendangan yang membuat dia jatuh tersungkur, dia bangkit lagi dan melawan dengan penuh semangat, seolah-olah tubuhnya yang sudah babak belur dan matang biru itu sama sekali tidak dirasakan nyeri!
Namun, tubuh tidaklah sekuat hati yang sudah nekat. Kekuatan tubuh ada batasnya, Apalagi tubuh Bun Houw yang sedang lemah karena kelaparan, kurang tidur dan dilanda duka nestapa itu. Ketika tangan si gendut yang memimpin lima orang itu menghantam dadanya, amat kerasnya sehingga mengeluarkan suara berdebuk, tubuh Bun Houw terjengkang dan dia muntahkan darah segar dari mulutnya. Dia mencoba untuk merangkak bangun, tidak lagi secepat tadi. akan tetapi pada saat itu, sebuah kaki dengan kerasnya menendang, mengenai punggungnya. Kembali dia terpelanting. dia berusaha bangkit kembali namun gagal dan roboh tenguling.
Pada saat itu terdengar bunyi tak-tok-tak-tok dan seorang laki laki berusia limapuluhan tahun datang menghampiri tempat itu. Dia memegang sebatang tongkat yang panjangnya kurang lebih tiga kaki. Tongkat inilah yang mengeluarkan bunyi tak-tok-tak tok itu karena dia pengunakan untuk memukul-mukul batang pohon di kanan kiri dan batu-batu di depan kakinya. Dari tongkat ini mudah diduga bahwa dia adalah seorang buta. Namun, dia dapat berjalan dengan cepat, dibantu tongkatnya yang meraba-raba dan memukul-mukul.
"Hei!, berhenti! Jangan pukuli orang seperti itu!" teriak si buta ini dan kini dia berdiri di depan Bun Houw yang masih menggeletak dan tidak mampu melawan lagi, sikapnya melindungi pemuda itu dan dia menghadapi lima orang sambil mengangkat muka ke atas. Matanya terbuka akan tetapi hanya nampak biji mata yang putih!
Lima orang berkedok itu saling pandang, Tadinya mereka sudah merasa lega melihat pemuda yang bandel dan kuat itu roboh, dan ingin memukulinya sampai mati. Munculnya orang ini mengejutkan mereka, akan tetapi setelah melihat bahwa dia hanya seorang laki-laki buta, merekapun tidak merasa khawatir.
"Heii, orang buta! Minggirlah dan jangan mencampuri urusan kami!" bentak si gendut marah.
"Hemm, selamanya aku tidak mau mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi bagaimana mungkin aku tinggal diam saja melihat orang dipukul dan dikeroyok untuk dibunuh? Tidak, kalian tidak boleh memukuli orang ini tanpa sebab!"
"Orang buta tak tahu diri! Apakah engkau sudah bosan hidup? Pemuda ini adalah musuh kami. apakah engkau sudah gila hendak melindungi musuh kami?" bentak pula si gendut.
"Lopek mereka ini penjahat-penjahat yang telah membunuh ayahku dan ibuku, dan sekarang mereka hendak membunuh pula aku." kata Bun Houw membela diri walaupun dia tidak dapat mengharapkan pertlongan seorang buta. dia hanya ingin mengulur waktu agar kekuatannya pulih kembali sehingga dia dapat membela diri dan melawan sampai titik darah terakhir!"
Mendengar ucapan Bun Houw, orang buta itu menggerakkan tongkatnya dengan tidak sabar.
"Wah, wah! Kalau begitu lebih tidak boleh lagi kalian membunuh pemuda ini. Pergilah kalian dan jangan ganggu pemuda ini!" kata si buta.
"Toako, untuk apa mendengarkan ocehan orang buta ini? Kalau dia tidak mau minggir, pukul saja atau bunuh sekalian!" teriak seorang di antara mereka dan tanpa menanti jawaban pemimpinnya, dia sudah melangkah maju lalu menendangkan kakinya ke arah perut orang buta itu.
"Tukkkl Aduhhh ...!" Si penendang itu berloncatan dengan kaki kirinya sedangkan kedua tangan memegangi kaki kanan yang diangkat dan ditekuk lututnya ke belakang. Tulang keringnya seperti patah rasanya karena bertemu dengan tongkat tadi. Ketika dia merabanya, tulang kering betisnya itu menjendol besar, dan masih untung tidak patah.
Melihat ini, empat orang lainnya maju dan menyerang si buta dengan pukulan dan tendangan seperti yang mereka lakukan kepada Bun Houw tadi. Bukan tendangan dan pukulan ngawur melainkan gerakan silat yang teratur dan setiap serangan amat cepat dan kuat datangnya. Akan tetapi segera terdengar suara tak-tuk-tak-tuk dan empat orang itu semua terhuyung ke belakang sambil mengaduh aduh, ada yang memegangi kaki ada pula yang memegangi lengan yang tadi tertangkis oleh tongkat. Sungguh aneh sekali orang itu jelas buta. akan tetapi mengapa setiap pukulan dan tendangan para pengeroyoknya itu dapat ditangkisnya dengan amat tepatnya, menggunakan tongkat yang digerakkan secara aneh dan cepat bukan main itu? Bun Houw yang melihat peristiwa ini, melongo penuh keheranan. Kalau saja laki-laki itu tidak buta, tentu hal itu tidak mengherankan dan jelas bahwa orang itu merupakan seorang yang berilmu. Akan tetapi kalau kenyataannya dia buta, sungguh luar biasa sekali! Mungkinkah seorang buta memiliki ilmu kepandaian yang membuat dia sedemikian lihainya seolah olah pandai melihat saja?
Kini lima orang berkedok hitam itu sudah mencabut senjata mereka, yaitu masing masing memegang sebatang pedang. Bun Houw terkejut bukan main. Baru bertangan kosong saja, lima orang itu sudah begitu ganas dan kuat, apalagi bersenjata pedang. Diapun khawatir sekali akan nasib orang buta itu. Akan matilah orang itu disayat-sayat pedang dan dia tidak rela membiarkan orang tak berdosa ini harus tewas karena membelanya. Maka, sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Bun Houw melompat dan memegang lengan orang buta itu.
"Lopek, engkau cepat pergilah dari sini, jangan mencampuri urusanku agar engkau tidak tertimpa celaka!" Berkata demikian, Bun Houw mendorong orang itu ke samping dengan sekuat tenaga. Namun. bukan orang buta itu yang terlempar, sebaliknya dia sendirilah yang roboh terpelanting seperti dilanda angin keras, disusul suara orang buta itu.
"Orang muda, engkau minggirlah dan biarkan aku menghadapi mereka yang jahat ini."
Kini Bun Houw merasa semakin yakin bahwa orang buta ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biarpun jantungnya masih berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran, dia tidak bengerak lagi dan tetap mendekam di atas tanah di mana dia terpelanting dan melihat dengan mata terbelalak dan tidak berdaya.
Lima orang itu mengepung si buta dengan pedang di tangan. Seorang di antara mereka, yang buntung lengan kanannya itupun memegang pedang dengan tangan kiri, dan sikap mereka buas sekali karena mereka sudah marah bukan main. Orang buta itu berdiri di tengah, berdiri agak membungkuk, dengan muka tunduk dan tongkat ditangannya menyentuh tanah. Kepalanya agak miring dan nampaknya dia tidak berdaya sama sekali.
Lima orang sudah merasa pasti bahwa mereka akan dapat menyayat-nyayat tubuh si buta itu dalam waktu singkat, dan mereka sudah merasa penasaran dan sakit hati karena tadi dihajar sehingga menderita sakit sakit. Tiba-tiba si gendut yang menjadi pemimpin, melakukan gerakan pertama sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
"Mampuslah kau, orang buta!" Dan mereka berlima sudah menggerakkan pedang dalam saat yang hampir berbareng. Lima sinar pedang menyambar dari lima jurusan dengan cepat sekali dan Bun Houw sudah hampir memejamkan matanya karena tidak tahan dia melihat betapa tubuh itu akan hancur dan darah akan bertebaran. Akan tetapi, dia terbelalak. Terdengar suara melengking tinggi dan tiba-tiba saja nampaklah sinar kilat yang menyilaukan mata. Sinar kilat itu keluar dari tongkat si orang buta, dan kilat itu menyambar dahsyat, membuat lingkaran sinar yang melindungi tubuh si buta dan membabat lima gulungan sinar pedang yang menyerang tadi. Hanya terdengar suara berkerontangan nyaring disusul teriakan-teriakan kaget dan lima batang pedang itu telah patah patah dan lima orang penyerang itu sudah terhuyung ke belakang dengan muka pucat, memandang gagang pedang yang teranggat di tangan mereka, lalu terbelalak memandang si orang buta yang kini masih berdiri tegak dengan sebatang pedang yang berkilauan di tangan kanan! Kiranya tongkat tadi sudah dicabut dan di dalamnya terdapat pedang itu! Dari balik topeng hitam, lima orang itu saling pandang kemudian seperti menerima komando tanpa suara, mereka segera berloncatan melarikan diri dari tempat itu!
Kini baru Bun Houw yakin benar bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, walaupun kedua matanya buta. Maka, tanpa ragu lagi dia pun menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang buta itu. Dia sudah mengambil keputusan bulat untuk menghambakan diri sebagai murid kepada orang itu dengan penuh hormat dan harapan, diapun memberi hormat dan membentur-benturkan dahinya di atas tanah depan kaki si orang buta.
"Siancai (damai) ... apa yang kaulakukan ini, orang muda ? Bangkitlah dan jangan berlutut seperti itu!" Dengan sekali menggerakkan tangan, nampak sinar terang berkilat lalu lenyap dan tahu-tahu pedang itu telah menyusup kembali ke dalam tongkat dan kini dia menggunakan tongkatnya mencokel tubuh Bun Houw. Pemuda ini merasa tubuhnya terangkat yang memaksanya untuk bangkit berdiri, akan tetapi begitu tenaga yang dahsyat itu meninggalkannya, diapun cepat menjatuhkan diri berlutut lagi.
"Lo-cian-pwe, harap sudi mengampuni dan mengasihani saya. Lo-cian-pwelah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menrhaturkan terima kasih, Akan tetapi juga kesaktian lo-cian-pwe membuat saya mengambil keputusan untuk mohon menjadi murid lo-cian-pwe. Saya sudah yatim piatu dan sedang putus harapan dan seakan-akan Tuhan yang mengirim lo-cian pwe kepada saya, untuk membimbing saya ...
"
"Hemmm, aku hanya seorang buta. Apakah yang dapat kuajarkan kepada seorang yang tidak buta? Apakah engkau hendak belajar berjalan dibantu tongkat dan meraba-raba ke kanan kiri ?" Dia menarik napas panjang.
Bun Houw yang sudah berlutut lagi itu berkata sungguh-sungguh,
"Lo-cian-pwe memiliki kesaktian dan dengan mudah telah mengalahkan lima orang penjahat itu. Lo-cian-pwe pandai memainkan pedang yang disembunyikan di dalam tongkat. Teecu (murid) mohon diberi pelajaran ilmu pedang itu."
Si buta kembali menarik napas panjang.
"Aih, ilmu pedang ? Apakah engkau ingin merajalela dengan pedang, membunuhi orang dan terutama sekali mencari lima orang itu untuk membalas dendam ? Siai-cai ... aku tidak mau mengajar orang menjadi pembunuh kejam dan menjadi hamba dari nafsu dendam kebenciannya sendiri, orang muda."
"Tidak sama sekali, lo-cian-pwe. Mengenai kematian ayah-ibu, sudah teecu pikirkan dengan panjang lebar dan mendalam. Teecu tidak akan menaruh dendam karena sejak dahulu ayah melarang teecu dilanda dendam. Teecu maklum bahwa ayah dimusuhi banyak orang karena ayah selalu menentang perbuatan jahat, sudah menakinkkan banyak sekali penjahat yang mengganggu orang lain di sekitar Nan-ping, bahkan dalam perkelahian menentang para penjahat, entah sudah berapa banyak penjahat dibunuhnya. Tidak, teecu maklum bahwa memang ayah tewas sebagai seorang pendekar melaksanakan tugas. Teecu ingin mengikuti jejaknya, ingin menjadi pendekar pembasmi kejahatan dan untuk itu, teecu membutuhkan kepandaian tinggi yang kiranya bisa teecu dapatkan karena kemurahan lo-cian-pwe."
Kini si orang buta itu tersenyum lebar, tangan kirinya dijulurkan dan jari-jari tangan kirinya menyentuh kepala pemuda itu. Jari-jari tangan itu kini meraba-raba muka Bun Houw, menyentuh seluruh permukaan wajahnya dan dia merasa betapa kulit jari-jari tangan itu amat halusnya dan mengandung getaran halus. Kiranya si buta itu hendak "mengenalnya" dan mengetahui bentuk wajahnya dengan cara meraba-raba. Kemudian, sekali tangan kiri itu memegang pundaknya dan menarik, Bun Houw tidak mampu bertahan dan diapun tertarik berdiri. Kini tangan itu terus menggerayangi tubuhnya, pundak, dada, pinggang, paha dan terus ke kaki.
"Bagus, engkau seorang pemuda yang tegap dan kuat. Berapa usiamu?"
"Saya berusia limabelas tahun, lo-cian-pwe."
"Hemm, masih remaja. Dan siapa namamu? Ceritakan tantang keluargamu, dan tentang peristiwa terbunuhnya ayah bundamu."
"Nama saya Kwa Bun Houw dan orang tua saya bernama Kwa Tin, dikenal sebagai Kwa-enghiong di kota Nan-ping, berdagang dan memiliki sebuah toko kain. Ayah adalah seorang murid Siauw-lim-pai. Beberapa hari yang lalu, pada malam hari ketika saya tidak berada di rumah, agaknya rumah kami kedatangan lima orang penjahat itu yang menuntut balas. Mereka membakar rumah, mengeroyok dan membunuh ayah, kemudian menculik ibu dan akhirnya membunuh pula ibu setelah mereka menghinanya di sebuah hutan." dengan singkat namun jelas Bun Houw menceritakan betapa dia sudah tidak memiliki apa-Apalagi, bahkan dia menceritakan tentang sikap calon mertuanya yang begitu saja tanpa alasan memutuskan ikatan pertunangannya dengan Cia Ling Ay. Betapa kemudian dia pergi meninggalkan Nan-ping tanpa tujuan dan dengan hati merana sampai tiba di tempat itu dan dihadang lima orang penjahat itu.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 02
Si buta mendengarkan penuh perhatian beberapa kali mengangguk-angguk.
"Bagaimana engkau bisa mengetahui hahwa lima orang tadi adalah mereka yang telah membunuh orang tuamu dan membakar rumahmu?" tanyanya.
"Bukankah ketika peristiwa itu terjadi engkau tidak berada di rumah?"
"Benar, lo-cian-pwe. Akan tetapi dari jauh teecu melihat kebakaran itu. Teecu cepat pulang dan masih sempat teecu menerima pesan terakhir dari ayah sebelum dia meninggal. Dia hanya sempat berkata bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah lima orang berkedok hitam dan seorang di antara mereka buntung tangan kanannya, agaknya buntung ketika berkelahi mengeroyok ayah. Kelima orang tadi tepat seperti yang dikatakan ayah, bahkan mereka tadi sudah mengaku bahwa merekalah pembunuhnya, dan mereka hendak membunuh saya untuk membasmi rumput berikut akar-akarnya."
Si buta itu kembali mengangguk.
"Jadi kalau begitu, engkau sudah tidak memiliki keluarga ataupun tempat tinggal lagi ?"
"Begitulah, lo-cian-pwe. Oleh karena itu, mohon kemurahan hati lo-cian-pwe ...
"
"Hemm, sebetulnya aku tak pernah ingin mempunyai murid agar tidak harus mewariskan ilmu yang hanya dapat dipakai untuk membunuh orang. Akan tetapi agaknya memang sudah ditentukan oleh Tuhan bahwa aku, Tiauw Sun Ong, terpaksa harus meninggalkan Ilmu kepada seorang murid, yaitu engkau, Bun Houw."
Bun Houw segera menjatuhkan diri lagi berlutut dan mencium ujung sepatu orang buta itu.
"Terima kasih, suhu! Teecu bersumpah bahwa teecu akan mempergunakan ilmu-ilmu dari suhu hanya untuk menentang kejahatan, seperti yang pernah dilakukan mendiang ayah teecu!"
"Hemmm ? Menjadi pendekar? Ingat bahwa ayahmu yang menjadi pendekar itupun akhirnya tewas di tangan orang-orang jahat!"
"Lebih baik tewas sebagai pendekar dari pada mati sebagai seorang jahat, demikian ayah selalu memesan kepada teecu. Matinya seorang pendekar di tangan penjahat berarti mati dalam menunaikan tugas yang amat gagah dan mulia bagi seorang manusia."
Si buta yang bernama Tiauw Sun Ong itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Ayahmu memang hebat dan aku kagum padanya. Adapun aku ... aku hanya seorang bangsawan yang terbuang ...
"
"Suhu! Ketika mendengar nama suhu, teecu mengira bahwa suhu memiliki nama seperti seorang bangsawan tinggi, seorang pangeran ... jadi benarkah itu ?"
Si buta itu kembali menarik napas panjang dan diapun berkata lembut,
"Bawalah aku kepada batu-batu yang enak diduduki. Bun Houw, agar kita dapat bicara dengan santai."
Bun Houw cepat memegang tongkat gurunya dan menuntun gurunya menuju ke kiri di mana terdapat batu-batu yang halus dan rata. Di situ mereka duduk berhadapan.
"Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa orang buta yang menjadi gurumu ini, Bun Houw. Dahulu sekali, kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu, aku adalah seorang pangeran yang hidup mewah dan mulia di istana kaisar. Kaisar adalah kakak tiriku, dia putera permaisuri sedangkan aku hanyalah putera selir. Akan tetapi kaisar amat sayang kepadaku, maka aku diberi kedudukan tinggi dan selalu dekat dengannya, membantu tugasnya di dalam Istana. Lalu godaan yang mendatangkan malapetaka itupun muncul dalam bentuk tubuh seorang selir kakakku, yaitu kaisar. Selir terkasih yang amat cantik jelita. Kami saling jatuh cinta dan terjadilah hubungan gelap yang mesra di antara kami. Aku seperti mabok, lupa bahwa wanita itu adalah selir terkasih dari kakakku. Kami berdua meneguk anggur larangan itu sepuasnya sampai mabok dan akhirnya akibat buruk itupun terjadilah. Kami tertangkap basah. Aku merasa menyesal dan malu. Kubutakan sendiri kedua mataku di depan kakakku, kemudian aku lolos dari istana. Entah apa yang terjadi dengan selir kakakku itu."
Bun Houw memandang wajah orang buta itu dengan hati penuh perasaan iba. Sungguh menyedihkan sekali riwayat gurunya ini.
"Akan tetapi, suhu. Mengapa suhu melakukan penghukuman atas diri sendiri yang demikian hebatnya?"
Tiauw Sun Ong atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si Buta Dari Utara itu menarik napas panjang.
"Begitulah orang muda seperti aku dahulu. Mudah tertarik, mudah jatuh cinta, mudah membenci, mudah gembira, mudah marah. Pendeknya mudah diombang-ambingkan perasaan dikemudikan napsu. Namun, penyesalan di belakang tiada gunanya. Aku hidup terlunta-lunta, bahkan ingin mati saja. Namun akhirnya aku bertemu dengan seorang tosu yang memberi banyak nasihat. Aku sadar, timbul pula gairah hidupku dan aku bahkan mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Demikianlah riwayat gurumu ini, Bun Houw."
Kemudian, guru dan murid itu pergi meninggalkan tempat itu, dan mulai hari itu. Bun Houw menerima gemblengan ilmu-Ilmu silat yang amat hebat dari Si Buta, terutama sekali ilmu lotok jalan darah. Ilmu tongkat dan Ilmu pedang yang amat dahsyat.
"Bun Houw, Ilmu pedangku ini memang merupakan ilmu pedang yang khas untuk orang buta. Oleh karena itu, untuk dapat menguasainya dengan sempurna, pada saat mempelajari dan melatih dirimu dalam ilmu silat pedang itu, engkau harus berlaku seperti orang buta, yaitu engkau sama sekali tidak mempengunakan daya penglihatanmu dan harus memejamkan kedua matamu!"
Biar pun di dalam hatinya Bun Houw merasa heran mengapa dia yang pandai melihat harus tidak mempengunakan penglihatannya, namun sebagai seorang murid yang patuh, dia selalu mentaati pesan gurunya itu. Setiap kali berlatih silat yang diajarkan gurunya, dia menutup kedua matanya, dan hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan indera lainnya. Bahkan di waktu tidak berlatih silatpun gurunya menganjurkan agar dia seringkali menutupkan kedua matanya dan mencoba untuk melakukan pekerjaan tanpa bantuan penglihatannya.
"Terutama untuk melatih ketajaman pendengaranmu," demikian gurunya memberi nasihat.
Dan akibatnya memang hebat. Hasilnya memang di luar dugaan. Setelah lewat beberapa tahun saja, panca indera yang lain dari pemuda itu menjadi tajam bukan main. Terutama sekali pendengarannya. Kalau dia berlatih bersama gurunya, dengan pendengarannya saja dia mampu mengikuti semua gerakan tubuh gurunya. Pendengarannya menjadi amat tajam, dan kepekaan tumbuh dengan amat suburnya di ujung Jari-jari tangan dan kakinya karena seringkah dipakainya untuk meraba-raba, penciumannya juga menjadi amat tajam. Bahkan perasaannya bertambah peka seolah-olah Indra ke tujuh bangkit dengan cepat karena kekurangan satu indera, yaitu mata.
Enam tahun lewat dengan cepatnya. Kini Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia duapuluh satu tahun, dan biarpun usianya itu masih amat muda, namun berkat gemblengan kepahitan hidup dia telah menjadi seorang dewasa yang telah matang. Selama enam tahun, hampir tak henti-hentinya dia menggembleng diri dengan latihan-latihan berat sehingga suhunya merasa amat gembira dan kagum. Dan dalam waktu enam tahun, Bun Houw telah dapat menguasai ilmu-ilmu suhunya dengan baik, bahkan hampir sempurna dan hampir dia dapat menandingi tingkat gurunya. Dan dia mampu hidup dalam dua macam dunia. Dunia terang, yaitu dengan membuka mata seperti orang biasa, dan dunia gelap, dunianya orang buta. Dia sanggup berhari hari lamanya terus menutupkan kedua matanya seperti orang yang benar-benar buta, tanpa merasa canggung ataupun sengsara karena inderanya yang lain sudah demikian tajam mampu menggantikan pekerjaan mata. Mungkin karena latihan tidak mempengunakan kedua matanya inilah maka Bun Houw kini memiliki mata yang seperti sayu dan dibuka sedikit saja, seperti mata orang yang menanggung duka nestapa, akan tetapi dari balik kelopak mata yang hanya dibuka sedikit itu nampak mata yang mencorong bagaikan kilat menyambar. Apalagi kalau sewaktu-waktu dia membuka kedua matanya agak lebar, nampaklah sepasang mata yang amat tajam!
Selain berlatih silat, setiap harinya Bun Houw bekerja di sawah ladang milik suhunya yang berada di belakang rumah. Mereka tinggal di tereng sebuah bukit. Bukit itu tanahnya subur sekali dan semua penghuni dusun-dusun di kaki bukit bersawah ladang di tereng bukit itu. Guru Bun Houw membeli sebidang tanah di tereng dan dengan bantuan muridnya mendirikan sebuah pondok untuk mereka berdua. Para penghuni dusun yang kesemuanya petani, mengenal mereka sebagai guru dan murid yang baik budi dan ramah, namun diliputi penuh rahasia.
Hasil sawah ladang yang dikerjakan Bun Houw dan gurunya sudah lebih dari cukup untuk keperluan hidup mereka berdua, untuk makan dan membeli pakaian. Bun Houw semakin kagum dan mencinta gurunya. Biarpun gurunya itu dahulunya seorang pangeran, hidup di istana indah dan dimuliakan orang, namun kini gurunya tak pernah mau ketinggalan menggarap sawah ladang, mencangkul, menanam bahkan memelihara dan ikut pula menuai hasilnya. Gurunya seperti seorang petani tulen! Karena setiap hari bekerja di ladang, maka Bun Houw memiliki kebiasaan seperti para petani lainnya di daerah itu, iyalah memakai sebuah caping lebar dan ringan terbuat dari pada bambu yang amat tipis. Caping lebar seperti itu, dengan tali melibat bawah dagunya, dapat melindunginya dari panas dan hujan, semacam payung kecil. Dan dia selalu mengecat capingnya dengan warna hitam.
Pada pagi hari itu, ketika matahari mulai terbit, Bun Houw sudah memakai capingnya dan memanggul sebuah cangkul, bertelanjang kaki dan dada. Nampak dadanya yang bidang, dengan kulit yang kecoklatan karena sering terbakar sinar matahari. Dia baru saja mandi di air sumber tak jauh dari pondok setelah pagi tadi, pagi sekali, dia sudah bangun, berlatih silat, memikul air dari sumber ke pondok memenuhi bak air, baru kemudian dia mandi.
Kini dia sudah siap pergi ke ladang.
"Bun Houw ... !"
Gurunya sudah duduk di belakang pondok, di atas sebuah bangku lebar buatan Bun Houw yang menjadi tempat kesayangan gurunya untuk duduk menghirup udara segar.
Bun Houw terheran. Biasanya, pagi-pagi sekali suhunya sudah bangun akan tetapi duduk bersamadhi di dalam kamarnya, baru keluar setelah sinar matahari menerangi bumi. Akan tetapi kini gurunya sudah duduk di situ.
"Suhu!" Bun Houw menghampiri dan berlutut di depan gurunya.
"Sepagi ini suhu sudah keluar?"
"Mulai pagi hari ini, aku yang akan bekerja di sawah ladang, Bun Houw."
"Akan tetapi, setiap hari suhu juga bekerja di sawah ladang!"
"Hanya membantumu. Akan tetapi mulai hari ini, aku sendiri yang akan mengolah tanah karena engkau harus pergi dari sini."
"Akhh ... ?" Bun Houw terkejut bukan main mendengar ucapan gurunya itu.
"Apa ... maksud suhu? Apakah suhu hendak mengutus teecu (murid) pergi turun bukit ke dusun?"
Orang buta itu menggeleng kepala.
"Memang turun bukit, akan tetapi bukan ke dusun di kaki bukit itu, melainkan jauh dan tidak kembali lagi ke sini."
"Suhu ...!" Baru dia tahu bahwa suhunya bermaksud mengusirnya! "Teecu ingin tinggal bersama suhu di sini!"
"Ha-ha-ha, orang muda! Apakah engkau ingin selamanya di sini dan menjadi karatan di bukit ini? Kalau begitu, apa artinya engkau bersusah payah mempelajari Ilmu selama enam tahun ini? Sebatang cangkul diasah setiap hari sampai menjadi tajam sekali, apa artinya kalau tidak dipengunakan? Lupakah engkau akan cita-citamu untuk melanjutkan perjuangan ayahmu sebagal seorang pendekar yang melindungi kaum lemah tertindas, menentang penjahat yang jahat ?"
Bun Houw teringat dan wajahnya berubah merah. Memang, dia telah menjadi seorang yang berkepandaian cukup, akan tetapi bagaikan seekor jago, dia adalah seperti seekor jago yang selalu dikurung dan diberi makan enak-enak sehingga dia menjadi keenakan dan gemuk. Dan kini, suhunya mengingatkan dia akan cita-citanya yang seperti telah dilupakannya karena dia ingin hidup tenang dan tenteram, enak-enakan terus di tempat sunyi itu.
"Maaf, suhu. Teecu tidak bermaksud melupakan cita-cita itu, hanya saja ... bagaimana teecu tega meninggalkan suhu hidup seorang diri saja di tempat ini ? Siapa yang akan melayani suhu, siapa yang akan mengerjakan sawah ladang suhu?"
"Bun Houw, kaukira aku ingin menjadi seorang tua yang dimanjakan? Bukankah setiap hari aku juga bekerja? Apa sih sukarnya mencukupi kebutuhan badanku ini ? Jangan khawatir, aku akan tetap dapat hidup di sini, biarpun tidak ada engkau. Aku mengambilmu sebagai murid bukan untuk mendapatkan seorang pembantu dan pelayan!"
"Maafkan kelancangan teecu, suhu!" Bun Houw berkata, terkejut karena suhunya seperti orang yang tersinggung.
Tiauw Sun Ong menghela napas dan mengelus jenggotnya.
"Sudahlah, kini pelajaranmu sudah tamat dan sudah tiba saatnya engkau harus merantau dan mempengunakan segala Ilmu yang kaupelajari di sini. Bawalah semua pakaianmu dan aku tidak dapat memberi bekal apa-apa kecuali ini." Dia menyerahkan sebuah kantung kain kuning kepada Bun Houw.
Ketika pemuda itu menerimanya, dia terkejut melihat isi kantung itu karena ternyata berisi uang emas, sedikitnya ada sepuluh tail banyaknya!"
"Ah, untuk apa emas ini, suhu? Begini banyak ...
"
"Aku masih mempunyai yang lain. Bun Houw. itu milikku yang kubawa dari Istana dahulu. kausimpanlah, dapat kaupengunakan untuk biaya hidup. Ketahuilah, dalam perantauan engkau amat membutuhkan uang, tidak seperti di sini engkau dapat hidup dari hasil tanah. Dan engkau terimalah pusakaku ini, pergunakan sepatutnya karena selama berada di tanganku, Lui-kong-kiam (Pedang Kilai) ini tak pernah kupengunakan untuk melakukan kejahatan, bahkan tidak pernah membunuh orang!" Dia menyerahkan tongkatnya yang kelihatan butut itu, akan tetapi yang di sebelah dalamnya tersembunyi sebatang pedang pusaka yang ampuh.
"Terima kasih, suhu!" Sekali ini Bun Houw girang bukan main. Tentu saja pedang itu tidak asing baginya. Ketika dia digembleng ilmu pedang oleh gurunya, pedang Lui-kong-kiam itulah yang dia pengunakan untuk berlatih. Setelah menerima uang dan pedang dari suhunya, dan diberi wejangan agar dia berhati hati dalam perantauannya, dan juga diberi tahu tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang diketahui suaranya, maka Bun Houw berangkat meninggalkan tereng bukit itu, memanggul buntalan pakaian dan menyelipkan tongkat butut berisi pedang itu di pinggangnya. Caping lebar hitam itu tidak ketinggalan, akan tetapi karena hari masih pagi dan matahari belum panas, caping itu tengantung di punggung menutupi buntalannya.
Cia Kun Ti juga seorang pedagang yang cukup berhasil di kota Nan-ping. Akan tetapi dia bekerja terlalu keras. Hal ini mungkin karena dia merasa rendah diri terhadap isterinya. Cia Kun Ti dahulunya adalah seorang karyawan dari ayah isterinya dan dia diambil mantu oleh majikannya itu. Setelah dia membuka toko sendiri, tentu saja modalnya adalah milik isterinya dan dia hanya mengerjakannya saja. Maka diapun bekerja keras sehingga makin lama tokonya menjadi semakin maju. Akan tetapi, tetap saja dia merasa rendah diri dan selalu tunduk di bawah kemauan isterinya yang menguasai segalanya. Urusan apapun yang timbul dalam rumah tangga dan keluarga mereka, selalu keputusan terakhir berada di tangan isterinya! Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Cia Ling Ay, yang seperti kita ketahui, ketika terjadi malapetaka menimpa keluarga Kwa, usianya empa belas tahun, Isteri Cia Kun Ti pulalah yang memaksa suaminya agar pertunangan antara Ling Ay dan Bun Houw diputus, dibatalkan! Hal ini amat menyedihkan hati Ling Ay yang merasa kasihan kepada Bun Houw, juga diam-diam Cia Kun Ti menderita tekanan batin karena dia merasa berdosa kepada mendiang Kwa Tin, sahabat baiknya. Mereka telah saling mengikat perjodohan antara anak mereka itu, dengan sumpah, akan tetapi ketika keluarga Kwa dilanda malapetaka dan Kwa Bun Houw menjadi yatim piatu dan kehilangan segalanya, dia tidak dapat mengulurkan tangan menolong calon mantu itu, bahkan memutuskan ikatan perjodohan!"
Ketika datang pinangan dari Cun-taijin, kepala daerah yang meminang Ling Ay untuk dijodohkan seorang puteranya, isteri Cia Kun Ti pula yang mendesak agar suaminya menerima pinangan itu tanpa banyak pikir lagi,
"Perlu apa kita bersangsi lagi? Kita seolah-olah kejatuhan bulan purnama! Sungguh, Tuhan telah memberkahi kita, memberkahi anak kita. Cun Tai-jin (Pembesar Cun) adalah orang nomor satu di Nan-ping! Dia bagaikan seorang raja saja di kota ini, orang yang paling berkuasa. Bukan hanya itu. Juga keluarga Cun selain berpangkat tinggi, mereka kaya raya pula. Kalau kita menjadi besan mereka, berarti nama keluarga kita akan terangkat tinggi, kita dihormati orang, dan anak kitapun hidup dalam kemuliaan dan kemewahan!" demikian antara lain isteri Cia Kun Ti mendesak suaminya.
"Akan tetapi, yang akan menikah adalah Ling Ay. Sudah sepatutnya kalan kila mendengar dulu pendapatnya, ia adalah anak tunggal kita, senangkah hatimu kalau kelak melihat Ia hidup menderita ?"
"Menderita? Menderita bagaimana maksudmu? Engkau tentu sudah mengenal siapa itu Cun Kongcu (Tuan Muda Cun). Dia masih muda, dia pun ganteng dan tampan, pandai, bangsawan, kaya raya. Mau Apalagi ? Semua orang tua ingin mempunyai mantu dia, semua gadis ingin mempunyai suami seperti dia! Dan engkau masih banyak rewel ? Kita harus bersembahyang ke semua kuil, mengucap syukur dan terima kasih kepada Thian bahwa anak kita yang dipilih oleh Cun Kongcu!"
Perjumpaan Kembali dengan mantan Tunangan
UCAPAN isteri Cia Kun Ti itu memang tidak keliru. Cun Kongcu, atau nama lengkapnya Cun Hok Seng, adalah seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan. Ayahnya, kepala daerah Cun yang menjadi orang paling berkuasa di kota Nan-ping dan yang mencalonkan putera dan anak tunggal itu menjadi pembesar kelak, telah memberinya pendidikan sastra sehingga Cun Hok Seng menjadi seorang terpelajar yang dikagumi banyak gadis dan orang tua mereka.
Pertemuan antara Cun Hok Seng dan Cia Ling Ay terjadi secara kebetulan saja. Ketika itu, Cia Ling Ay ikut dengan ayah dan ibunya pergi ke kuil untuk bersembahyang. Hal ini terjadi atas permintaan Ling Ay yang diam-diam bermaksud untuk sembahyang memintakan berkah dan perlindungan untuk Kwa Bun Houw yang telah pergi selama empat tahun lebih dan tidak ada beritanya. Biarpun ia tahu bahwa tidak mungkin tali perjodohan antara mereka disambung lagi, namun ia merasa kasihan kepada bekas tunangan itu dan akan merasa ikut gembira kalau pemuda itu berada dalam keadaan selamat.
Ling Ay telah berubah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis, berusia delapanbelas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak mengharum. Ketika ia dan ibunya memasuki kuil, banyak pasang mata memandangnya penuh kagum, terutama sekali mata pria muda yang kebetulan berada di tempat itu. Sudah menjadi kebiasaan buruk para pemuda, kalau mereka sedang bergerombol dan melihat seorang wanita cantik, tentu timbul keinginan mereka untuk menggoda. Demikian pula dengan enam orang pemuda yang kebetulan berada di halaman kuil itu. Begitu melihat Ling Ay dan ibunya, mereka sejak tadi sudah memandangi gadis itu penuh kagum, saling bisik dan tersenyum-senyum. Kemudian, merekapun menghampiri Ling Ay dan ibunya, sengaja mereka menghadang.
"Nona, bolehkah kami menemani nona bersembahyang!"
"Apakan nona hendak bersembahyang mencari jodioh?"
"Tak usah mencari jauh-jauh, nona. Pilihlah seorang di antara kami!"
Mereka itu menggoda sambil menyeringai. Wajah Ling Ay berubah merah, kemudian pucat karena merasa jerih dan khawatir kalau kalau para pemuda itu akan mengganggunya, Nyonya Cia Kun Ti memandang dengan mata melotot dan wajah berubah merah padam. Ia marah sekali.
"Kalian ini orang-orang muda sungguh tidak sopan dan kurang ajar! Belum saling mengenal kalian sudah berani mengajak anakku bicara." bentaknya marah.
"Aduh, bibi! Galak amat kepada calon mantumu."
"Bibi, sekarangpun berkenalan kan belum terlambat,"
"Anak bibi sungguh manis sekali!"
Pada saat itu, muncullah Cun Hok Seng. Dengan alis berkerut pemuda yang juga hendak bersembahyang ini melihat dan mendengar sikap lima orang pemuda berandalan itu dan dia cepat menghampiri, lalu menegur dengan suara garang.
"Sungguh tidak tahu malu sekali! Kalian ini orang-orang tidak tahu susila, hendak mencemarkan kesucian kuil ini?"
Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan berani mencampuri lima orang berandalan itu hendak marah. Akan tetapi mereka meiihat dua orang pengawal berpakaian perajurit yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, berwajah keren berada di belakang pemuda itu dan mereka melotot marah. Melihat ini, mereka menjadi jerih, Apalagi ketika seorang di antara mereka mengenal Cun Hok Seng. Dia cepat memberi hormat dan berkata dengan suara merendah.
"Kiranya Cun Kongcu! Maafkan kami, kami hanya ingin berkenalan dan bersendau gurau."
"Bukan begitu caranya orang yang ingin berkenalan. Hayo kalian pergi dari sini, atau ingin kusuruh tangkap dan seret ke pengadilan?"
Lima orang itu kini ketakutan karena yang lain kini mengenal pula pemuda itu sebagai putera kepala daerah! Mereka cepat memberi hormat lalu pergi meninggalkan kuil tanpa berkata apapun.
Itulah awal perjumpaan Cun Hok Seng dan Ling Ay. Ibu Ling Ay cepat menghaturkan terima kasih dan bersama puterinya memasuki kuil untuk bersembahyang. Sedangkan Cun Hok Seng terpesona dan sampai lama dia berdiri bengong saja. Akhirnya, dua orang pengawalnya yang menyadarkannya dan dari pengawal itulah Hok Seng tahu bahwa gadis yang membetot sukmanya tadi adalah puteri dari Cia Ku Ti, seorang pedagang di Nan-ping. Dan kemudian, kepala daerah mengutus seorang perantara untuk mengajukan pinangan setelah beberapa kali puteranya minta agar dijodohkan dengan puleri C"a Kun Ti itu.
Ketika pinangan itu diajukan, Cia Kun Ti tidak segera menerimanya melainkan minta waktu untuk berpikir-pikir dan hal inilah yang membuat isterinya marah-marah setelah perantara itu pulang. Watak C"a Kun Ti berbeda dengan isterinya. Dia lama sekali tidak memikirkan kepentingan diri sendiri menghadapi perjodohan puterinya, melainkan dia mementingkan kebahagiaan puterinya. Bagaimana dia dapat menerima pinangan begitu saja tanpa lebih dulu mengetahui bagaimana pendapat puterinya, orang yang akan melaksanakan atau menjalaninya? Namun, keraguannya ini membuat isterinya marah-marah sehingga ia mengomel dan memaksa agar suaminya menerima pinangan itu.
"Baiklah ... aku segera akan memberi kabar kepada Cun Tai jin dan menerima pinangannya itu dengan hormat. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memberitahu kepada anak kita." Tanpa menanti ucapan isterinya lebih lanjut, Cia Kun Ti lalu memanggil puterinya.
Cia Ling Ay yang sedang sibuk di dapur bersama seorang pembantu rumah tangga, segera keluar dan menuju ke ruangan duduk di mana ayahnya dan ibunya sudah duduk menantinya. Melihat wajah kedua orang tuanya; itu nampak bersungguh-sungguh, ia lalu duduk di dekat Ibunya.
"Ada urusan apakah ayah memanggilku," tanyanya.
"Ling Ay, kami memanggilmu untuk minta pertimbanganmu tentang ...
"
"Bukan minta pertimbangan, melainkan untuk menyampaikan berita yang amat membanggakan hati kepadamu, Ling Ay." isteri Cia Kun Ti memotong ucapan suaminya.
"Kita telah kedatangan seorang utusan dari keluarga Cun Taijin, anakku. Engkau tahu, yang kumaksudkan dengan Cun Taijin adalah kepala daerah di kota ini. Orang nomor satu di sini, paling berkuasa, paling kaya, paling terhormat ...
"
"Ada urusan apakah dengan kita, ibu ?"' Ling Ay memotong Ibunya agar rangkaian kata "yang paling" itu tidak berkepanjangan.
"Urusannya ? Engkau tentu tidak pernah dapat menduganya, atau mungkin engkau sudah bermimpi kejatuhan bulan ? Aih, anakku yang manis, sungguh hati ibumu penuh dengan kebanggaan dan suka cita. Tahukah engkau mengapa Cun Taijin mengirim utusan ke sini ? Untuk meminangmu!" Ibu itu sambil tersenyum bangga memandang wajah puterinya.
Akan tetapi Ling Ay mengerutkan alisnya dan ia nampak kaget sekali.
"Meminang aku ...?"
"Ya, engkaulah yang dipilih, anakku! Dan engkau tentu masih ingat. Pemuda yang ganteng itu, yang sopan santun dan menolongmu, di kuil itu. Dialah yang akan menjadi suamimu. Dia itu Cun Kongcu, putera tunggal Cun Taijin. Wah, engkau akan menjadi wanita yang paling mulia di kota ini!"
Akan tetapi, wajah gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan seperti ibunya. Bahkan ia mengerutkan alisnya karena pada saat itu terbayanglah wajah Kwa Bun Houw, terbayang ketika pemuda itu meninggalkan rumahnya dengan muka pucat dan kepala menunduk. Empat tahun yang lalu. ia masih seorang gadis remaja berusia empat-belas tahun. Sampai sekarang pun ia tidakk pernah dapat melupakan Bun Houw. pemuda yang pernah menjadi tuuangannya itu. Ia tidak pernah tahu apakah ia mencinta Bun Houw, karena ketika mereka ditunangkan, ia masih kecil dan ia masih belum mengerti benar apa artinya cinta. Akan tetapi buktinya, sampai sekarang ia tidak pernah dapat melupakan Bun Houw, walaupun setiap kali teringat, yang terasa olehnya hanyalah perasaan iba yang mendalam.
Ia selalu membayangkan betapa sakit perasaan hati pemuda itu ketika meninggalkan rumahnya, dan ia tidak tahu apa yang terjadi dengan pemuda itu yang telah kehilangan segala-galanya. Orang tuanya, harta miliknya bahkan tunangannya!
"Ling Ay, bagaimana pendapatmu dengan pinangan itu?" pertanyaan ayahnya ini menyadarkan Ling Ay dari lamunan. Lenyaplah bayangan wajah Bun Houw dan kini samar-samar ia teringat kepada pemuda yang pernah menegur para pemuda berandalan di kuil itu. Seorang pemuda yang memang tampan dan sopan, pikirnya, akan tetapi sama sekali ia tidak pernah merasa tertarik. Bahkan kini berita bahwa pemuda itu adalah putera tunggal Cun Taijin, dan telah meminangnya, tidak membuat hatinya merasa tertarik sama sekali.
"Ling Ay, kami telah menerima pinangan itu dengan hati gembira dan bangga sekali. Kami yakin engkaupun temu akan menjadi gembira. Bayangkan saja. Engkau akan hidup di dalam gedung seperti istana, dilayani banyak pelayan, dijaga pasukan pengawal, dihormati orang seluruh kota, hidup bermewah-mewahan dan mulia, naik turun kereta, mengenakan perhiasan lengkap dari emas permata ..."
"Sudahlah, ibu. Kalau memang ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, untuk apa ditanyakan lagi kepadaku?"
"Aih, anakku, jadi engkau setuju?" Ibunya merangkulnya dengan gembira.
Akan tetapi, Cia Kun Ti memandang puterinya dengan penuh perhatian.
"Anakku, mengapa engkau tidak gembira mendengar bahwa engkau akan menjadi mantu kepala daerah? Apakah engkau tidak setuju? Nyalakanlah pendapatmu agar hati ayah ibumu menjadi lega."
"Aih, Ingin pernyataan Apalagi? Anak kita tidak menolak, itu berarti ia sudah setuju. Ia tidak begitu bodoh untuk menolaknya! Menolak pinangan kepala daerah? Wah, hanya orang-orang gila yang akan menolak keberuntungan seperti itu!" kata isterinya.
Ling Ay melepaskan dirinya dari rangkulan ibnnya, lalu ia mundur selangkah, memandang wajah ayah dan ibunya dan betapa heran rasa hati orang tua gadis itu melihat bahwa kedua mata gadis itu basah. Ayahnya makin ragu, mengira bahwa anaknya tidak setuju maka menangis, sebaliknya ibunya mengira gadisnya menangis saking bahagianya!"
"Ayah dan ibu, apa yang harus kukatakan lagi? Apa artinya pendapat pribadiku dalam saat ini? Kalau ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, sudah menyetujui, dapatkah aku menolaknya? Maka, terserah saja kepada ayah! dan ibu ...
"
"Tapi kau ... kau menangis? Ling Ay, mengapa engkau berduka?" tanya ayahnya.
"Engkau ini sungguh bodoh! Anak kita menangis saking gembiranya, bukan karena bersedih!"
Ling Ay memejamkan kedua matanya karena air matanya kini turun semakin deras.
"Ayah dan ibu ...
" Ia mengusap air mata dengan saputangan.
"Aku ... aku ... teringat! kepada koko Kwa Bun Houw dan merasa kasihan sekali kepadanya ...
" Dan iapun lari meninggalkan ruangan itu, memasuki kamar sendiri.
Suami isteri itu saling pandang.
"Ah, kiranya ia masih teringat kepada anak yatim piatu miskin itu?" kata isteri Cia Kun Ti, lalu ia menyerang suaminya.
"Ini semua salahmu! Engkau bertanya yang macam-macam saja!" Wanita itu lalu lari ke kamar anaknya dan mengetuk-ngetuk pintu kamar itu yang dikunci dari dalam. Akan tetapi ia mendengar suara Ling Ay.
"Ibu, biarkan aku sendiri. Aku sudah menerima kehendak ibu, jangan ganggu aku lagi. aku ingin beristirahat ...
" Ibunya terpaksa pergi dan mematuki kamarnya sendiri sambil bersungut-sungut.
Cia Kun Ti yang ditinggal seorang diri di ruangan duduk, lalu menghela napas panjang. Dia ikut merasa sedih kalau-kalau anaknya itu berduka dan hanya menerima perjodohan itu karena terpaksa saja. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang bahwa puterinya itu ternyata seorang yang berbudi baik, tidak pernah melupakan bekas tunangan yang diperlakukan dengan tidak adil dan semena-mena itu. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu dan pertunangan dengan Kwa Bun Houw itu sudah putus, pemuda itu sudah bertahun-tahun tidak pernah ada beritanya, Apalagi sekarang dia harus menerima pinangan putera kepala daerah. Teringat ini, diapun cepat berkemas untuk mengenakan pakaian yang pantas karena dia harus berkunjung ke rumah keluarga kepala daerah untuk menyampaikan persetujuannya atas pinangan itu.
Tanah kuburan yang biasanya sunyi itu kini penuh orang. Sejak pagi banyak orang datang berkunjung karena hari itu adalah hari Ceng-beng, yaitu hari yang merupakan hari besar bagi para keluarga untuk mengunjungi tanah kuburan nenek moyang mereka. Para keluarga ini melakukan sembahyang di depan makam orang tua atau kakek nenek mereka, membersihkan makam-makam keluarga itu.
Makam-makam yang sunyi itu nampak biasa saja. Sukar dibayangkan bagaimana perataan para penghuni makam itu andaikata masih memiliki perasaan seperti ketika masih hidup. Mereka yang telah mati itu hanyi setahun sekali menerima kunjungan sanak saudara, anak cucu. Setahun sekali, dalam waktu sejam dua jam saja, para keluarga itu datang berkunjung dan bersembahyang. Setelah itu, anak cucu itu segera pergi lagi, dan makam kembali menjadi sunyi. Penghuni makam dibiarkan sunyi sendiri, menanti sampai kunjungan berikutnya yang akan mereka terima setahun kemudian! Selama "menunggu" itu, tak seorangpun di antara para anak cucu yang ingat akan makam itu, dan makam dibiarkan terlantar, hanya menjadi tempat mainan para penggembala kambing.
Akan tetapi pada hari Ceng-beng itu, para anak cucu datang dengan pakaian yang baru, membawa hidangan untuk sembahyang dan ramailah keadaan di tanah kuburan yang biasanya amat sunyi itu. Serombongan keluarga yang memasuki tanah kuburan itu tentu merupakan keluarga yang penting dan terpandang. Buktinya, hampir semua pengunjung tanah kuburan yang berpapasan dengan keluarga ini, segera memberi hormat, dan yang berada agak jauh, segera saling bisik membicarakan keluarga itu. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami Isteri yang masih muda. Juga sepasang suami isteri setengah tua dan diiringkan oleh enam orang pelayan dan lima orang pengawal yang berpakaian seragam. Keluarga pembesar!
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang demikianlah. Suami-isteri muda itu adalah Cun Hok Seng dan isterinya, yaitu Cia Ling Ay! Sudah setahun mereka menikah dan kini Cun Hok Seng berusia duapuluh enam tahun, sedangkan Cia Ling Ay berusia duapuluh tahun. Mereka menikah setelah setahun bertunangan. Adapun suami Isteri setengah tua itu adalah Cia Kun Ti dan isierinya. Jelaslah bahwa yang menerima penghormatan semua orang itu adalah Cun Hok Seng, putera kepala daerah itu. Akan tetapi, yang merasa amat bangga sekali adalah nyonya Cia Kun Ti, Ibu Ling Ay. Padahal ia hanya membonceng saja, membonceng kehormatan dan kemuliaan mantunya, akan tetapi karena semua orang itu menghormat ke arah rombongan mantunya, maka iapun merasa terhormat dan seolah-olah ialah yang dihormati mereka!"
Semua orang mengejar kehormatan ini! Semua orang bertingkah dan berharap agar mereka mendapat penghormatan dari orang lain.
Semakin dihormat, semakin banggalah rasa hati ini, semakin merasa betapa dirinya ini "besar". Pengejaran kehormatan ini sesungguhnya bukan lain hanyalah ketinggian hati, keinginan nafsu yang hendak mengangkat diri sendiri setinggi mungkin, yang menilai diri sendiri yang paling besar dan paling tinggi, paling hebat. Karena itu setiap, kali rasa diri besar ini terlanggar, akan marahlah si-aku. Sama juga dengan pengejaran harta benda yang dianggap akan merdatangkan kebahagiaan, demikian pula pengejaran terhadap kehormatan di dasari anggapan bahwa kehormatan akan mendatangkan kebahagiaan melalui kebanggaan. Padahal, kebahagiaan tidak mungkin dicapai melalui kesenangan berharta besar atau melalui kebanggaan berkedudukan tinggi. Segala macam bentuk kesenangan bukanlah makanan jiwa. melainkan sekedar permainan nafsu belaka dan biasanya, nafsu selalu mengejar yang lebih sehingga kesenangan yang dinikmati itu dalam waktu singkat saja sudah terasa hambar karena keinginan mengejar yang lebih. Dan akibatnya maka muncullah kekecewaan dan penyesalan kalau yang dikejar itu tidak tercapai, atau kebosanan kalaupun tercapai karena kenyataan tidaklah sesenang yang dibayangkan selagi dalam pengejaran. Kesenangan jelas bukan kebahagiaan. Dan semua orang mengejar kebahagitan. Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Demikian timbul pertanyaan abadi sejak dahulu. Semua orang mengejar kebahagiaan! Dan makin dikejar semakin tak nampak! Maka penting sekali mempelajari apa sesungguhnya kebahagiaan yang dikejar oleh setiap orang manusia ini. Apakah hanya sebuah kata? Kata kosong belaka ?
Kebahagiaan jelas bukan kedukaan karena justeru di dalam penderitaan dukalah manusia merindukan kebahagiaan kebahagian bukan pula kesenangan karena semua orang yang merasakan kesenangan akhirnya mengakui bahwa kesenangan hanyalah sekelumit dan sementara saja sifatnya. Kalau kedukaan bukan kebahagiaan, dan kesenangan juga bukan kebahagiaan, lalu apa? Apakah kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia di dunia ini? Tidak mungkinkah dirasakan orang selagi dia masih hidup? Apakah kebahagiaan hanya bagian orang yang sudah mati dan hanya terdapat di akhirat? Semua pertanyaan ini timbul dan tak seorangpun yang mampu menggambarkan bagaimana sesungguhnya kebahagiaan itu. Bagaimana rasanya dan bagaimana keadaan seseorang yang benar-benar berbahagia! Agaknya pertanyaan yang sudah diajukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu ini takkan pernah dapat dijawab. Bagaimana mungkin menjawabnya kalau bahagia merupakan suatu keadaan yang tak tengambarkan? Suatu keadaan tabir batin yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersingkutan ? Sekali dibicarakan atau diceritakan, maka cerita atau penggambaran itu tidak mungkin sama dengan yang digambarkan!
Bahagia bukan duka bukan suka. Kalau ada duka, tidak ada bahagia, kalau ada suka tidak ada bahagia. Jelas bahwa bahagia berada di atas suka duka. Merupakan anugerah Tuhan, dan hanya Tuban yang akan dapat menjadikan seseorang berbahagia. Tak mungkin dicapai melalui usaha akal pikiran karena kebagiaan berada di atas akal pikiran yang menjadi sumber suka dan duka. Dan karena itu merupakan ciptaan Tuhan, pekerjaan Tuhan, maka manusia tak mungkin dapat mencampuri. Seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita hanya dapat PASRAH, menyerah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, yang akan mengatur segalanya ! Hanya pasrah, penuh keiklasan dan ketawakalan. Betapapun juga, manusia hanyalah ciptaan, dan kekuasaan berada di tangan Sang Pencipta!
Sebelum Cun Hok Seng dan isterinya, ayah dan ibu mertuanya, tiba di tanah kuburan itu, lebih dulu serombongan orang yang menjadi pembantu mereka telah datang dan mempersiapkan segala keperluan sembahyang untuk putra kepala daerah Nan-ping dan keluarganya itu. Dan tentu saja persiapan sembahyang itu yang termewah di antara peralatan sembahyang semua pengunjung tanah atau taman kuburan itu.
Mereka berkunjung ke taman kuburan itu untuk menyembahyangi kakek dan nenek, juga nenek moyang mereka. Nenek moyang kedua pihak, keluarga Cun dan keluarga Cia. Tentu saja yang didahulukan adalah kuburan keluarga Cun, dan peralatan sembahyangan telah diatur lengkap oleh para pembantu di tanah kuburan keluarga Cun. Makam makam keluarga ini paling besar dan megah, bukan hanya liong-pai (batu nisan) yang besar dengan ukiran ukiran indah, bahkan dibangun seperti kuil dengan atap bergenting tebal dan dihias ukiran-ukiran naga.
Sebagian besar orang berani mengorbankan harta benda mereka untuk pembuatan bong-pai dan bangunan makam yang seindahnya. Indah dan mewah. Tentu saja dengan dalih bahwa mereka menghormati dan mencinta nenek moyang dan orang tua yang sudah meninggal dunia. Bahkan keroyalan mereka membuang uang untuk membuat makam yang megah ini jauh melebihi kerelaan mereka memberikan harta benda kepada orang tua mereka ketika orang tua itu masih hidup!
Sungguh sayang sekali, di balik perbuatan menghamburkan harta benda untuk membuat makam yang amat indah dan mewah ini tersembunyi pamrih rendah. Pertama, pamrih agar mereka dipuji orang lain dan dianggap sebagai anak-anak yang u-houw (berbakti) kepada orang tua dan nenek moyang, di samping pamrih menyombongkan dan memamerkan harta kekayaan mereka. Ke dua, pamrih agar mereka itu, dengan cara "berkorban" seperti itu, akan memperoleh doa restu dari arwah orang tua dan nenek moyang sehingga rejeki yang mereka terima akan berlimpahan, jauh melampaui segala biaya yang mereka keluarkan untuk pembuatan makam yang megah itu. Dan pamrih kedua ini mereka percaya benar. Bahkan mereka itu dalam ketahyulan mereka, mengirim bongkahan bongkahan emas, kereta, rumah gedung, yang mereka lakukan dengan cara membuat semua itu dari kertas dan bambu, kemudian membakar semua benda palsu ini dengan kepercayaan bahwa semua benda itu di akhirat akan benar benar menjadi benda-benda aseli dan dapat dipengunakan untuk kesejahteraan arwah nenek moyang. Hal ini tentu saja akan membuat arwah nenek moyang merasa senang dan melimpahkan berkah kepada anak cucu atau buyut yang u-houw (berbakti) itu. Sungguh merupakan suatu ketahyulan yang bodoh sekali, karena yang jelas sekali, perbuatan itu hanya mendatangkan keuntungan besar kepada orang orang yang pekerjaannya membuat benda benda palsu dan kertas itu dan yang mengatur persembahyangan karena mereka akan menerima upah yang amat besar.
Padahal, houw atau kebaktian memang merupakan suatu kebajikan, suatu kewajiban dan keharusan bagi setiap orang manusia beradab. Bakti kepada orang tua merupakan kasih sayang yang besar, terdorong oleh budi yang telah kita terima dari orang tua, semenjak kita dilahirkan, dibesarkan oleh orang tua. Kasih sayang ini tentu saja hanya dapat dibuktikan dengan sikap dan perbuatan kita terhadap orang tua selagi mereka masih hidup dan sesudah mereka meninggal dunia, kebaktian itu masih dapat dilanjutkan dengan menjaga semua perbuatan kita agar jangan sampai kita mengotori atau menodai nama baik orang tua kita dengan perbuatan yang jahat. Inilah houw atau kebaktian dalam arti yang sedalam-dalamnya. Houw atau kebaktian sesungguhnya hanyalah pelaksanaan dari perasaan cinta atau kasih sayang terhadap orang tua!"
Setelah persembahyangan terhadap makam-makam nenek moyang keluarga Cun selesai dilakukan, barulah rombongan Cun Hok Seng, isterinya dan kedua mertuanya itu melakukan sembahyang di depan kuburan nenek moyang keluarga Cia.
Cia Ling Ay atau Nyonya Cun Hok Seng yang sudah selesai bersembahyang di depan makam nenek moyang keluarga orang tuanya, tiba-tiba teringat akan kuburan Kwa Tin dan nyonya Kwa Tin, yaitu ayah dan Ibu Kwa Bun Houw. Ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw dan walaupun ia telah menjadi isteri orang lain, sering kali ia termenung membayangkan wajah bekas tunangan itu. Kini, setelah selesai melakukan sembahyang kepada nenek moyang keluarganya, ia teringat kepada makam ayah dan ibu Kwa Bun Houw. Ia melihat suaminya sedang bercakap. cakap dengan beberapa orang pria yang agaknya juga orang-orang berpangkat yang datang ke tanah kuburan dengan maksud yang sama, dan ayah ibunya juga sedang sibuk dengan peralatan sembahyangan, iapun merasa iseng dan melangkahlah nyonya muda ini menuju ke makam ayah dan ibu bekas tunangannya itu yang letaknya tidak berapa jauh dari kuburan nenek moyang keluarga orang tuanya, ia membawa segenggam hio swa (dupa biting) yang sudah disulutnya dan dengan hati terharu ia melihat sepasang kuburan sederhana yang batu nisannya berlumut dan kotor, depan batu nisan ditumbuhi rumput tebal. Makam yang sama sekali tidak terawat.
Ling Ay segera menghampiri kedua makam yang berdampingan itu, lalu ia bersembahyang di depan keduanya, ia sama sekali tidak tahu batwa sejak tadi sepasang mata memandangnya, sepasang mata yang mula-mula terbelalak lebar dan memandangnya dengan heran, akan tetepi kini sepasang mata itu berlinang air mata. Setelah bersembahyang sejenak, di dalam hatinya ia mohon ampun kepada bekas calon ayah dan ibu mertuanya itu karena kegagalan perjodohannya dengan putera mereka, Ling Ay menancapkan hio-swa di depan kedua makam. Akan tetapi, ia masih berdiri termenung di depan dua buah makam itu ketika pemilik mata yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya itu menghampirinya dari belakang.
"Maaf ...
" suara itu agak gemetar,
"kenapa engkau bersembahyang di depan makam ayah ibuku ... ?"
Ling Ay mendengar ucapan itu, terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak memandan g kepada pria muda yang berdiri di depannya. Keduanya saling berpandangan, Ling Ay terkejut akan tetapi juga ada perasaan gembira menyelinap di dalam hatinya, bercampur keharuan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah.
"Houw-koko ...!" Ling Ay berbisik, merasa seperti dalam mimpi setelah kini ia berdri berhadapan dengan orang yang selama ini seringkali muncul dalam mimpinya.
"Ay-moi , eh, maaf Nyonya ... Cia Ling Ay," Bun Houw pemuda itu tengagap.
"Maaf, aku belum mengetahui nama suamimu ...
"
Ling Ay mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa biarpun ia selalu merasa rendah diri dalam keluarga suaminya, juga suaminya jelas bersikap agak tinggi hati dan memandang rendah kepadanya, namun suaminya kelihatan sayang kepadanya, iapun selama setahun ini sudah berusaha untuk bersikap manis kepada suaminya, melayaninya dengan usaha untuk menyenangkan hati suaminya. Namun, harus diakuinya bahwa di lubuk hatinya, ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada suaminya! Dan sekarang, berhadapan kembali dengan Bun Houw, setelah perpisahan selama enam tahun, setelah ia menjadi seorang wanita dewasa dan Bun Houw juga menjadi seorang pria dewasa, baru ia merasa bahwa sesungguhnya ia mencinta bekas tunangannya ini! Dan kenyataan ini mendatangkan perasaan nyeri dalam hatinya, seolah-olah jantungnya tertusuk-tusuk dari dalam.
"Houw-ko ... kau ... kau sudah tahu ... ?" pertanyaan ini masih dilakukan dalam bisik-bisik sehingga ia khawatir pemuda itu tidak dapat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kini pendengaran pemuda itu luar biasa ketajamannya. Bahkan suara-suara halus yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang biasa, dia mampu mendengarnya, maka tentu saja bisikan Ling Ay itu sudah cukup jelas baginya.
Bun Houw mengangguk dan dia meletakkan butalan kain yang dibawanya ke atas tanah berumput, di depan makam ayah ibunya.
"Sejak tadi aku sudah melihat engkau, ayah ibumu, dan ... suamimu. Ah, benar, aku belum menghaturkan selamat kepadamu." Pemuda itu lalu bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata,
"Kiong hi (selamat), engkau telah mendapatkan seorang suami yang tampan, berwibawa dan kaya raya. Agaknya dia seorang pembesar tinggi, bukan?"
Ada perasaan bangga menyelinap di hati Ling Ay, perasaan bangga yang diikuti perasaan nyeri dan juga iba kepada pemuda di depannya itu. Ia mengangguk dan berkata lirih,
"Dia putera kepala daerah Cun di Nan-ping."
"Ah! Kiranya engkau menjadi mantu kepala daerah? Sungguh, aku harus menghaturkan selamat untuk kedua kalinya. Bun Houw mengeraskan hatinya yang tadi menjadi lemah dan terharu ketika bertemu dengan Ling Ay, dan dia berusaha untuk bersikap bijaksana.
"Toanio, sungguh aku merasa ikut berbahagia melihat keadaanmu dan ... terus terang saja, walaupun pertemuan ini menggembirakan hati, namun sebaiknya kalau toanio kembali ke sana, tidak baik dilihat orang kita bicara berdua saja di sini ...
"
"Tapi ... tapi kita adalah sahabat lama ...!" Ling Ay membantah dan pada saat itu terdengar seruan suara seorang wanita.
"Ling Ay ... ! Mau apa engkau berada di sini ...
" Muncullah seorang wanita yang menurut penglihatan Bun Houw berpakaian terlalu menyolok, terlalu mewah sehingga hampir dia tidak mengenal lagi ibu Ling Ay atau Nyonya Cia Kun Ti! Akan tetapi ketika nyonya setengah tua itu menoleh kepadanya, dia segera mengenalnya dan cepat Bun Houw bersoja (dirangkap kedua tangan depan dada) sambil membungkuk.
"Bibi Cia, selamat berjumpa ...!" katanya sopan.
Wanita itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Memang terjadi perubahan besar pada diri Bun Houw. Dia bukan lagi seorang pemuda remaja seperti enam tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh satu tahun yang bertubuh tegap, pakaiannya sederhana sekali. Akhirnya, wanita itu mengenalnya, hal yang mudah saja karena ia tadi melihat pemuda itu berada di depan makam keluarga Kwi, dan puterinya bicara dengan pemuda itu. SiApalagi kalau bukan Kwa Bun Houw.
"Huh, engkaukah ... ?" katanya dengan sikap angkuh karena memang hati nyonya ini merasa tidak enak dan marah melihat puterinya bicara dengan bekas tunangannya itu. Ia lalu memegang lengan Ling Ay dan menariknya pergi diri situ.
"Ling Ay, hayo kita kembali. Suamimu mencarimu!" Ia sengaja menekankan kata "suamimu" seolah olah hendak memperdengarkannya kepada Bun Houw. Ling Ay tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum.
"Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!"
Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.
"Paman Cia. selamat berjumpa."
"Aih, Bun Houw, kiranya engkau ? Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini ?" seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.
Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya.
"Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."
Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu. Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban.
"Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping? Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu."
Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi.
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-Apalagi, bagaimana dapat berdagang ? Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."
Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah. dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat. Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan! Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya.
"Heii, mau apa engkau di situ terus? Kita mau pulang sekarang! Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya. Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.
"'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik."
Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat.
"Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik. Terima kasih, paman." Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu, melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!
Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas perbatalan ikatan perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.
Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya, termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa bubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.
Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan. Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini?
Benarlah dia rela? Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung. Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya? Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang, melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain ? Kenapa ada perasaan iri dan cemburu?
"Kau gilai" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.
Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya, sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 03
Pada saat itu, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan mengikatnya di punggung, dan mengambil pula tongkatnya, menyelipkan tongkat butut itu di ikat pinggangnya. Dia melihat dan mendergar datangnya tiga orang menghampiri tempat itu, akan tetapi mengira bahwa mereka tentu juga pengunjung taman kuburan itu untuk bersembahyang.
Akan tetapi, langkah tiga orang itu berhenti di dekatnya dan terdengar seorang di antara
mereka bertanya,
"Hemm, inikah orangnya ?"
Dijawab suara lain,
"Benar, inilah anjing tak tahu diri itu!"
Suara orang ke tiga menyusul.
"Bocah gelandangan ini berani menghina nyonya muda kita? Dia patut dihajar sampai mampus!"
Karena kini merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia dan tiga orang pendatang itu, maka Bun Houw baru tahu bahwa dialah orangnya yang mereka bicarakan dan mereka maki sebagai anjing dan bocah gelandangan. diapun membalikkan tubuhnya memandang kepada mereka dengan alis berkerut.
Mereka itu tiga orang laki-laki yang melihat pakaiannya saja jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, atau yang biasa dipakai oleh para tukang pukul. Pakaian ringkas dan di pinggang mereka terselip golok. Mereka itu berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sikap mereka bengis dan ketiganya menyeringai dengan senyum mengejek dan memandang rendah kepada Bun Houw. Tubuh mereka yang kokoh itu menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga badan yang kuat dan terlatih dan senyum mereka mengandung kesadisan, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat merasakan kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain.
Bun Houw mendahului mereka bertanya, suaranya halus dan sikapnya tenang,
"Sam-wi (kalian bertiga) bicara tentang seseorang, siapakah yang sam-wi bicarakan itu?"
Orang yang dahinya codet bekas luka memanjang dan yang agaknya memimpin mereka, menjawab,
"Anjing geladak, siApalagi kalau bukan kamu yang kami bicarakan!"
Bun Houw mesih menahan kesabarannya. Tidak perlu bersitegang urat leher dengan orang-orang macam ini, pikirnya.
"Aku tak pernah mengenal kalian bertiga, kenapa kalian datang-datang memaki dan menghina aku ? Apakah kekalahanku terhadap kalian?"
Orang ke dua yang mukanya hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kedua temannya,
"Ha ha ha, lihat, anjing ini masih berani menggonggong! Sungguh tak tahu diri!"
Kini orang ke tiga yang kumisnya berjuntai ke bawah dan jarang seperti kumis tikus, melangkah maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan telunjuk kanannya ditudingkan ke arah hidung Bun Houw.
"Keparat, engkau sungguh tak tahu diri. Perbuatanmu sudah cukup bagi kami untuk menyiksamu dan bahkan membunuhmu. Akan tetapi agar jangan engkau mampus penasaran, buka telingamu baik baik. Engkau telah lancang sekali dan berani menghina nyonya muda kami. Engkau berani mengajaknya bicara di depan umum! Perbuatan tak pantas Liu Sungguh merupakan dosa besar!"
Bun Houw mengerutkan alisnya. Hatinya merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Ling Ay! Tentu Ling Ay nyonya muda itu, akan tetapi walaupun dia tadi sudah mengkhawatirkan bahwa percakapan antara mereka berdua saja di tempat umum akan dapat merugikan kehormatan Ling Ay, dia tidak mengira bahwa akan begini berat akibatnya terhadap dirinya. Karena merasa penasaran, dia pura-pura tidak mengerti.
"Nanti dulu, sobat. Harap jangan menuduh membuta tuli! Nyonya muda siapakah yang kau maksudkan? Dan penghinaan bagaimana yang kulakukan kepadanya? Aku sungguh tidak mengerti."
Kini si condet melangkah maju.
"Engkau masih bertanya lagi? Jahanam busuk memang! Nyonya muda kami adalah isteri putera kepala daerah kami, dan engkau ini, engkau jembel gelandangan busuk, tadi di tempat ini berani menegur dan mengajak beliau bercakap cakap, itu merupakan penghinaan besar bagi keluarga kepala daerah kami! Karena itu, engkau akan kami hajar!"
"Ah, itukah yang kalian maksudkan? Dan siapa yang mengutus kalian untuk menghajar aku? Apakah kepala daerah? Atau puteranya? Atau nyonya muda itu sendiri?"
"Kami adalah pengawal mereka yang tadi mengawal dan mengawasi tempat ini untuk menjaga keamanan mereka. Kami melihat sendiri dan tidak usah majikan kami memerintah, kami berkewajiban untuk turun tangan sendiri. Nih, bersiaplah engkau untuk mampus, atau kau akan kami ampuni asalkan kau mampu menebus nyawamu."
Bun Houw memandang dengan sikap masih tenang, akan tetapi senyumnya dibarengi kerut di antara alisaya makin mendalam, Dia cukup maklum apa yang mereka maksudkan, Juga dia tahu bahwa tiga orang ini sungguh merupakan tiga orang yang biasa mempengunakan kekerasan untuk melakukan penekanan dan pemerasan. Entah sudah berapa banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan dan pemerasan mereka.
"Hemm, menebus nyawa bagaimana maksud kalian?" Dia bertanya, suaranya kini tidak sehalus tadi, diam-diam memperhitungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tiga orang jahat ini, Mereka ini sudah sepatutnya dihajar, pikirnya, agar mereka jera dan tidak berani lagi mengganggu orang lain.
Si codet menyeringai lebar dan mendekati Bun Houw.
"Engkau bukan kanak-kanak lagi, masih bertanya? Kau keluarkan semua milikmu. ingin kami melihatnya apakah sudah cukup untuk menebus nyawamu. Makin besar tebusannya, makin ringanlah hukumanmu. Kalau kamu sanggup cukup, kau kami bebaskan dan boleh cepat-cepat melarikan diri keluar kota. Kalau hanya kami anggap setengah harga, kau akan kami siksa sampai setengah mati, akan tetapi tidak sampai mati. Lihat saja berapa engkau mampu bayar."
Bun Houw mengeluarkan kantung kecil dari buntatannya dan membuka kantung itu, memperlihatkan emas yang dia dapat dari gurunya,
"Apakah sebegini sudah cukup!"
Melihat emas berkilatan dalam buntalan kantung kecil itu, mata tiga orang itu terbelalak lebar seperti seekor srigala melihat darah. Seperti di komando saja, tiga buah tangan menyambar untuk merampas kantung di tangan Bun Houw itu. Akan tetapi mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba saja kantung itu lenyap dan ternyata pemuda itu telah mengelak dan menyimpan kembali kantung kecil itu dalam buntalan pakaiannya ...
"Hei, serahkan kantung itu kepada kami!" bentak si codet.
Bun Houw tersenyum.
"Bagaimana? Sudah cukupkah itu untuk menebus nyawaku ?"
"Cukup, cukup ... kauberikan seluruh buntalan di punggungmu itu, dan kau boleh pergi dari sini, cepat keluar kota dan tidak akan kami sakiti lagi."
"Kalau tidak kuberikan?" tantang Bun Houw sambil memegang tongkatnya
Tiga orang itu melongo, akan tetapi akhirnya mereka saling pandang dan tertawa bergelak.
"Tidak kau berikan? Akan kuhajar engkau sampai mampus, dan semua milikmu itu tetap menjadi milik kami."
"Kalau begitu, kalian yang mengaku petugas kepala daerah ini, tiada lain hanyalah pemeras pemeras dan perampok-perampok busuk!"
Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi terkejut karena tidak pernah mereka sangka bahwa pemuda sederhana itu berani marah-marah dan memaki mereka!
"Jahanam busuk, engkau memang pantas dihajar sampai mampus!" bentak si kumis tikus dan dia sudah menyerang dengan tonjokan kepalan kanan ke arah muka Bun Houw. Akan tetapi, dengan sedikit menarik kepala ke belakang, tonjokan itu hanya lewat saja, mengenai angin kosong. Akan tetapi dua orang yang lain juga sudah menyerang, si codet mencengkeram ke arah leher, sedangkan si muka hitam menampar ke arah kepala Bun Houw dengan kuat sekali. Bahkan si kumis tikus yang tonjokannya luput juga sudah menyambung dengan tonjokan kepalan kiri ke arah perut.
"Hemm!" Bun Houw hanya mendengus dan begitu kedua tangannya bergerak dikembangkan, tiga orang itu terpelanting dan terjengkang, bahkan terbanting keras!
Mereka bertiga menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu berani melawan, bahkan tadi mereka merasakan dorongan kedua tangan yang dikembangkan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga mereka terjengkang. Mereka berloncatan bangun berdiri lagi dan tanpa dikomando lagi, mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing.
"Anjing busuk kucincang kau ...!" bentak si codet yang kemarahannya meluap-luap karena ketika terbanting ke belakang tadi, kepalanya bertemu dengan batu sehingga mengucurkan darah.
"Siuuuut ...!" Goloknya menyambar ganas dari depan, mengarah kepala Bun Houw yang agaknya akan dibelah menjadi dua. Namun, tubuh Bun Houw mendorong ke kiri dan sambaran golok itu luput. Bun Houw menarik kaki kanannya sambil memutar tubuh dan pada saat itu, kembali ada golok menyambar dari sebelah depan dan belakang. Dia mengelak lagi dan menyelinap di antara sinar kedua batang golok yang menyambar itu. Tiga orang lawannya menjadi semakin panas hati mereka dan semakin marah. Sambil menyumpah-nyumpah, mereka menggerakkan golok mereka, menyerang seperti berlomba saja untuk lebih dulu membacok roboh pemuda bandel itu. Akan tetapi, sampai tiga empat kali serangan, Bun Houw selalu mengelak. Dia hendak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk membuka mata dan melihat bahwa sebenarnya mereka itu bukanlah lawannya yang seimbang. Namun, orang orang yang biasa mengandalkan kekerasan untuk menindas orang lain itu mana mau menyadari kelemahan sendiri. Makin banyak gagal, makin penasaran rasa hati mereka dan serangan mereka menjadi semakin gencar.
"Kalian memang manusia tak tahu diri!" tiba-tiba di antara sambaran tiga batang golok itu, Bun Houw mengeluarkan suara bentakan dan begitu dia menggerakkan tongkat bututnya menangkis, disambung dengan tamparan-tamparan tangan kanan karena tongkat itu dipegangnya dengan tangan kiri, maka tiga batang golok itu terpental dan disusul oleh tubuh mereka bertiga yang juga terpelanting roboh.
Akan tetapi dasar orang orang tak tahu diri yang bagaikan katak dalam tempurung mereka selalu merasa diri sendiri yang paling kuat dan hebat, tiga orang itu belum menyadari dan mengakui kekalahan mereka. Biarpun sekali ini mereka terbanting keras sehingga kepala terasa pening, namun mereka bangkit lagi, mengambil golok masing-masing dan menyerang semakin nekat bagaikan tiga ekor srigala yang pantang menyerah.
Bun Houw mengerutkan alisnya. Melihat datangnya tiga golok yang menyambar ganas, dengan tujuan membunuh, dia lalu menggerakkan tongkatnya dengan tangan kiri, mengerahkan tenaganya dan tongkat itu bukan menyambut golok, melainkan menyambar pergelangan lengan yang memegang golok.
Terdengar teriakan susul menyusul, dan tiga golok beterbangan, disusul tiga orang yang kini memhungkuk-bungkuk, tangan kiri memegangi lengan kanan karena lengan itu tadi bertemu tongkat dengan kerasnya, terdengar suara berkeretek dan tulang tiga buah lengan kanan itu telah patah!"
Melihat mereka kini tidak mampu melawan lagi, Bun Houw tidak tagi memperdulikan mereka. dia lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang, lalu bersoa ke arah kedua makam orang tuanya dan meninggalkan taman kuburan itu tanpa menengok satu kalipun kepada tiga orang itu. Mereka itu masih mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri, hampir menangis saking nyerinya dan baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Namun, tetap saja mereka tidak menyadari bahwa pemuda itu masih mengampuni mereka dan tidak membunuh bahkan tidak melukai secara berat, hanya menangkis dan membuat lengan kanan mereka patah tulang saja. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi, baru mereka meninggalkan tempat itu, mengambil golok mereka dan kini mereka kehilangan segala kegirangan mereka, menekuk lengan kanan dan menahan lengan itu dengan tangan kiri, kemudian merekapun kembali ke kota untuk melapor kepada atasan mereka, gelisah karena mereka tentu akan mendapat kemarahan dari atasan mereka.
"Sungguh engkau seorang perempuan yang tidak tahu malu!" Mungkin sudah lima kali Cun Hok Seng meneriakkan kata-kata itu kepada Cia Ling Ay, isterinya yang hanya duduk di atas kursi dengan muka menunduk, muka yang kemerahan namun pandang mata yang ditundukkan itu penuh dengan perasaan marah dan penasaran. Suaminya telah menuduhnya secara keji! Begitu tiba di rumah, sepulang mereka dari taman kuburan, suaminya memanggilnya, juga memanggil ibunya dan mereka berdua kini berada di dalam kamar itu, menjadi bulan bulanan kemarahan putera kepala daerah itu.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang hina!" Akhirnya ia membantah sambil membalikkan tubuh, menghadapi suaminya dan memandang dengan sinar mata penasaran. Suaminya tadinya mondar mandir di dalam kamar itu, memarahi isterinya dan ibu mertuanya bengantian.
Cun Hok Seng menahan langkahnya dan berdiri di depan isterinya. mukanya merah sekali, matanya bersinar penuh kemarahan.
"Apa kau bilang? Engkau mengadakan pertemuan dan bercakap cakap berdua saja dengan seorang laki-laki asing, dan kau masih berani bilang tidak melakukan sesuatu yang hina? Perbuatan itu sudah cukup hina, merendahkan martabatku, menodai kehormatanku. Apakah engkau maksudkan bahwa baru disebut hina kalau engkau sudah tidur bersama dia di satu ranjang ?"
"Kau tidak berhak menuduh sekeji itu!" Kini Ling Ay bangkit berdiri dan memandang suaminya dengan kemarahan meluap.
"Sudah kuceritakan bahwa dia itu bukan orang asing, namanya Kwa Bun Houw dan dahulu orang tuanya adalah sahabat baik orang tuaku."
"Bagus! Kalau begitu memang engkau sudah kenal baik dengan dia, maka berjanji mengadakan pertemuan di taman kuburan, ya ?"
"Itu tidak benar! Ketika selesai bersembahyang di makam keluarga Cun dan keluarga Cia, dan melihat engkau bercakap-cakap dengan para temanmu, aku keisengan dan ingin bersembahyang di depan kuburan mendiang paman Kwa Tin dan isterinya. Dan selagi bersembahyang itulah dia muncul! Kami tidak pernah saling jumpa sejak enam tahun yang lalu, maka kemunculannya itu suatu hal yang kebetulan saja dan karena berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun, anehkah kalau kami bercakap-cakap sedikit dan hanya sebentar?"
"Bohong! Aku tidak percaya! Kalian tentu mempunyai hubungan kotor! Ibu, bayo kau akui saja, bukankah antara Ling Ay dan pemuda itu ada hubungan yang amat akrab?"
Sejak tadi, nyonya Cia Kun Ti hanya mendengarkan saja dengan hati kecut dan muka pucat. Ia merasa menyesal sekali mengapa puterinya masih mau bercakap-cakap dengan Bun Houw sehingga hal itu dilihat para pengawal mantunya dan dilaporkan. Kini mantunya marah-marah, ia pikir bahwa urusan dahulu dengan Bun Houw tidak perlu disembunyikan, karena kalau kelak mantunya mengetahui dari orang lain, hal itu bahkan akan membuat putera kepala daerah itu semakin marah, mengira bahwa ia memang sengaja menyembunyikan kenyataan itu.
"Sesungguhnya begini, mantuku yang baik. Benar seperti yang diceritakan Ling Ay, pemuda itu bukan orang asing. Bahkan dahulu, ketika masih sama-sama kecil, oleh ayah kedua pihak diadakan perjanjian ikatan perjodohan antara Ling Ay dan Bun Houw ..."
"Ahhh, begitukah?" Cun Hok Seng berseru sambil tersenyum mengejek.
Ling Ay mengerutkan alisnya, diam-diam ia mencela ibunya yang menceritakan hal-hal lampau yang sebenarnya tidak perlu disebut-sebut.
"Akan tetapi, sejak kematian keluarga Kwa suami isteri, sejak Bun Houw menjadi yatim piatu, ikatan perjodohan itu dibikin putus. Hal itu sudah terjadi enam tahun yang lalu."
"Hemm, bagus sekali! Tentu pertemuan di taman kubuian itu untuk melepas rindu antara dua orang yang dulu saling bertunangan! Memalukan!"
"Sama sekali tidak! Semua itu fitnah, hanya dugaan, tidak benar!" Ling Ay membantah marah.
"Ibu, bawa ia ke kamar dan tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Orang itu, siapa namanya tadi? Kwa Bun Houw? Ya. dia harus dibunuh."
"Ihhh ...!" Mendengar ini, Ling Ay mengeluarkan jeritan kaget.
"Benar, memang dia harus dibunuh, anak kurang ajar dan tidak tahu sopan itu!" Nyonya Cia Kun Ti berkata karena memang ia menyesal sekali bahwa Bun Houw berani menemui Ling Ay di taman kuburan sehingga kini akibatnya, ia dan puterinya mendapat kemarahan besar dari mantunya.
Mendengar jerit Ling Ay dan melihat betapa wajah isterinya itu menjadi pucat mendengar dia akan membunuh Bun Houw, hati Cun Hok Seng menjadi semakin panas.
"Kalian saling mencintai. Keparat. Panggil Ibu, bawa ia pergi ke kamarnya!"
Nyonya Cia Kun Ti cepat menggandeng tangan puterinya dan menariknya pergi meninggalkan kamar Cun Hok Seng yang sedang marah-marah itu. Setelah tiba di dalam kamar. ia menutupkan daun pintu dan memarahi anaknya yang segera melempar tubuh ke atas pembaringan sambil menangis.
"Kau memang anak yang bodoh! Tadipun aku sudah marah dan merasa khawatir melihat engkau bicara dengan jahanam itu di taman kuburan!" Nyonya itu mengomel panjang pendek.
Ling Ay tidak memperdulikan, hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan bantal. Ia masih merasa ngeri mendengar ancaman suaminya hendak membunuh Bun Houw. Teringat akan itu, ia membuka bantalnya dan berkata kepada ibunya yang masih mengomel itu.
"Ibu, kenapa dia hendak membunuh Houw-ko? Dia sama sekali tidak bersalah! Dia sama sekali tidak berdosa!"
"Huh, engkau malah memikirkan keselamatan jahanam itu? Pikirkan keselamatan kita sendiri! Dia memang harus dibunuh, biar kita cepat menjadi bersih dan tidak lagi mendapat marah."
"Tapi, dia sama sekali tidak bersalah, ibu. Dia datang untuk menyembahyangi makam ayah ibunya. Dia tidak tahu bahwa aku berada di sana. Kami saling jumpa hanya karena kebetulan saja, tidak kami sengaja. Dan karena sudah berjumpa di depan makam orang tuanya, kami hanya saling sapa dan saling tegur. Bukankah itu wajar dan jamak? Dia sopan, bahkan memberi selamat kepadaku atas pernikahan ku dengan pria lain. Dan sekarang, dia akan dibunuh ...! Aih, ibu, apa yang harus kulakukan ... ? Pembunuhan itu harus dicegah! Houw-ko tidak bersalah apa-apa ...!"
Akan tetapi, lbjnya marah-marah.
"Kau anak tolol! Biar seribu orang Bun Houw dibunuh, asal kita selamat, tidak mengapa. Kenapa engkau ribut-ribut? Sudahlah, kalau suamimu mendengar omonganmu ini, dia akan menjadi semakin marah!"
Ling Ay hanya dapit menangis semakin sedih dengan hati gelisah memikirkan Bun Houw yang akan dibunuh tanpa kesalahan apapun.
"Kalian ini gentong gentong nasi yang tiada guna! Menghajar seorang pemuda gelandangan saja tidak mampu! Huh, malah patah tulang lengan. Sungguh memalukan sekali dan kami ikut merasa malu!" bentak kakek berusia enam-puluhan tahun itu.
Dia seorang kakek yang biarpun usianya sudah enampuluh tahun, namun wajahnya masih nampak segar dan tubuhnya juga masih nampak kokoh kekar walaupun tidak terlalu tinggi besar melainkan sedang sedang saja. Sepasang matanya mencorong tajam dan rambutnya yang sudah bercampur banyak uban itu disisir rapi dan diikat dengan pita sutera biru. Akan tetapi pakaiannya serba putih, dari sutera mahal dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang. Dia ini bukan orang sembarangan dan di dunia kang-ouw namanya sudah amat terkenal sebagal Pek-i Mo-ko (Iblis Baju Putih). Akan tetapi, di kota Nan-ping dia lebih dikenal sebagai Ciong Tai-hiap (Pendekar Besar Ciong)! Sungguh seorang yang memiliki pribadi aneh. Di dunia kang-ouw dikenal sebagai Iblis, akan tetapi masyarakat menyebutnya pendekar! Sebutan pendekar ini setelah dia menjadi pembantu utama dari kepala daerah Nan-ping, dan biarpun tidak resmi menjadi komandan pasukan pengawal, namun sesungguhnya Ciong Kui Le inilah yang menjadi kepala pengawal dan kepala semua tukang pukul dan jagoan yang menghambakan diri kepada kepala daerah! Karena dia dikenal sebagai kepala penjaga keamanan seburuh keluarga kepala daerah Cun, tidak aneh kalau dia disebut Tai-hiap (Pendekar Besar), Apalagi karena memang semua orang tahu betapa lihai Ilmu silat dan ilmu pedang orang she Ciong ini.
Dia duduk dalam sebuah ruangan dari bangunan yang berada di sebelah gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Bangunan ini cukup besar dan memiliki banyak kamar. Di tempat inilah berkumpul semua jagoan yang bekerja untuk kepala daerah. Merekalah yang bertugas mengamankan kota Nan-ping dari rongrongan orang jahat. Karena mereka adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw, bahkan Pek-I Mo-ko amat ditakuti dan menjadi datuk sesat, maka setelah dia dan anak buahnya yang menjamin keamanan kota Nan-ping, maka tidak ada penjahat berani berkutik. Kota Nan-ping menjadi aman dari kejahatan karena dilindungi oleh penjahat-penjahat besar! Akan tetapi, kalau pemerasan dari penjahat tidak pernah terjadi, maka pemerasan satu-satunya datang dari kepala daerah melalui peraturan-peraturan yang mencekik leher rakyat dan penduduk Nan-ping pada umumnya! Sudah bukan rahasia lagi betapa para hartawan mengalirkan sebagaian besar kekayaan dan penghasilannya ke dalam rumah gedung kepala daerah Cun! Semua ini mereka lakukan demi keamanan diri dan usaha dagang mereka. Kalau tidak, maka banyak sudah terjadi pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sembunyi, tentu saja oleh para jagoan yang dipimpin oleh Ciong Tai-hiap! Dan kalau ada penjahat dari luar daerah yang belum tahu berani mengacau, tampillah sang pendekar berpakaian putih ini untuk menghajarnya, bahkan ada pula yang dibunuhnya dan digantungnya di depan umum sehingga pada umumnya, penduduk mengagumi kakek baju putih yang di tempat umum tidak pernah melakukan kekerasan itu! Kekerasan yang dilakukan di depan umum hanya terhadap para penjahat dan sikapnya terhadap rakyat melindungi! Hanya mereka yang pernah menentang kehendak kepala daerah saja yang tahu betapa sadisnya "pendekar" ini menyiksa orang untuk mematahkan semangat perlawanan mereka terhadap kepala daerah Cun.
Ciong Tai-hiap ini pula yang menyuruh tiga orang anak buahnya untuk menghajar Bun Houw, setelah dia mendapat perintah dari Cun Hok Seng yang mendengar laporan dari seorang pengawalnya bahwa isterinya tadi bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing.
"Hajar pemuda itu sampai cacat dan usir dia pergi dari Nan-ping," demikian perintah Cun Hok Seng pada Ciong Tai-hiap yang melanjutkan perintah itu kepada tiga orang pembantunya yang terkenal dengan ketajaman golok dan kekerasan tangan mereka. Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga orang jagoan yang disuruhnya menghajar Bun Houw itu pulang dengan lengan kanan mereka patah tulang! Maka, tidak mengherankan kalau dia marah-marah. Biarpun yang dikalahkan orang lain itu bukan dia, hanya anak buahnya, itu pun bukan anak buah yang pilihan, namun hal itu sama saja dengan menampar pipinya, merendahkan dan menghinanya.
Yang hadir dalam ruangan itu ada belasan orang. Seorang di antara mereka, melihat pemimpinnya marah dan mendengar bahwa tiga otang rekannya itu patah tulang lengan kanan mereka oleh lawan, segera berkata,
"Ciong toako (kakak tua Ciong), agaknya orang itu berisi, maka biarlah aku yang akan mewakili mu untuk menghajarnya."
Semua orang memandang kepada pembicara itu dan mereka semua merasa yakin bahwa kalau yang turun tangan orang ini, maka segalanya tentu akan beres. Dia seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus sekali sehingga kedua pipinya sampai peyot dan cekung seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi, semua orang tahu belaka siapa adanya tokoh yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) ini! Bahkan kakek pakaian putih itu sendiri mengangguk-angguk, akan tetapi dia berkata.
"Bukan engkau, Kiam-mo. Engkau sudah memiliki tugas sendiri yang lebih penting sebentar malam, bukan Engkau barus membantu Ngo-kwi (Lima Iblis) yang menerima tugas dari Loya (Tuan Tua, yaitu Kepala Daerah), dan tugas itu harus kalian berenam selesaikan dengan baik karena amat penting sekali. Menghajar seorang bocah kurang ajar bukan hal yang terlalu penting. Yang lain saja!"
"Ha-ha-ha. benar sekali!" Tiba-tiba seorang di antara mereka, laki-laki yang tubuhnya bulat seperti bola, usianya empatpuluhan, tertawa bengelak. Orang ini memang aneh. Pakaiannya kedodoran dan bajunya tidak mempunyai kancing lagi bagian depan sehingga perutnya yang buncit nampak bagian atas, dadanya juga telanjang, nampak kulit dada putih, dan sepasang bukit dada yang besar seperti kepunyaan wanita. Saking gendutnya, dia nampak, seperti bola memiliki kaki dan tangan. Anehnya, kepalanya kecil, seperti kepala kanak-kanak, matanya sipit dan mulutnya lebar separuh kepala yang selalu tertawa dan selalu dijejali makanan dan minuman.
"Untuk menyembelih, seekor kelenci. perlu apa menggunakan golok besar? Kalau hanya menghadapi seorang bocah ingusan, serahkan saja kepadaku, toa-ko. Katakan siapa namanya, di mana aku dapat menangkapnya, lalu aku harus apakan dia. Dihajar setengah mati, diseret ke sini, atau dibunuh sekaligus. Katakan dan perintahkan saja. Cukup aku, tidak perlu merepotkan Bu-tek toako Bu-tek Kiam-mo! Ha-ha-ha!"
Sehabis bicara dan tertawa lebar, si gendut ini menyambar guci arak di atas meja, lalu menuangkan isi guci ke dalam mulutnya yang lebar sehingga terdengar suara menggelogok masuknya arak ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu.
Sekali ini, Pek-I Mo-ko mengangguk-angguk dan tersenyum lega.
"Memang tepat sekali kalau engkau yang maju, Gu-siauwte (adik Gu). karena kalau yang maju kurang dapat diandalkan, kukhawatir akan gagal lagi. Dan kalian bertiga, cepat obati luka di lengan, kalian, kemudian temani Gu-siauwte ini dan ajak dia mencari bocah itu sampai dapat! Gu-siauwte, sebaiknya kalau bertemu dengan dia, habisi saja dan usahakan agar mayatnya tidak dilihat orang."
"Ha-ha-ha, itu perkara mudah, toako. Tanggung sebelum hari gelap, bocah itu sudah tidak ada lagi, baik nyawanya maupun badannya, ha-ha-ha!" Dia lalu bangkit dan memberi isarat kepada tiga orang jagoan yang tadi dikalahkan Bun Houw, lagaknya seperti memberi isarat kepada tiga ekor anjingnya saja. Memang dalam hal tingkatan, si gendut ini jauh lebih tinggi dari pada tiga jagoan yang patah tulang lengannya itu. Dia bernama Gu Mouw, berjuluk Siauw-bin Pek-ti (Babi Putih Muka Senyum) sesuai dengan kulitnya yang putih mulus dan mukanya yang selalu tersenyum, dan dalam urutan kedudukannya di dalam kelompok jagoan yang dipelihara Kepala Oaerah Cun di kota Nan-ping, dia menduduki tingkat ke tiga! Orang partama tentu saja Pek-i Mo-ko Ciong Kui Le, orang ke dua adalah si kurus kering Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe dan orang ke tiga adulan si gendut ini. Masih ada orang ke empat yang merupakan sekelompok dari lima orang bersaudara yang dikenal dengan sebutan Ngo-kwi (Lima Iblis) yang tadi disebnt-sebut oleb Pek-I Mo-ko. Tiga orang jagoan yang patah tulang lengan kanannya itu dengan girang lalu meninggalkan ruangan mengikuti Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka merasa lega tidak menerima hukuman, dan merekapun merasa yakin bahwa kalau sampai orang ke tiga ini maju, tentu pemuda itu akan dapat dikalahkan. Mereka masih memiliki lengan kiri yang sehat, dan kalau pemuda sudah roboh, mereka akan dapat dengan sepuas hati membalas dendam sakit hati mereka, mereka akan mematah-matahkan seluruh tulang di tubuh pemuda itu! Bagi orang yang sudah terbiasa menjadi hamba nafsu dendam, perasaan dendam memang manis dan mendatangkan semangat! Karena nafsu dendam ini, mereka segera mengobati lengan yang patah tulangnya, membalut kuat dan menggantungnya, kemudian mereka bertiga tidak ketinggalan membawa golok mereka, mengikuti si gendut Gu Mouw yang masih terus tertawa-tawa gembira dan nampaknya dia tenang saja, seolah-olah tugasnya itu merupakan pekerjaan sepele yang akan dapat dirampungkan dengan amat mudahnya.
Nan-ping bukan sebuah kota yang terlalu luas, Apalagi bagi para jagoan yang sudah mengenal seluruh seluk beluk kota itu, dan di mana-mana mereka disambut orang dengan ketakutan dan patuh sehingga untuk mencari Bun Houw bukan pekerjaan sukar bagi mereka. Sebelum lewat lengah hari, mereka sudah mendapat keterangan bahwa pemuda yang mereka cari itu baru saja keluar dari kota Nan-ping. melalui pintu gerbang barat. Mereka segera melakukan pengejaran dengan menunggang kuda dan benar saja, kurang lebih dua li di luar kota Nan-ping, mereka dapat menyusul pemuda yang sedang berlenggang seenaknya itu.
Pemuda itu memang Bun Houw. Dia meninggalkan kota Nan-ping, tanah tumpah darahnya, kampung halamannya, kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan selama lima belas tahun, kota di mana terdapat segala macam kenangan dari yang paling manis sampai yang paling pahit. Terpaksa dia meninggalkan kota itu. Untuk apa berlama-lama kalau hanya akan mendatangkan perasaan pahit dan juga ancaman-ancaman kedamaian hidupnya? Di sana ada Ling Ay yang sudah menjadi mantu kepala daerah! Dan suaminya agaknya memusuhinya, mungkin karena cemburu melihat dia bercakap-cakap sebentar dengan Ling Ay di depan makam ayah ibunya. Dia harus pergi, secepatnya. Bukan karena dia takut menghadapi ancaman itu. Sama sekali bukan, melainkan dia harus cepat pergi demi ketenteraman rumah tangga Ling Ay!
Ketika mendengar derap kaki beberapa akor kuda dari arah belakang, dia masih belum menyangka buruk, hanya mengira bahwa tentu ada rombongan orang berkuda meninggalkan kota Nan-ping pula. Akan tetapi tiba-tiba setelah empat ekor kuda datang dekat di belakangnya dia mendengar bentakan orang.
"Orang muda yang sombong, berhenti dulu!"
Bun Houw menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat tiga orang penjahat yang dia patahkan tulang lengannya tadi, berada di atas punggung kuda masing-masing dengan sikap angkuh dan marah, dengan lengan kanan dibalut dan digantung di depan dada. Orang ke empat adalah seorang yang tubuhnya gendut bukan main, dan agaknya amat berat sehingga kuda yang ditungganginya berpeluh dan terengah-engah, tidak seperti tiga ekor kuda lainnya. Akan tetapi si gendut itu tidak kelihatan jahat, bahkan mukanya yang kecil kekanak-kanakan itu dipenuhi senyum mulutnya yang lebar.
"Hemm, kiranya kalian bertiga yang datang mengejarku. Ada Apalagi?" Bun Houw bertanya dengan sikap tenang.
"Ha-ha-ha-ha!" Laki-laki gendut itu tertawa bergelak, ketika dia tertawa itu, perutnya yang bagian atasnya nampak karena bajunya tidak ada kancingnya, bergelombang dan kuda yang ditungganginya gemetar keempat kakinya. Melihat ini, diam-diam Bun Houw mengerti bahwa si gendut ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga yang dahsyat.
"Bagus, bagus! Jadi engkau inikah pemuda yang telah mematahkan tulang tiga orang jagoan kalahan ini? Heh-heh-heh!"
Diapun merosot turun dari atas punggung kuda. melalui belakang kuda! Bun Houw merasa geli dan dia tersenyum, akan tetapi tiga orang tukang pukul itu cemberut karena diejek sebagai jagoan kalahan! Namun, tentu saja mereka tidak berani berkutik atau mengeluarkan bantahan terhadap si gendut yang merupakan seorang atasan bagi mereka.
Karena Bun Houw belum tahu siapa si gendut itu yang sikapnya terhadap dirinya tidak memusuhi, maka diapun bersikap ramah, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu menjawab,
"Sesungguhnya aku tidak pernah mempunyai pikiran hendak mematahkan tulang lengan mereka. Aka tetapi mereka itu keliru mempergunakan tangan, tidak untuk bekerja dengan baik melainkan hendak membunuhku, sehingga mereka kesalahan tangan dan akibatnya tulang mereka patah. Sungguh, mereka sendiri yang mencari penyakit dan mereka yang bersalah sedangkan aku tidak pernah mengganggu mereka, mengenal merekapun tidak."
Bun Houw mengira bahwa si gendut yang kelihatan ramah itu tentu akan dapat menerima, alasannya dan mempertimbangkan keadaannya dengan bijaksana. Oleh karena itu, alangkah terkejutnya mendengar si gendut itu. sambil mulutnya masih tersenyum lebar, berkata dengan lantang.
"Orang muda, aku datang untuk membunuhmu! Terserah kepadamu apakah engkau akan mengambil nyawamu sendiri atau harus kupaksa nyawamu meninggalkan tubuhmu, ha-ha-ha !"
Berkerut sepasang alis Bun Houw dan kini matanya berkilat ketika dia memandang wajah si gendut yang seperti anak kecil itu. Kiranya si gendut ini hanya nampaknya saja baik hati namun sesungguhnya memiliki kekejaman yang tidak kalah dibandingkan tiga orang jagoan yang patah tulang lenpan mereka itu.
"Ah, kiranya begitu? Sobat yang gendut, coba katakan, mengapa engkau datang hendak mengambil nyawaku?" tanyanya, sikapnya masih tenang sekali dan hal ini saja sudah membuat Siauw bin Pek-ti Gu Mouw penasaran. Orang mau diambil nyawanya kok masih enak-enak saja. sungguh tak tahu diri benar pemuda ini!
"Bocah sombong," katanya dan karena mulutnya masih menyeringai tersenyum, tahulah Bun Houw bahwa senyum itu bukan senyum ramah atau buatan, memang mulutnya terlalu lebar sehingga selalu nampak tersenyum dan terbuka.
"Engkau berhadapan dengan tuan besarmu Gu Mouw yang hendak mengambil nyawamu! Apakah engkau tidak cepat berlutut minta ampun?"
"Sobat gendut she Gu, engkau bukan malaikat maut pencabut nyawa, dan akupun bukan orang yang mudah saja menyerahkan nyawa! berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan tangan seperti tiga orang temanmu itu dan engkau sendiri yang akan menderita." Dalam ucapan itu, walaupun halus. Bun Houw telah memperingatkan dan mengejek calon lawannya.
"Ha-ha-ha, bagus! Aku lebih senang kalau engkau melawan, menggembirakan sekali! Nah, coba kau ia sambut ini, orang muda!" Tiba-tiba saja si gendut sudah menerjang ke depan dan kedua tangannya dengan cepat sekali telah mengirim pukulan dari kanan kiri, yang kanan menghantam ke arah pelipis kiri Bun Houw yang kiri menyambar dahsyat untuk menghantam lambung.
Namun, Bun Houw, yang sudah bersiap siaga itu dengan mudah melangkah mundur dua langkah dan dua pukulan itupun. hanya mengenai angin saja. Namun, si gendut yang bundar itu memang hebat. Biarpun tubuhnya bulat dan berat, dia mampu bengerak cepat dan begitu kedua pukulannya tidak mengenai sasaran, tubuhnya sudah menggelundung dengan cepat. Nampaknya saja menggelinding saking besarnya perut itu namun sesungguhnya, dia melangkah cepat ke depan dan kembali dia sudah memukul dengan kedua tangannya didorong ke depan, telapak tangannya terbuka.
Membantu Souw Ciangkun Menumpas Pemberontak
ANGIN pukulan yang kuat menyambar. Bun Houw yang ingin mengetahui sampai di mana kekuatan orang gendut itu, sengaja menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua tangan lawan yang dikembangkan.
"Dessss!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan saling melekat! Dan dalam adu tenaga ini, si gendut terkejut bukan main karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tengetar bebat, tanda bahwa tenaga sakti dari lawannya yang masih muda itu sudah amat kuatnya! Akan tetapi, dengan gerakan yang sama sekali tidak tersangka-sangka, si gendut itu menggerakkan kepalanya yang kecil ke depan dan menghantamkan kepalanya ke arah muka Bun Houw!
Pemuda itu terkejut bukan main, karena tidak menyangka sama sekali, dia hanya mampu miringkan kepalanya saja.
"Pukkkk!" Pipinya dihantam dengan kerasnya oleh kepala yang kecil namun keraseperti baja!
Bun Houw melepaskan kedua tangannya yang menempel pada tangan lawan, dan dia agak terhuyung ke belakang, kepalanya terasa pening. Dia menggoyang-goyang kepala dan terasa betapa pipinya panas dan nyeri. Dia mengusap pipinya, memandang ke depan dan si gendut masih tertawa. Kiranya si gendut ini memiliki ilmu menyerang dengan kepalanya yang kecil! Karena terkejut, Bun Houw kurang cepat dan tahu-tahu Gu Mouw sudah menyerang lagi, kini kaki kanannya menendang dengan kekuatan dahsyat, disusul kaki kiri. Bun Houw terpaksa kembali melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata tendangan si gendut itu merupakan Ilmu tendangan semacam Soan-kong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yaitu tendangan berantai yang sambung-menyambung. Kadang-kadang tubuh yang bundar itu seperti menggelinding dan dari bola menggelinding itu mencuat kedua kaki yang bergantian melakukan tendangan bertubi-tubi.
Karena repot juga menghadapi tendangan-tendangan berantai yang amat cepat, kuat dan berbahaya itu, terpaksa Bun Houw mencabut tongkat butut dari pinggangnya dan menangkis tendangan itu dengan tongkatnya. Dia tidak mungkin harus mengelak terus.
"Tak! Tak! Tak!" Berulang kali kedua kaki si gendut itu bertemu tongkat dan dia marasa betapa bagian kaki yang tertangkis tongkat itu nyeri, maka terpaksa dia menghentikan tendangan-tendangannya. Kini barulah senyum lebar di mukanya itu mulai menyempit. Baru dia tahu bahwa pemuda ini memang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sejak tadi, belum pernah dia mampu mengenai tubuh pemuda itu dengan pukulan atau tendangan, dan hasil benturan kepalanya tadipun tidak ada artinya. Bahan kini kedua kakinya terasa nyeri, Apalagi kalau yang tertangkis itu tulang kering kakinya. Marahlah Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Akan-tetapi, dasar mulutnya sudah terlanjur lebar, biarpun dalam keadaan marah, tetap saja dia kelihatan seperti tersenyum!
"Rrrtttt ...!" Nampak sinar terang ketika tangannya melolos sebatang rantai yang panjangnya ada satu setengah meter, terbuat dari pada besi dan berwarna putih seperti perak. itulah senjata yang ampuh dari Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, yaitu sehelai rantai yang berat. Tanpa banyak cakap lagi, si gendut sudah memutar rantai itu dan melakukan penyerangan. Rantai besi itu menyambar-nyambar dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan.
Bun Houw kembali mempengunakan kelincahan tubuhnya, mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, gulungan sinar putih itu terus mengejarnya. Pada suatu saat, nampak seolah-olah Bun Houw seperti seorang kanak-kanak sedang bermain loncat tali! Dia berloncatan menghindar dan rantai itu menyambar-nyambar lewat bawah kakinya dan atas kepalanya !
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Trang-trang ... !" Kini Bun Houw mulai menangkis dengan tongkatnya.
Kembali si gendut terkejut. Tangkisan tongkat itu mengeluarkan bunyi seolah-olah rantai di tangannya bertemu dengan benda logam yang keras! Jelas bahwa tongkat yang nampaknya butut itu menyembunyikan senjata logam kerasnya. Juga pertemuan dengan tongkat itu membuat rantai di tangannya terpental dan telapak tangannya terasa panas sekali. Diapun menjadi semakin penasaran dan dia memutar rantainya lebih gencar lagi. Akan tetapi, kini Bun Hou tidak hanya mengelak dan menangkis, melainkan mulai membalas dengan tamparan tangan dan tendangan kaki, dan juga totokan-totokan yang dilakukan dengan tongkatnya. Dari suhunya, Bun Houw menerima banyak macam ilmu silat, akan tetapi yang paling hebat merupakan keistimewaan gurunya, yaitu ilmu menotok jalan darah, lalu ilmu tongkat dan yang terakhir ilmu pedang. Melihat tingkat kepandaian lawan, Bun Houw masih belum mau menghunus pedang dari dalam tongkat bututnya. Gurunya tidak menghendaki dia sembarangan menghunus pedang, karena ilmu Pedang Kilat amat berbahaya. Sekali pedang itu tercabut sukar dicegah robohnya lawan dalam keadaan terluka parah atau tewas! Karena itulah, Bun Houw masih tidak mau mencabut pedangnya. Dia tidak mengenal si gendut ini, tidak mempunyai permusuhan pribadi. Si gendut hanyalah seorang utusan, seorang anak buah, maka tidak semestinya kalau dia melukainya dengan berat, Apalagi membunuhnya!"
Ilmu tongkat yang dimainkan Bun Houw memang merupakan ilmu tongkat yang amat hebat. Gerakannya cepat dan sukar diduga. Kalaupun tongkat itu hanya merupakan sebatang tongkat butut, namun sambarannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat, dan si gendut Gu Mouw maklum bahwa tongkat di tangan lawan itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Buktinya ketika tongkat itu menangkis rantainya, dia merasa betapa rantainya terpental dan telapak tangan yang memegang ujung rantai menjadi panas, itu saja sudah membuktikan bahwa selain pemuda itu memiliki tenaga kuat, juga tongkat itu bukan benda lunak dan lemah !
Melihat betapa sejak tadi si gendut tidak mampu merobohkan Bun Houw, sebaliknya kini malah terdesak hebat dan terus main mundur, tiga orang jagoan bawahannya menjadi penasaran, khawatir dan tidak sabar lagi. Diawali aba-aba si codet yang menjadi pemimpin, mereka lalu menerjang maju untuk mengeroyok Bun Houw, mempengunakan golok mereka yang dipegang di tangan kiri. Tentu saja mereka bertiga tidak akan gila berani maju lagi kalau di situ tidak ada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka mengharap bahwa dengan adanya Gu Mouw, mereka bertiga akan mampu membuat Bun Houw roboh!"
Melihat majunya tiga orang yang sudah patah tulang lengan kanan mereka itu, Bun Houw sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dia menjadi marah. Tiga orang Liu Sungguh tidak tahu diri! Maka, dia lalu menambah tenaganya dan pada saat rantai besi di tangan Gu Mouw menyambar ke arah kepalanya, dia menangkis dengan tongkat dan sengaja memutar tongkat itu dengan menggetarkan ujungnya sehingga ujung rantai melibat tongkatnya Dengan tenaga sentakan atau kejutan, dia menarik. Tubuh gendut itu tertarik mendekat dan Bun Houw menyambung tarikannya itu dengan tendangan kilat ke arah tangan kanan di ujung rantai.
"Dukk!" Tendangan dengan ujung kaki itu tepat mengenai tangan yang memegang gagang rantai, keras dan tepat. Gu Mouw mengeluh dan tak dapat dipertahankannya lagi, rantai itu dan terlepas dari tangannya!
Bun Houw mengayun tongkatnya dan rantai itupun terputar-putar, membentuk lingkaran sinar putih menyambut tiga orang jagoan yang mengepungnya dengan serangan golok.
Demikian kuat dan cepatnya rantai terputar. Begitu tiga batang golok menyambut dan menangkis, tiga batang golok itu terlepas dan terlempar jauh dan rantai masih terus berputar menghantam ke arah tiga orang itu. Mereka berteriak kesakitan dan roboh terjungkal dengan kepala berdarah! Mereka bertiga tidak tewas, juga luka mereka tidak membahayakan nyawa, namun kulit muka mereka pecah terkena hantaman rantai dan mengeluarkan banyak darah.
Melihat kehebatan pemuda itu, Gu Mouw maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkannya, maka diapun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi, Bun Houw berseru,
"Sobat she Gu, terimalah kembali senjatamu ini! Dan tongkatnya diputar, rantai itu ikut terputar kencang, lalu ketika tongkat dipantulkan kuat, rantai yang masih berputar itu terbang ke arah Gu Mouw yang melarikan diri!
Mendengar teriakan lawannya, Gu Mouw menahan langkahnya, lalu. membalik dan menggunakan kedua tangan untuk menerima rantainya yang berputar-putar itu. Rantai itu dapat ditangkapnya, akan tetapi saking kerasnya rantai berputar, kedua ujungnya menghantam perut dan pundaknya. Dia mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih, bergantian dia mendekap perut dan pundak yang luka berdarah. Kemudian, terhuyung-huyung dia melarikan diri dengan rantai masih melibat tubuhnya, diikuti tiga orang temannya.
Dengan susah payah mereka meloncat ke atas punggung kuda mereka yang tadi dibiarkan lepas tak jauh dari situ, Bun Houw tidak mengejar dan baru setelah empat orang itu melarikan diri, dia merasa tertarik sekali untuk melakukan penyelidikan. Mengapa mereka itu demikian bernafsu untuk membunuhnya? Pertama mengirimkan tiga orang jagoan itu, kemudian mengirim si gendut yang memang jauh lebih lihai dibandingkan mereka. Melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh dalam usaha mereka untuk membunuhnya, bukan tidak mungkin kalau mereka akan mengirim lagi orang-orang yang lebih lihai atau lebih banyak untuk mengejarnya. Dia harus mengetahui mengapa mereka demikian membencinya. Benarkah hanya karena dia bercakap-cakap dengan Ling Ay di taman kuburan? Rasanya tidak mungkin. Dan benarkah suami Ling Ay yang berada di belakang semua usaha untuk membunuhnya itu ?
Karena terlarik, maka diapun menggerakkan tubuhnya, berlari cepat membayangi empat ekor kuda yang sudah berlari jauh ke arah kota Nan-ping itu.
Cia Kun Ti meninggalkan gedung besar tempat tinggal puterinya dengan wajah muram. Baru saja dia berkunjung untuk menyusul isterinya yang belum juga pulang. Sehabis bersembahyang di taman kuburan, dia segera pulang, ke rumahnya sendiri, akan tetapi isterinya ikut dengan puteri mereka. Sampai hari menjadi sore, isterinya belum juga pulang, maka dia lalu menyusul ke rumah mantunya. Dan di rumah itu, dia mendengar dari isterinya betapa mantu mereka, Cun Hok Seng, marah-marah kepada Ling Ay dan ibunya. Mantunya itu marah karena menuduh Ling Ay mengadakan pertemuan dengan bekas tunangannya atau bekas kekasihnya! Dan mantunya mengharuskan Ling Ay tinggal saja di dalam kamar, tidak boleh keluar sebelum ada perintah darinya. Dan isterinya harus menunggui puteri mereka itu!"
Tentu saja hati Cia Kun Ti merasa tidak enak sekali dan diam-diam dia menyesali ke tamakan isterinya yang memaksanya dahulu untuk menerima pinangan Cun Hok Seng. Apa yang dikhawatirkanpun kini terjadi. Mantunya itu bukan orang baik-baik. Bahkan keluarga mantunya, yang kepala daerah, juga bukan orang baik-baik. Hal ini sudah diduganya semula, melihat adanya banyak peristiwa aneh terjadi di kota Nan-ping. Namun, semua telah terlambat, puterinya, anak tunggalnya, telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan dia tahu betapa isterinya merasa berbahagia karena memperoleh percikan kehormatan dan kemuliaan yang sesungguhnya semu saja. Bagi dia sendiri, diam-diam dia merasa malu, bukan hanya melihat ketamakan isterinya akan kehormatan dan kemuliaan, melainkan malu karena sebagai seorang suami dia tidak berdaya mempergunakan kekuasaannya mengatur isteri dan anak sendiri! Dan kini, terjadilah hal itu! Sungguh menjengkelkan. Dia tahu benar bahwa puterinya sama sekali tidak melakukan kesalahan! Pertemuannya dengan Bun Houw hanya kebetulan saja, dan di antara mereka tidak terdapat hal-hal yang kotor atau melanggar tata susila. Akan tetapi, akibat pertemuan itu telah makin menonjolkan watak dari mantunya !
Ketika Cia Kun Ti dengan wajah muram memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba ada suara orang memanggilnya,
"Paman Cia ...!"
Cia Kun Ti terkejut, cepat membalikkan tubuhnya dan kiranya Bun Houw sudah berada di situ, di dalam pekarangan rumahnya.
"Aih, engkau ini, Bun Houw? Mari, silakan masuk!"
Bun Houw menghaturkan terima kasih dan merekapun memasuki rumah itu, Rumah yang sudah amat dikenal oleh Bun Houw. Dahulu, beberapa tahun yang lalu, dia masih sering kali datang berkunjung ke rumah ini, rumah tunangannya, calon isterinya, rumah calon ayah dan ibu mertuanya! Rumah itu masih sama, hanya catnya yang baru dan ketika dia masuk, ternyata perabot rumah juga diganti dengan perabot baru yang lebih mahal. Tentu keluarga itu hendak menyesuaikan diri, pikirnya, sebagai mertua putera kepala daerah, tentu rumahnya harus lebih mewah.
Cia Kun Ti mengajak Bun Houw duduk di ruangan dalam dan setelah pelayan menghidangkan minuman dan makanan sekadarnya, Cia Kun Ti lalu menutupkan daun pintu ruangan itu dan sikapnya berubah sungguh-sunguh.
"Bun Houw, engkau masih berada di Nan-ping? Ah, aku girang sekali tidak terjadi sesuatu atas dirimu ...
"
Bun Houw memang sengaja datang ke rumah bekas calon mertua ini. Tadi dia membayangi empat penunggang kuda dan mereka itu masuk ke dalam sebuah rumah besar yang bersambung dengan rumah kepala daerah. Dia ingin mencari keterangan, dan satu-satunya orang yang akan dapat memberi penjelasan kepadanya hanyalah Cia Kun Ti, bekas calon mertuanya ini. Dia tahu bahwa Cia Kun Ti adalah sahabat yang sangat baik dan akrab-dengan mendiang ayahnya, dan tadi, di taman kuburan, Cia Kun Ti juga memperlihatkan sikap, yang amat baik kepadanya. Sebetulnya dia meragu untuk datang berkunjung, mengingat akan sikap Nyonya Cia yang agaknya tidak suka kepadanya. Maka, giranglah hatinya bahwa dia dapat berbicara empat mata dengan Cia Kun Ti. Kini, begitu tiba tuan rumah mengkhawatirkan keadaan dirinya!
"Ada apakah, paman ? Mengapa paman menduga bahwa akan terjadi sesuatu atas diriku," dia memancing.
Cia Kun Ti menarik napas panjang. Tadi dia mendengar dari isterinya yang menyumpah Bun Houw. Isterinya berkata bahwa kini Bun Houw dicari oleh orang-orangnya Cun Hok Seng dan akan dibunuh. Isterinya memujikan agar pemuda itu cepat dapat tertangkap dan dibunuh!
"Aku mendengar bahwa engkau dicari oleh para jagoan dari Cun-taijin, aku ... aku khawatir sekali."
Bun Houw mengangguk-angguk, girang bahwa dia mencari keterangan ke sini.
"Memang benar, paman. Empat orang mencari aku, dan bahkan mengejar aku yang sudah meninggalkan kota ini. Mereka hendak membunuhku, dengan-tuduhan bahwa aku menghina keluarga Cun karena aku berani bercakap-cakap dengan Ay... ah, dengan mantu kepala daerah, yaitu-puteri paman. Aku dapat mengalahkan mereka. Aku merasa penasaran dan aku berkunjung ini untuk mendapatkan penjelasan paman, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa pertemuan dan percakapan bersih antara aku dan puterimu. di taman kuburan itu saja membuat suaminya marah-marah dan hendak membunuhku. Siapakah mereka itu yang demikian kejam, paman ?"
Cia Kun Ti menarik napas panjang.
"Ah, ya sudah untungku ... sungguh kasihan nasib anakku. Ini semua kesalahan isteriku, bibimu yang tamak dan gila hormat itu! Sejak dulu aku sudah mendengar hal-hal yang tidak baik tentang keluarga kepala daerah. Akan tetapi bibimu memaksaku sehingga kami menerima pinangannya. Dan sekarang ...
"
"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Semua telah menimbulkan kecurigaanku, juga kecurigaan mendiang ayahmu. Sejak Cun-taijin menjadi kepala daerah di Nan-ping, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, nampak gejala gejala tidak benar. Cun taijin mempengunakan orang-orang kang-ouw yang menurut penilaian ayahmu adalah penjahat-penjahat besar."
"Benarkah itu, paman ? Apakah paman maksudkan bahwa kepala daerah itu mempengunakan penjahat-penjahat untuk melakukan, kejahatan?"
Yang ditanya menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak. Bahkan semenjak dia menjadi kepala daerah di sini, kota Nan-ping menjadi tenteram, tidak pernah terjadi kejahatan di kota ini. Tidak ada penjahat yang berani melakukan kejahatan, karena para tokoh sesat yang mereka takuti berada di sini menjadi kaki tangan kepala daerah!"
Bun Houw merata heran bukan main. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah, seorang pejabat pemerintah mempengunakan tokoh-tokoh sesat untuk menjadi kaki tangannya ?
"Lalu, untuk apa dia memelihara para tokoh sesat itu, paman ?"
Cia Kun Ti mengangkat pundak.
"Hal itu tidak ada yang tahu. Akan tetapi sejak dia menjadi kepala daerah, terjadi banyak hal aneh, seperti kematian ayahmu ...
"
"Maksud paman ...?"
"Aku tidak menduga yang bukan-bukan. Ayahmu memang seorang pendekar penentang kejahatan, karena itu lima orang berkedok yang kauceritakan telah membunuh ayahmu itu tentu saja para penjahat yang membalas dendam. Akan tetapi, banyak terjadi pembunuhan yang penuh rahasia. Banyak tokoh dan pejabat tewas tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Dan selain itu, sebagai seorang pedagang aku tahu bahwa kami para pedagang diperas oleh kepala daerah, dengan pungutan pajak-pajak tambahan yang tidak wajar. Dan tidak ada orang berani membantahnya. Bayangkan saja, sekarang Ling Ay menjadi anggauta keluarga Cun yang penuh rahasia itu! Dan ternyata sikap Cun Hok Seng juga aneh dan keterlaluan. Masa karena isterinya yang menjadi sahabat baikmu, kebetulan bertemu denganmu di taman kuburan lalu bicara di depan umum, bicara sopan, membuat dia marah seperti gila dan hendak membunuhmu? Aih, sungguh penuh rahasia ... dan aku, nasib yang buruk ini, makin tua aku semakin menderita, dan aku kasihan kepada puteriku ...
"
Bun Houw mengangguk-angguk.
"Memang kedengarannya aneh, paman. Empat orang itu hendak membunuhku, dan ketika mereka melarikan diri, mereka menuju ke rumah kepala daerah. Ada sebuah bangunan besar yang bersambung dengan gedung kepala daerah, dan mereka memasuki pekarangan rumah besar itu. Justeru kepadamu aku ingin mendengar keterangan tentang rumah besar itu, paman."
"Di sanalah mereka berkumpul. Penduduk tahu belaka bahwa mereka adalah kaki tangan kepala daerah, akan tetapi karena mereka tidak pernah mengganggu rakyat di depan umum, maka tidak ada yang perduli. Dahulu, di situ menjadi markas pasukan pengawal. Akan tetapi, kepala daerah agaknya lebih suka dikawal oleh kaki tangannya, dari pada oleh pasukan. Dan menurut kabar angin, kaki tangan kepala daerah itu merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi."
"Akan tetapi, paman. Apakah keadaan yang aneh itu tidak diselidiki oleh para pembesar dan pejabat lainnya? Bukankah kota Nan-ping ini mempunyai pula pejabat lain?"
Semua pejabat sipil adalah bawahan kepala daerah, dan satu-satunya pejabat militer adalah komandan pasukan keamanan yang markasnya berada di ujung kota sebelah selatan. Dengan Kim-ciangkun yang tua, Cun Taijin mempunyai hubungan yang amat baik. Entah dengan komandan yang sekarang ini, yang baru beberapa bulan menggantikan Kim-ciangkun. Komandan yang sekarang ini kabarnya dari kota raja, disebut Souw-ciangkun, entah bagaimana hubungannya dengan Cun Taijin, aku tidak tahu. Akan tetapi, ketika Kim-ciangkun masih menjadi komandan, beberapa orang perwira bawahannya juga kabarnya ada yang mati mendadak, ada pula yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, dan kabarnya mereka yang mati atau lenyap itu adalah para perwira yang memperlihatkan sikap tidak senang kepada Cun Taijin."
Bun Houw mengangguk-angguk.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 04
"Ah, semakin menarik saja, paman. Kalau aku tidak hendak dibunuhnya, tentu aku sudah pergi dari Nan-ping dan tidak tahu akan hal itu. Sekarang, hatiku tertarik sekali dan aku mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan."
Cia Kun Ti mengerutkan alisnya,
"Berhati-hatilah engkau, Bun Houw. Engkau sudah menjadi buruan mereka, bagaimana engkau malah hendak melakukan penyelidikan dan seolah-olah memasuki gua harimau? Mereka itu banyak dan kuat sekali, dan Cun Taijin amat berkuasa di sini, menjadi orang nomor satu di sini!"
"Harap paman Jangan khawatir. Aku hanya melanjutkan perjuangan ayah. Aku yakin bahwa kalau ayah masih hidup, tentu ayah akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cun yang penuh rahasia itu!"
"Ayahmu dahulu pernah mengatakan kecurigaan hatinya, akan tetapi setahuku belum pernah melakukan penyelidikan. Akan tetapi Bun Houw, apakah tidak lebih baik engkau mulai berdagang lagi saja? Aku suka membantumu dan ...
"
"Terima kasih, paman. Aku tidak berani menyusahkan paman. Bahkan sekarangpun aku harus pergi. Tidak baik kalau ada orang melihat aku berkunjung ke sini, tentu hanya akan mendatangkan kesusahan bagimu saja. Nah, selamat tinggal, paman. Sampaikan terima kasihku kepada ... adik Ling Ay bahwa ia mau bersembahyang di depan batu nisan ayah ibuku, dan aku selalu memujikan agar ia hidup berbahagia."
Setelah berkata demikian Bun Houw keluar dari rumah itu, berindap-indap dan menyelinap keluar tanpa diketahui orang lain. Dia kini tahu betapa besar bahayanya bagi Cia Kun Ti kalau sampai ada kaki-tangan kepala daerah melihat dia baru saja berkunjung ke rumah itu.
Bun Houw meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan dia maklum bahwa dia tidak boleh memperlihatkan diri di tempat umum karena dia pada saat itu adalah seorang buruan. Kalau kaki tangan kepala daerah melihatnya, tentu akan terjadi keributan dan dia akan diserang. Bukan dia takut, melainkan karena dia harus menyelidiki apa yang berada di balik segala rahasia keluarga kepala daerah Cun. Dia harus menyelidikinya, dan kalau perlu menentangnya, demi kehidupan rakyat penghuni kota Nan-ping, demi keluarga Cia Kun Ti, demi ... Ling Ay. Bukankah menurut keterangan Cia Kun Ti tadi, ayahnya dahulupun pernah menyatakan kecurigaannya terhadap kepala daerah Cun? Namun, ayahnya tidak sempat melakukan penyelidikan, maka biarlah kini dia yang melanjutkan kecurigaan ayahnya itu.
Sejak hari mulai gelap, dia sudah melakukan pengintaian terhadap rumah besar di dekat gedung kepala daerah. Gedung itu nampak sunyi, tidak ada yang keluar masuk. Akan tetapi, dia sudah mendengar dari Cia Kun Ti bahwa gedung atau rumah berar itu merupakan markas dari para kaki tangan Cun Taijin. Maka, setelah hari menjadi gelap benar, dia-pun mempengunakan kepandaiannya untuk menyelinap ke dekat rumah itu. kemudian meloncat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan rumah.
Dengan hati-hatl Bun Houw merangkak di atas wuwungan rumah dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya dan mendekam di atas sebuah ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka terdiri dari delapan orang. Di ujung meja duduk seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih seperti orang muda, rambutnya sudah ubanan dan orang ini mengenakan pakaian serba putih yang bersih, terbuat dari sutera balus. Hanya tali atau pita rambutnya saja yang berwarna biru. Sikapnya berwibawa dan mudah diduga bahwa dia tentu merupakan pimpinan dari kelompok itu. Bun Houw melihat pula pria gendut yang tadi dikalahkannya, duduk di antara tujuh orang lain. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tidak kelirukah penglihatannya?
Yang menarik perhatiannya dan membuat jantungnya berdebar adalah seorang yang duduk pula di situ. Dia tidak pernah melihat orang itu dan setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah seorang di antara lima orang penjahat bertopeng yang dulu membunuh ayahnya! Yang membuat dia merasa yakin adalah tangan kanan orang itu. Lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan! Tangan kanan itu sudah hilang, diganti dengan sebuah cakar baja yang mengerikan! Memang dia tidak mengenal wajah orang itu, akan tetapi tangan itu! Dan bentuk tubuhnya. Betapapun juga dia merasa ragu pula.
Kalau benar orang itu adalah seorang di antara lima penjahat yang membunuh ayahnya, mengapa dia berada di sini? Apakah yang empat orang juga berada di situ?
"Sungguh menyebalkan sekali." terdengar orang yang bertubuh tinggi kurus berkata sambil memandang kepada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw.
"Menghadapi seorang bocah ingusan saja sampai gagal, pada hal sudah dibantu tiga orang monyet tolol itu !"
Yang menegur itu adalah Bu-tek Kiam-mo, orang ke dua dari kelompok kaki tangan Cun Tai-jin. Mendengar ini, si gendut Gu Mouw mengerutkan alisnya dan memandang kepada rekannya itu dengan alis berkerut.
"Hemm, andaikata engkau sendiri yang maju, belum tentu engkau akan mampu mengalahkannya !"
Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari kursinya dan membentak,
"Aku tidak seperti engkau! Kalau pedangku tidak mampu membunuhnya, aku tidak akan kembali ke sini dan tentu sudah menjadi mayat. Tidak sudi aku membawa pulang kekalahan!"
Melihat suasana menjadi panas, Pek I Mo-ko segera bangkit berdiri dan bertepuk tangan, memberi isarat kepada dua orang yang bersitegang itu untuk menjadi tenang.
"Sudahlah, tidak perlu diributkan lagi. Kalau pemuda itu berani muncul lagi. kita usahakan agar dia itu dilenyapkan! Sebaliknya kalau dia sudah pergi sudahlah. Urusan dengan dia hanya kecil saja dan perintah atasan banya untuk menghajar dia, bukan membunuhnya. Kita menghadapi urusan yang lebih besar, tidak perlu meributkan urusan kecil!"
Mendengar ucapan itu. Bu-tek Kiam-mo dan Gu Mouw tidak banyak cakap lagi. Pek I Mo-ko lalu berkata lagi,
"Malam ini, sesuai dengan perintah atasan kita, kita harus dapat membunuh perwira tinggi itu. Ngo-kwi, kalian yang bertugas membantu Bu-tek Kiam-mo, dan kalian telah melakukan penyelidikan dan memilih saat yang baik. Bagaimana hasilnya penyelidikan terakhir?"
Mendengar disebutnya Ngo-kwi ini, jantung Bun Houw berdebar semakin kencang. Lima Iblis? Kebetulan pembunuh ayahnya juga lima orang banyaknya, dan seorang di antaran menurut keyakinannya, adalah orang yang lengannya buntung dan tangan kanannya diganti cakar besi itu! Seorang di antara mereka yang bertubuh pendek besar segera menjawab dengan suara lantang.
"Sudah siap semua! Menurut penyelidikan kami, memang malam ini saat paling baik. Perwira tinggi itu tidak berada di markas, dan sedang berlibur dengan keluarganya di gedung musim panas mereka, dekat telaga di luar kota. Kesempatan yang teramat baik bagi kita."
Buo Houw mengamati pembicara ini degan mata yang tak pernah berkedip, lalu dia mengingat-ingat. Memang, di antara lima orang bertopeng pembunuh ayahnya yang pernah mengeroyoknya itu, terdapat yang bertubuh pendek! Dan ada pula yang kulitnya hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Disapunya orang-orang di bawah itu dengan pandang matanya dan dia mengangguk-angguk ketika melihat seorang di antara mereka yang duduk di sebelah si lengan buntung. Orang itu tinggi besar dan kulitnya menghitam. Tak salah lagi, pikirnya. Si pakaian putih itu adalah pemimpin kelompok kaki tangan Cun Taijin ini. kemudian ada si gendut yang sudah dikalahkannya, dan orang yang tadi disebut Bu-tek Kiam-mo, si kurus tinggi itu, dan sisanya, yang lima orang tentulah Ngo-kwi, termasuk si lengan buntung dan sitinggil besar, juga si pendek. Kini keraguannya lenyap. Jelas bahwa lima orang Ngo-kwi inilah pembunuh ayahnya!
Akan tetapi kalau begitu ... mereka membunuh ayahnya bukan sebagai balas dendam para penjahat ? Apakah ada hubungannya pula dengan Cun Tai-jin? Apakah pembunuhan atas diri ayahnya itu dilakukan Ngo kwi sebagai pelaksanaan perintah dari Cun Taijin? Kalau benar demikian, kenapa? Lalu tunangannya, Ling Ay, diambil mantu. Apa artinya semua itu! Semangatnya untuk menyelidiki mereka itu menjadi semakin bernyala.
"Bukanlah di sana juga keluarga panglima itu dikawal pasukan?" tanya Pek I Mo-ko,
"Memang selalu ada pengawalan, akan tetapi karena panglima dan keluarganya sedang berlibur, maka yang bertugas jaga hanyalah pasukan pengawal terdiri dari duabelas orang saja. Tempat itu aman dan tidak jauh dari kota, tentu panglima tidak berprasangka buruk." jawab si pendek yang agaknya merupakan wakil pembicara dari Ngo-kwi.
"Bagus sekali kalan begitu! Kiam-mo, apakah engkau sudah mengatur siasat untuk gerakan malam ini ? Apakah engkau membutuhkan bantuan ?"
Dengan hati masih panas karena bantahan Gu Mouw yang merupakan orang yang setingkat lebih rendah kedudukannya. Bu-tek Kiam-mo menjawab dengan suara kaku,
"Aku tidak membutuhkan bantuan lagi! Sudah kami atur siasat sebaiknya dan pukulan kami malam itu sudah pasti tidak akan gagal. Ngo-kwi bersama belasan orang anak buah dengan menggunakan topeng akan menyerbu sehingga para perajurit pengawal yang hanya belasan orang jumlahnya itu tentu akan menghadapi para penyerbu. Kesempatan itu kupergunakan untuk menyusup ke dalam dan membunuh panglima. Setelah berhasil, kami akan segera meninggalkan tempat itu dan takkan ada seorang-pun anak buah yang dikenal oleh para perajurit pengawal. Untuk mengelabui pendapat umum. kami akan merampas perhiasan dan merampok barang-barang berharga yang berada di sana agar semua gerakan itu dianggap sebagai perampokan biasa."
Pek-i Mo-ko mengangguk-angguk.
"Bagus, aku percaya kalian berenam akan berhasil baik. Aku hanya memperingatkan kalian agar tidak melupakan dua hal yang amat penting. Pertama, kuperingatkan kepada Ngo-kwi agar kali ini tidak melakukan kebiasaan mereka yang bercahaya. Yaitu, jangan sekali-kali mengganggu para wanita di sana! Atasan kita memperingatkan hal ini. Kalian sekali ini dilarang untuk mengganggu wanita!"
"Wah, apa salahnya dengan itu ...?" Seorang di antara Ngo-kwi, yang bertubuh tinggi besar, mencela kecewa.
Mendengar ini, Bun Houw menggigit bibir mengepal tinju karena terbayanglah dia akan keadaan ibu kandungnya yang didapatkannya telah tewas dalam keadaan menyedihkan, menjadi korban perkosaan!"
"Tidak perlu banyak membantah!" bentak Pek-I Mo-ko kepada si tinggi besar.
"Atasan kita mengharuskau demikian. Mengerti? Awas-kalau ada yang melanggar. Kuulangi, pertama, tidak boleh mengganggu wanita di sana. Ke dua, semua barang yang dirampok harus cepat disingkirkan dan jangan sampai kelihatan di kota ini. Mengerti semua?"
Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi mengangguk walaupun nampak Ngo-kwi bersungut-sungut. Agaknya, kelima orang Ngo-kwi ini semua adalah penjahat-penjahat cabul yang suka mengganggu wanita! Mereka tidak mungkin dapat memuaskan nafsu mereka di Nan-ping, karen si atasan mereka melarang keras mereka semua melakukan perbuatan tercela di Nan-ping dan sekitarnya. Dan sekarang, dalam tugas membunuh seorang panglima, mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan nafsu mereka, akan tetapi ada perintah bahwa mereka dilarang keras mengganggu wanita dalam rombongan panglima!
Tak lama kemudian. Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi keluar dari ruangan itu, dan bersama belasan orang anak buah yang berada di luar ruangan, mereka itu, semua berjumlah duapuluh satu orang, lalu meninggalkau rumah besar dengan berpencar. Mereka semua sudah siap dengan pakaian serba hitam. Bahkan Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi, setelah keluar dari situ, juga mengenakan jubah hitam dan pakaian serba gelap. Mereka semua tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka, ada sesosok bayangan yang gerakannya amat cepat selalu membayangi mereka. Bayangan itu tentu saja Bun Houw. Dia tahu bahwa pemimpin, kelompok yang kini hendak membunuh seorang panglima itu dipimpin oleh Bu-tek Kiam-mo oleh karena itu, orang tinggi yang kurus sekali inilah yang selalu dia bayangi. Bukankah orang ini yang bertugas membunuh sang panglima? Dia tidak tahu mengapa panglima akan dibunuh akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus mencegah terjadinya kejahatan ini lebih dulu, baru kemudian membongkar rahasia yang menyelimuti keluarga kepala daerah Cun.
Malam itu gelap dan sunyi. Gerombolan jahat itu berkumpul di luar kota dan mereka menuju ke utara. Bun Houw tadi sudah mendengar percakapan mereka dan dia tahu rumah apa yang mereka maksudkan tadi sebagai gedung musim panas dekat telaga. Memang banyak pejabat yang kaya mempunyai rumah peristirahatan di dekat telaga, dan di antaranya tentu terdapat rumah peristirahatan keluarga panglima. Diapun tidak tahu siapa panglima, komandan pasukan keamanan yang baru di Nan-ping, yang oleh Cia Kun Ti disebut Souw-ciangkun itu. Lebih tidak mengerti lagi mengapa komandan baru yang katanya baru beberapa lama menjadi panglima di Nan-ping, kini-hendak dibunuh oleh komplotan jahat ini.
Menurut keinginan hatinya, Bun Houw bermaksud mendahului gerombolan jahat itu dan memberitahu kepada Souw ciangkun di rumah peristirahatannya dekat telaga, agar panglima itu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, gerombolan itu melakukan perjalanan cepat dan tidak sempat lagi baginya untuk mendahului. Apalagi, dia belum tahu benar di mana letak rumah itu, dan pula, belum tentu sang panglima mau percaya kepadanya, jangan-jangan malah dia yang dicurigai! Terpaksa, dia terus membayangi dan karena dia tahu bahwa Bu-tek Kiam-mo yang hendak melaksanakan pembunuhan, maka orang inilah yang selalu dibayanginya. Biarlah Ngo kwi dan anak buahnya berhadapan dengan pasukan pengawal. Yang penting dia harus menyelamatkan panglima dan keluarganya, mencegah terjadinya pembunuhan itu.
Tak lama kemudian tibalah gerombolan itu di tepi telaga dan mereka segera menuju ke sebuah rumah mungil yang terpencil jauh dari rumah-rumah peristirahatan lain. Akan tetapi, pada waktu itu, musim panas belum tiba dan sebagian besar rumah-rumah itupun kosong, hanya dihuni oleh satu dua orang penjaga gedung saja sehingga suasana di tempat itu gelap dan sunyi. Setelah melihat dengan jelas rumah mana yang dimaksudkan oleh gerombolan itu. Bun Houw mendahului mereka dan dia melihat bahwa rumah peristirahatan itu memang dijaga oleh pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang. Mereka itu berjaga di gardu penjagaan depan rumah, sebagian ada yang berjalan-jalan, dan ada pula yang bermain kartu di gardu yang diterangi lampu gantung yang cukup terang. Rumah itu sendiri sudah nampak sunyi walaupun masih ada lampu dinyalakan di dalam. Dia lalu menyelinap melalui belakang dan tak lama kemndian dia sudah berada di atas genteng rumah, mendekam di wuwungan sambil mengamati ke arah depan rumah.
Mereka memang melakukan siasat yang telah didengar oleh Bun Houw di sarang gerombolan itu. Belasan orang dipimpin oleh Ngo-kwi, muncul dari tempat gelap dan menyerbu gardu penjagaan. Para penjaga itu. tentu saja tetkejut bukan main melihat ada belasan orang menyerbu. Segera mereka berteriak,
"Perampok!" dan terjadilah pertempuran antara mereka dengan para penyerbu.
Selagi Bun Houw memandang dan siap siaga melindungi penghuni rumah, tiba-tiba ada bentakan di belakangnya.
"Pembunuh terkutuk!"
Untung Bun Houw cepat menggulingkan diri dari wuwungan, lalu meloncat dan membuat pok-sai (salto) beberapa kali ketika tubuhnya melayang turun ke atas tanah. Kalau tidak tentu dia sudah menjadi korban serangan sepasang pedang yang amat cepat gerakannya. Kini, penyerangnya itu sudah melayang turun pula dan langsung, tanpa banyak cakap lagi, sudah menyerangnya dengan gerakan sepasang pedangnya.
"Trang-trang ... !" Bun Houw menangkis. dengan tongkatnya, diam-diam merasa heran melihat bahwa penyerangnya itu sama sekali bukanlah Bu-tek Kiam-mo. Di dalam kegelapan, malam yang hanya diterangi lampu yang menyorot dari dalam sehingga cuaca menjadi remang-remang, dia tidak dapat melihat jelas. Namun penyerangnya ini biarpun tidak gemuk dan ramping, namun tidaklah setinggi Bu-tek Kiam-mo.
"Engkaulah penjahat terkutuk!" teriak Buo Houw dan diapun balas menyerang dengan tongkatnya. Gerakan tongkatnya cepat dan dahsyat sehingga orang itu mengeluarkan suara kaget lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, segera dia maju lagi dan sepasang pedangnya kini menyambar-nyambar ganas bagaikan dua ekor naga bermain-main di angkasa, menyambar-nyambar ke arah Bun Houw, mengeluarkan suara berdesingan mengerikan. Dan sepasang pedang itu mengeluarkan angin yang dahsyat. Tahulah Bun Houw bahwa lawannya ini lihai sekali ilmu pedangnya, akan tetapi jelas bukanlah Bu-tek Kiam-mo! Timbul perasaan khawatirnya. Kalau seorang saja sudah begini lihai, kemudian muncul Bu-tek Kiam-mo, bagaimana dia akan dapat melindungi penglima Souw dan keluarganya ?
Dia lalu teringat. Orang ini tadi langsung menyerangnya dan memakinya pembunuh! Dia Pembunuh? Dia tidak pernah membunuh siapa pun juga. Mengapa dia dimaki pembunuh !
"Tranngg ... !" Tongkatnya membuat gerakan panjang, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan dia meloncat ke belakang. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan hitam meloncat ke atas genteng rumah itu. Bayangan yang tinggi kurus. Tentu Bu-tek Kiam-mo, pikirnya dengan hati gelisah.
"Nanti dulu ...!" Dia berseru kepada penyerangnya.
"Tak perlu banyak cakap! Engkau datang hendak membunuh Siauw-ciangkun, bukan?" Sepasang pedang itu sudah bengerak lagi. akan tetapi Bun Houw cepat meloncat ke belakang. Kiranya penyerangnya itu seorang wanita! Tadi ketika membentaknya, dia tidak begitu jelas. Kini setelah orang itu bicara, segera dapat diketahuinya bahwa ia seorang wanita. Seorang wanita yang lihai bukan main.
"Nanti dulu! Aku bukan pembunuh, aku datang justeru untuk melindunginya, melindungi Souw ciangkun dan keluarganya. Dan pembunuhnya sudah menyelundup, lihat itu dia di atas genteng! Kau cegah dia, aku akan membantu para pengawal menghadapi serbuan penjahat. Cepat ... !"
Wanita itu agaknya baru sadar.
"Baik. kalau engkau berbohong, nanti masih ada kesempatan bagiku untuk memenggal lehermu," berkata demikian bagaikan seekor burung saja ia sudah melayang ke atas genteng mengejar bayangan hitam tinggi kurus itu.
Bun Houw tersenyum. Ia tidak dapat melihat jelas wajah wanita itu, tidak tahu ia muda atau tua, cantik atau buruk. Akan tetapi yang jelas, wanita itu cukup lihai dan cukup galak. Akan tetapi dalam keadaan segawat itu, dia tidak sempat menduga-duga siapa gerangan wanita yang lihai dan galak itu. Belasan orang perajurit pengawal itu sudah nampak terdesak, bahkan ada beberapa orang di antara mereka telah terluka. Bun Houw meloncat dan terjun ke dalam pertempuran itu sambil membentak nyaring,
"Ngo-kwi. pembunuh jahat yang pantas dibasmi!"
Lima orang yang memimpin para anak buahnya mendesak para penjaga itu terkejut ketika melihat bayangan orang berkelebat disusul robohnya dua orang anak buah mereka. Cepat mereka berlima itu menyambut pemuda yang baru saja menerjang masuk sambil memutar tongkatnya itu. Mereka terkejut ketika mengenal pemuda itu. Masih teringat oleh mereka wajah Bun Houw, dan biarpun mereka diam saja untuk tidak membuka rahasia mereka bahwa merekalah pembunuh Kwa Tin dan Ibunya, orang tua pemuda ini, mereka segera mengeroyok dengan maksud membunuh pemuda yang akan dapat membahayakan mereka di masa mendatang itu. Mereka berlima adalah orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan. Membunuh orang merupakan pekerjaan biasa bagi mereka dan memang mereka berlima itu lihai, Apalagi kalau maju berlima karena mereka dapat bekerja sama dengan baik. Tidak kosong saja julukan mereka sebagai Ngo-kwi (Lima Setan) dan menjadi tokoh-tokoh ke empat dalam urutan tingkat kepandaian para pembantu rahasia kepala daerah Nan-ping, yaitu Cun Tai-jin. Begitu lima orang itu mengepung dan mengeroyoknya dengan pedang mereka. Bun Houw menggerakkan tongkat bututnya melindungi diri. Akan tetapi lima orang lawan itu tidak menyerang secara membabi buta saja. Mereka membentuk sebuah Kiam-tin (pasukan pedang) dan gerakan mereka teratur rapi, seolah-olah lima orang itu digerakkan oleh satu hati saja.
Hal ini tidak aneh karena memang mereka berlima itu ahli dalam gerakan yang dinamakan Ngo-heng-kiam-tin (Pasukan Pedang Lima Unsur), Gerakan mereka susul menyusul dan bantu membantu, seperti lima orang yang sedang memainkan tarian ular naga, semua sudah diperhitungkan dan pedang mereka susul-menyusul ketika menyerang Bun Houw, juga mereka itu saling melindungi kalau pihak lawan menyerang seorang dari mereka. Juga mereka berputar-putar, mengelilingi Bun Houw, lalu tiba-tiba menyerang bertubi-tubi, kalau serangkan mereka itu gagal, tiba-tiba mereka menghentikan serangan dan berlari-lari mengelilingi lawan lagi.
Bun Houw memang telah menerima gemblengan yang hebat dari gurunya, dan dia telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Namun, baru saja dia meninggalkan gurunya, bagaikan seekor burung baru saja meninggalkan sarang. Dia belum berpengalaman, oleh karena itu, dia juga bersikap hati hati sekali. Kalau dia menghendaki, pedang pusaka di tangannya, yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) tentu akan dapat merobohkan lima orang pengeroyoknya itu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi dia bukan hanya menerima gemblengan ilmu-silat dari Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong. melainkan terutama sekali menerima gamblengan batin yang membuat pemuda ini sudah mampu menguasai nafsunya. Dia tidak ingin membunuh Ngo-kwi begitu saja, melainkan hanya ingin menghajar mereka, agar mereka itu tidak jahat lagi. Maka, diapun tetap menggunakan tongkat butut yang menyembunyikan pedang pusaka ampuh. Gurunya pernah berpesan agar dia tidak sembarangan mencabut Pedang Kilat dari dalam tongkat butut, cukup mempengunakan tongkat itu saja untuk membela dan melindungi dirinya.
Karena Bun Houw menghadapi Ngo-kwi dengan hati-hati, menangkis dengan tougkat butut dan kadang-kadang membalas dengan pukulan-pukulan tongkat, maka lima orang pengeroyok itu tidak dapat segera dia kalahkan, bahkan mereka itu berusaha mendesak dengan serangan-serangan maut yang kejam dan curang. Akan tetapi belasan orang anak buah penjahat itu kini terdesak. Setelah lima orang pemimpin mereka terlibat dalam pertandingan melawan pemuda bertongkat yang baru muncul, mereka kehilangan pimpinan dan para perajurit pengawal yang gagah itu segera membuat mereka kewalahan.
Sementara itu, di sebelah dalam gedung terjadi pula perkelahian yang amat seru. Wanita yang tadi saling serang dengan Bun Houw, kemudian dapat disadarkan oleh pemuda itu dan loncat mengejar Bu-tek Kiam-mo, dengan sepasang pedang di tangan berhasil memasuki ruangan dalam di mana ia melihat Souw ciangkun dengan mati-matian membela diri dengan sebatang pedang terhadap serangan Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) Bouw Swe, Sesuai dengan julukannya, Bouw Swe yang bertubuh tinggi kurus itu lihai bukan main dalam ilmu silat pedangnya. Jelas nampak betapa Souw Ciangkun terdesak hebat dan hanya mampu menangkis saja tanpa dapat membalas kembali. Souw-ciangkun juga bukan orang lemah, namun dia lebih pandai mengatur pasukan dari pada Ilmu silat, Apalagi yang dilawan sekarang adalah seorang tokoh sesat yang lihai sekali seperti Bu-tek Kiam-mo. Jelas bahwa kalau tidak segera mendapat bantuan, dalam waktu belasan jurus lagi saja keselamatan nyawa Souw-ciangkun terancam oleh pedang Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe yang lihai itu.
Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang halus dan nyaring,
"Pembunuh keji, siaplah untuk menerima hukuman!" Dan gadis itu sudah melayang turun dan sepasang pedangnya diputar menjadi dua gulungan sinar yang melayang dan menyambar ke arah kepala Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe!
"Ehhhhh," Setan Pedang itu terkejut bukan main dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, Souw-ciangkun sudah mundur dan mepet di sudut ruangan sambil melintangkan pedang di depan dada, siap membela diri, dan seorang gadis yang bertubuh ramping sudah berdiri di situ dengan sepasang pedang di tangan. Biarpun ruangan itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung, namun cukup terang menyinari sebuah wajah yang cantik jelita namun gagah dengan sinar mata mencorong dan sikap yang agung. Gadis itu usianya sekitar delapanbelas tahun, tubuhnya ramping akan tetapi penuh mendekati montok dengan lekuk lengkung yang indah sempurna membayang di balik pakaiannya yang ketat, pakaian yang biasa dipakai seorang wanita yang biasa melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw (sungai telaga atau rimba persilatan). Pakaiannya, bersih dan rapi, namun sederhana. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, sederhana pula, seperti juga wajahnya yang hanya dilapisi bedak tipis tanpa pemerah bibir atau pipi. Memang tidak perlu menggunakan pemerah lagi karena bibirnya itu sudah merah segar membasah, pipinya juga kemerahan sebagai, bukti bahwa gadis ini memang sehat sekali. Warna bajunya kehitaman, membuat kulit pada leher dan mukanya nampak semakin putih mulus.
"Ciangkun, harap mundur dan biarkan aku yang menghajar kepada pembunuh laknat ini!" kata gadis itu dengan sikap tenang sekali.
"Awas, nona, ...!" Souw Ciangkun berseru ketika melihat betapa si tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menggerakkan pedangnya, secara curang menyerang gadis itu tanpa memberi peringatan lagi seperti lajimnya sikap seorang gagah dalam dunia persilatan.
"Singgg ... wuuuttt!" Gadis itu dengan tenangnya melangkah mundur selangkah dan menarik tubuh atas ke belakang. Serangan pedang itu luput dan lewat dengan cepat, akan tetapi tidak percuma Bouw Swe berjuluk Setan Pedang. Pedangnya yang meluncur luput dari sambaran itu tiba tiba saja membalik dan kini menyambar ke arah leher lawan!"
Namun, gadis itu tetap tenang saja. Tanpa menggerakkau kaki, dan berdiri dengan tegak saja, kedua tangannya menggerakkan sepasang pedangnya dan ke manapun pedang di tangan Bouw Swe menyambar, selalu pedang itu bertemu dengan pedang gadis itu yang menangkisnya.
"Trangg, tringg, traangg, trangg ...!" berkali-kali pedang Bu-tek Kiam-mo bertemu dengan pedang gadis itu, dan nampak api berpijar menyilaukan mata dan setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, Bu-tek Kiam-mo merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang kuat pula.
Terjadilah perkelahian yang hebat di dalam gedung itu, hanya ditonton oleh Souw ciang-kun yang tidak berani membantu gadis itu. dia tahu bahwa ilmu silatnya terlampau rendah untuk membantu gadis itu, dan bantuannya bahkan hanya akan menjadi penghalang karena dia dapat melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.
Memang, baru sekali itu Ba-tek Kiam-mo bertemu tanding sebebat itu. Sekali ini, julukan yang biasanya dia banggakan dan sombongkan itu terancam bahaya. Dia berani menggunakan julukau Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding), akan tetapi sekarang dia bertemu dengan seorang gadis muda remaja yang memiliki ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Gerakan kedua pedang itu cepat dan aneh, memiliki perubahan gerakan yang tidak tersangka-sangka sehingga beberapa kali dia terkecoh dan hampir saja dia menjadi korban sambaran pedang. Selain memiliki ilmu pedang pasangan yang amat tangguh, juga pedang-pedang di tangan gadis itu bukan siang-kiam (pedang pasangan) biasa saja karena mampu menahan pedangnya sendiri tanpa rusak, bahkan gadis itu memiliki pula sin-kang (tenaga sakti) yang mampu mengimbanginya! Sekali ini, benar-benar dia bertemu tanding yang kuat, pada hal lawannya itu hanyalah seorang gadis remaja. Betapa akan malunya kalau sampai hal ini dikelahui oleh dunia kang-ouw. Apalagi kalau sampai dia kalah. Baru tak mampu merobohkan gadis itu saja sudah akan membuat namanya menjadi buah tertawaan para tokoh kang-ouw dan tentu dia akan diejek dan akan merasa malu untuk menyandang julukan Tanpa Tanding lagi. Maka, diapun mengeluarkan bentakan keras dan mengeluarkan jurus Ilmu pedangnya yang paling ampuh.
"Hyaaaaatit ... sinnggg ...!" Pedang itu membuat lingkaran sehingga sinarnya bergulung-gulung, kemudian gulungan sinar pedang itu mencuat dan meluncur ke arah perut lawan! .
Gadis itu agaknya maklum akan hebat dan dahsyatnya serangan ini, maka Iapun menggeser kaki ke belakang, pedang kirinya menangkis dan pedang kanannya membabat ke arah leher lawan. Namun, sekali ini agaknya Bouw Swe sudah memperhitungkan. Begitu pedangnya tertangkis, pedang ini membalik tiba-tiba, dari bawah menyambar ke atas menjadi tusukan ke arah tenggorokan lawan sedangkan tubuhnya merendah untuk menghindarkan sambaran pedang ke arah lehernya.
"Ihhk? Gadis itu terkejut juga hebat memang jurus serangan lawan itu. Kedua pedangnya tidak nampak lagi menangkis pada saat pedang lawan dari bawah meluncur ke atas menusuk tenggorokannya. Terpaksa Ia melempar tubuh ke belakang, akan tetapi pada saat itu, Bouw Swe sudah mengirim tendangan kaki kirinya ke arah selangkangan lawan!
Ahhh!" Gadis itu kembali berseru kaget, cepat ia menarik diri ke belakang, namun tetap saja ujung sepatu Bouw Swe menyentuh pahanya dan iapun terguling. Bouw Swe girang sekali dan menubruk, akan tetapi pedangnya bertemu dengan sepasang pedang yang disilangkan, dan perutnya dihantam sepatu kaki gadis! itu.
"Dukkk!" Tubuh Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe terjengkang. Kiranya serangan tendangannya tadi dibayar kontan oleh lawan bahkan berikut bunganya karena kalau gadis itu hanya kena serempet pahanya saja, dia terkena tendangan yang dengan keras dan tepatnya mengenai perutnya, membuat perutnya tergoncang dan seketika terasa mulas. Maklum bahwa lawannya memang tangguh sekali. Bu-tek Kiam-mo mulai meragukan keselamalannya kalau dia lanjutkan perkelahian itu. Pada saat itu, dia mendengar teriakan-teriakan di luar rumah dan mendengar itu, wajahnya berubah gelisah. itulah suara teriakan dari Ngo-kwi dan anak buahnya, bukan teriakan kemenangan. melainkan teriakan kesakitan dan ketakutan. Mengertilah dia bahwa pelaksanaan tugas mereka telah berentakan dan gagal, bahkan dia sendiri terancam bahaya. Gadis yang menjadi lawannya sudah demikian lihainya. Kalau sampai gadis itu dibantu orang lain, dia pasti celaka. Maka, pedangnya bengerak ke belakang, menyambar ke arah lampu gantung yang menerangi ruangan itu dan terdengar suara nyaring. lampu pecah dan ruangan itu menjadi gelap gulita!
Gadis itu sama sekali tidak menyangka hal ini. Ia terkejut sekali dan sekali meloncat ia telah berada di dekat Souw Ciangkun, berbisik.
"Ciangkun, harap diam saja jangan bergerak!" dan iapun berjaga di situ, siap untuk melindungi perwira tinggi itu kalau sampai ada musuh yang melakukan penyerangan di dalam gelap. Terpaksa Ia tidak melakukan pengejaran ketika bekas lawannya meloncat keluar, karena ia tidak berani meninggalkan perwira yang jelas diincar nyawanya oleh para penjahat itu. Memang ini yang diharapkan Bouw Swe. Dia meloncat keluar dan benar saja. Di luar dia melihat betapa dua orang di antara Ngo-kwi sudah roboh mengaduh-aduh, sedangkan belasan orang anak buah terdesak hebat, bahkan ada hampir separuh dari mereka telah menderita luka-luka. Dia lalu terjun membantu para anak buah yang didesak sambil berseru keras memberi aba-aba kepada mereka dan kepada Ngo-kwi untuk melarikan diri.
Bun Houw memang telah berhasil merobohkan dua orang di antara Ngo-kwi, merobohkan tanpa membunuh mereka, bahkan tidak melukai berat, hanya membuat orang pertama patah tulang pundaknya dengan hantaman tongkat butut, dan orang ke dua patah tulang lengan dengan tangkisan lengan kirinya yang mengandung tenaga siu-kang kuat. Tiga orang lainnya sudah ketakutan dan melindungi diri mati-matian terhadap pemuda yang kini di luar dugaan mereka, telah menjadi seorang yang demikian lihainya.
Begitu mendengar aba-aba dari Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, mereka segera berloncatan melarikan diri. Dua orang yang tadinya hanya mengaduh-aduh, dapat berloncatab dan melarikan diri pula. Yang nyeri hanyalah pundak dan lengan, kaki mereka tidak terluka. Pula, dalam keadaan panik, orang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, jauh lebih besar dari pada kekuatan serta kemampuan biasa mereka, juga dapat melupakan semua rasa nyeri yang mengganggu. Jangankan baru patah tulang pundak atau lengan, andaikata yang patah itu tulang kaki mereka sekalipun, dalam keadaan panik ketakutan seperti itu, kiranya mereka masih akan mampu melarikan diri.
Bun Houw tidak melakukan pengejaran, karena dia sudah tahu siapa mereka. Dia bersikap tenang saja, menyimpan kembali tongkat bututnya yang diselipkan di pinggang, dan hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi terdengar suara dari dalam.
"Tai-hiap, tunggu dulu ...!"
Bun Houw menahan langkahnya lalu berbalik dan dia sudah berhadapan dengan seorang pria berusia lima puluh tahun yang gagah dan dari sikap dan pakaiannya dia dapat menduga bahwa tentu orang ini yang disebut Souw-ciangkun dan tadi hendak dibunuh oleh kawanan penjahat. Di samping perwira ini berdiri seorang gadis yang membuatnya kagum bukan main karena dia masih mengenal pakaian baju hitam dan celana kuning yang dipakai gadis itu. Ternyata wanita yang lihai dan galak tadi adalah seorang gadis remaja, pikirnya penuh kagum. Seorang gadis yang usianya tentu belum ada duapuluh tahun! Gadis itupun memandang kepadanya dengan penuh perhatian, kemudian ia menoleh kepada perwira itu dan berkata.
"Souw-ciangkun, apakah ciangkun sudah mengenal dia ini?" suara gadis itu halus, akan tetapi tegas.
Perwira itu mengamati wajah Bun Houw dan menggeleng kepala.
"Kalau ciangkun belum pernah mengenalnya, sebaiknya orang ini ditahan dan ditanyai dengan jelas. Aku tadi melihat dia bersembunyi di atas wuwungan rumah ini. Siapa tahu dia seorang di antara para penjahat yang hendak membunuh ciangkun!"
Mendengar ini, Bun Houw mengerutkan alisnya dan hendak membantah, akau tetapi dia menekan perasaannya. Nona ini lihai dan galak, dia tidak perlu menanggapi, karena kalau demikian, berarti mereka berdua sama galaknya. Diapun tersenyum saja dan menyerahkan kepada perwira itu untuk melakukan penilaian. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara para petugas jaga atau para pengawal, membantah ucapan gadis itu.
"Ciangkun, kami melapor!" kata kepala jaga dengan suara tegas dan sikap seorang perajurit sejati,
"Kami tadi telah diserbu oleh belasan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang yang lihai. Kemudian muncullah pendekar ini dan tanpa bantuan dia, mungkin kami semua telah roboh menjadi korban kejahatan gerombolan itu. Pendekar ini telah menyelamatkan kita, ciangkun, dia sama sekali bukan penjahat, bahkan dia yang mengusir para penjahat tadi!"
Mereka semua mengangguk-angguk dan mereka memandang kepada gadis ini dengan sinar mata penasaran dan marah mendengar betapa penolong mereka bahkan dituduh menjadi penjahat!"
Perwira itu mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Akupun sudah menduga demikian. Ketahuilah, aku sendiri mungkin telah tewas kalau saja tidak ada li-hiap (pendekar wanita) ini yang menyelamatkan aku. Kalian semua lakukanlah penjagaan dengan ketat dan rawat teman yang terluka. Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita), mari silakan masuk ke ruangan dalam. Kami ingin bercakap-cakap dengan ji-wi (anda berdua)."
Sejenak Bun Houw saling pandang dengan gadis itu. Bun Houw tersenyum, senyum yang mengandung godaan karena baru saja gadis itu menuduhnya sebagai penjahat, dan gadis itu agaknya dapat mengenal senyum yang mengandung godaan itu. Ia cemberut dan membuang muka. Demikian manisnya gerakan ini, manis dan manja sehingga senyum di bibir Bun Houw melebar. Bukan main gadis ini, pikirnya. Bukan saja cantik dan gagah perkasa, akan tetapi setiap gerakannya mengandung daya tarik yang demikian kuat. Bahkan menarik muka cemberutpun tampak makin manis!
Mereka berdua tanpa bicara mengikuti perwira itu masuk ke ruangan sebelah dalam, disambut oleh Nyonya Souw yang masih nampak pucat ketakutan. Ketika terjadi keributan, ketika suaminya keluar dari kamar membawa pedang, ia hanya bersembunyi saja di dalam kamar sambil mengintai dari celah-celah jendela kamar.
"Nona pendekar inilah yang tadi telah menyelamatkan aku ketika diserang penjahat dan tai-hiap ini yang mengusir para penjahat yang menyerbu ke sini. Li-hiap dan tai-hiap ini adalah isteriku." Nyonya rumah memberi hormat, dibalas oleh Bun Houw dan gadis pendekar itu. Kemudian nyonya Souw masuk ke dalam lagi untuk mempersiapkan minuman, dan meninggalkan suaminya bercakap-cakap dengan dua orang penolongnya.
Setelah Isterinya masuk, Souw Ciangkun lalu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang muda itu.
"Pertama-tama, aku mengucapkan terima kasih kepada ji-wi (kalian berdua) yang telah menyelamatkan kami dari sergapan gerombolan penjahat."
Bun Houw segera bangkit berdiri pula dan membalas penghormatan itu sambil berkata.
"Tidak perlu berterima kasih, ciangkun. Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menentang orang jahat."
Gadis itupun tidak mau kalah. Ia membalas penghormatan perwira itu dan berkata,
"Sebagai seorang pendekar, aku selalu akan membela yang benar dan membinasakan yang jahat. Tidak perlu berterima kasih, Souw Ciangkun!"
Bun Houw memandang kepadanya dan kebetulan gadis itupun melirik sehingga kembali pandang mata mereka bertemu dalam suasana seperti dua orang bersaing!
"Silakan ji-wi duduk," kata pembesar militer itu.
"Setelah mengucapkan terima kasih, aku ingin sekali mengetahui bagaimana ji-wi dapat mencegah terjadinya kejahatan ini dan bagaimana dapat mengetahui bahwa mereka malam ini menyergap kami yang sedang berlibur di sini. Mari kita mulai dari keteranganmu. tai-hiap "
Bun Houw melirik ke arah gadis itu yang memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik sehingga dia merasa seolah-olah dia sedang diperiksa sebagai seorang pesakitan di depan seorang hakim! Sinar mata gadis itu seolah-olah mengandung suatu ketidak percayaan atau kecurigaan terhadap dirinya!"
Dia menarik napas panjang dan menekan perasaannya yang sebenarnya sedang gelisah. Dia sejak tadi teringat akan Cia Ling Ay dan hatinya gelisah bukan main, penuh kekhawatiran terhadap wanita yang pernah menjadi tunangannya itu. Jelas bahwa keluarga Cia akan tersangkut dalam urusan ini, karena menurut penuturan paman Cia Kun Ti, keadaan Cun Tai-jin amat mencurigakan. Kalau sumpai kemudian ternyata bahwa keluarga Cun mempergunakan orang-orang dari dunia hitam untuk melakukan kejahatan, tentu diri Ling Ay sebagai mantu pembesar itu akan terlibat, dan tentu ayah bundanya pula! Tentu saja hatinya gelisah sekali memikirkan Ling Ay dan ayahnya.
"Nama saya Kwa Bun Houw. Kalau ciang-kun sudah sejak enam tahun yang lalu tinggal di Nan-ping, tentu mengenal keluarga mendiang ayahku. Dahulu ayah dikenal di kota ini sebagai Kwa-enghiong. Akan tetapi enam tahun yang lalu, ayah dan ibu tewas di tangan gerombolan penjahat. Saya sendiri nyaris tewas kalau tidak tertolong seorang pendekar sakti. Saya lalu mempelajari dan memperdalam ilmu silat dan baru beberapa hari ini, pada hari raya Ceng beng, saya berkunjung ke makam orang tua saya. Karena itu saya kebetulan berada di Nan-ping. Kebetulan saja saya bentrok dengan kaki tangan penjahat dan saya melakukan penyelidikan di sarang mereka. Dari penyelidikan itulah saya mendengar akan rencana mereka untuk membunuh keluarga ciangkun di sini. maka saya membayangi mereka dan bisa sampai ke sini."
"Kwa-tai-hiap (pendekar besar Kwa), di manakah sarang mereka itu?" Souw ciangkun bertanya.
Kembali Bun Houw merasa betapa jantungnya berdebar tegang, penuh kekhawatiran terhadap diri Ling Ay. Dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Ling Ay dari bencana, apapun yang terjadi. Dia tahu bahwa Ling Ay menjadi mantu kepala daerah Cun karena terpaksa, dipaksa ibunya sedangkan ayahnya terlalu lemah menghadapi ibunya. Ling Ay menjadi korban kawin paksa. Bukan kesalahan Ling Ay kalau ia menjadi mantu kepala daerah Cun yang ternyata merupakan seorang yang amat jahat, yang mempergunakan tokoh-tokoh sesat melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tentu ada niat jahat di balik semua itu. Dan sekarang, kalau sampai keluarga Cun disergap oleh Souw Ciangkun dan pasukannya, tentu Ling Ay akan terbawa-bawa, tersangkut, dan akan ditawan pula, atau mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu! Tidak, dia harus mencegah terjadinya hal ini!"
"Ciangkun, maafkan kalau saya tidak dapat mengatakan sekarang. Akan tetapi, kalau Ciangkun percaya kepada saya, maka biarlah saya yang akan menjadi petunjuk jalan, apa bila ciangkun hendak mengambil tindakan." Jawabnya.
"Hemmm, aneh sekali! Kenapa tidak langsung saja melaporkan kepada Souw Ciangkun di mana letak sarang penjahat itu? Mengapa engkau seperti hendak menyembunyikan tempat itu? Apakah engkau ingin melindungi para penjahat itu !"
"Itu adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain." kata Bun Houw, panas juga perutnya didesak dan dituduh seperti itu.
Souw Ciangkun merasa heran mengapa dua orang pendekar yang agaknya baru sekarang saling bertemu itu, dan yang keduanya telah berjasa menolongnya dari ancaman penjahat, kini agaknya saling bersikap tidak manis, terutama sekali pendekar wanita itu.
"Tentang mengambil tindakan itu akan kami pertimbangkan setelah kami mendengar keterangan ji-wi. Sekarang harap li-hiap suka menerangkan apa yang li-hiap ketahui dan bagaimana li-hiap dapat pula datang ke sini untuk menyelamatkan kami."
"Aku datang ke Nan-ping untuk urusan pribadi," kata gadis itu sambil mengerling ke arah Bun Houw, seolah hendak memperlihatkan bahwa iapun tidak mau kalah dan iapun mempunyai "urusan pribadi"! "Namaku Ouwyang Hui Hong dan aku memang bendak mencari seorang yang bernama Ciong Kui Le, berjuluk Pek I Mo-ko untuk urusau pribadi itu. Jejaknya menuju ke Nan-ping dan akhirnya aku mendengar bahwa dia memang berada di kota ini. Malam tadi aku melakukan penyelidikan dan aku melihat rombongan orang-orang yang mencurigakan tadi. Aku membayangi mereka dan dari percakapan mereka di perjalanan, tahulah, aku bahwa mereka bermaksud untuk membunuh Souw Ciangkun. Maka, setelah tiba di sini aku segera turun tangan."
"Dan tahukah engkau di mana sarang para penjahat itu, li-hiap!" tanya perwira itu.
Gadis itu melirik ke arah Bun Houw.
"Aku tahu, ciangkun. Kalau ciangkun hendak menggerakkan pasukan menyerbu, biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan. Biarpun belum yakin benar, aku menduga bahwa tentu ada hubungan antara gerombolan penjahat tadi dengan Pek I Mo-ko yang kucari-cari."
"Teutu saja ada hubungan!" kata Bun Houw, suaranya juga tidak ramah karena sikap gadis itu seolah-olah memusuhi atau menyainginya.
"Pek I Mo-ko adalah pemimpin mereka! Yang hendak membunuh Souw Ciangkun tadi adalah Bu-tek Kiam-mo, dan lima orang yang memimpin para gerombolan di luar tadi berjuluk Ngo kwi."
Gadis itu segera berubah sikapnya. Kalau tadi ketus dan dingin, kini ia memandang kepada Bun Houw dengan wajah berseri dan suaranya sama sekali kehilangan dingin dan ketusnya ketika ia bertanya,
"Benarkah itu? Yakin benarkah engkau bahwa pemimpin mereka adalah Pek I Mo-ko?"
Diam-diam Bun Houw merasa heran bukan main dan kembali lagi kekagumannya. Gadis ini dapat berubah seperti angin, sebentar murung sebentar gembira, sebentar dingin sebentar panas. Diapun yang memiliki watak dasar lembut dan ramah, tidak dapat mempertahankan sikapnya yang tadi pura-pura acuh dan dingin.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja aku yakin. Ketika mereka mengadakan rapat, aku melakukan pengintaian dan aku melihat sendiri Pek I Mo-ko ...
"
"Coba kau gambarkan bagaimana orangnya, kalau memang benar engkau telah melihatnya. Bagaimana wajahnya, bagaimaua penampilannya, dan berapa usianya. Aku ingin pasti, bahwa memang benar dia Pek I Mo-ko!" Gadis itu kini bicara penuh gairah, penuh keinginan tahu dan sama sekali tidak mengandung nada tidak percaya lagi, maka Bun Houw terseuyum. Dia merasa seperti menghadapi seorang kanak-kanak nakal dan manja.
"Usianya sukar ditaksir, mungkin sudah enampuluh tahun mungkin juga baru empat puluh tahun. Wajahnya dan tubuhnya masih nampak muda, wajahnya belum berkeriput dan tubuhnya masih tegap, akan tetapi rambutnya sudah penuh uban. Pakaiannya serba putih dengan sabuk biru dan pita rambutnya dari sutera biru pula. Wajahnya bulat, dengan sepasang mata yang mencorong, suaranya lembut namun nadanya ketus. Oya, kalau aku tidak salah lihat, ada setitik tahi lalat di dagunya ...
"
"Ah, benar itu dia Pek I Mo-ko, si keparat!" gadis itu berseru penuh semangat dan kegembiraan.
"Akhirnya dapat juga engkau olehku, jauh-jauh kukejar dari Lembah Bukit Siluman!" Lalu ia menoleh kepada perwira tinggi itu dan berkata,
"Souw Ciangkun, maafkan aku. Hendaknya jangan ciangkun tergesa menyerbu ke sana, karena tentu Pek I Mo-ko itu akan sempat melarikan diri! Biar aku lebih dahulu menyelidiki ke sana besok, dan kalau pasukan ciangkun menyergap, aku akan dapat menjaga agar Pek I Mo-ko tidak sempat melarikan diri!"
Mendengar usul ini, Bun Houw melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Ling Ay,
"Usul nona Ouwyang ini tepat, ciangkun," dia cepat menambahkan,
"kalau ciangkun tengesa-gesa, berarti akan mengejutkan ular dalam rumput dan mereka itu mendapat kesempatan uatuk melarikan diri. Dan serbuan itu tentu menggegerkan karena menyangkut orang yang berkedudukan tinggi."
Souw Ciangkun mengerutkan alisnya dan nampak terkejut.
"Ah, jadi benarkan dia tersangkut! Memang sudah ada kecurigaan dalam hatiku. Mati-matian dia mencoba untuk mempengaruhiku, membujuk dan mencoba untuk menguasai dengan sogokan, Aih, benarkah! Sudah ada buktinya, tai-hiap? Perkara ini sama sekali tidak boleh main-main!"
'Saya sudah yakin, dan sudah saya saksikan sendiri !" kata pula Bun Houw.
"Akan tetapi, kalau aku tidak segera turun tangan, mereka tentu mendapat kesempatan untuk menghilangkan semua jejak, bahkan mungkin melarikan diri, atau bengerak lebih dahulu. Tentu kegagalan membunuhku tadi membuat mereka berhati-hati dan khawatir."
"Jangan khawatir, ciangkun. Mereka tadi semua mengenakan topeng dan mereka tentu merasa yakin bahwa wajah mereka tidak dikenal. Apalagi kalau malam ini tidak ada gerakan dari ciangkun, tentu mereka merasa lega dan menduga bahwa ciangkun tidak tahu siapa gerombalan yang mencoba untuk membunuh ciangkun. Biarlah nona Ouwyang dan saya akan lebih dahulu melakukan penyelidikan, setelah itu baru kami memberi tanda dan ciangkun menggerakkan pasukan untuk menyergap dan menangkap semua penjahat."
Tentu saja Souw Ciangkun menyetujui karena bagaimanapun juga, dua orang ini sudah berjasa besar dan dia memang mengharapkan pula bantuan mereka untuk membasmi para penjahat yang lihai itu.
"Nona, engkau tentu tidak berkeberatan untuk melakukan penyelidikan bersamaku, bukan?" Bun Houw bertanya ramah.
Gadis itu menggeleng kepala.
"Tentu saja tidak, bahkan sebaiknya kalau kita bekerja sama. Tak kusangka bahwa Pek I Mo-ko memimpin gerombolan penjahat yang mempunyai banyak anak buah yang pandai."
"Kalau begitu, mari kita berangkat." Keduanya lalu berpamit meninggalkan gedung Souw Ciangkun. Ketika tiba di luar, mereka melihat sedikitnya lima puluh orang perajurit yang baru tiba. Mereka adalah pasukan bantuan dari benteng yang datang atas laporan kepala pengawal. Legalah hati mereka karena dengan adanya penjagaan yang kuat, malam ini mereka tidak perlu mengkawatirkan keselamatan perwira tinggi itu.
Mereka berdua membeli sarapan di warung bubur ayam tanpa bicara. Kemudian mereka meninggalkan warung bubur ayam dan pagi itu jalan sudah mulai ramai dengan orang-orang yang mulai bekerja. Bun Houw dan Hui Hong bercakap-cakap di sudut kota yang sunyi.
"Mengapa kita berhenti di sini?" Hui Hong menegur.
"Aku ingin kita segera mendatangi sarang mereka, karena aku ingin segera berhadapan dengan si jahanam Pek I Mo-ko!"
Melihat ketidaksabaran gadis itu, Bun Houw tersenyum.
"Pek I Mo-ko bukan sendiri saja, nona. Selain teman-temannya banyak, juga dia berada dalam perlindungan kepala daerah Nan-ping ini. Kalau kita langsung mendatangi mereka, kita akan berhadapan dengan banyak kaki tangannya, juga dengan kepala daerah yang mempunyai banyak pengawal."
"Kepala daerah? Ihh, kenapa kepala daerah melindungi seorang jahat seperti Pek I Mo-ko dan bahkan mereka itu hampir saja membunuh Souw Ciangkun?" Gadis itu memandang heran.
"Itulah anehnya! Gerombolan penjahat itu adalah kaki tangan Cun Tai-jin, kepala daerah Nan-ping."
"Jadi kalau begitu ... yang menyuruh bunuh Souw Ciangkun adalah kepala daerah sendiri? Aneh dan tak masuk akal!"
Bun Houw mengangguk-angguk. Memang kelihatan aneh dan tak masuk akal, karena itu kita perlu menyelidiki. Bukan hanya Souw Ciangkun hendak dibunuh, akan tetapi bahkan banyak sudah pejabat yang telah dibunuh secara rahasia. Ini hanya berarti bahwa ada rahasia tersembunyi di balik kedudukan kepala daerah. Dan menaruh perkiraanku, tentu dia membunuhi pejabat yang menolak ajakannya untuk bersekutu!"
"Bersekutu? Untuk apa?"
"Kalau seorang kepala daerah mengadakan persekutuan, untuk apalagi kalau tidak dengan maksud untuk memberontak terhadap pemerintah?"
"Ihhh!" Gadis itu berseru kaget,
"Aku tidak mau mencampuri urusan pemberontakan, aku hanya ingin bertemu Pek I Mo-ko untuk urusan pribadi!"
"Kebetulan sekali akupun mempunyai urusan pribadi dengan keluarga kepala daerah Nan-ping."
"Engkau sungguh mencurigakan! Engkau sendiri mengatakan bahwa kepala daerah Nan-ping mempengunakan orang-orang jahat sebagai kaki tangannya, bahkan dia yang menyuruh para gerombolan penjahat itu untuk membunuhi banyak pejabat, bahkan mencoba membunuh Souw Ciangkun. Dan engkau mempunyai urusan pribadi dengan keluarganya?"
"Urusan pribadiku ini bukan untuk bekerja sama dengan keluarga kepala daerah Cun, melainkan ... aku akan melakukan sesuatu yang tentu akan membuat mereka marah sekali. Bukan bekerja sama dengan mereka, melainkan menentang ...
" Tentu saja sukar bagi Bun Houw untuk menjelaskan karena rencananya itu mengenai diri Ling Ay. Hal itu agaknya membikin Hui Hong menjadi tidak sabar lagi.
"Hemm, kalau engkau mengajak aku bekerja sama menentang mereka, mengapa engkau masih menyembunyikan dan merahasiakan urusan pribadimu itu ? Bagaimana kita akan dapat bekerja sama kalau kita tidak saling mengenal dan mengetahui urusan masing-masing ? Sudahlah, kalau engkau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kita bekerja sendiri-sendiri saja!" Gadis itu hendak melangkah pergi.
"Eh, nanti dulu, nona!" Bun Houw cepat meloncat ke depan gadis yang kelihatan marah itu, dan dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan.
"Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menyembunyikan urusan atau tidak percaya kepadamu. Memang engkau benar, sebaiknya kalau kita saling menceritakan keadaan dan urusan pribadi agar kita dapat bekerja sama dengan baik."
"Hemm, baru menyadari, ya ? Akan tetapi aku tidak akan menceritakan keadaan diriku kepadamu," katanya dengan sikap masih marah.
Bun Houw tersenyum,
"Tidak kauceritakan juga tidak mengapa, karena aku sudah dapat menduga siapa adanya engkau, nona."
Gadis itu menatap wajah Bun Houw dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Aku tidak percaya, engkau membual saja!"
"Nona, bukankah engkau ini puteri dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, lo-cian-pwe (orang tua gagah perkasa) yang amat terkenal itu ?"
Menyelamatkan Keluarga Cia Ling Ay
SEPASANG mata yang indah jelita itu terbelalak.
"Eh? Bagaimana engkau bisa tahu?"
Bun Houw tersenyum. Gurunya, Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong, pernah bercerita tentang para datuk atau tokoh besar dunia persilatan kepadanya dan di antara para datuk besar yang terkenal adalah Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembab Bukit Siluman.
"Mudah saja. Engkau she (nama keturunan) Ouwyang, dan tadi menyebut Lembah Bukit Siluman. Siapalagi ayahmu kalau bukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman? Ilmu silatmu demikian tinggi, maka mudahlah menduganya."
Hui Hong mengangguk.
"Pantas! Anak kecilpun bisa menduga kalau begitu. Memang aku puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Nah, sekarang ceritakan apa urusan pribadimu dengan keluarga kepala daerah Cun itu, baru nanti kuceritakan mengapa aku mencari Pek I Mo-ko. Engkau sudah mengetahui keluargaku, engkaupun sepantasnya menceritakan tentang keluargamu."
Bun Houw mengajaknya duduk di antas batu di tepi jalan yang sunyi di sudut kota itu. Dia menarik napas panjang, bersikap hati-hati karena apa yang hendak diceritakan tentang Ling Ay sungguh tidak enak bagi dirinya.
"Seperti telah kuperkenalkan diri kepada Souw Ciangkun, namaku Kwa Bun Houw dan ayahku tadinya tinggal di kota ini. Ayahku seorang pedagang cita, dan di samping berdagang, ayahku juga terkenal sebagal seorang yang suka menentang kejahatan dan di sini dikenal sebagai Kwa-eng-hiong."
"Hemm, katakan saja ayahmu seorang pendekar." Hui Hong memotong.
"Kalaupun belum pantas dinamakan pendekar, setidaknya ayah selalu menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas. Karena itu dia dimusuhi banyak penjahat dan akhirnya ayah dan ibu tewas di tangan orang-orang jahat pula." Bun Houw lalu menceritakan peristiwa yang terjadi enam tahun yang lalu itu. Betapa ketika dia sedang tidak berada di rumah, ayahnya dibunuh gerombolan penjahat, dan ibunya juga dibunuh setelah diculik dan diperkosa di dalam hutan.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 05
"Keparat jahanam!" Hui Hong bangkit dan mengepal tinju, mukanya merah dan matanya mencorong.
"Siapakah para penjahat itu ? Mengapa engkau tidak membalas dendam dan membasmi mereka? Sungguh keji dan jahat sekali perbuatan mereka terhadap ibumu!"
Bun Houw menatap wajah itu sejenak dengan penuh kagum. Sedang marahpun tetap manis! Dia menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, nona ...
"
"Namaku Hui Hong dan setelah kita akan bekerja sama, tidak perlu lagi nona-nonaan. Panggil saja namaku!" gadis itu memotong lagi dengan cepat.
"Baiklah, Hui Hong. Hemm, namamu indah sekali!"
"Tidak perlu memuji dan merayu! Katakan mengapa engkau mengatakan tidak! Apa kaumaksudkan engkau tidak mendendam?" tanyanya heran.
"Memang aku tidak menaruh dendam. Menurut pesan mendiang ayahku, juga menurut nasihat guruku, dendam merupakan racun bagi diri sendiri. Tidak, aku tidak mendendam kepada mereka. Ayahku memang seorang yang hidup dalam kekerasan, dia selalu menentang nara penjahat, maka tidak mengherankan kalau para penjahat membencinya. Aku tidak boleh mendendam."
"Apa?" Mata itu terbelalak lagi membuat Bun Houw cepat menundukkan pandang matanya agar jangan beradu pandang. Terlalu indah mata itu kalau terbelalak. Dia khawatir kalau kekagumannya akan membayang di matanya.
"Kau maksudkan bahwa engkau akan membiarkan mereka mendapatkan korban wanita-wanita lain? Membiarkan mereka melakukan pembunuhan sewenang-wenang? Pendekar macam apa engkau ini? Ayahmu tentu malu, juga gurumu tentu kecewa!"
Bun Houw tersenyum. Makin suka dan kagum dia kepada gadis ini. Biarpun galak, namun gadis ini jujur dan terbuka, tidak berpura-pura.
"Tentu saja aku selalu menentang kejahatan, non ... eh, adik Hong. Aku akan membela yang benar dan menetang yang jahat. Akan tetapi kalau aku menentang para pembunuh ayah, hal itu kulakukan karena hendak menentang kejahatan mereka, bukan untuk membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku."
"Sudahlah, sesukamu! Engkau belum bercerita tentang urusan pribadimu dengan keluarga Cun, kepala daerah Nan-ping itu."
Bagian inilah yang terasa sukar oleh Bun Houw untuk menceritakannya. Akan tetapi gadis ini demikian jujur terbuka, sungguh tidak adil dan tidak enak kalau dia tidak bersikap jujur pula.
"Urusan pribadiku ini menyangkut diri seorang yang berada di dalam keluarga Cun itu, Hong-moi (adik Hong)." Enak saja sebutan Hong-moi meluncur keluar dari mulutnya. Seolah-olah gadis itu telah menjadi seorang sahabat lamanya, dan gadis itupun menerima sebutan itu dengan sikap biasa saja. Memang sudah sewajarnya kalau pemuda itu menyebutnya adik, karena pemuda itu tentu beberapa tahun lebih tua darinya.
"Ada urusan apa engkau dengan seorang di antara keluarga Cun?"
"Sebelum Souw-ciangkun menyerbu dan menangkapi keluarga keluarga Cun, aku harus lebih dahulu membebaskan seorang anggauta keluarga agar jangan sampai ikut tertangkap, karena ia sama sekali tidak berdosa bahkan ia terpaksa saja menjadi anggauta keluarga Cun."
"Hemm, siapakah orang itu? Dan mengapa terpaksa menjadi anggauta keluarga Cun?" tanyanya pula Hui Hong, tertarik.
"Ia adalah mantu perempuan kepala daerah Cun."
Kembali mata yang indah itu bengerak melebar dan pandang mata itu menatap wajah Bun Houw penih selidik.
"Houw-ko (kakak Houw), enak pula sebutan ini meluncur dari mulutnya, seperti dengan sendirinya,
"Siapakah mantu perempuan kepala daerah itu?"
"Namanya Cia Ling Ay ..."
"Maksudku, apamukah wanita itu ? Masih keluargamukah?"
Bun Houw menggeleng kepala dan menelan ludah. Dia tiba di bagian paling sulit untuk diceritakan,
"Ia ... ia adalah bekas tunanganku."
"Ahhbh ... ?" Kini sepasang mata itu menyipit namun dari balik bulu mata yang lentik itu mengintai sepasang mata yang amat tajam pandangannya, bersinar dan penuh selidik. Sepasang alis itu berkerut.
"Hemmm ..., hemm ... bekas tunangan yang kini telah menjadi isteri putera kepala daerah Nan-ping! Dan engkau menghendaki agar wanita bekas tunanganmu itu tidak sampai ikut terlibat kalau keluarga Cun ditangkap? Hemmmm, bagus ...! Agaknya engkau masih ... eh, masih teringat terus kepada bekas tunanganmu itu, eh, Houw-ko? Tentu ia amat cantik maka sampai menjadi isteri orang lainpun engkan masih saja memperhatikannya!"
"Bukan begitu, Hong-moi!. Harap jangan salah sangka. Aku bukan orang yang sebodoh dan sejahat itu, masih memikirkan bekas tunangan yang telah menjadi isteri orang lain! Sama sekali tidak. Kalau aku menghendaki agar ia tidak ikut ditangkap adalah karena ia sama sekali tidak berdosa, bahkan ia berada di dalam keluarga itu secara terpaksa. Ia dipaksa menjadi isteri putra Cun-taijin kepala daerah Nan-ping itu." Dengan singkat Bun Houw lalu bercerita betapa dia dan Ling Ay telah ditunangkan sejak mereka masih kecil. Ketika dia berusia limabelas tahun, ayah Ibunya tewas oleh gerombolan penjahat dan tiba-tiba saja orang tua Ling Ay, terutama Ibunya, menyatakan bahwa ikatan jodoh antara mereka putus!"
"Karena aku tidak mempunyai keluarga lagi, akupun pergi dari Nan-ping, dan ketika enam tahun kemudian aku kembali ke sini. Ling Ay telah menikah dengan putera Cun Tai-jin kepala daerah Nan-ping."
Mendengar semua keterangan itu, Hui Hong tersenyum mengejek, walaupun di sudut hatinya diam-diam ia merasa kasihan kepada pemuda ini dan merasa terharu akan nasibnya.
"Dan bagaimana engkau tahu bahwa ia merasa terpaksa berada di sana? Siapa tahu ia telah menjadi seorang Isteri yang setia dan mencinta suaminya?"
"Aku ... ketika hari Ceng beng aku bersembahyang di depan makam ayah Ibuku, aku telah bertemu dengannya. Ia menyembahyangi kuburan ayah ibuku dan kemudian aku bertemu dengan ayahnya. Dari ayahnyalah aku mendengar segalanya. Juga tentang Cun Tai-jin yang memelihara banyak tokoh sesat dan para penjahat."
"Hemm, terserah kepadamu kalau engkau menganggap amat penting untuk membebaskan dulu Ling Ay itu dari gedung Cun Tai-jin. Akan tetapi bagaimana caranya? Apakah engkan hendak memasuki gedung itu dan menculik isteri orang?"
Ucapan yang bernada mengejek ini menusuk perasaan Bun Houw, akan tetapi dia tidak membantah, maklum bahwa memang urusannya dengan Ling Ay itu dapat menimbulkan prasangka butuk bagi orang yang tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.
"Tidak, aku hanya akan memberitahu ayahnya agar dia yang mengusahakan kepergian wanita itu dari dalam gedung sebelum Souw-ciangkun menyerbu. Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan urusan pribadimu, tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan, Hong-moi."
"Urnsan pribadiku bukan menyangkut pribadiku sendiri, melainkan aku diutus oleh ayahku untuk mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali sebuah benda mustika yang dicurinya dari ayahku. Kalau dia tidak mau menyerahkan kembali benda itu aku harus membunuhnya, karena benda itu sama sekali tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain!"
"Hemmm, cuma sekian itukah ceritamu tentang dirimu?"
"Ya, habis apalagi? Memang hanya itu urusanku dengan Pek I Mo-ko."
"Akan tetapi, ceritaku tadi amat panjang. Kalau boleh aku mengetahui, bagaimana benda mustika itu dapat dicuri Pek I Mo-ko?"
"Pek I Mo-ko pernah menjadi pembantu ayahku. Dia pandai memasak, pandai pula mengurus kebun. Belasan tahun dia ikut ayah, semenjak aku masih kecil, dan untuk membalas jasanya, ayahpun menurunkan ilmu kepadanya. Akan tetapi siapa sangka, manusia memang lebih jahat dari pada binatang, tidak mengenal budi. Pada suatu hari dia pergi dan melarikan benda mustika itu."
"Hong-moi, maukah engkau mengatakan kepadaku, apa sebenarnya benda mustika itu? Nampaknya amat penting bagi ayahmu."
"Benda mustika itu adalah akar bunga gurun pasir."
"Ahhhh ...!" Bun Houw terkejut sekali.
Pernah gurunya bercerita tentang benda mustika ajaib itu. Sebuah benda langka yang menurut dongeng merupakan tanaman ciptaan seorang manusia dewa di daerah Gurun Gobi di utara. Akar bunga gurun pasir itu kabarnya mempunyai khasiat yang luar biasa, sebagal obat kuat, sebagai penolak racun, sebagai obat yang seolah-olah dapat menarik kembali nyawa orang yang sudah mulai melayang! Tentu saja dongeng ini berlebihan, namun benda itu sudah jelas merupakan mustika yang langka dan banyak khasiatnya, karena telah diperebutkan oleh seluruh datuk dan tokoh besar di dunia kang-ouw. Demikian cerita gurunya yang tidak ikut memperebutkan. Bahkan menurut gurunya, benda itu dicari pula oleh kaisar yang mengutus pasukan dan para jagoan istana untuk mendapatkannya!"
"Engkau sudah tahu akan mustika itu?" Hui Hong mulai kagum kepada pemuda ini yang biarpun di dunia kang-ouw tidak mempunyai nama dan sama sekali tidak terkenal, namun agaknya mengenal orang orang kang-ouw dan tahu akan peristiwa penting di dunia kang-ouw.
"Bukankah akar bunga gurun pasir yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-onw, bahkan juga dicari oleh kaisar? Yang kabarnya mempunyai khasiat yang luar biasa?"
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Memang banar apa yang kaudengar itu, dan karena satu di antara khasiatnya adalah bahwa akar bunga itu dapat menjadi obat panjang umur, maka Kaisar Cang Bu dari Dinasti Liu-sung di Nan-king maupun Kaisar Wei Ta Ong dari Dinasti Wei di Lok-yang seperti berlumba untuk mendapatkannya. Akan tetapi, benda mustika itu tadinya berada di tangan ayah sejak dahulu dan menjadi hak milik kami. Karena itu, bagaimanapun juga, aku harus merampasnya kembali."
"Hong-moi, urusan ini ternyata banyak kaitannya. Urusanmu dan urusanku memang berbeda, juga berbeda pula dengan tugas Souw Ciang-kun, akan tetapi ketiganya kait mengait. Engkau mencari Pek I Mo-ko yang menjadi kaki tangan kepala daerah Cun Tai-jin. Souw Ciang-kun harus membasmi usaha pemberontakan Cun Tai-jin, sedangkan aku harus menyelamatkan Cia Ling Ay yang tidak berdosa itu sebelum keluarga Cun dibasmi. Oleh karena itu, aku mengharapkan persetujuanmu agar aku lebih dulu berusaha supaya Ling Ay dapat keluar dulu dari dalam rumah keluanga Cun, baru kita turun tangan melakukan penyelidikan mencari Pek I Mo-ko. Bagaimana pendapatmu, setujukah engkau, Hong-moi ?"
Gadis itu mengangguk lagi.
"Terserah kepadamu karena engkau yang lebih tahu akan urusannya. Bagiku yang penting hanyalah bertemu dengan Pek I Mo-ko dan minta kembali akar bunga itu."
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan, Hong-moi. Kita pergi mengunjungi rumah paman Cia Kun Ti."
"Nanti dulu, toako. Ada satu hal yang ingin kuketahui walaupun hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, hanya aku ingin tahu sekali. Apakah ... engkau masih mencinta bekas tunanganmu yang telah menjadi Isteri putera kepala daerah itu ?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan itu. Betapa terbuka dan beraninya gadis ini pertanyaan yang begitu pribadi sifatnya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Bu-eng-kiam, seorang "datuk" persilatan aneh dari Lembah Bukit Siluman yang ditakuti orang. Tentu saja puteri seorang datuk seperti itu juga bukan seorang gadis biasa, tentu mempunyai watak yang aneh pula.
Bun Houw menarik napai panjang lalu menggeleng kepalanya.
"Hong-moi, engkau kira aku ini laki-laki macam apa? Antara aku dan Cia Ling Ay sudah tidak ada bubungan apapun, baik lahir maupun batin. Dahulu, kami memang ditunangkan oleh orang tua kami, akan tetapi sejak pertunangan itu diputuskan oleh pihak keluarga Cia, aku sudah menganggap ia bukan apa-apalagi, tidak ada hubungan apapun. Kalau sekarang ia telah menjadi isteri orang, apalagi. Andaikata ia hidup berbahagia, aku hanya akan ikut merasa bersukur. Bahkan sekarangpun, kalau aku tidak mengingat akan kebaikan paman Cia Kun Ti, bekas sababat mendiang ayahku, kiranya akupun tidak akan berani mencampuri urusan Cia Ling Ay walaupun keluarga suaminya terancam bahaya. Namun, ia telah begitu baik sikapnya. mau menyembahyangi kuburan orang tuaku, apakah sekarang melihat ia terancam bahaya hebat, aku harus tinggal diam saja? Tidak, Hong-moi, bukan karena cinta kalau aku sekarang berniat untuk menyelamatkannya."
Hui Hong tersenyum dan senyumnya kini bukan senyum mengandung ejekan lagi,
"Aku percaya padamu, toako. Oya, ada sebuah pertanyaan lagi."
"Apa itu? Tanyakanlah, aku tidak pernah menyimpan rahasia," jawab Bun Houw untuk menyindir gadis itu yang sebaliknya diliputi banyak rahasia.
"Aku kagum melihat ilmu tongkatmu. Tongkatmu itu nampak butut, akan tetapi bagaimana dapat menyambut senjata tajam lawan demikian kuatnya ? Tentu di dalamnya dilapisi baja yang kuat, ya ?"
Bun Houw tersenyum, kagum akan ketajaman mata dan kecerdikan gadis itu.
"Engkau benar, Hong-moi. Memang tongkat ini hanya merupakan selubung saja, kalau diselubungi dapat kumainkan sebagai tongkat, dan kalau perlu, dapat dirobah menjadi pedang. Seperti ini!"
Dia menggerakkan tongkatnya, mencabut dan nampaklah sinar terang seperti kilat menyambar dan otomatis gadis itu meloncat ke belakang dengan kaget dan siap menjaga diri. Akan tetapi, Bun Houw hanya memegang pedang itu di depan dada dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang tongkat butut yang berfungsi pula sebagai sarung-pedang itu.
"Lui-kong-kiam ... !" seru Hui Hong sambil membelalakkan mata dengan kagum.
"Benarkah itu yang disebut Pedang Kilat ?"
Dengan gerakan yang amat cepat, pedang itu berkelebat dan telah menyusup kembali ke dalam tongkat butut.
Kini Bun Houw yang memandang kagum.
"Agaknya engkau adalah seorang yang telah berpengalaman dan berpengetahuan luas. Hong-moi. Sekali pandang saja engkau mengenal Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)."
"Siapapun akan dapat mengenalnya kalan melihat sinarnya tadi, toako. Aku belum pernah melihatnya, akan tetapi pernah mendengar dari ayah tentang Lui-kong-kiam. Kabarnya, puluhan tahun yang lalu Pedang Kilat itu lenyap dari gedung pusaka di istana, dan bahkan dicari dan dijadikan rebutan oleh orang-orang di dunia kang-onw. Sungguh mengherankan bagaimana kini tahu-tahu telah berada di tanganmu, toako,"
"Aku menerimanya dari guruku, Hong-moi," kata Bun Houw singkat untuk menghilangkan dugaan orang bahwa dia ikut pula memperebutkan pedang pusaka itu.
"Ah ? Kalau begitu gurumu tentu seorang tokoh besar yang hebat, Houw-ko ! Kalau sampai dia dapat mencurinya dari gudang pusaka Istana, dan mempertahankannya terhadap incaran orang-orang dunia kang-ouw, tentu dia hebat. Siapakah gurumu yang sakti itu toako ?"
Bun Houw menghela napas panjang.
"Maafkan aku, Hong-moi. Aku harus mentaati perintah guruku, yaitu bahwa beliau tidak mau kalau kusebut namanya. Aku tidak berani melanggarnya."
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Hebat! Dia guru yang hebat, dan engkau murid yang hebat dan berbakti. Tidak apa, kalau sekali ayahku melihat gerakan silatmu, dia pasti akan tahu siapa gurumu. Sudahlah, Houw-ko, mari kita melanjutkan perjalanan."
Ketika Cia Kun Ti yang masih tetap memiliki toko cita itu melihat kunjungan Bun Houw bersama seorang gadis yang cantik dan bersikap gagah, dia menyambut dengan ramah dan segera mempersilakan mereka masuk ke dalam. Dia menyerahkan penjagaan tokonya kepada pembantu dan dia juga ikut masuk, mengajak dua orang itu bicara di ruangan belakang.
"Ada berita penting apakah. Bun Houw? Begitu engkau datang, aku merasa bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat. Dan siapakah nona yang gagah ini?"
"Ini adalah Nona Ouwyang Hui Hong, seorang pendekar wanita yang bersama dengan saya hendak menghadapi para penjahat yang mengacau keamauan di Nan-ping ini, paman. Hong-moi, inilah Paman Cia Kun Ti seperti yang pernah kuceritakan kepadamu."
Dengan sikap tenang dan gagah Hui Hong bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh tuan rumah yang mempersilakan ia duduk kembali.
"Bun Houw, apakah yang telah terjadi ? Hatiku dalam beberapa hari ini sungguh merasa tidak enak sekali semenjak kemunculanmu."
"Banyak hal terjadi, paman, di antaranya adalah usaha para penjahat itu untuk membunuh Souw Ciangkun."
"Ahhh ...!"
"Akan tetapi berkat kelihaian nona Ouwyang ini, dan kebetulan saya dapat membntu pula, usaha pembunuhan itu dapat digagalkan?"
"Dan penjahatnya adalah kaki tangan ... kepala daerah?"
Bun Houw mengangguk.
"Paman Cia Kun Ti, tidak perlu dirahasiakan lagi bahwa Kepala Daerah Cun memelihara banyak sekali penjahat-penjahat yang berbahaya. Banyak pembunuhan yang terjadi itu dilakukan olek anak buahnya. Hal ini sudah diketahui pula oleh Souw Ciangkun dan dia akan melakukan tindakan, karena ada gejala bahwa Kepala Daerah Cun mempunyai niat buruk, yaitu pemberontakan atau setidaknya akan merebut kekuasaan di daerah ini, membunuh semua orang yang menentangnya. Oleh karena itu paman, saya datang ini untuk minta kepadamu agat paman cepat-cepat, hari ini juga mengajak adik Cia Ling Ay untuk pulang ke sini atau menyingkir dari rumah keluar Cun yang akan diserbu. Kasihan puterimu, paman, jangan sampai ia menjadi korban pula dari kejahatan keluarga Cun."
Wajah Cia Kun Ti berubah agak pucat. Dia amat mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Bahkan juga isterinya berada di rumah keluarga Cun.
"Baik, sekarang juga aku akan pergi ke sana dan akan kuusahakan dengan segala cara untuk mengajak anak isteriku keluar dari rumah itu." katanya.
"Sebaiknya kalau kalian menunggu dulu di rumahku ini agar kalian melihat kalau aku sudah berhasil membawa anak Isteriku keluar, baru kalian bengerak."
Karena memang lebih baik kalau mereka tidak memperlihatkan dulu di tempat umum agar tidak dikenal para penjahat, Bun Houw setuju dan dia bersama Hui Hong menunggu di ruangan belakang itu sambil bercakap-cakap.
"Nyonya besar, di luar ada tuan besar Cia ingin bertemu dengan nyonya besar." kata pelayan itu. Setiap kali mendengar dirinya disebut "nyonya besar Cia", Isteri Cia Kua Ti merasa kepalanya membengkak dan dadanya menggembung. Sebagai besan keluarga Cun, di rumah gedung yang serba mewah ini ia diperlakukan dengan sikap amat menghormat, bahkan menjilat oleh para pelayan! Betapa bangga dan senangnya hatinya melihat segala penghormatan yang diberikan kepadanya itu.
Sejak kecil kita dididik oleh peradaban dan kebudayaan kita untuk mengejar nilai-nilai dan kehormatan. Tidaklah mengherankan setelah dewasa, kita tetap saja mendewa dewakan nilai-nilai diri dan kahormatan diri sehingga kita menjadi manusia yang gila hormat. Betapa senangnya hati ini kalau ada orang bersikap hormat kepada kita! Betapa sakitnya hati ini kalau orang lalu memandang rendah kepada kita. Si aku dalam diri ini telah membentuk gambaran diri sendiri sedemikian hebatnya, sedemikian tingginya sehingga senanglah kalau disanjung dan dihormati orang lain. Saking gila hormat, kita sampai menjadi buta dan tidak tahu bahwa semua nilai itu hanya pulasan belaka, semua kehormatan itu hanya palsu dan semu belaka. Bukan lagi kita sebagai manusianya yang dihormati orang, melainkan apa yang menempel kepada kita, apakah itu harta, kedudukan, kepandaian dan sebagainya. Oleh karena itu, sekali segala yang menempel pada kita itu berubah, maka sikap terhadap diri kitapun berubah dan barulah kita sadar akan kepalsuan segala nilai dan kehormatan yang nampak pada sikap manusia. Hartawan yang tadinya dihormati akan direndahkan kalau dia jatuh miskin. Pejabat berkedudukan tinggi yang tadinya disanjung dan dipuji akan dicela dan dimaki kalau dia jatuh dari kedudukannya dan selanjutnya. Maka, seorang bijaksana tidak akan sakit hati kalau dicela dan tidak akan besar kepala dan mabuk kalan disanjung, sebaliknya, diapun tidak suka mencela maupun menyanjung orang karena kedudukan orang itu. Kalau seorang bijaksana menghormati seseorang, yang dihormati adalah manusianya, bulan pakaiannya, bukan kekayaannya, bukan kedudukannya atau kepintarannya. Dan normal antar manusia macam ini adalah sikap yang timbul karena adanya cinta kasih di antara manusia.
Nyonya Cia Kun Ti sedang berada di dalam kamar bersama puterinya, Cia Ling Ay, yang sudah menjadi Nyonya Cun Hok Seng. Putra kepala daerah itu masih marah dan dia yang merasa sangat cemburu itu melarang iterinya keluar dari kamar, mengurungnya dan mengijinkan Ibu mertuanya saja yang menemui Ling Ay.
Mendengar laporan pelayan itu, Nyonya Cia Kun Ti mengerutkan alisnya dan dengan lagak seorang nyonya besar iapun bangkit dari tempat duduknya, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah.
"Persilakan Tuan Besar Cia untuk duduk menanti di ruang tengah sebentar, aku akan segera menemuinya."
"Baik, Nyonya Besar," kata pelayan itu yang segera keluar lagi.
"Ling Ay, sudahlah, engkau jangan menangis. Ayahmu datang, entah mau apa dia. Aku akan keluar sebentar menemuinya, dan engkau jangan keluar agar tidak mendapat kemarahan lagi dari suamimu. Percayalah, kalau engkau menurut dan bersikap manis, kemarahannya tentu akan mereda. Nah, aku keluar dulu." berkata nyonya itu kepada puterinya yang duduk menangis di atas pembaringan. Ling Ay tidak menjawab ketika ibunya keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.
"Hmm, ada urusan apa engkau ke sini? Mantu kita sedang marah kepada Ling Ay, sebaiknya engkau tidak usah datang dulu sebelum reda marahnya," begitu memasuki ruangan itu, Nyonya Cia menegur suaminya.
Akan tetapi, Cia Kun Ti segera mendekati isterinya. Dia tahu benar watak isterinya yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, tahu betapa isterinya amat menikmati kebanggaan menjadi besan kepala daerah. Maka, diapan tidak berani membuka rahasia itu kepada isterinya yang tentu akan mati-matian membela keluarga Cun.
"Aku datang justeru untuk urusan itu! Anak kita memang bersalah, karena itu aku ingin agar ia ikut pulang dengan kila dulu dan aku akan menasehatinya agar ia pandai-pandai membawa diri sebagai mantu kepala daerah."
"Ihh! Mana bisa? Meninggalkan tempat ini dan kembali ke rumah kita? Jangan-jangan malah keluarga Cun salah sangka, mengira bahwa kita hendak menarik kembali anak kita? Apakah engkau sudah menjadi gila?"
Cia Kun Ti menjadi bingung sekali. Untuk berterus terang, dia tidak berani. Isterinya tak mungkin akan percaya, dan isterinya bahkan tentu akan membocorkan rahasia itu kepada keluarga Cun sehingga akan kacaulah segala-galanya. Dan anaknya tidak akan tertolong, juga isterinya kalau sampai keluarga itu diserbu. Mereka berdua tentu akau dijadikan tawanan sebagai anggauta keluarga Cun, atau bahkan mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu kalau terjadi pertempuran.
"Percayalah kepadaku. Aku belum gila untuk mencelakakan anak kita sendiri, anak tunggal kita. Mari, kauajak Ling Ay pulang dulu barang sehari dua hari ...
"
"Tidak! Tidak mungkin, pergilah engkau pulang sendiri sana dan jangan datang lagi membujuk hal yang tidak tidak. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini selangkahpun, dan aku akan pulang kalau hubungan Ling Ay dengan suaminya sudah membaik kembali ...!"
Tiba tiba mereka menghentikan percakapan karena dari luar terdengar langkah kaki dan daun pinlu itu dibuka dari luar. Terkejutlah suami isteri itu ketika melihat munculnya Cun Hok Seng, mantu mereka! Wajah yang tampan itu nampak muram. Hati Cun Hok Seng masih kesal kepada isterinya, dipenuhi cemburu dan kini dia melihat ayah dan Ibu mertuanya kasak-kusuk di situ!"
"Hmm, rupanya ada hal yang amat penting dibicarakau ayah dan Ibu di sini!" katanya dengan suara ketus.
"Ah ... tidak ... tidak ada apa-apa ... heh-heh, ayahmu banya datang menjenguk ...
" Nyonya Cia berkata gugup sambil tersenyum-aenyum menjilat.
Akan tetapi Cia Kun Ti melihat kesempatan baik itu.
"Terus terang saja, putera mantuku yang baik. Aku datang karena prihatin mendengar tentang isterimu, anak kami. Aku tahu bahwa ia bersalah besar, akan tetapi kesalahan itu dilakukan karena ia bodoh. Oleh karena itu, perkenankanlah aku membawa ia pulang barang sehari dua hari, agar di rumah kami aku dapat memberinya nasihat sampai ia bertaubat dan mengerti betul bagaimana menjadi seorang isleri yang baik, setia, dan mengabdi kepada suaminya tercinta. Tentu saja kalau diperbolehkan, karena engkaulah yang berhak sepenuhnya, putera mantuku yang baik."
Sepasang alis itu berkerut, kepala itu menunduk, kemudian Cun Hok Seng mengangguk-angguk.
"Baiklah, kalau memang ayah hendak menasihatinya. Mudah-mudahan ia dapat merobah dan tidak mengulang lagi kesalahannya. Aku beri waktu dua hari kepada Ling Ay untuk pulang ke rumah ayah dan menerima nasihat-nasihat ayah." Setelah berkata demikian dia membalikkan tubuhnya, tidak jadi mendatangi kamar isterinya, melainkan kembali ke ruangan dalam.
Setelah putera mantunya pergi. Nyonya Cia mengomeli suaminya.
"Engkau sudah gila! Memberi nasihat saja, apa tidak bisa di sini. Kenapa harus dibawa pulang ? Celaka, bagaimana kalau tidak diterima kembali ? Kita yang akan celaka dan malu !"
"Hushhh, tenanglah. Engkau mendengar sendiri bahwa Hok Seng sudah memberi ijin untuk isterinya pulang selama dua hari. Dia sendiri sudah setuju dan memberi ijin, kenapa engkau malah masih rewel dan banyak ribut?"
"Engkau memang laki-laki tolol. Sekali keluar dari rumah, kalau pintunya ditutup dari dalam, bagaimana bisa masuk kembali? Tidak, aku tidak mau pulang. Kalau engkau hendak mengajak Ling Ay pulang dua hari, silakan. Akan tatapi aku tinggal di sini agar dapat membukai pintu kalau Ling Ay kembali ke sini!"
Tentu saja Cia Kun Ti terkejut sekali mendengar ini,
"Jangan, kau harus ikut pulang!" katanya.
"Masa bodoh! Aku tidak mau pergi dari sini. Sudah kukatakan, aku di sini merupakan jaminan kembalinya Ling Ay di keluarga ini. Tahu ? Bodoh amat engkau ini!"
Tentu saja Cia Kun Ti, biarpun seringkali dirong-rong oleh wanita yang galak itu. tetap mencinta isterinya dan dia khawatir sekali kalau isterinya tinggal di situ. Akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa wanita ini? Semakin dipaksa, semakin keras kepala.
"Kaupanggil dulu Ling Ay ke sini, dan bujuk ia agar suka pulang bersamaku sekarang juga." Akhirnya dia berkata.
Dengan sikap marah sang isteri lalu meninggalkan suaminya, memasuki kamar puterinya. Ketika ia mengatakan bahwa ayahnya datang dan mengajaknya pulang dua hari, Ling Ay tidak nampak kaget atau khawatir, bahkan nampak lega hatinya.
"Baik, aku akan ikut ayah pulang." katanya dan cepat ia berkemas, membawa pakaian secukupnya saja.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan tinggal di sini menunggu engkau kembali setelah dua hari bersama ayahmu di rumah sana." kata pula ibunya.
Ling Ay tidak perduli dan ia lalu keluar bersama ibunya, menemui ayahnya yang telah menanti di kamar tamu.
Melihat Ling Ay keluar diantar pelayan yang membawakan buntalan pakaian, dan melihat Isterinya sebaliknya masih biasa saja tidak nampak siap pergi, tentu saja Cia Kun Ti menjadi bingung.
"Engkaupun harus ikut, mengantarkan anak kita pulang. Dan engkaupun dapat membantuku menasihatinya!" katanya kepada isterinya.
"Sudahlah, jangan banyak cerewet lagi!" kata Nyonya Cia dan ia segera memanggil seorang pelayan dengan sikap angkuh.
"Cepat beritahukan pelayan di belakang agar mempersiapkan kereta untuk Nyonya Muda yang akan bepergian keluar bersama Tuan Besar Cia!"
"Baik, Nyonya Besar." kata pelayan itu.
"Tapi Ibu, aku harus berpamit dulu kepada ayah dan ibu mertua." kata Ling Ay yang bagaimanapun juga tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang anak mantu. Diantar ibunya, ia masuk ke ruangan dalam. Akan tetapi, kepala daerah Cun masih sibuk di kantornya sehingga Ling Ay hanya dapat berpamit kepada ibu mertuanya yang tidak berkeberatan mantunya yang sedang dimarahi pureranya itu pulang untuk dinasehati ayahnya selama dua hari.
Setelah berpamit dari ibu mertuanya dan tidak berhasil menemukan suaminya yang sudah keluar rumah. Ibunya berkata.
"Biarlah aku yang tinggal dan yang akan memamitkan dari ayah mertuamu dan suamimu."
Dibujuk bagaimanapun. Nyonya Cia Kun Ti tidak mau Ikut pulang, bahkan meninggalkan suaminya yang membujuk-bujuknya itu, lari ke dalam lagi. Terpaksa, dengan hati amat berat, Cia Kun Ti lalu mengantar puterinya pulang dalam sebuah kereta.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan juga rikuh perasaan hati Ling Ay ketika ia memasuki rumah orang tuanya, di ruangan dalam ia disambut oleh Bun Houw dan seorang wanita yang cantik dan juga nampak gagah dan angkuh. Ia menundukkan mukanya, menahan langkah kakinya. Mukanya berubah merah sekali dan ia lalu memutar tubuh menghadapi ayahnya dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Jangan heran, anakku. Memang Bun Houw sudah berada di sini ketika aku berkunjung ke rumah suamimu. Duduklah dan aku akan menerangkan. Ini adalah li-hiap (nona pendekar) Ouwyang Hui Hong, sahabat Kwa Bun Houw yang ikut datang mengunjungiku dan membawa kabar yang amat hebat." kata Cia Kun Ti.
Mendengar ucapan ayahnya itu, barulah Ling Ay berani memutar tubuh lagi menghadapi Bun Houw dan Hui Hong, dan berani mengangkat muka memandang. Bun Houw segera mengangkat kedua tangan ke depan dada yang dibalas oleh Ling Ay.
"Adik Ling Ay. ... aku ... mohon maaf karena telah menyebabkan engkau mendapat banyak kesukaran sejak pertemuan kita di kuburan itu." kata Bun Houw cepat-cepat dengan suara penuh penyesalan.
Ling Ay tersenyum, senyum yang pahit menurut penglihatan Hui Hong.
"Engkau tidak bersalah apa-apa, toako. Akulah yang ... ng, memang sudah ditakdirkan demikian. Tidak apa-apa ...
"
Hui Hong memandang dan ia merasa menyesal bahwa ia pernah mengejek Bun Houw yang dianggapnya masih saling mencinta dengan bekas tunangannya yang kini sudah menjadi Isteri orang lain. Kiranya, Ling Ay seorang wanita yang selain cantik, juga berhati bersih! Ia lalu memberi hormat.
"Enci Ling Ay, aku sudah mendengar tentang engkau dari Houw-toako, dan aku girang dapat bertemu denganmu."
Melihat gadis itu memberi hormat, Ling Ay menghampiri dan merangkulnya. Matanya yang jernih itu menjadi agak basah dan ia berkata lirih.
"Lihiap ...
"
"Ihh, enci. Jangan sebut lihiap, namaku Hui Hong."
"Hong-moi, engkau sungguh seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa dan berhati mulia. Aku girang toako Bun Houw mempunyai seorang sahabat seperti engkau. Semoga kalian berbahagia ...
"
Hui Hong membelalakkan matanya dan tiba-tiba ia tertawa, tertawa geli dan bebas sehingga mengejutkan Cia Kun Ti dan juga Ling Ay.
Akan tetapi Bun Houw hanya tersenyum, tidak merasa heran melihat gadis itu tertawa sebebas itu sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Justeru kebebasan gadis itu yang menambah daya tarik baginya.
"Eh, adik Hong, kenapa eugkau tertawa ?"
Ling Ay bertanya, tidak marah, melainkan heran,
"Engkau salah duga, enci. Memang Houw ko dan aku telah menjadi sahabat, akan tetapi kamipun baru saja saling bertemu dan berkenalan. Baru beberapa hari. Jadi ... eh. tidak ada apa apanya antara dia dan aku!" kembali ia tertawa dan Ling Ay juga ikut tertawa, tawa sopan. Ia semakin suka. Gadis ini terbuka, dan jujur, tidak pura-pura.
"Aih, kiranya begitu?" katanya.
"Biarlah, sekarang belum, akan tetapi aku ikut mendoakan ...
"
Bun Houw mengerutkan alisnya. Dua orang wanita muda yang sama-sama cantiknya itu seolah olah bicara dengan kata-kata sandi yang tidak dimengerti artinya sama sekali. Cia Kun Ti yang melihat kegembiraan antara dua orang wanita muda itu, merasa tidak enak karena dia masih gelisah membayangkau apa yang akan terjadi dengan keluarga Cun, sedangkan isterinya masih berada di sana, segera berkata.
"Ling Ay, duduklah dan mari kita bicarakan hal yang amat penting ini."
Ling Ay duduk di atas bangku di sebelah Hui Hong, sedangkan Bun Houw duduk berhadapan di seberang meja berdampingan dengan ayahnya,
"Ayah, bukankah ayah mengajak aku pulang untuk memberi nasihat ?" tanyanya, memandang heran.
Akan tetapi ayahnya menggeleng kepalanya.
"Sama sekali bukan! Aku memang sengaja membujuk agar engkau meninggalkan rumah keluarga Cun setelah aku menerima kunjungan Bun Houw dan Ouwyang Lihiap ini. Akan tetapi ... ah. ibumu berkeras kepala, tidak mau ikut!"
"Ah. jadi bibi masih berada di sana ?" tanya Bun Houw. Dia sudah melupakan semua sikap wanita Ibu kandung bekas tunangannya itu, lupa bahwa wanita itulah sesungguhnya yang memaksa putus hubungan pertalian jodohnya dengan Ling Ay.
"Ia tidak mau pergi! Sungguh keras kepala ...!" kata Cia Kun Ti.
"Ayah, sesungguhnya apakah yang telah terjadi ? Mengapa ayah menghendaki agar aku dan Ibu meninggalkan keluarga suamiku!"
"Ling Ay, orang yang menjadi ayah mertuamu itu, kepala daerah yang dikenal sebagai Cun Taijin yang terhormat itu, ternyata dia adalah seorang pemberontak!"
"Ahhh ... ?" Ling Ay terbelalak.
"Bagaimana mungkin ... ? Bukankah dia seorang pejabat yang paling berkuasa di Nan-ping?"
"Justeru itulah! Dia menghimpun kekuatan, memelihara tokoh-tokoh penjahat besar, dan dia membunuhi saingan-saingannya atau orang-orang yang menentangnya, seperti dahulu ... sahabatku, ayah kandung Bun Houw juga terbunuh oleh anak buahnya ...
"
"Aihhh ...! Be ... benarkah itu ... ?" Ling Ay kini menoleh dan menatap wajah bekas tunangannya itu, wajahnya sendiri berubah pucat.
Bun Houw menarik napas panjang, merasa kasihan sekali kepada bekas tunangannya lalu mengangguk.
"Sesungguhnya begitulah,"
"Ahhh ...!" Ling Ay menutupi mukanya dan ia menangis.
"Jadi ... mereka ... membunuh ayah ibumu ... kemudian ... kemudian mengambil pula aku ... ah, Houw-toako, betapa ... betapa buruk nasibmu ...
"
Bun Houw menarik napas panjang.
"Sudahlah, adik Ling Ay. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Yang penting sekarang bagaimana agar ibumu dapat diselamatkan pula."
"Apa ... apa yang akan terjadi ... ?"
Wajah yang bernasib malang itu mengangkat mukanya yang kini pucat dan basah air mata.
Hui Hong merasa kasihan sekali kepada Ling Ay. Ia tahu bahwa dahulu teutu wanita ini amat mencinta Bun Houw. akan tetapi dipaksa berpisah dari calon suaminya itu dan dipaksa menikah dengan putera kepala daerah yang ternyata tidak pula mendatangkan kebahagiaan baginya, babkan kini menghadapi malapetaka.
"Enci. perbuatan jahat kepala daerah itu telah diketahui oleh Souw Ciangkun, komandan pasukan keamanan di kota ini karena dia pun malam tadi hampir dihunuh oleh anak buah Cun Taijin. Dan pemberontak itu akan diserbu. Sebelum penyerbuan dilakukan. Houw-toako lebih dahulu ingin menyelamatkau engkau dari sana."
"Ahhh ... mengapa begitu? Houw-ko, aku sudah menjadi isteri Cun Hok Seng. Apapun yang terjadi, aku adalah keluarga mereka dan kalau mereka dibasmi, kalau mereka dihukum, sudah sepatutnya kalau akupun ikut bertanggung jawab. Ayah, biarkan aku kembali ke sana dan bawa saja ibu keluar dari sana ..." wanita itu menangis lagi dan kembali Hui Hong memandang kagum. Seorang wanita yang hebat, pikirnya. Seorang isteri yang setia. Ia lalu merangkulnya,
"Enci, kurasa pendapat itu keliru. Kalau engkau tadinya mengetahui semua kejahatan itu dan menyetujuinya atau membantunya, maka engkau harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu itu. Akan tetapi, engkau hanya seorang korban! Korban kejahatan mereka. Bagaimana mungkin engkau harus mempertanggungjawabkan kejahatan mereka?"
"Akan tetapi, adik Hong. Aku Isteri Cun Hok Seng! Aku keluarga mereka."
"Keluarga yang dipaksa! Bukankah engkau dahulu dipaksa untuk menikah dengan putera kepala daerah itu? Bukankah sejak kecil sebetulnya yang menjadi calon suamimu adalah Houw-toako ini? Tidak, enci, engkau tidak sepatutnya bertanggung jawab. Bahkan eugkau sepatutnya sakit hati kepada mereka. Biarlah, aku yang akan membalaskan sakit hatimu, enci."
"Tapi ... rapi ... biarpun aku berada di sini, tetap saja tersangkut dan pasti akan ditangkap, bahkan ayah dan Ibu juga. Bukankah ayah dan ibu besan mereka dan aku bahkan anak mantu?" kembali Ling Ay membantah dan ayahnya juga terkejut karena melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan puterinya itu.
"Jangan khawatir." kata Bun Houw cepat.
"Aku yang akan minta kepada Souw Ciangkun agar keluarga Cia tidak diganggu, dan aku akan menjelaskan semuanya."
"Benar," kata Hui Hong.
"Souw Ciangkun, pasti akan suka mendengarkan keterangan kami!"
"Kalau begitu, biar aku mencoba lagi membujuk isteriku agar keluar dari sana sebelum terlambat," kata pula Cia Kun Ti.
Bun Houw bangkit berdiri, juga Hui Hong.
"Memang sebaiknya begitu, paman, karena kami berdua akan melapor kepada Souw Ciangkun sekarang juga."
"Ayah, kalau ibu tidak mau, katakan saja bahwa aku tiba-tiba jatuh sakit, atau apa saja, asal dapat memaksa ia pulang," kata Ling Ay dengan khawatir.
Mereka lalu pergi. Bun Houw pergi bersama Hui Hong, dan Cia Kun Ti berlari-lari menuju ke rumah kepala daerah. Ling Ay yang ditinggal seorang diri membanting diri di atas pembaringan di dalam kamar ibunya dan menangis, menutupi mulutnya dengan bantal agar tidak sampai terdengar tangisnya keluar kamar.
Tidak mudah bagi Cia Kun Ti untuk dapat membujuk isterinya meninggalkan gedung kepala daerah itu.
"Tidak! Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia datang kalau bersama Nyonya Muda." katanya kepada pelayan yang melapor kepadanya akan kedatangan suaminya itu.
Akan tetapi, maklum babwa ini menyangkut urusan mati hidupnya atau setidaknya keselamatan isterinya, Cia Kun Ti tidak mau pergi kalau isterinya tidak mau ikut.
"Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara urusan penting sekali, urusan yang menyangkut diri Nyonya Muda. Sebentar saja!"
Hari telah hampir sore, maka hati Cia Kuu Ti gelisah bukan main. Akhirnya, isterinya keluar dengan mulut cemberut runcing dan muka keruh seperti air lumpur.
"Ihhh, engkau ini sungguh menjengkelkan! Mau apa sih mengganggu aku terus? Bukan menasihati anaknya malah datang mengganggu aku!"
"Ssttt, dengar baik-baik, jangan sampai terdengar orang lain. Ketahuilah, anak kita mengalami kecelakaan ...
"
"Ahhh? Cilaka ? Ling Ay ... kenapa, ia ... ? Kenapa ...?"
"Iya ... setelah tiba di rumah, kunasihati ia malah mencoba untuk membunuh diri ..."
"Bunuh diri?" Nyonya itu menjerit lalu mencengkeram lengan suaminya.
"Ia mati ? Kau membunuhnya ...! Engkau yang membunuhnya !"
"Tenanglah, tenang. Ia tidak mati, hanya luka. Untung masih dapat kucegah. Karena itu. mari cepat pulang ... cepat. Jangan sampai ia mencoba membunuh diri lagi ...
"
"Ling Ay ... anakku ... ahhhh, ... !"
Kini tanpa banyak cingcong lagi Nyonya Cia Kun Ti berlari keluar, lupa benganti pakaian, lupa berpamit. Cia Kun Ti mengikuti dari belakang, diam-diam merasa girang sekali, meeeka berdua tidak memperdulikan pandang mata terheran-heran dari para pelayan yang melihat suami isteri itu berlari-lari keluar dari dalam gedung itu. Mereka tidak berani bertanya karena dua orang itu adalah besan majikan mereka, hanya saling pandang kemudian peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan mereka. Bagaimanapun juga, telah terbocor bahwa tuan muda mereka marah kepada isterinya, karena nyonya muda dikabarkan mengadakan pertemuan dengan pemuda bekas kekasihnya. Tentu saja mereka mempengunjingkan sambil tertawa-tawa di balik lengan baju mereka. Sudah lajim bahwa kita suka sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka mentertawakan penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita selalu merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa senang kalau melihat orang lain lebih sengsara dari pada kita. Nafsu daya rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita diperbudak nafsu sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti tertutup oleh selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau sudah begitu, nafsu setanlah yang mengendalikan semua tingkah laku kita, bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh pancaindra kitapun dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua hanya mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu yalah nafsu setan itulah! Nafsu setan yang sudah mencengkeram segalanya, seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya adalah jiwa, setetes air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang menjadi pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah bergelimang nafsu setanlah, yang mengaku-aku. Tidak ada kekuasaan yang akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi pelengkap bahkan menjadi pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini. Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah dan kasih sayang Tuhan kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak terkendalikan lagi bahkan mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan pula yang akan mampu menolong kita. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi hamba, menjadi alat.
Ayah dan ibu itu berlari-larian menuju ke rumah mereka. Ketika mereka memasuki rumah. Nyonya Cia Kun Ti yang melihat puterinya duduk di tempat tidur dan kelihatan, habis menangis, segera menubruknya.
"Ling Ay anakku, apa yang telah kaulakukan, anakku?"
Ling Ay merasa lega melihat Ibunya, akan tetapi juga hatinya seperti ditusuk mengingat akan nasibnya. Biarpun ia menjadi isteri Cun Hok Seng secara terpaksa, namun ia telah menjadi isterinya, dan biarpun suami itu hanya menyanjung dan memanjakannya selama beberapa bulan saja ketika berbulan madu, namun ia tetap Isterinya dan kalau keluarga suaminya tertimpa malapetaka, berarti ia pun akan terkena aib. Maka iapun merangkul ibunya dan menangis, merasa kasihan pula kepada ibunya yang ia tahu amat menikmati keadaannya sebagai besan kepala daerah.
"Ibu, ah, ibu ..."
"Anakku, kata ayahmu, engkau hampir membunuh diri? Ling Ay, apakah engkau tega meninggalkan Ibumu? Kenapa engkau begitu putus asa? Suamimu hanya sedang marah, sebentar juga akan baik kembali dan ...
"
"Ibu, kalau ibu tidak mau menemani aku selama beberapa hari ini di sini, aku benar-benar akan membunuh diri!" kata Ling Ay dengan suara yang tegas. Mendengar ini, ibunya terbelalak, akan tetapi tidak berani banyak bicara lagi.
"Aku akan di sini ... aku akan menemanimu ...
" katanya berulang-ulang.
Sementara itu, bersama dengan datangnya malam, dua sosok bayangan berkelebat cepat meloncati pagar tembok belakang bangunan yang menjadi perumahan kepala daerah. Mereka itu adalah Bun Houw dan Hui Hong yang sudah melapor kepada Souw Ciangkun. Mereka telah bekerja sama dan mengatur rencana bahwa dua orang pendekar itu akan lebih dahulu menyusup ke dalam, selain untuk membuat para penjahat di situ tidak menduga akan adanya penyerbuan pasukan, juga untuk menyelesaikan urusan pribadi Hui Hong yang hendak mencari Pek I Mo-ko yang telah mencuri akar bunga gurun pasir dari ayahnya.
Dengan Bun Houw sebagai penunjuk jalan, mereka tiba di luar ruang pertemuan dan mengintai ke dalam. Kiranya Pek I Mo-ko sedang marah-marah, memaki-maki para pembantunya yang dianggap tolol karena semua tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik. Siauw-bin Pek ti bersama tiga orang rekannya gagal membunuh Kwa Bun Houw, bahkan dihajar habis-habisan oleh pemuda itu. Bu-tek Kiam-mo yang sudah dibantu Ngo-kwi juga gagal membunuh Souw Ciangkun, bahkan dua orang di antara Ngo-kwi terluka oleh Bun Houw.
"Kalian semua tidak becus! Kalian sungguh memalukan sekali menjadi pembantu-pembantuku yang kupercaya! Bu-tek Kiam-mo, engkau adalah pembantuku yang utama, bagaimana sekali ini engkau gagal melaksanakan tugasmu? Padahal, Ngo-kwi sudah kusuruh membantumu!"
"Kalau tidak ada Kwa Bun Houw itu dan seorang gadis yang lihai sekali, tentu tugas itu berhasil. Aku sendiri sudah dapat berhadapan muka dengan Souw Ciangkun dan menyerangnya, akan tetapi tiba-tiba muncul gadis itu."
"Hemm, dikalahkan oleh seorang perempuan muda? Sungguh tak tahu malu. Percuma saja julukanmu Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) kalau engkau kalah oleh seorang perempuan, apalagi masih gadis. Siapakah gadis itu ?"
"Aku ... aku tidak tahu, Ciong Tai-hiap ...
"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Ciong Kui Le, akulah gadis itu!" Yang berkumpul di dalam ruangan itu kurang lebih duapuluh orang, yaitu Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang menjadi pemimpin. Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, Ngo-kwi, dan beberapa orang lagi yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan itu dan berkepandaian tinggi maka mereka ditarik oleh Pek I Mo-ko sebagai pembantu pembantunya. Mendengar bentakan itu. mereka semua terkejut dan memandang ke arah datangnya suara. Nampak dua bayangan orang berkelebat dan di ruangan itu telah berdiri Kwa Bun Houw dan seorang gadis yang cantik dan gagah, yang masih muda. paling banyak delapanbelas tahun usianya. Melihat gadis ini. Butek Kiam-ong terkejut karena gadis itulah yang telah menghalanginya membunuh Siauw Cingkun. Dia tidak khawatir akan dikenal orang karena ketika melaksanakan tugas itu, dia dan Ngokwi mengenakan topeng. Akan tetapi ketika dia menoleh kepada Pek I Mo-ko untuk memberi isyarat dia melihat betapa pemimpinnya itupun terbalalak dan mukanya membayangkan rasa kaget dan juga takut. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena Pek I Mo-ko segera dapat menguasai dirinya lagi, mengandalkan banyaknya anak buah, lalu dia bahkan tertawa.
"Ha-ha-ha ha, kukira siapa gadis yang menentang kami itu, kiranya engkau, Ouwyang Hui Hong!"
Wajah gadis itu menjadi merah dan sinar matanya mencorong. Orang ini telah dikenalnya sejak ia kecil, dan dahulu ketika masih menjadi pembantu ayahnya, sikap Ciong Kui Le cukup baik dan sayang kepadanya, juga menghormatnya dengan menyebutnya Hong Siociay (Nona Hong). Akan tetapi sekarang, sikapnya demikian congkak dan menyebut namanya dengan nada mengejek!
"Ciong Kui Le manusia tak mengenal budi dan tak tahu malu! Selama belasan tahun, engkau hidup di bawah pemeliharaan ayahku, bahkan menerima ilmu silat dari ayah, dan engkau membalasnya dengan melarikan diri mencuri benda mustika simpanan ayah! Hayo cepat berlutut menerima hukuman dan kembalikan mustika itu!" Berkata demikian, gadis-itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu kedua tangan itu telah menghunus sepasang pedang yang gemerlapan.
Kembali Pek I Mo-ko tertawa.
"Ha ha-haha, Hui Hong anak kemarin sore, berani engkau bicara besar di depanku? Lupakah engkau bahwa dulu seringkali aku yang membimbingmu dan memberi petunjuk kalau engkau berlatih silat? Ha ha-ha, orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Engkau tidak akan menang melawanku, Hui Hong. Mustika itu ada padaku dan takkan kukembalikan. dan sakarang engkau bahkan menyerahkan diri. Ouwyang Hui Hong, engkau tidak akan dapat keluar lari dari tempat ini!" Pek I Mo-ko lalu memberi aba-aba dan duapuluh orang lebih itu segera membuat gerakan mengepung. Bun Houw dan Hui Hong kini terkepung di ruangan yang cukup luas itu, dan di luar masih berdatangan lagi puluhan orang anak buah kepala daerah Cun yaitu pasukan penjaga keamanan!
"Pek I Mo-ko!" teriak Bun Houw dengan kata lantang.
"Engkau dan kawan-kawanmu ini menjadi kaki tangan Cun Tai-jin, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang menentangnya. Kalian adalah kaki tangan pemberontak! Dan aku mengenal siapa Ngo-kwi yang membantumu ini! Mereka ini sejak enam tujuh tahun yang lalu telah menjadi kaki tangan Cun Tai-jin untuk membunuhi orang-orang yang menentangnya, termasuk ayahku! Pendekar Kwa telah mereka keroyok dan bunuh, juga ... ibuku!"
Bun Houw menekan perasaannya karena dia tidak mau dicengkeram oleh nafsu kebencian karena dendam. dia hanya bertindak melaksanakan tugasnya sebagai pendekar untuk menentang kejahatan, membasmi mereka yang jahat, bukan bertindak karena dendam dan benci seperti yang diajarkan mendiang ayahnya, juga yang dipesankan gurunya. Kalau sampai dalam pertempuran dia merobohkan dan membunuh penjahat, biarlah penjahat itu tewas sebagai akibat kejahatan mereka, bukan sebagai akibat balas dendamnya !
"Tangkap atau bunuh mereka !" Pek I Mo-ko memberi aba-aba dan semua anak buahnya maklum bahwa aba-aba itu berarti bahwa kalau mungkin mereka ditaruskan menangkap hidup-hidup dua orang muda itu, terutama sekali tentunya gadis cantik itu, akan tetapi kalau tidak mungkin, mereka diperbolehkan membunuh mereka berdua dan tidak membiarkan mereka lolos!
"Singgg ...!" Nampak sinar berkilat dan tangan kanan Bun Houw lelah memegang sebatang pedang yang sinarnya menyilaukan mata ketika cahaya lampu menimpa pedang itu, itulah Lui-kong-kiam, pedang pusaka yang disebut Pedang Kilat, yang selama ini disembunyikan saja di dalam sarungnya yang berupa sebatang tongkat butut yang kini berada di tangan kiri pemuda itu. Karena maklum bahwa pihak lawan jauh lebih banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang yang lihai, maka sekali ini Bun Houw terpaksa mencabut Lui-kong-kiam. Dia tahu bahwa yang paling lihai di antara mereka tentulah Pek I Mo-ko, laki-laki yang berpakaian serba putih itu. Akan tetapi, Bu-tek Kiam-mo. Siauw-bin Pek-ti dan Ngo-kwi sudah mengepung dan mengeroyoknya, menyerang dari semua penjuru sehingga dia tidak sempat lagi menghadapi Pek I Mo-ko. Agaknya hal ini memang sudah diatur oleh pemimpin gerombolan itu, karena Pek I Mo-ko sendiri menghadapi Hui Hong gadis yang telah dikenalnya dengan baik dan diketahui tingkat kepandaiannya maka dia memandang ringan,
"Biarkan aku menangkap gadis ini. Yang lain keroyok dan bunuh pemuda berbahaya itu!" teriaknya dan diapun mencabut sebatang pedang dengan tangan kanan, dan sebatang kipas bergagang baja dengan tangan kirinya.
"Pengkhianat rendah!" Hui Hong membentak dan iapun menyerang dengan sepasang pedangnya. Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang mengenal ilmu pedang pasangan gadis itu, sengaja menangkis, mengelak dan membalas dengan totokan gagang kipasnya. Hui Hong meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting dengan serangan yang amat dahsyat.
"Hemmm ...!" Pek I Mo-ko berseru, terpaksa melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sambil mengelebatkan pedang dan kipasnya untuk membalas. Tahulah dia bahwa setelah dia pergi, gadis ini telah memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dari pertemuan pedang tadi saja dia maklum bahwa Hui Hong telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat dan hampir mengimbangi tenaganya sendiri. Agaknya dia hanya harus mengandalkan pengalamannya untuk dapat mengalahkan puteri bekas majikan dan juga gurunya itu.
Sementara itu, Bun Houw dikeroyok oleh banyak orang, akan tetapi bagaikan seekor jengkerik dikeroyok banyak semut, dalam gebrakan pertama saja, dua orang di antara Ngo-kwi dan dua orang pengeroyok lain telah roboh karena tubuh mereka disambar Lui-kong-kiam bersama dengan buntungnya senjata mereka ketika terbabat pedang pusaka itu! Dan makin hebat dan makin banyak para pengeroyok menyerangnya, makin hebat pula amukan Bun Houw dengan Pedang Kilat di tangan kanannya. Bahkan tongkat butut yang kini kosong di tangan kirinya itupun sempat merobohkan dua orang pengeroyok dengan totokannya. Mereka yang roboh ditarik keluar oleh pengeroyok lain dan tempatnya digantikan orang lain sehingga tempat yang luas itu penuh dengan mereka yang mengeroyok Bun Houw. Pemuda ini tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri melainkan khawatir melihat betapa Hui Hong menghadapi seorang lawan yang dia tahu amat berbahaya. Apalagi ketika dilihatnya beberapa kali gadis itu terdesak dan sempat terhuyung. Akan tetapi, yang mengeroyoknya terlalu banyak sehingga dia tidak mungkin dapat membantu atau melindungi gadis itu. Pula. dia mengenal watak gadis yang keras dan gagah itu, yang mungkin malah akan tersinggung kalau dia maju membantunya padahal ia belum kalah. Dia hanya mengharapkan Hui Hong akan mampu bertahan sampai datangnya bala bantuan yang dia tahu tidak lama lagi tiba karena tentu kini pasukan yang dipimpin sendiri oleh Souw Ciangkun telah melakukan pengepungan terhadap kompleks bangunan gedung tempat tinggal kepala daerah Cun.
Perhitungan Bun Houw memang tepat dan, harapannya terkabul ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur sebagai tanda penyerbuan pasukan tentara penjaga keamanan. Bukan saja seluruh penghuni perumahan kepala daerah Cun yang menjadi geger dan panik, bahkan seluruh kota Nan-ping menjadi gempar ketika terdengar berita bahwa gedung tempat tinggal kepala daerah Cun dikepung dan diserbu oleh pasukan tentara penjaga keamanan dari benteng.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kepala daerah Cun dan keluarganya. Juga Pek I Mo-ko yang sedang bertanding mati-matian mendesak Hui Hong kaget sekali, ketika mendengar bunyi tambur dan terompet, dan tahulah dia bahwa dia telah gagal, bahwa majikannya, kepala daerah Cun telah gagal dan telah diketahui rahasianya oleh komandan pasukan keamanan. Habislah semua harapan dan tidak ada artinya lagi membela kepala daerah yang ambisius dan telah gagal itu. Juga para penbantunya yang tadinya masih bersemangat mengeroyok Bun Houw walaupun sudah banyak di antara mereka roboh oleh Si Pedang Kilat. Ngo kwi, kelima orang yang dahulu membunuh Kwa Tin dan isterinya, juga menjadi korban Si Pedang Kilat, tewas bersama Bu-tek Kiam-mo dan Siauw-bin Pek ti, walaupun yang dua orang ini melanjutkan perlawanan dengan gigih dan bagi Bun Houw tidak amat mudah merobohkan mereka. Karena dua orang ini dan Ngo kwi, maka tadi Bun Houw tidak berdaya membantu atau melindungi Hui Hong. Bahkan ketika Ngo-kwi sudah tewas, kedua orang itu dibantu kawan-kawan mereka masih mengepungnya ketat.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 06
Baru setelah pasukan keamanan datang menyerbu sampai ke ruangan di mana terjadi pertempuran itu, Bun Houw barhasil merobohkan Bu-tek Kiam-mo dengan pedangnya, dan merobohkan Siauw bin Pek-ti dengan tongkatnya. Dia tidak memperdulikan lagi para pengeroyok lain yang sudah dikepung para perajurit, lalu meloncat ke arah sudut kanan di mana tadi dia melihat Hui Hong bertempur-mati-matian melawan Pek I Mo-ko. Akan tetapi, keduanya tidak nampak lagi di situ! Baik Hui Hong maupun Pek I Mo-ko tidak berada di sana lagi, telah pergi entah ke mana.
Bun Houw lari keluar dan bertemu dengan Souw Ciangkun di dekat pintu ruangan itu. Panglima yang mengenakan pakaian dinas itu tersenyum kepadanya.
"Terima kasih, tai-hiap, semua berhasil baik !"
"Ciangkun, apakah ciangkun melihat nona Ouwyang ?"
Komandan pasukan itu mengacungkan jempolnya memuji.
"Hebat sekali Ouwyang Li-hiap, ia tadi mengejar-ngejar lawannya yang lari ketakutan,"
"Lawannya Pek I Mo-ko yang berpakaian serba putih?"
"Benar."
"Ke arah mana larinya ?"
Komandan itu hanya menuding keluar dan sebelum dia sempat menjawab, Bun Houw sudah meloncat ke luar perumahan itu melakukan pengejaran. Namun, karena keadaan di situ penuh dengan tentara, maka dia kehilangan jejak dan tak seorangpun dapat memberi keterangan ke arah mana Hui Hong mengejar musuhnya. Hatinya khawatir sekali, akan tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dan diapun tidak ingin kembali menemui Souw Ciangkun karena dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai. Dia berputar-putar di dalam kota Nan-ping, bertanya-tanya kalau ada yang melihat Hui Hong, namun tak berhasil dan akhirnya diapun menuju ke rumah Cia Kun Ti.
Karena mencari-cari jejak Hui Hong semalam suntuk tanpa hasil, hari telah mulai terang ketika dia tiba di rumah Cia Kun Ti. Keadaan kota telah aman, tidak panik lagi dan di mana-mana orang membicarakan peristiwa yang menggemparkan itu, bahwa keluarga Cun semua ditangkap, banyak kaki tangan yang melakukan perlawanan tewas dan kini rumah kepala daerah itu ditutup dan dijaga oleh pasukan prajurit yang tidak membolehkan siapa-pun memasuki pekarangannya.
Cia Kun Ti dan Ling Ay menyambut kedatangan Bun Houw dengan perasaan haru. Dengan muka masih pucat karena semalam dia mendengar geger yang terjadi di rumah keluarga bekas besannya, Cia Kun Ti merangkul Bun Houw, bekas calon mantunya itu.
"Ah, Bun Houw. kalau tidak ada engkau bagaimana jadinya dengan kami ... ! Hanya Tuhan yang tahu betapa basar penyesalan hati kami atas perlakuan dan sikap kami dahulu terhadap dirimu dan betapa besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu ...
"
Ling Ay tidak mampu bicara, hanya menangis terisak-isak. Gadis inipun pucat sekali, rambutnya kusut, pakaiannya juga kusut dan jelas bahwa semalam ia tidak tidur dan berada dalam keadaan gelisah dan berduka.
"Sudahlah, paman. Kita harus bersyukur kepada Thian bahwa kita masih dilindungi, dan masih utung pula bagi rakyat bahwa usaha pemberontakan itu dapat dibasmi sehingga tidak jatuh korban lebih banyak lagi."
"Aihhh ... kalau Ingat bahwa engkau telah menjadi korban, Bun Houw. Ayahmu, ibumu, semua tewas oleh kaki tangan penjahat ]yang berkhianat itu ...
"
"Bukan hanya keluarga saya yang menjadi korban. Juga keluarga lain, dan adik Ling
Ay ... semua menjadi korban. Eh, di mana bibi? Kenapa ia tidak kelihatan?" Tiba-tiba Bun Houw bertanya dengan khawatir.
Sebelum ayah dan anak itu sempat menjawab, wanita yang ditanyakan Bun Houw itu berlari memasuki ruangan itu sambil menangis. Melihat Bun Houw, ia menangis semakin sedih dan menjatuhkan dirinya di atas lantai menangis seperti anak kecil.
"Aduh celaka ... aduh celaka ... habislah semuanya ... hu-hu-huuuu ... hancurlah semua, bagaimana kita dapat hidup miskin dan papa ... ?" Kemudian, tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang kepada Bun Houw dan iapun bangkit berdiri, matanya masih bengkak dan merah-merah, kini memandang kepada pemuda itu dengan marah lalu menghampiri dan menudingkan tangannya kepada pemuda itu.
"Engkaulah gara-garanya! Engkau penyebab malapetaka ini! Sejak engkau muncul di kuburan itu, malapetakapun menimpa kami! Tentu engkau yang melaporkan sehingga seluruh keluarga Cun ditangkap.
"Engkau ... engkau tak tahu malu! Engkau sudah kami tolak, masih ada muka untuk muncul ...
"
"Ibuuuu. ...!" Ling Ay menjerit dan menangis.
"Ibu, bagaimana ibu dapat mengeluarkan ucapan sekeji itu! Houw-koko telah menyelamatkan kita, ibu! Dan ibu bukan berterima kasih malah mengumpat dan menghinanya ...!"
"Berterima kasih ? Dia menolong kita ? Bohong! Kita hidup berbahagia, mulia dan terhormat, sebelam dia muncul. Lihat apa yang terjadi setelah dia muncul. Semua ini hanya tipu muslihatnya saja ..."
"Plakkkl!"
"Onhhh!" Tubuh nyonya itu terpelanting roboh oleh tamparan suaminya.
"Uhu hu huuuu ...!" Ling Ay tersedu-sedu dan iapun lari menuju dinding dengan kepala dijulurkan ke depan. Ayahnya sendiri tidak menduga, akan tetapi Bun Houw tetap waspada dan tahu apa yang akan dilakukan wanita itu. Cepat tubuhnya berkelebat mendahului dan ketika kepala Ling Ay membentur, bukan dinding keras yang dihantam kepalanya, melainkan dua buah tangan yang menerimanya dengan lunak.
"Adik Ling Ay, jangan sebodoh itu ...
"
Bun Houw menegur sambil menangkap pundak Ling Ay agar tidak sampai terpelanting jatuh. Ling Ay terkejut dan heran mengapa kepalanya tidak pecah. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa Bun Houw sudah berdiri di depannya, menghalangi kepalanya yang akan dibenturkan pada dinding.
"Houw-koko ...
" ia menjerit dan roboh pingsan dalam rangkulan Bun Houw. Sementara itu. Nyonya Cia Kun Ti meraung dan menangisi puterinya yang telah direbahkan oleh Bun Houw di atas pembaringan.
"Diam kau! Dan tutup mulutmu yang mengeluarkan kata-kata beracun itu. Engkau hendak membunuh anak kita dengan ucapanmu? Diam dan sekali lagi membuka mulut, akan kupukul kau! Mulai detik ini, engkau harus mentaati semua kata-kataku, sudah terlalu lama aku membiarkan engkau gila!" kata Cia Kun Ti dan isterinya tidak berani menangis lagi, takut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba itu.
Bun Houw menchela napas panjang dan pada saat itu, Ling Ay siuman dari pingsannya dan ia merintih lirih. Bun Houw cepat maju menghampiri. Ia tahu bagaimana perasaan wanita itu dan kalau tidak dapat dihiburnya, tentu Ling Ay akan selalu berusaha untuk membunuh diri. Bagaimanapun juga, dia pernah mengaguni dan mengharapkan Ling Ay sebagai calon isterinya, dan pernah mencintainya. Ketika Ling Ay melihat Bun Houw, dari kedua matanya mengalir keluar air mata berderai menuruni samping atas kedua pipi dan menyusup ke rambut yang menutupi telinga. Akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangis lagi. Agaknya tangisnya sudah dihabiskannya semalam.
"Koko, kenapa engkau menghalangi aku? Untuk apa aku hidup lehih lama lagi?"
"Adik Ling Ay, tenanglah dan ingatlah bahwa segala yang terjadi atas diri kita sudah dikehendaki oleh Thian. Kekuasaan Tuhan tak dapat diubah oleh siapapun juga. Keluarga Cun ditangkap pemerintah karena kesalahan mereka sendiri, disesali juga tidak ada gunanya, dan kurasa kalau di pengadilan terbukti bahwa suamimu tidak bersalah, yang bersalah hanya ayah mertuamu, maka suamimu tentu akan mendapatkan keringanan ...
"
"Houw ko, bukan itu yang kusesalkan. Mereka memang sesat, dan kalau kini mereka memetik buah dari hasil pohon tanaman mereka sendiri hal itu tidak perlu disesalkan. Akan tetapi, yang kusesalkan ... bagaimana selanjutnya aku akan dapat menahan aib ini? Keluarga suamiku ditangkap, dan aku sendiri bebas ... aib, apa akan kata orang dan ... dan ... engkau telah menjadi sengsara karena aku ...
"
"Hu-hhhh, adik Ling Ay. jangan berkata demikian. Keluarga Cia, termasuk engkau, tidak akan diganggu oleh Souw Ciangkun yang sudah berjanji kepadaku. dan tentang aib ... kalau engkau sendiri tidak melakukan, mengapa ada aib? Tentang pergunjingan orang lain ...
"
"Ling Ay. kita akan pergi dari sini, meninggalkan Nan-ping, kembali ke dusunku. Di sana takkan ada yang mempergunjingkan kita." kata Cia Kun Ti.
"Kalau demikian lebih baik lagi sehingga engkau tidak usah mendengar omongan orang, adik Ling Ay. Tentang diriku, semua sudah dikehendaki Tuhan, aku dapat menerimanya dan tidak menyalahkan siapapun juga. Dan jangan khawatir, aku yang akan mengantar engkau dan orang tuamu pindah ke dusun agar tidak terjadi gangguan di jalan. Sekarang aku harus mencari dulu jejak nona Ouwyang. Semalam Ia mengejar Pek I Mo-ko dan aku kehilangan jejaknya, aku khawatir sekali karena Pek I Mo-ko amat lihai. Semalam aku tidak sempat membantunya karena aku sendiri dikeroyok banyak orang."
"Ah, kklau begitu sebalknya kalau kaucari Ouwyang Li-hiap lebih duln, Bun Houw," kata Cia Kun Ti yang juga mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu.
"Aku akan pergi sekarang juga, paman. Akan tetapi, adik Ling Ay, aku baru mau pergi kalau engkau lebih dulu berjanji kepadaku!" Bun Houw mendekati pembaringan bekas tunangannya.
Ling Ay bangkit duduk di tepi pembaringan.
"Berjanji apa, koko?"
"Berjanjilah kepadaku bahwa engkau tidak akan mengulang kebodohan tadi, tidak akan mencoba untuk membunuh diri. Berjanjilah!"
Masih ada dua tetes air mata turun ketika muka itu menunduk, lalu diangkatnya lagi muka yang pucat dan masih basah air mata itu.
"Bun Houw-koko, kenapa engkau ... begitu memperdulikan diriku ...?"
Nyonya Cia Kun Ti yang sejak tadi diam saja karena takut kepada suaminya, tiba-tiba berkata,
"Tentu saja dia memperdulikan dan memperhatikan dirimu, anakku, karena dia adalah bekas tun ...
"
"Hemm, mulai lagi?" bentak Cia Kun Ti dan isterinya terdiam.
Bun Houw tersenyum memandang wajah yang nampak cantik dan mendatangkan iba hati itu.
"Moi-moi, tentu saja aku memperdulikanmu, karena bukankah sejak kecil kita sudah saling mengenal dan aku sayang kepadamu. Engkau seperti adikku sendiri. Nah, maukah engkau berjanji?"
Ling Ay memegang tangan Bun Houw, hatinya merasa terharu dan berterima kasih sekali. Kalau saja dahulu Ibunya tidak mata duitan, dan gila hormat, kalau saja ia menjadi isteri pemuda ini, alangkah akan bahagia sekarang hidupnya!"
"Terima kasih, koko. Aku berjanji." katanya dan Bun Houw tersenyum lega. Dengan lembut dia melepaskan tangan wanita itu, lalu berkata,
"Aku harus cepat mencari Ouwyang Hui Hong. Setelah melihat ia selamat, baru aku kembali ke sini dan mengantar kalian pindah ke dusun."
Setelah berkata demikian, cepat dia keluar meninggalkan rumah itu. Dia mencari-cari lagi ke seluruh kota, kemudian mendengar bahwa ada orang melihat gadis itu berlari keluar malam hari tadi melalui pintu gerbang utara diapun cepat melakukan pengejaran menuju ke utara.
Di rumah Cia Kun Ti, suasananya sudah tenang. Isteri Cia Kun Ti tidak berani banyak bicara lagi. dan Ling Ay juga sudah tidak menangis. Mereka bertiga kini berkemas, mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa pindah ke dusun. Cia Kun Ti memanggil A Liok, pembantunya dan memasrahkan rumah dan tokonya kepada pembantu itu untuk dicarikan pembeli, dan agar A Liok suka menjaga dulu rumah itu setelah keluarganya pergi, Cia Kun Ti akan kembali ke kota ini setelah mengantar keluarganya keluar dari kota, untuk mengurus penjualan rumah dan toko.
A Liok terkejut mendengar ini.
"Kenapa hendak pindah, Cia Toako ? Dan kenapa rumah dan toko hendak dijual ? Ke manakah toako hendak pindah?"
"Menyesal aku tidak dapat memberi penjelasan, A Liok. Engkau sudah membantu selama beberapa tahun dengan senang tentu aku tidak akan melupakan jasamu dan akan meninggalkan sedikit modal agar engkau dapat berdagang sendiri. Carikan saja pembeli dan kalau ada yang bertanya macam-macam, katakan saja kami ingin tinggal bertani di dusun."
"Baik, toako, dan terima kasih. Kapan toako akan pindah?"
"Sekarang pulanglah dulu. Entah besok entah lusa kami pindah, engkau akan kupanggil lagi kalau kami akan berangkat."
Demikianlah, sambil menanti kembalinya Bun Houw, Cia Kun Ti dan isterinya, juga Ling Ay, berkemas-kemas. Cia Kun Ti sudah pula memesan sebuah kereta yang siap berangkat sewaktu-waktu. Setelah melakukan persiapan, berkemas sehari penuh itu, malamnya mereka lelah dan tidur. Ling Ay tidur bersama ibunya dalam kamar yang dulu menjadi kamarnya ketika ia masih gadis, dan ayahnya tidur sendiri. Karena malam tadi mereka lama sekali tidak tidur, hati mereka penuh ketegangan, dan hari tadi mereka bekerja, berkemas sehari penuh sehingga tubuh mereka lelah, maka tidak terlalu malam mereka telah pulas.
Tak seorangpun di antara mereka tahu di mana Bun Houw dan sampai di mana hasil usahanya mengikuti jejak Ouwyang Hui Hong. Tadi mereka memang menunggu-nunggu, akan tetapi setelah hari menjadi malam dan mereka mengantuk, mereka menduga bahwa tentu Bun Houw tidak datang malam ini, mungkin besok. Maka merekapun tidur, sedikitpun tidak menduga bahwa menjelang tengah malam, nampak bayangan berkelebat naik ke atas genteng rumah itu.
Orang itu jelas bukan Bau Houw karena dia berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi kedok hitam yang hanya memperlihatkan dua buah mata yang bersinar tajam. Juga di punggung orang itu terselip sebatang golok yang gagangnya beronce merah. Seperti seekor kucing saja, orang itu yang bertubuh tinggi kurus, berloncatan di atas wuwungan rumah dan tak lama kemudian dia sudah berhasil memasuki rumah itu dengan membuka genteng bagian belakang.
Cia Ling Ay Menjadi Murid Bi Moli Hwe Li
PINTU kamar Cia Kun Ti dibuka dengan dorongan kedua tangan. Pintu itu jebol. Karena hal ini menimbulkan suara gaduh, Cia Kun Ti yang sedang tidur nyenyak itu terkejut dan terbangun. Akan tetapi dia hanya sempat bangkit duduk dan terbelalak memandang kepada sesosok tubuh berpakaian hitam yang meloncat masuk melalui pintu yang sudah terbuka. Penyinaran lampu dari luar kamar membuat orang itu hanya nampak bayangan hitam saja, akan tetapi golok di tangannya berkilau, Cia Kun Ti tidak sempat melawan, bahkan tidak sempat berteriak karena sama sekali tidak mengira apa yang akan terjadi, bahkan baru saja terbangun dengan kaget. Tahu-tahu golok itu telah menyambar ke arah lehernya. Leher itu hampir putus, tubuh Cia Kun Ti terjengkang dan tempat tidur itu banjir darah.
Bayangan hitam itu meloncat keluar, kini mendorong daun pintu kamar di mana Ling Ay tidur bersama ibunya. Tidak saperti kamar ayahnya, di kamar Ling Ay masih ada penerangan, yaitu lampu meja kecil yang membuat suasana di kamar itu remang-remang, namun cukup terang. Ibu dan anak itu sudah terbangun oleh suara gaduh ketika daun pintu kamar Cia Kun Ti tadi jebol. Mereka terkejut dan bangkit duduk, saling rangkul dengan kaget. Akan tetapi, dengan mata terbelalak dan hampir tak bernapas mereka mendengarkan dan tidak terdengar suara apa-apalagi. Selagi mereka berbisik-bisik karena Ling Ay mencegah ibunya yang hendak turun dan melihat ke kamar sebelah, tiba-tiba pintu kamar itu jebol. Nyonya Cia Kun Ti masih teringat akan kedudukannya sebagai besan kepala daerah, karena baru saja bangun tidur, dan iapun masih hendak mengandalkan kekuasaannya. Ia melompat dengan berani, turun dari tempat tidur dan menudingkan telunjuknya ke arah orang berkedok itu,
"Siapa engkau! Berani sekali memasuki kamar kami, ya? Hayo cepat keluar atau akan kupanggilkan pengawal!"
Akan tetapi, terdengar suara terkekeh di balik kedok. Orang berkedok itu menerjang maju, goloknya menyambar dan Nyonya Cia Kun Ti roboh dengan mandi darah, lehernya nyaris putus oleh sabetan golok tadi. Ling Ay menjerit. Orang berkedok itu sekali renggut merobek kelambu yang tertutup dan dia menyeringai ketika melihat Ling Ay dalam pakaian tipis, pakaian tidur,
"Heh-heh, engkau cantik sekali! Biar menjadi tambahan upah jerih payahku malam ini, 'Ha-ha-ha." Akan tetapi ketika penjahat berkedok hitam itu menyambar tubuh Ling Ay, wanita muda ini sudah lemas dan tak sadarkan dirinya.
Penjahat itu mendengus gembira karena keadaan wanita yang pingsan itu memudahkan niatnya menculik wanita itu. Tidak banyak membuat perlawanan, tidak akan meronta. Maka, dipanggulnya tubuh yang lemas, lembut dan hangat itu di pundak kirinya dan diapun melompat pergi meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan isterinya yang sudah menjadi mayat itu.
Siapakah penjahat berkedok itu ? Setelah dia melarikan Ling Ay yang masih pingsan karena ngeri melihat ibunya dibunuh penjahat itu dan keluar dari kota Nan-ping, penjahat itu menanggalkan kedok hitamnya. Ternyata dia seorang lakl-iaki berusia sekitar empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya kehitaman, penuh dengan bopeng bekas penyakit kulit yang membuat kulit mukanya menjadi tebal. Sepasang matanya sipit dan membayangkan hati yang kejam. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal menghitam. Wajah yang buruk menyeramkan. Dia seorang pembunuh bayaran yang terkenal dengan Julukan Hek-coa (Ular Hitam) dan sekali inipun dia membunuh Cia Kun Ti dan isterinya bukan karena dendam pribadi, melainkan karena uang. Dia diupah untuk membasmi keluarga Cia oleh seorang pejabat di kota Nan-ping. Pejabat ini adalah sekutu Cun Taijin dan ketika Souw Ciangkun panglima di Nan-ping membasmi dan menangkap komplotan Cun Taijin, tentu saja pejabat ini menjadi ketakutan. Dia khawatir kalau-kalau rahasia persekutuannya dengan Cun Tai-jin terbongkar. Dia dapat menduga bahwa tentu rahasia Cun Taijin pecah oleh keluarga Cia yang menjadi besan Cun Tai-Jin, maka dia tentu saja takut kalau Cia Kun Ti membongkar pula rahasianya sebagai bekas sekutu Cun Taijin. Maka, di panggilnya Hek-coa dan dengan upah yang besar dia menyuruh penjahat itu untuk membasmi keluarga Cia, yaitu Cia Kun Ti, Isterinya dan anaknya, juga seluruh keluarga yang berada di rumah keluarga itu.
Kalau saja Hek-coa membunuh semua orang di rumah itu tanpa kecuali, dan dia berhasil melarikan diri, tentu akan sukar diketahui bahwa pembunuhan itu didalangi olah pejabat yang bernama Poa Kit Seng, pejabat pemungut pajak yang menjadi pembantu Cun Tai-jin itu. Akan tetapi, ketika melihat Ling Ay yang cantik molek, Hek-coa merasa sayang dan diculiknya wanita itu dan dianggap sebagai tambahan upah jerih payahnya.
Karena tidak ingin terhalang gangguan, seperti seekor anjing yang baru saja mencuri ayam dan tidak ingin ketahuan siapapun juga, maka setelah keluar dari kota Nan-ping, Hek-coa membawa Ling Ay yang dipanggulnya mendaki sebuah bukit di mana terdapat hutan. Dia tahu bahwa bukit itu tidak dihuni orang, dan di puncak bukit itu terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan kosong. Seringkali kalau sedang lari dari pengejaran orang sehabis dia melakukan kejahatan, dia bersembunyi di kuil kosong itu. Kuil yang ditakuti penduduk di sekitar Nan-ping karena dikabarkan kuil itu berhantu. Menurut dongeng, dahulu ada seorang nikouw (pendeta wanita) di kuil itu yang berbuat mesum dan akhirnya karena malu ia mati menggantung diri. Karena aib ini, maka semua nikouw meninggalkan kuil itu yang dianggap telah menjadi tempat yang kotor dan sejak itu, puluhan tahun yang lalu, kuil itu tidak lagi dihuni orang. Didatangi orangpun jarang sekali karena orang-orang takut mendekat setelah dikabarkan bahwa kuil itu berhantu.
Biarpun di angkasa hanya ada bintang-bintang, namun karena Hek-coa sudah hafal akan jalan pendakian setapak itu, maka cepat dia dapat mendaki melalui hutan dan akhirnya, menjelang pagi, dia tiba di luar kuil yang nampak kotor tak terawat itu. Memang dilihat dari luar, kuil itu tua, kotor dan menyeramkan. Gentengnya sudah banyak yang pecah. temboknya penuh lumut dan daun pohon menjalar. Banyak kelelawar beterbangan keluar masuk melalui lubang-lubang atap cukup mengerikan. Akan tetapi Hek-coa tersenyum menyeringai, penuh kegembiraan. Dia tahu bahwa biarpun dari luar nampak kotor menyeramkan, namun di sebelah dalamnya bersih dan hangat. Dia telah menemukan sebuah ruangan yang tidak bocor di bagian belakang kuil itu dan dia telah membersihkan ruangan itu, dijadikan tempat tidur. DI sana terdapat sebuah pembaringan kayu yang bersih dan hangat, dan kini akan menjadi makin indah dengan adanya wanita cantik jelita dalam pondongannya ini.
Tiba-tiba Ling Ay mengeluh lirih dan tubuhnya bergerak. Hek-coa merasa betapa tubuh yang lembut hangat itu, yang sejak tadi sudah menimbulkan gairah yang terbakar, kini menjadi hidup dan bergerak, bahkan meronta. Dia lalu memondong tubuh itu seperti seorang anak kecil dan menyeringai sabar sambil mendekatkan mukanya pada muka Ling Ay.
"Engkau sudah bangun, manis. Heh-heh-heh!"
Biarpun cuaca masih remang-remang, namun Ling Ay dapat melihat muka yang amat dekat dan yang agaknya siap untuk melahapnya itu! Ia menahan jeritnya.
"lhhh ...! Siapa engkau ...? Lepaskan aku!" Teriaknya marah.
"Heh-he-heh, manis sayang, jangan kaget dan jangan takut. Aku ... aku ini ... eh, suamimu, ha-ha-ha" Dan kini Hek-coa menariknya, mendekap dan berusaha mencium.
Bukan main kagetnya hati Ling Ay dan kini iapun teringat akan semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar Ibunya. Ibunya dibunuh orang yang berpakaian hitam dan berkedok hitam. Dan kini ia berada dalam pelukan seorang laki-laki berpakaian hitam yang wajahnya menyeramkan sekali! Ketika orang itu menciumnya, Ling Ay sekuat tenaga meronta dan memalingkan mukanya sehingga hidung dan mulut Hek-coa mendarat di lehernya yang putih mulus. Mulut itu mengecup leher seperti gigitan seekor anjing serigala pada leher seekor kijang. Ling Ay menggelinjang dan seluruh bulu di tubuhnya meremang. Hampir saja ia pingsan kembali.
"Tidak.: ...! Jangan. ...! Kau lepaskan aku, keparat! Engkau Jahanam yang telah membunuh ibuku! Tolooonggg ... !"
Hek-coa tertawa bergelak, dan mempererat bekapannya.
"Berteriaklah, manis. Menjeritlah, merontalah. Makin kuat engkau menjerit dan meronta akan makin menyenangkan hatiku. Akan tetapi tak seorangpun akan mendengar jeritanmu, jeritan pengantinku di malam pertama, ha-ha-ha!" Sambil tertawa dan tidak memperdulikan Ling Ay yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, Hek-coa melangkah ke dalam kuil.
Dengan kakinya, Hek-coa mendorong pintu kamar yang dibuatnya itu dan membawa Ling-Ay ke pembaringan kayu yang baginya seperti sedang menanti dan menggapai-gapai. Dengan kasar dia melemparkan tubuh Ling Ay ke atas pembaringan.
Tentu saja Ling Ay merasa ngeri dan ia segera merangkak ke sudut paling jauh dari pembaringan itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan ia seperti seekor kelinci yang tersudut menghadapi moncong harimau yang siap untuk mencabik-cabik dagingnya.
"Bunuh saja aku ! Bunuh ... engkau sudah membunuh ayah ibuku, kaubunuh saja aku ...!" Ia menangis. Kini ia dapat menduga bahwa tentu ayahnya juga sudah tewas seperti ibunya.
"Ha-ha-ha-ha, membunuhmu? Aduh, sayang secantik manis engkau kalau dibunuh. Tidak, sayang. Engkau akan menjadi isteriku, mau atau tidak mau, dan engkau akan hidup puluhan tahun lagi untuk menemaniku dalam dunia yang biasanya sepi ini."
"Tidak! Aku tidak sudi! Engkau Jahanam, busuk, kaubunuh saja aku! Aku lebih suka mati dari pada menjadi isterimu!" Tiba-tiba Ling Ay menggerakkan tubuh atasnya, hendak, membenturkan kepalanya pada dinding di belakang pembaringan. Akan tetapi agaknya Hek-coa dapat menduga akan hal ini dan sekali dia meloncat, dia sudah menubruk dan mendekap tubuh Ling Ay yang terbanting ke atas pembaringan, menggagalkan niatnya untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Ling Ay meronta-ronta dan memalingkan mukanya yang diciumi oleh Hek-coa sambil tertawa-tawa itu.
Tiba-tiba terjadi suatu keanehan yang membuat Ling Ay kaget, heran dan bingung sendiri. Laki-laki yang buruk rupa dan kasar itu tiba-tiba berteriak ketakutan dan melepaskannya, meloncat turun dari atas pembaringan dan dengan mata terbelalak memandang kepadanya dengan pandang mata jijik, bahkan sempat penjahat itu menggerak-gerakkan pundak seperti orang yang jijik dan ketakutan! Tentu saja Ling Ay tidak tahu mengapa begitu. Kalau saja ia tahu! Dalam pandangan Hek-coa, tiba-tiba taja tubuh yang tadinya mulus dan lembut hangat itu, ketika digelutinya, tiba-tiba terasa dingin dan licin, berbau amis dan ketika dia memandang, tubuh Ling Ay telah berubah menjadi seekor ular yang besarnya melebihi besar paha Hek-coa!"
"Hiiiihhh ...! ... ilnman ... !" Hek-coa tergagap dan meraba gagang golok di punggungnya. Akan tetapi pada saat dia menoleh, dia melihat Ling Ay sudah rebah terlentang di atas lantai, tersenyum manis dengan sikap tubuh dan pandang mata menantang dan merangsang! Seketika Hek-coa telah melupakan ular yang melingkar di atas pembaringan itu dan sambil menyeringai dan mendengus seperti seekor kuda, dia menubruk Ling Ay yang rebah di atas tanah menantinya.
Ling Ay terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Kalau tadi ia meronta-ronta dan menjerit-jerit, kini ia diam saja menahan napas, seolah takut kalau ia bernapas terlalu keras, samua penglihatan itu akan membuyar dan apa yang tadi terjadi atas dirinya akan terulang atau dilanjutkan. Betapa ia tidak akan terbelalak heran kalau melihat penjahat yang mengerikan itu tadi tiba-tiba melepaskannya, meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepadanya dengan ketakutan, meraba gagang golok kemudian sekarang menubruk setumpukan jerami kotor yang diikat tali bambu, mendekap seikat jerami itu dan menciuminya, meraba-raba dan menggigitinya dengan gemas sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng separti seekor binatang buas mengganyang mangsanya!"
Makin lama Hek-coa menjadi semakin buas dan tiba-tiba terdengar suara ketawa lirih namun karena suasana sudah amat mengerikan dan di situ sunyi sekali, yang terdengar hanya napas ngos-ngosan dari Hek-coa, maka suara ketawa itu terdengar jelas dan amat mengejutkan. Meremang bulu tengkuk Ling Ay karena tadi ia mendengar penjahat itu menyebut-nyebut siluman. Kini suara ketawa itu tentu saja ia hubungkan dengan siluman, apalagi ketika tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, di dalam cuaca yang mulai nampak terang itu, tepat di ambang pintu, telah berdiri seorang wanita cantik! Siapalagi kalau bukan siluman, pikir Ling Ay dan ia masih berlutut di atas pembaringan, mendekap dadanya karena sebagian bajunya robek direnggut penjahat itu tadi.
"Hi-hi-hi-hik, orang ini tiada bedanya seperti seekor babi saja," Wanita itu tertawa dan bicara dengan suara lembut, Ling Ay memandang penuh perhatian. Wanita itu umurnya sekitar empatpuluh tujuh tahun, masih cantik seperti gadis berusia duapuluh lima tahun saja. Rambutnya yang amat hitam dan subur itu melingkar di atas kepalanya dengan gelung model puteri bangsawan tinggi. Pakaiannya dari sutera berwarna merah dan kuning. Di punggungnya nampak tersembul gagang pedang yang Indah dengan ronce-ronce biru. Wajahnya yang berbentuk bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang mata tajam berwibawa, hidungnya kecil mancung dan bibirnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek.
Agaknya Hek-coa juga mendengar suara tawa dan ucapan itu dan tiba-tiba saja dia terbelalak memandang seikat jerami kering kotor yang digeluti dan diciuminya.
"Ahhha ... ? Apa ... mengapa ... eh!" siluman ...
" Dia tergagap dan bangkit berdiri.!"
Pakaiannya tidak karuan, rambut dan kumis, jenggotnya penuh jerami. Nampak lucu sekali. Hek-coa masih terbelalak bingung, tapi dia segera dapat melihat wanita setengah tua yang, catik itu berdiri di ambang pintu, diapun menoleh ke arah pembaringan dan kembali terkejut melihat Ling Ay masih berlutut di sana.
Dia menoleh lagi ka arah jerami dan menjadi semakin bingung,
"Ehhh! Apa ... dan bagaimana ... ular ... ular besar itu ...
"
Wanita cantik itu tersenyum lebar dan nampak deretan giginya yang putih dan rapi, masih lengkap.
"Engkau ini manusia tapi berwatak binatang! Hayo cepat pergi dari sini, kalau tidak, akan habis kesabaranku dan engkau pasti kubunuh!"
Agaknya kini Hek-coa baru menyadari bahwa dia telah dipermainkan oleh wanita cantik itu. Entah dengan Ilmu apa.
"Engkau siluman! Kaukira aku Si Ular Hitam takut kepadamu? Ha-ha-ha, ditambah seorang lagi seperti engkau, sungguh menggembirakan sekali!"
Dasar seorang yang sudah dikuasai nafsu setan. Hek-coa sudah terbiasa memandang rendah orang lain dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. Apalagi yang dihadapinya hanya seorang perempuan, cantik lagi walapun tidak semuda wanita yang berlutut di atas pembaringan.
Wanita itu memperlebar senyumnya.
"Heh-leh, sikap dan ucapanmu itu menjadi keputusan hukuman mati bagimu!"
"Uwahh! Engkau ini perempuan cantik tapi sombong. Lihat saja nanti kalau aku sudah berhasil menundukkanmu, tentu akan lain bicaramu!" Tiba-tiba saja Hek-coa menubruk, dengan terkaman separti seekor harimau kelaparan sehingga bukan hanya kedua lengan yang dikembangkan itu yang menyerang, bahkan juga kedua kakinya seperti hendak mencengkeram! Ling Ay yang tahu akan kekejaman dan kelihaian penjahat itu, tentu saja merasa khawatir sekali. Akan tetapi, kekhawatiran itu segera berubah menjadi kelegaan hati yang amat menggembirakan ketika tiba-tiba saja, entah mengapa dan bagaimana, tubuh penjahat yang menubruk itu telah terpelanting dan terbanting ke atas tanah dengan kerasnya
"Ngekkk!" Penjahat itu mengeluarkan suara dari perut karena ketika dia terbanting, seluruh tulangnya seperti remuk rasanya. Sejenak dia hanya dapat bangkit duduk, tangan kiri memegangi kepala yang terasa puyeng, tangan kanan menggosok-gosok pantat yang tadi menghantam lantai dengan kerasnya. Akan tetapi dasar orang tak tahu diri. dia masih belum jera. Dia kini menjadi marah bukan main. Setelah kepeningannya hilang, diapun bangkit berdiri dan sekali tangan kanannya bergerak, golok itu sudah dicabutnya. Sinar matahari pagi yang mulai menerobos masuk menimpa golok yang nampak berkilauan mengerikan. Kembali Ling Ay merasa ngeri. itulah golok yang telah membunuh Ibunya, di depan matanya, dan mungkin juga ayahnya! Dan sekarang wanita itu terancam!"
"Jangan bunuh enci itu! Bunuh saja aku, jangan bunuh ia yang sama tidak berdosa. Akulah anggauta keluarga Cun dan Cia, bunuh saja aku!" teriak Ling Ay, Wanita itu menoleh ke arah Ling Ay dan senyumnya manis sekali.
"Jangan sebut aku enci. Aku lebih pantas menjadi bibimu dan jangan khawatir. Dia ini bernama Ular Hitam maka bagaimana mungkin dia dapat memegang golok atau pedang? Yang dipegangnya hanyalah seekor ular berbisa!"
Tentu saja Ling Ay merasa heran dan tidak mengerti. Ia memandang kepada Hek-coa dan melihat bahwa yang dipegang penjahat itu adalah sebatang golok besar yang tajam mengkilap, bagaimana dikatakan bahwa penjahat itu memegang seekor ular.
"Ha-ha-ha, sayang sekali orang cantik manis ini otaknya miring!" Hek-coa mengejek untuk membesarkan hatinya sendiri yang sebetulnya mulai merasa gentar. Tadi, ketika dia menyerang dengan tubrukan mautnya, agaknya wanita itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, apalagi memukul. Hanya nampak ia mengangkat kedua tangannya dan dia merasa ada angin yang kuat sekali mendorongnya sehingga dia terpelanting dan terbanting dengan keras. Dia mulai curiga bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita sakti. Akan tetapi dia masih mengandalkan goloknya, maka dia berani mengejek untuk membesarkan hati dan kepercayaan kepada diri sendiri.
Wanita itu menudingkan telunjuknya.
"Hek-coa, lihat baik-baik. Bukankah yang kaupegang itu seekor ular kobra? Lihat, ular itu akan melilit lehermu sendiri!"
Bagi Ling Ay, penjahat itu tetap saja memegang sebatang golok tajam, bahkan golok itu sudah diangkat dan diamangkannya dengan penuh ancaman. Akan tetapi ia melihat betapa Hek-coa tiba-tiba memandang golok yang berada di tangan kanannya dan mata yang sipit itu terbelalak, muka hitam itu berubah pucat dan mulutnya ternganga mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh tidak karuan seperti orang yang merasa ngeri dan ketakutan!"
Betapa tidak ? Hek-coa yang mendengar ucapan wanita itu. tentu saja memandang kepada golok di tangannya dan inilah awal kesalahannya. Begitu memandang goloknya, berarti dia sudah jatuh di bawah pengaruh wanita itu, mentaati perintahnya dan dia melihat goloknya bukan berbentuk golok lagi melainkan seekor ular kobra yang dia pegang ekornya. Kini ular itu mengangkat leher dan kepalanya, lehernya, mengembang dan lidahnya keluar masuk dari mulut yang mendesis-desis!"
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahhh ... uhhhh ... ular ... ularr. ...! Tidak ... ihhh!" Dia mencoba untuk membuang golok yang telah berubah menjadi ular kobra itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang dipegangnya itu seolah olah melekat di telapak tangannya. Ular itu kini mulai mendekati lehernya! Bahkan mulai melilit lehernya. Terasa dingin-dingin licin di kulit lehernya.
Hek-coa menjerit-jerit dan memandang ke kanan kiri ketakutan. Ling Ay menjadi bengong! Tadinya dia masih mengira bahwa si muka hitam itu hanya berpura-pura untuk mempermainkan wanita cantik ini. Akan tetapi kini ia melihat si muka hitam itu selain ketakutan, juga golok yang dipegangnya itu hendak digorokkan ke lehernya sendiri! Golok itu sudah menempel di leher dan mulai nampak darah ketika golok yang tajam itu mengiris kulit leher, Tahulah ia bahwa si muka hitam itu tentu akan mati menggorok leher sendiri, agaknya melihat golok itu telah berubah menjadi ular yang hendak melilit lehernya. Tiba-tiba Ling Ay turun dari atas pembaringan.
"Enci ... bibi...! Harap jangan bunuh dia dulu!"
Wanita itu menoleh dan tersenyum dan sekali ia menggerakkan tangannya ke arah Hek-coa, penjahat itu sadar dan mukanya pucat melihat betapa dia menempelkan goloknya di lehernya sendiri. Tangan kirinya meraba bagian leher yang perih dan temyata leher itu terluka dia menjadi semakin ketakutan. Wanita cantik itu tentulah siluman! Dia berteriak dan sambil melempar goloknya, diapun meloncat hendak melarikan diri. Akan tetapi kembali wanita itu menggerakkan tangan ke arahnya dan angin menyambar dahsyat dan tubuh Hek-coa terpelanting lagi, terbanting keras. Maklumlah Hek-coa bahwa tak mungkin dia lari dari wanita siluman ini, maka dengan tubuh menggigil kelakutan, dia lalu menjatuhkan diri berlutut ke arah wanita itu.
"Mohon ... ampun ... hamba ... hamba berdosa, ampunkan hamba ... !"
"Diam saja di situ dan jangan bergerak!" kata wanita itu dan Hek-coa tidak berani lagi bengerak atau membuka mulut, hanya berlutut dengan tubuh gemetar,
"Nona, engkau tadi mengatakan bahwa ayah dan ibumu dibunuh oleh Ular Hitam ini, dan sekarang engkau minta kepadaku agar jangan membunuhnya dulu? Apakah engkau hendak membalas dendam dan hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya ? Hi-hik, kalau begitu, aku dapat mengajarimu cara menyiksa yang paling hebat, yang akan membuat dia menderita siksaan yang membuat dia mati tidak hiduppun tidak!"
Ling Ay maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
"Bibi, harap maafkan saya. Bukan maksud saya untuk membalas dendam dengan penyiksaan. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga saya mempunyai dosa besar terhadap pemerintah dan sudah sepatutnya kalau saya pun dihukum. Hanya saya ingin tahu dari orang ini, mengapa dia membunuh ayah dan ibu dan menculik saya. Seperti itukah pelaksanaan hukuman pemerintah? Saya ingin mendengar dari dia segala rahasia yang terdapat di balik perbuatannya yang terkutuk ini."
Wanita cantik itu nampak tertarik sekali dan sejenak ia mengamati wajah Ling Ay.
"Anak yang baik, siapakah keluargamu? Siapa pula engkau dan dosa apa yang dilakukan keluargamu? Ceritakanlah segalanya sebelum kupaksa jahanam ini mengaku."
Ling Ay sudah putus asa. Ayah ibunya telah tewas, keluarga suaminya juga telah terbasmi. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat ia harapkan. Kwa Bun Houw? Ah, ia malas kalau harus mengganggu pemuda bekas tunangannya itu. Sudah terlampau banyak pemuda itu menderita karena dirinya! Maka, kemunculan wanita sakti ini menghidupkan kembali harapan yang hampir padam di hatinya dan pertanyaan itu membuat ia begitu terharu sehingga ia menangis di depan kaki wanita itu, terisak-isak.
Sejenak wanita itu membiarkan saja Ling Ay menangis. Iapun tahu bahwa biarpun lemah dan tidak memiliki kepandaian silat, namun wanita muda yang berlutut di depan kakinya ini bukanlah seorang wanita cengeng yang menuruti perasaan saja. Akan tetapi tak lama kemudian ia berkata dengan suara tegas.
"Hentikan tangismu. Aku paling tidak suka kecengengan! Ceritakan keadaanmu dan aku akan membantumu. Kalau kau menangis terus aku akan meninggalkanmu!"
Mendengar itu, seketika Ling Ay berhenti menangis. Hai ini saja menunjukkan bahwa wanita ini memiliki kekerasan hati yang mampu mengatasi perasaannya. Setelah mengusap dan mengeringkan sisa air mata dari kedua pipinya. Ling Ay lalu menceriterakan semua riwayatnya secara singkat. Ia menceriterakan betapa ia dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi isteri Cun Hok Seng, putera kepala daerah Nan-ping walaupun ia sama sekali tidak mencinta pemuda itu. Betapa ia berusaha untuk menjadi seorang isteri yang baik, akan tetapi suaminya ternyata amat pencemburu dan suka kepadanya hanya karena nafsu yang haus kecantikan belaka.
"Kemudian terjadilah malapetaka itu," sambungnya.
"Tanpa saya ketahui, ternyata ayah mertua saya. Cun Tai-jin, mempengunakan orang-orang jahat untuk memberontak! Hal ini ketahuan oleh panglima pasukan keamanan di Nan-ping dan rumahnya diserbu pasukan. Saya diajak pulang ayah karena ayah telah tahu hal itu. Keluarga Cun ditangkapi, akan tetapi saya terbebas karena jaminan ... seorang pendekar yang membantu Souw Ciangkun membasmi persekutuan pemberontak. Dan malam ini ... dia ini datang membunuh ayah dan Ibu, dan menculik saya. Karena itulah, bibi yang mulia, saya mohon agar orang ini jangan dibunuh sebelum dia mengaku siapa yang menyuruhnya dan mengapa pula ayah ibu saya dibunuh."
Wanita itu menoleh ke arah Hek-coa yang masih berlutut tak berani bengerak.
"Nah, Ular Hitam, engkau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh nyonya muda ... eh, siapa namamu tadi, Cia Ling Ay? Hayo ceritakan mengapa engkau membunuh ayah ibunya lalu menculiknya! Awas, sekali berbohong akan kupenggal sebuah telingamu!"
Hek-coa sudah mati kutu benar-benar. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri dari tangan wanita sakti ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah minta ampun, atau kalau toh dia harus menjalani hukuman, dia tidak mau menanggungnya sendiri, Sifat umum yang amat buruk dari kita seperti sikap Hek-coa itu, yalah segala hal yang menyenangkan ingin diborong sendiri dan sebaliknya, segala hal yang menyusahkan ingin ditanggung beramai-ramai.
"Ampunkan saya, li-hiap (pendekar wanita)," katanya merendah.
"Sesungguhnya, saya hanyalah seorang bawahan saja, seorang pelaksana. Saya diperintah seseorang untuk membunuh keluarga Cia. Ketika melihat nyonya muda ini, hati saya merasa tidak tega dan karena saya belum mempunyai isteri, maka maksud saya untuk memperisterinya karena saya merasa kasihan. Saya pribadi tidak mengenal keluarga Cia, bagaimana bisa bermusuhan ? Saya diperintah ...
"
"Siapa yang menyuruhmu?" Kini Ling Ay yang bertanya karena ia merasa penarasan sekali.
Bahkan terhadap Ling Ay yang tadi hampir diperkosanya, Hek-coa bersikap takut dan hormat. Hal ini adalah karena dia mengharapkan pengampunan dari Ling Ay yang tidak begitu galak dibandingkan wanita sakti itu. Tadipun nyonya muda ini yang minta kepada si wanita sakti agar tidak membunuhnya.
"Yang memerintahkan saya untuk melakukan pembunuhan adalah Poa Tai-jin ... saya hanya melaksanakan perintah ..."
"Poa Tai-Jin?" Ling Ay mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
"Poa Tai-jin yang menjadi pembantu Cun Tai-jin. pengumpulan pajak itu ?"
"Benar, toanio. Dia Poa Kit Seng, dia yang memerintahkan saya dan saya ... saya hanya melaksanakan. ...
"
"Kutu busuk!" Wanita sakti itu membentak, muak melihat sikap pengecut penjahat itu,
"Engkau pembunuh bayaran, ya ?"
Hek-coa hanya mengangguk-angguk dan menyembah-nyembah.
"Ampunkan saya ...
"
Kini Ling Ay bangkit berdiri, memandang kepada wanita sakti dan berkata,
"Bibi, kumohon bibi sudi menemani saya untuk pergi kepada Souw Ciangkun bersama penjahat ini. Saya harus melaporkan tentang hal ini, karena agaknya masih banyak sisa sekutu pemberontak."
Wanita itu memandang heran.
"Pergi kepada panglima pasukan di Nan-ping? Dan engkau adalah anggauta keluarga Cun, tentu engkau akan ditangkap pula."
"Sudah semestinya begitu, bibi. Saya tidak takut dan memang sudah sepatutnya saya bertanggung jawab sebagai anggauta keluarga Cun. Akan teiapi yang terpenting, semua sisa pemberonlak harus dibersihkan."
"Hemm, engkau memang aneh dan tabah sekali, Ling Ay." kata wanita itu yang kemudian membentak Hak-coa,
"Hayo katakan kenapa pejabat she Poa itu membayarmu untuk membunuh keluarga Cia! Awas, ceritakan sesungguhnya kalau tidak ingin kusiksa!"
"Poa Kit Seng takut kalau sampai rahasianya dibocorkan oleh keluarga Cia, li-hiap. Dia ... seperti dugaan toa-nio ini tadi, dia memang sekutu dari Cun Taijin, Dia takut kalau ketahuan oleh pemerintah dan ikut ditangkap. Yang mengetahui rahasia itu agaknya hanya keluarga Cia, maka dia memerintahkan hamba membasmi keluarga itu."
"Hemm, ternyata apa yang kau duga memang tepat, Ling Ay. Sekarang, apa yang kau inginkan?"
"Saya ingin menyerahkan diri sebagai anggauta keluarga Cun, bibi, dan saya ingin agar Souw Ciangkun menangkap orang she Poa itu bersama semua sisa pemberontak."
"Tapi engkau dapat dihukum penjara, bahkan dihukum mati!"
"Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bibi. Ayah ibuku sudah tidak ada, juga keluarga suamiku tidak ada. Saya sebatang kara dan hidup ini hanya penuh kedukaan. Saya bersedia untuk dihukum mati sekalipun."
"Hemm, hendak kulihat nanti. Mari kita pergi." kata wanita itu dan membentak Hek-coa,
"Engkau sudah mendengar tadi ? Hayo antarkan kami kembali ke Nan-ping menghadap Souw Ciangkun!"
Tentu saja diam-diam Hek-coa merata takut sekali. Menghadap panglima yang membasmi pemberontakan itu seperti juga seekor tikus menghadap kucing! Akan tetapi terhadap wanita sakti ini dia tidak mampu berbuat apa-apa, maka diapun bangkit dan mereka bertiga keluar dari dalam kuil tua.
Ketika mereka tiba di hutan dalam perjalanan menuruni bukit itu, di bagian yang belukar dan masih agak gelap karena matahari pagi masih terlalu lemah unluk dapat menerobos daun-daun pohon yang rimbun, tiba-tiba Hek-coa meloncat ke kiri, hendak melarikan diri. Dia melihat kesempatan baik ketika berada di dalam hutan ini, satu-satunya kesempatan untuk dapat menyelamatkan diri dari tangan wanita sakti itu.
Tentu saja Ling Ay terkejut ketika tiba-tiba penjahat itu meloncat ke kiri dan lenyap di balik semak belukar. Akan tetapi wanita cantik itu tidak nampak terkejut, bahkan tersenyum manis dan iapun berseru dengan suara nyaring, lembut namun penuh wibawa.
"Hek-coa, berhenti kau!"
Wanita itu lalu menggandeng tangan Ling Ay dan diajak melangkah ke balik semak belukar dan ... Hek-coa nampak berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam itu menjadi semakin gelap. Bagaimana dia tidak akan ketakutan kalau tadi, setelah dia berhasil meloncat ke balik semak belukar dan sudah siap untuk melarikan diri ke dalam hutan lebat, menuju kebebasan, tiba-tiba terdengar bentakan lembut itu dan anehnya, begitu mendengar dia disuruh berhenti, seketika kakinya tidak mau lagi diajak berlari!"
Kini wanita itu sudah tiba di depannya, bersama Ling Ay yang juga memandang terheran-heran. Orang ini sudah berhasil meloncat ke balik semak belukar, kenapa kini berdiri seperti patung?
"Engkau hendak melarikan diri dariku ? Hemm, biar engkau bersayap sekalipun, jangan harap dapat melarikan diri. Engkau memang seorang yang jahat dan licik, pantas dihajar!" Cepat sekali tangan wanita itu bengerak, terdengar suara "pletak" dua kali dan kedua tulang pundak Hek-coa telah patah-patah! Tentu saja dia tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya yang kini tengantung lemas karena kalau digerakkan, kedua pundaknya terasa nyeri bukan main.
"Hayo jalan!" bentak wanita itu dan dengan kedua lengan tengantung di kanan kiri, dengan muka menunduk, Hek-coa melanjutkan langkahnya, menahan rasa nyeri yang membuat seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin. Wanita itu berjalan di belakangnya, masih menggandeng tangan Ling Ay.
"Bibi, kalau boleh saya bertanya. Siapakah bibi?"
"Namaku Kwan Hwe Li dan orang di dunia persilatan menyebut aku Bi Moli (Iblis Wanita Cantik). Akan tetapi engkau boleh memanggil aku Bibi Hwe Li saja."
"Aih, sungguh keterlaluan orang-orang itu!" Ling Ay berseru penasaran.
"Engkau lebih pantas disebut Sianli (Dewi) dari pada Moli (Iblis Betina), bibi!"
Sementara itu, mendengar disebutnya julukan Bi Moli, seluruh tubuh Hek-coa menggigil. Dia pernah mendengar akan nama besar Bi Moli, seorang wanita kang-ouw, bahkan seorang datuk sesat yang selain amat lihai ilmu silat dan ilmu sihirnya, juga amat ganas dan kejam terhadap lawannya!"
Bi Moli Kwan Hwe Li tersenyum mendengar ucapan Ling Ay.
"Tidak, Ling Ay, aku memang seorang Iblis wanita terhadap musuh-musuhku yang jahat. Kautahu, kalau tidak karena engkau, orang ini sudah menggeletak di kuil yang tadi, menjadi bangkai yang kini diperebutkan oleh binatang hutan. Sudah kubunuh dia!"
Tentu saja Hek-coa menjadi semakin ketakutan. Perjalanan dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota Nan-ping. Mereka tiba di kota itu setelah tengah hari dan mereka langsung menuju ke markas pasukan yang dipimpin Souw Ciangkun. Benteng itu berada di ujung selatan kota Nan-ping.
Ketika menerima laporan dari penjaga pintu gerbang bahwa ada dua orang wanita cantik membawa tawanan seorang pembunuh minta menghadap, Souw Ciangkun merasa heran akan tetapi cepat menyuruh pengawalnya mempersilakan dua orang wanita dengan tawanannya itu untuk datang menghadapnya dalam ruangan kantor. Tadinya dia mengira bahwa seorang di antara dua wanita cantik itu tentulah pendekar wanita Ouwyang Hui Hong yang sudah dikenalnya. Maka, dia merasa heran sekati ketika melihat bahwa tamunya itu bukan lain adalah Cia Ling Ay atau yang pernah dikenalnya sebagai Nyonya Cun Hok Seng, mantu dari Cun Tai jin Dia sudah berjanji kepada Kwa Bun Houw bahwa wanita ini tidak akan dituntut sebagai anggauta keluarga Cun. maka tentu saja dia merasa heran bagaimana wanita ini sekarang muncul menghadapnya. Dan diapun tidak mengenal wanita cantik setengah tua yang datang bersama Ling Ay. Akan tetapi, sebagai komandan pasukan di Nan-ping, dia segera mengenal Hek-coa yang kedua lengannya tengantung lumpuh itu.
Setelah memberi hormat dan mempersilakan dua orang tamunya duduk sedangkan Bi Moli membentak dengan suara halus agar Hek-coa berlutut di lantai, Souw Ciangkun lalu bertanya akan maksud kunjungan itu.
"Souw Ciangkun tentu masih mengenal saya. Saya adalah mantu Cun Tai-Jin dan selain saya datang untuk menyerahkan diri sebagai mantu seorang pemberontak, juga saya hendak melaporkan akan peristiwa yang menimpa keluarga ayah saya."
"Kami sudah menerima laporan pagi ini tentang peristiwa menyedihkan di rumah orang tuamu itu, Cun Hujin (Nyonya Cun). Ayah dan ibumu terbunuh dan engkau lenyap. Akan tetapi kami tidak tatu siapa yang melakukan pembunuhan itu dan ke mana engkau pergi." kata Souw Ciangkun, nada suaranya mengandung iba. Nyonya muda ini memang bernasib malang, pikirnya. Baru saja keluarga suaminya ditangkapi karena memberontak, disusul pembunuhan terhadap ayah dan ibu kandungnya.
Ling Ay menarik napas panjang.
"Dia inilah pembunuh ayah Ibuku, Ciangkun, dan dia pula yang menculik saya. Untung saya ditolong oleh Bibi Kwan ini yang juga menanggapnya."
"Hek-coa, si keparat! Sekali ini engkau tidak akan lolos dari hukuman!" Souw Ciangkun membentak marah.
"Saya menyerahkan kepada Ciangkun untuk menghukumnya, akan tetapi dia ini tidak begitu penting, Ciangkun. Ternyata yang meryuruh dia membasmi keluarga Cia adalah Poa Ku Seng, pejabat pemungut pajak itu dan dalihnya karena dia takut rahasianya terbongkar. Dia adalah sekutu dari ayah mertuaku. Karena itulah saya menghadap Ciangkun, agar semua sisa pemberontak dapat dibersihkan, juga untuk menyerahkan diri untuk ditangkap."
Souw Ciangkun memandang kagum, lalu bangkit berdiri dan begitu dia bertepuk tangan, beberapa orang pengawalnya datang menghadap. Souw Ciangkun bangkit berdiri dan berkata kepada mereka,
"Cepat panggil Tan Ciangkun datang menghadap. Sekarang juga!"
Tan Ciangkun adalah wakilnya dan tinggal di dalam benteng itu juga, maka sebentar saja Tan Ciangkun, seorang perwira yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tan Ciangkun masuk dan memandang dengan penuh pertanyaan kepada dua orang wanita dan seorang laki-laki yang berlutut itu.
"Tan Ciangkun, suruh seret Hek-coa ini dan jebloskan ke dalam tahanan, dijaga ketat jangan sampai lolos atau bunuh diri. Dia akan menjadi saksi penting. Dan kerahkan pasukan, tangkap seluruh keluarga pejabat Poa Kit Seng, jangan ada yang sampai melarikan diri. Sekarang juga! Dia adalah sekntu dari pemberontak Cun!"
Tan Ciangkun memberi hormat, lalu memerintahkan dua orang pengawal untuk menyeret Hek-coa pergi dan dia sendiri lalu keluar untuk melaksanakan perintah penangkapan terhadap keluarga pembesar Poa Kit Seng.
Setelah ruangan itu sunyi kembali dan hanya mereka bertiga yang berada di situ, Ling Ay lalu berkata kepada Bi Moli,
"Bibi, untuk yang terakhir kalinya, saya menghaturkan banyak terima kasih kepada bibi, bukan saja karena bibi telah menyelamatkan saya, terutama sekali karena bibi telah dapat menangkap pembunuh orang tuaku dan membongkar sekutu pemberontakan." Setelah berkata demikian, Ling Ay memberi hormat kepada wanita cantik itu lalu menghadap Souw Ciangkun sambil berkata,
"Ciangkun, saya sudah siap untuk ditangkap dan dituntut. Silakan." Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai sambil menundukkan mukanya.
Bi Moli sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan saja akan tetapi diam-diam ia merasa kagum dan suka kepada wanita muda yang tabah itu walaupun mengalami nasib yang buruk sekali. Ia ingin tahu apa yang akan dikatakan panglima itu, akan tetapi diam-diam ia mengambil keputusan dalam hatinya untuk mencegah kalau Ling Ay akan dihukum.
Souw Ciangkun melangkah maju mendekat dan membungkuk, lalu dengan sikap kebapakan dia memegang lengan Ling Ay dan ditariknya wanita itu agar bangkit berdiri, dengan sikap lembut.
"Tidak, engkau tidak akan dituntut. Kami telah mendengar semua tentang dirimu dari Kwa Tai-hiap (pendekar besar Kwa) dan kami sudah bersepakat dengan dia untuk tidak menuntutmu atau keluarga orang tuamu. Kami harus memegang janji terhadap pendekar yang berjasa banyak dalam pembongkaran rahasia pemberontakan Cun Tai-jin itu."
Mendengar ini, Ling Ay tertegun.
"Ah, kembali Houw-toako yang telah menolongku ... aih, dia melimpahkan budi kebaikan kepadaku, sedangkan aku ... aku hanya menyakiti hatinya ...
" katanya lirih dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah.
"Sudanlah, Ling Ay. Hal yang lalu sudah lewat, tiada gunanya dipikirkan lagi," tiba-tiba Bi Moli berkata sambil memegang tangan Ling Ay.
"Setelah selesai urusan kita dengan Souw Ciangkun, mari kita pergi dan sini." Wanita itu menggandeng tangan Ling Ay dan menariknya.
"Pergi? Bibi, pergi ke manakah ? Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku tidak mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku hanya ingin melihat jenazah mereka, mengurus pemakaman mereka, kemudian ... aku tidak tahu harus pergi ke mana. Tinggal di rumah itu hanya akan mengingatkan aku akan segala hal yang mengerikan." Ia menahan tangisnya karena maklum betapa Bi Moli tidak suka melihat kecengengan.
"Baik, mari kuantar engkau mengurus jenazah orang tuamu. Setelah itu, engkau ikut denganku."
"Ke mana?"
"Kaulihat saja nanti."
Dua orang wanita itu pergi dan Souw Ciangkun hanya mengantar dengan pandang mata yang penuh iba. Akan tetapi perwira gagah yang banyak pengalaman ini maklum bahwa di tangan seorang wanita sakti yang cantik itu, tentu keselamatan Cia Ling Ay terjamin.
Ketika Ling Ay dan Bi Moli tiba di rumahnya, jenazah ayah Ibunya telah diurus oleh para tetangga dan telah dimasukkan peti. Ia hanya dapat menangisi ayah ibunya di depan kedua peti mati dan semua tetangga memandang dengan hati terharu. Akan tetapi begitu Bi Moli mendekatinya dan menyentuh pundaknya. Ling Ay menghentikan tangisnya.
"Bibi Kwan. maafkan kelemahanku." bisiknya kepada wanita cantik yang tersenyum akan tetapi yang memandang dengan mata tajam penuh teguran itu.
Dengan sederhana, jenazah Cia Kun Ti dan isterinya dimakamkan. Kemudian, Ling Ay menyerahkan rumah orang tuanya kepada seorang tetangga yang baik, membawa pakaian dan perhiasannya, dan pergilah ia mengikuti Bi Moli Kwan Hwe Li. Dan mulai saat itu, Cia Ling Ay, wanita muda yang tadinya lemah, tumbuh menjadi seorang wanita yang digembleng ilmu silat tinggi dan juga ilmu sihir!"
Ada satu hal yang menggelisahkan hati Ling Ay selama ia mengurus pemakaman kedua orang tuanya. Kenapa Kwa Bun Houw tidak pernah muncul ? Kalau pemuda itu tahu bahwa ayah ibunya dibunuh orang, ia merasa yakin pemuda itu pasti datang melayat. Ia teringat bahwa pemuda itu akan mencari Ouwyang Hui Hong yang katanya sedang melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. Bahkan ia dan ayah ibunya malam itu sedang menanti kembalinya, karena Bun Houw sudah berjanji akan mengantar mereka pergi pindah ke dusun. Apakah yang terjadi dengan pemuda itu? Walaupun ia kini sudah ikut Bi Moli Kwan Hwe Li. namun setiap teringat kepada Bun Houw, masih saja ia merasa terharu dan khawatir.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 07
Kekhawatiran Ling Ay memang beralasan. Kenapa perginya Kwa Bun Houw sehingga dia tidak sempat tahu akan kematian Cia Kun Ti dan isterinya, dan tidak datang melayat? Dia bukan seorang pemuda yang suka melanggar janji, Apalagi janjinya terhadap bekas tunangannya!
Seperti kita ketahui, pada waktu diadakan penyerbuan oleh pasukan terhadap keluarga Cun Tai-jin yang diakhiri dengan tewasnya para jagoan pemberontak itu dan ditangkapnya semua anggauta keluarga pemberontak, Pek I Mo-ko berhasil melarikan diri dan dikejar oleh Ouwyang Hui Hong. Bun Houw yang mendengar dari Souw Ciangkun bahwa gadis perkasa itu mengejar Pek I Mo-ko. segera mencari dan melakukan pengejaran. Namun, selama semalam suntuk dia mencari-cari dengan sia-sia. Dia tidak berhasil menemukan jejak Hui Hong ataupun Pek I Mo-ko. Ketika dia pergi ke rumah Cia Kun Ti. dia mengatakan bahwa dia akan mengantar keluarga Cia pindah ke dusun setelah dia berhasil menemnkan Hui Hong. Maka, pergilah dia meninggalkan rumah keluarga Cia untuk mencari Hui Hong.
Sampai seminggu lamanya Bun Houw mencari-cari tanpa hasil. Tentu saja dia menjadi gelisah bukan main. Di satu fihak, dia harus mencari Hui Hong sampai dapat karena gadis itu melakukan pengejaran terhadap seorang datuk sesatl yang lihai dan penuh tipu muslihat. Mungkin dalam hal ilmu silat, Hui Hong tidak kalah dan mampu menandingi kepandaian datuk sesat itu. Akan tetapi, gadis itu masih muda dan kurang pengalaman, maka mengejar seorang seperti Pek I Mo-ko yang amat curang, sungguh berbahaya sekali. di lain pihak, dia teringat akan janjinya kepada keluarga Cia di Nan-ping yang akan dia amankan pindah ke dusun. Akan tetapi, urusan mengantar keluarga Cia ke dusun tidaklah penting benar dibandingkan urusan mercari Hui Hong karena hal ini ada hubungannya dengan keselamatan Hui Hong. Maka, biarpun dengan berat hati karena dia harus melanggar janjinya kepada keluarga Cia, terpaksa Buo Houw yang sudah melakukan perjalanan jauh itu tidak dapat kembali ke Nan-ping.
Akhirnya dia menemukan jejak mereka pada hari ke delapan. Ketika dia tiba di sebuah dusun di sebelah utara kota Nan-ping, dia mendengar dari seorang penjual air teh atau semacam kedai minuman dan makanan kecil yang berdagang di tepi jalan perempatan dusun bahwa dua orang yang dicarinya itu kebetulan sekali singgah dan minum teh di situ.
"Empat hari yang lalu kakek berpakaian putih seperti yang sicu (tuan) gambarkan itu lewat di sini, bahkan singgah sebentar untuk minum teh dan makan bakpauw. Dia nampak tergesa-gesa, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke utara. Dan dua hari kemudian, kemarin dulu, pagi-pagi seorang nona lewat dan singgah pula di sini. Orangnya cantik muda dan galak, pakaiannya sederhana dan di punggungnya memang nampak sepasang pedang. Ia galak sekali. Ketika seorang tuan muda yang menjadi tamu di sini menegurnya dengan ramah karena tertarik oleh kecantikannya, kongcu itu ditampar sampai giginya copot dua buah dan pipinya bengkak. Huh, Ia seperti harimau betina!"
Bukan main girang rasa hati Bun Houw. Tak salah lagi, mereka itu tentu Pek I Mo-ko dan Hui Hong. Kiranya Hui Hong masih tertinggal jauh oleh Pek I Mo-ko.
"Engkau tahu ke mana perginya nona itu.?" tanyanya sambil mengeluarkan uang untuk memberi hadiah kepada pelayan yang suka mengobrol itu. Melihat uang ini, si pelayan menjadi girang, menerimanya dan menceritakan apa saja yang diketahuinya.
"Kami semua tidak tahu, sicu, Akan tetapi aya berani bertaruh bahwa ia tentu mencari kakek baju putih itu dan melakukan pengejaran ke utara."
"Eh ? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa nona itu mengejar si kakek baju putih?"
"Tentu saja saya tahu!" kata si pelayan dengan sikap bangga.
"Kebetulan sekali saya yang melayani nona itu dan ia banyak bertanya tentang seorang kakek berpakaian putih. Setelah mendeagar bahwa dua hari yang lalu kakek itu lewat di sini dan menuju ke utara, iapun segera membayar minuman dan tergesa-gesa menuju ke utara!"
Girang rasa hati Bun Houw, akan tetapi juga khawatir. Girang karena dia yakin bahwa memang Pek I Mo-ko dan Hui Hong lewat di dusun itu. Gelisah karena tak jauh lagi di utara merupakan daerah Kerajaan Wei yang menguasai seluruh daerah utara, sebuah kerajaan yang besar dan kuat, dipimpin oleh suku Bangsa Toba atau Tartar! dan agaknya Pek I Mo-ko melarikan diri ke daerah itu, dikejar oleh Hui Hong. Sungguh berbahaya. Diapun cepat membayar harga minuman dan melanjutkan perjalanannya ke utara.
Pada waktu itu, Cina terbagi menjadi dua kerajaan. Di bagian utara, daerah Sungai Huang-ho ke utara, dikuasai oleh Kerajaan Wei atau Dinasti Wei (386-532) dan pada waktu itu (sekitar 473) yang menjadi kaisar Kerajaan Wei adalah Kaisar Wei Ta Ong. Kota rajanya di Lok-yang. Dinasti Wei ini di pimpin oleh suku bangsa Toba atau yang lebih dikenal dengan Bangsa Tartar. Namun, sejak pemerintahan pertama, keluarga kerajaan itu yang ingin disebut maju dan tidak ketinggalan jaman, selalu menyesuaikan diri dengan bahasa, kebudayaan dan pakaian Bangsa Han, yaitu bangsa pribumi terbesar di Cina, Berkali-kali Kerajaan Wei ini mengadakan penyerangan ke selatan, namun kerajaan lain di bagian selaian selalu memberi perlawanan gigih sehingga gagallah usaha Kerajaan Wei untuk menguasai kerajaan di selatan.
Adapun di bagian selatan, yaitu daerah Yang-ce-kiang ke selatan, pada waktu itu dikuasai oleh kerajaan atau Dinasti Sung atau lengkapnya Kerajaan Liu Sung (420. 477) dan pada waktu cerita ini terjadi, baru saja Kaisar Cang Bu (473-477) atau kaisar terakhir Kerajaan Liu Sung menduduki tahta kerajaan.
Karena selalu terjadi permusuhan di antara kedua kerajaan ini, maka di daerah tapal batas antara keduanya, yaitu di antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-tse, selalu terjadi bentrokan senjata antara pasukan kedua kerajaan. Daerah yang cukap luas di antara mereka ini menjadi daerah tak bertuan, daerah liar yang tentu saja dimanfaatkan oleh para penjahat dan golongan sesat untuk di jadikan tempat persembunyian.
Kerajaan Wei yang barpusat di Lok-yang sebagai kota raja itu, kini diperintah oleh Kaisar Wei Ta Ong yang terkenal keras dalam melaksanakan pemerintahannya. Kerajaan Wei sudah berusia hampir satu abad dan kini orang luar sukar membedakan bahwa keluarga kerajaan itu adalah orang-orang Tartar. Selama seabad ini, keluarga mereka telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Han, bahkan banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Han sehingga anak keturunan mereka sukar dibedakan dari orang Han aseli. Kalaupun ada sedikit perbedaannya, hal itu mungkin hanya karena sikap orang-orang Tartar yang menjadi penguasa itu bersikap sebagai golongan yang lebih tinggi dari pada orang Han aseli, dan biarpun pakaian dan bahasa mereka sudah sama dengan Bangsa Han, namun kesukaan mereka mengenakan bulu burung antuk menghias rambut atau penutup kepala, merupakan ciri khas orang Tartar yang masih melekat kepada mereka.
Pada waktu Bangsa Tartar suku Toba ini menyerbu dari daerah Mongolia ke selatan, mereka masih merupakan suku yang liar dan buas, seperti biasa menjadi watak orang-orang Nomad yang hidupnya menentang banyak kesukaran, membuat mereka keras dan cerdik. juga pemberani. Namun sekarang, setelah menjajah dengan mendirikan Dinasti Wei selama seabad, keluarga kaisar telah berubah. Mereka kini terpelajar, bangsawan, walaupun sifat keras tak mengenal ampun, cerdik dan pemberani masih ada pada mereka.
Kaisar Wei Ta Ong mempunyai banyak jagoan, bukan saja para panglimanya yang memimpin pasukan-pasukan yang kuat, akan tetapi juga di kota raja Lok-yang, terutama di istananya, terdapat banyak jagoan yang setia kepadanya. Kaisar Wei Ta Ong memang seorang kaisar yang suka akan olah kesaktian, suka belajar ilmu silat dan gulat, dan dalam usia limapuluh tahun dia masih gagah perkasa dan kuat. Juga dia penggemar wanita cantik. Di haremnya, yaitu kumpulan wanita yang menjadi selirnya, terkumpul tidak kurang dari limapuluh orang wanita berbagai suku bangsa dengan bermacam corak kecantikan. Selain suka akan ilmu silat dan wanita. Juga Kaisar Wei Ta Ong mempunyai satu kesukaan lain, yaitu ilmu-ilmu yang aneh dari para pendeta To. Terutama sekali dia ingin mempelajari ilmu yang akan membuat dia mampu memperpanjang usia sampai seribu tahun!
Kesukaan yang terakhir inilah yang memungkinkan Pek I Mo-ko diterima menghadap kaisar besar itu! Memang luar biasa sekali. Seorang yang tidak dikenal di daerah utara itu, seorang rakyat biasa, bahkan yang datang dari selatan, dapat diterima sendiri oleh Kaisar Wei Ta Ong! Dan para menteri rendahan saja tidak diperbolehkan hadir! Yang ikut hadir dalam pertemuan itu hanyalah para menteri tertinggi dan para kepala jagoan istana.
Tentu berita yang teramat penting dibawa oleh Pek I Mo-ko maka Kaisar Wei Ta Ong berkenan menerimanya seperti itu. Dan sesungguhnya demikianlah. Pek I Mo-ko mohon menghadap Kaisar Kerajaan Wei itu untuk menawarkan sebuah benda yang amat langka, sebuah benda yang akan diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw kalau mereka mengetahuinya, Pek I Mo-ko menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir! Tanaman bunga ini teramat langka. Belum tentu ada sepuluh batang di seluruh padang pasir Gobi yang amat luas itu! Dan inipun tidak setiap waktu ada karena bunga ini hanya akan tumbuh puluhan tahun sekali. Entah proses alam bagaimana yang membuat tanaman yang mempunyai bunga amat indah dan harum itu dapat tumbuh di gurun pasir yang kering gersang! Kalaupun berbunga, maka umur bunga dan tanaman itu sendiri setelah berbunga hanya beberapa hari saja. Segera menjadi layu dan kering. Akar pohon itulah yang agak tahan lama, dan kalau orang dapat mengambil akar ini selagi belum rusak membusuk, maka akar itu dapat dikeringkan dan menjadi semacam obat yang kabarnya memiliki khasiat yang luar biasa! Menurut kabar yang seperti dongeng namun dipercaya oleh mereka yang memang tahyul, akar ini bisa dipengunakan sebagai obat untuk menyembuhkan segala macam penyakit, menawarkan segala macam racun, bahkan lebih hebat lagi, dapat membuat orang menjadi panjang usia sampai seribu tahun!
Mendengar bahwa Pek I Mo-ko mohon menghadap untuk menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir, tentu saja Kaisar Wei Ta Ong menjadi gembira bukan main. Sudah lama dia menginginkan obat panjang usia. Sudah banyak para tosu diundang untuk memberinya rahasia panjang usia, namun semuanya tidak meyakinkan hatinya. Apa artinya kedudukan mulia, berenang di lautan kemewahan dan kekayaan. tenggelam dalam kesenangan dan kehormatan mempunyai banyak selir yang cantik, kalau akhirnya semua itu terhenti karena dia harus mati dalam waktu yang singkat. Mencapai usia seratus tahun saja sedikit sekali kemungkinannya. Maka, kalau ada obat yang membuat dia bertahan hidup sampai seribu tahun, alangkah senangnya! Demikianlah jalan pikiran kaisar itu.
Karena merasa amat tertarik, tidak seperti biasanya, kini Kaisar Wei Ta Ong sendiri yang menghadapi tamu biasa itu dan kaisar sendiri yang menanyainya,
"Siapa namamu ?" Suara kaisar itu ramah.
Pek I Mo-ko yang berlutut itu menyembah.
"Nama hamba Ciong Kui Le. Hamba berasal dari daerah Nan-ping di Kerajaan Liu Sung."
"Ciong Kui Le, benarkah laporan dari petugas bahwa engkau mohon menghadap kepada kami untuk menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir?"
"Benar sekali. Yang Mulia. Hamba menawarkan benda mustika itu kepada paduka yang mulia."
Wajah kaisar itu berseri dan diapun menggerakkan tangan kanannya.
"Ciong Kui Le, bangkitlah dan duduklah di kursi itu agar kita dapat bicara lebih baik. Jangan takut, bangkit dan duduklah,"
Seorang Jagoan menyodorkan sebuah kursi kepada tamu itu dan Pek I Mo-ko segera duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar dalam jarak yang cukup aman bagi keselamatan kaisar. Para kepala jagoan setiap saat mengamati dengan waspada sehingga betapapun lihainya Pek I Mo-ko, andaikata dia berniat buruk terhadap kaisar, tentu dia akan gagal.
"Ciong Kui Le. engkau sendiri mengaku bahwa engkau tinggal di daerah Kerajaan Liu Sung, mengapa setelah mendapatkan mustika itu, engkau membawanya ke sini dan menawarkannya kepada kami!" Pertanyaan ini jelas menggambar kecurigaan sang kaisar, juga sekaligus memberi peringatan kepada Pek I Mo-ko bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang cerdik.
"Tentu saja ada sebabnya yang kuat. Yang Mulia, Tadinya, hamba memang hendak mempersembahkan mustika itu kepada Kaisar Cang Bu di Kerajaan Liu Sung. Akan tetapi, hamba yang hanya menghendaki imbalan yang pantas, bahkan dicurigai, hamba akan ditangkap dan mustika itu akan dirampas. Tentu saja hamba melawan, meloloskan diri dan lari ke utara, menghadap paduka dan menawarkan mustika itu kepada paduka yang hamba dengar amat adil dan bijaksana, tidak seperti kaisar di Kerajaan Liu Sung."
Manusia manakah di dunia ini yang tidak suka dipuji? Biarpun dia seorang kaisar. Kaisar Wei Ta Ong juga hanya seorang manusia yang tidak lepas dari kesenangan ini, maka mendengar ucapan Pek I Mo-ko, dia mengangguk-angguk senang.
"Hmmm, keputusan yang kauambil itu tidak keliru, Ciong Kui Le, Kami berjanji, kalau mustika itu benar langka dan bermanfaat bagi kami, tentu engkau akan menerima Imbalan yang cukup pantas. Harta benda atau kedudukan, boleh kaupilih. Nah, kami ingin melihat dulu bagaimana rupanya. Perlihatkan Akar Bunga Ourun Pasir itu kepada kami sebagai bukti."
"Ampun, Yang Mulia. Mustika itu tidak ada pada hamba, tidak hamba bawa."
Kaisar Wei Ta Ong mengerutkan alisnya.
"Ciong Kui Le, apakah engkau hendak mempermainkan kami?" Nada suaranya penuh ancaman dan sikapnya berubah galak.
"Di mana mustika itu?"
"Ampun, Yang Mulia. Seperti telah hamba ceritakan tadi, hamba dikejar-kejar oleh para jagoan istana Kaisar Kerajaan Sung. Hamba melarikan diri ke utara lewat perbatasan yang menjadi daerah tak bertuan. Karena khawatir kalau sampai Akar Bunga Gurun Pasir itu terrampas, hamba menyembunyikannya di suatu tempat yang aman."
"Di mana?" tanya kaisar penasaran.
"Di lereng Bukit Fu-niu-san, akan tetapi tempat itu tersembunyi dan tanpa petunjuk hamba, tak seorangpun akan mampu menemukannya,"
"Ciong Kui Le, karena engkau tidak mampu memperlihatkan mustika itu kepada kami, tentu saja kami mencurigaimu dan belum percaya benar akan ceritamu itu. Bagaimana mungkin engkau dapat meloloskan diri dari pengejaran para jagoan istana Kerajaan Liu Sung ? Pengawal, coba dan uji dia!"
Pek I Mo-ko terkejut sekali karena tiba tiba nampak bayangan berkelebat dan dua orang pria tinggi besar seperti raksasa telah menghadapinya. Diapun tahu bahwa kaisar hendak mengujinya, maka diapun memberi hormat ke pada kaisar.
"Harap paduka mengampuni hamba, akan tetapi sungguh hamba tidak berbohong,"
"Ciong Kui Le, tidak perlu banyak cakap lagi!" kata seorang di antara dua pria tinggi besar itu.
"Yang Mulia telah memerintahkan kami untuk mengujimu. Bersiaplah untuk menandingi kami!"
Pek I Mo-ko memberi hormat lagi kepada kaisar, lalu bangkit dan menghadapi dua orang itu sambll memandang dengan penuh perhatian. Mereka itu dua orang pria raksasa berkulit hitam. Dia harus mengangkat muka untuk memandang wajah mereka karena tingginya hanya rampai di pundak mereka. Sungguh dua orang pria tinggi besar yang nampak kokoh kuat, dan wajah mereka serupa benar, pakaian merekapun sama sehingga mudah diketahui bahwa mereka itu kakak beradik atau saudara kembar. Diam-diam Pek I Mo-ko merasa khawatir dan menyesal mengapa dia menghadap Kaisar Kerajaan Wei ini. Agaknya kaisar ini hendak memaksanya dengan kekerasan untuk menyerahkan mustika itu! Dia harus mempertahankan diri, dan kalau kaisar berniat buruk, dia akan mencoba untuk membunuhnya!
Sebelum diperkenan menghadap kaisar, tadi di luar para penjaga keamanan telah minta agar dia meninggalkan pedangnya. Kini senjata yang ada padanya hanya sebuah kipas. Para penjaga tidak meminta kipas ini yang masih terselip di pinggangnya. Akan tetapi, dia melihat dua orang raksasa kembar itupun, bertangan kosong, maka dia tidak akan menggunakan kipasnya kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri. Dengan sikap tenang diapun memasang kuda-kuda kedua kakinya terpentang lebar, lutut ditekuk dan kedua tangan menyembah di depan dada.
"Silakan Ji-wi (kalian) menyerang!" katanya menantang.
Dua orang pengawal pribadi Kaisar Wei Ta Ong itu adalah dua orang kembar berbangsa Tartar yang amat terkenal sebagai jago-jago silat merangkap jago gulat. Mereka memiliki tenaga yang besar dan sukarlah dicari tandingan mereka di antara para jagoan lain. Mereka termasuk jagoan Istana kelas dua yang sudah dipercaya kaisar. Jagoan tingkat satu adalah panglima dan komandan paaukan keamanan dan pasukan pengawal. Melihat orang yang harus mereka uji itu sudah siap, mereka lalu mulai menyerang dari kanan kiri dengan terkaman biruang, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan menyambar dari kanan kiri dengan cepat dan kuat sekali.
Empat buah tangan itu bersiutan menyambar dari kanan kiri. Akan tetapi keempat tangan itu hanya menyambar udara kosong karena orang yang dicengkeram itu berkelebat menjadi bayangan putih dan dapat mengelak dengan cepat sekali. Si kembar menjadi terkejut, apa lagi ketika bayangan putih itu meloncat melewati kepala mereka. Mereka juga tidak bodoh dan cepat membalikkan tubuh dan benar saja, Pek I Mo-ko telah berada di belakang mereka dan sedang membalas dengan putaran ke arah dada mereka.
Liauw Gu dan Liauw Bu, si kembar itu, tidak mengelak melainkan cepat menangkap tangan Pek I Mo-ko yang memukul ke arah dada mereka.
"Buk! Bukk!" Dada mereka terkena pukulan, akan tetapi mereka mengandalkan kekebalan mereka dan kini kedua tangan Pek I Mo-ko telah dapat mereka tangkap di bagian pergelangannya.
Pek I Mo-ko terkejut dan merasa menyesal mengapa tadi dia membatasi tenaga ketika memukul, tanpa menduga bahwa dua orang lawan memiliki tubuh yang amat kuat dan kebal. Akan tetapi, biarpun kadua tangannya sudah tertangkap, dia tidak menjadi gugup. Cepat bagaikan sekor burung, menggunakan kekuatan dari kedua tangan yang dipegang lawan, kedua kakinya melayang ke atas mengirim tendangan dengan ujung sepatunya ke arah siku tangan kedua lawan yang mencengkeram pergelangan tangannya.
Dua orang raksasa ini mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa melepaskan cengkeraman pada pergelangan tangan Pek I Mo-ko karena tiba-tiba lengan mereka yang tertendang bagian siku itu menjadi lumpuh selama beberapa detik. Marahlah dua orang kembar itu dan kini mereka maju menyerang dengan terkaman, pukulan atau tendangan. Serangan mereka merupakan perpaduan dari ilmu silat dan ilmu gulat.
Pek I Mo-ko melayani mereka dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya. Dia tahu bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak perlu takut. Walaupun dua orang lawan itu memiliki tenaga gajah, namun dia menang cepat. Yang dikhawatirkan hanyalah Ilmu gulat mereka. Dia tahu bahwa belum tentu dia akan dapat seberuntung tadi, mampu melepaskan diri kalau sudah dicengkeram tangan-tangan yang kuat itu. Kini, setelah tahu bahwa dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dia menang jauh, dia mengandalkan Ilmu itu untuk mempermainkan mereka. Bagaikan seekor burung walet yang gesit, dia sukar ditangkap. Tubuhnya menjadi bayangan putih yang berkelebat ke sana sini, selalu terlepas dari jangkauan tangan dua orang lawannya dan sebaliknya, serangan balasannya yang cepat itu beberapa kali sempat membuat dua orang raksasa itu terpelanting atau terjengkang. Biarpun mereka kebal dan kuat sehingga pukulan dan tendangan Pek I Mo-ko tidak membuat mereka luka, namun mereka tidak dapat mencegah tubuh mereka terpelanting.
Terdengar kaisar beberapa kali memuji dan mendengar ini, legalah hati Pek I Mo-ko. Agaknya kaisar itu memang benar hendak mengujinya, maka diapun tidak ingin membunuh dua orang lawannya. Apalagi membunuh kaisar itu karena kalau hal itu dia lakukan, sudah pasti dia akan mati konyol.
Setelah pertandingan yang seru itu berlangsung selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Pek I Mo-ko mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dua orang raksasa itu kembali berturut-turut roboh, akan tetapi sekali ini tidak dapat segera bangkit karena mereka roboh oleh totokan ujung kipas yang dicabut oleh Pek I Mo-ko!
Liauw Gu dan Liauw Bu rebah untuk beberapa lamanya. Ketika mereka akhirnya dapat bangkit, mereka meraba gagang golok.
"Cukup, mundurlah kalian!" bentak Kaisar Wei Ta Ong.
Dua orang kembar itu memberi hormat dan mundur. Kaisar tersenyum memandang kepada Pek I Mo-ko, sebaliknya orang yang dipandang itu merasa penasaran sekali walaupun tidak berani memperlihatkan kedongkolan hatinya dengan sikap atau kata-kata. Dia memberi hormat.
"Yang Mulia, hamba datang menghadap paduka untuk menawarkan mustika, akan tetapi paduka malah menyuruh jagoan Istana untuk mengeroyok hamba. Apakah paduka masih belum percaya kepada hamba!"
Kaisar Wei Ta Ong tertawa.
"Ha-ha, jangan salah sangka, Ciong Kui Le. Kami percaya akan keteranganmu. Kalau kami percaya akan keteranganmu. Kalau kami berhasil mendapatkan Akar Bunga Gurun Pasir, tentu engkau akan kami beri pangkat. Akan tetapi, sebelum melihat samapi dimana kemampuanmu, bagaimana kami dapat memberi pangkat yang sesuai untukmu? Sekarang, kami telah melihat kepandaianmu dan kami puas. Kami akan mengutus serombongan pembantu kami untuk menemanimu menuju ke selatan dan mengambil mustika itu. Berangkatlah sekarang juga, lebih cepat lebih baik. Jangan ragu, kalau berhasil, engkau akan kami beri kedudukan tinggi dan harta benda!"
Pek I Mo-ko girang bukan main dan setelah memberi hormat dengan berlutut, diapun berangkat meninggalkan kota raja Lok-yang bersama serombongan jagoan istana sebanyak dua-belas orang. Dua orang raksasa kembar itu tidak diikutsertakan, karena keadaan mereka itu akan menarik perhatian orang, pada hal daerah Pegunungan Fu-niu-san merupakan daerah tak bertuan di mana berkeliaran banyak orang kang-ouw dan juga orang-orang Kerajaan Sung.
Ternyata bukan hanya Kaisar Wei Ta Ong dari Kerajaan Wei di utara yang kini menginginkan mustika berupa Akar Bunga Gurun Pasir itu setelah menerima penawaran dari Pek I Mo-ko. Juga Kaisar Cang Bu dari Kerajaan Liu Sung mendengar akan adanya Akar Bunga Gurun Pasir dan ingin sekali mendapatkannya.
Berita itu terdengar oleh Kaisar Cang Bu karena rahasia itu bocor ketika terjadi penyerbuan pasukan dirumah keluarga Cun Taijin yang memberontak di Nanping. Ketika Ouwyang Hui Hong membentak kepada Pek I Mo-ko dan menuntut dikembalikannya Akar Bunga Gurun Pasir, ada perajurit yang mendengar. Dia menceritakan hal itu kepada kawan-kawannya sehingga sebentar saja berita tentang Akar Bunga Gurun Pasir yang dilarikan Pek I Mo-ko itu tersiar luas dan sampai kepada Kaisar Cang Bu.
Kaisar Cang Bu mendengar pula tentang mustika itu. Kaisar yang masih muda ini mendengar bahwa mustika itu dapat membuat seseorang menjadi kuat, bahkan dapat berusia panjang sampai seribu tahun! Segera dia mengumpulkan penasihat dan para jagoan Istana, dan hasil dari pertemuan ini, serombongan jagoan Istana dari Nan-king berangkat melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko yang kabarnya lari ke utara.
Kerajaan Liu Sung ini biarpun memiliki wilayah yang amat luas, namun selalu diganggu oleh pemberontakan-pemberontakan sehingga menjadi semakin lemah. Apalagi ketika itu yang menjadi kaisar adalah Kaisar Cang Bu yang masih amat muda dan yang selalu mengumbar nafsu mengejar kesenangan dan tidak bijaksana. Maka di mana-mana timbul pemberontakan. Hanya karena adanya para menteri dan panglima tua saja maka kerajaan ini masih mampu mempertahankan diri walaupun menjadi lemah. DI barat, selatan dan timur terjadi pemberontakan dan gangguan para bajak laut, terutama di bagian timur. Sedangkan di bagian utara terdapat musuh mereka yang sejak dahulu menjadi musuh besar, yaitu Kerajaan Wei. Daerah antara Kerajaan Liu Sung dan Wei sejak bertahun-tahun menjadi daerah pertikaian dan daerah tak bertuan. Dalam keadaan seperti itu. Kaisar Cang Bu yang masih muda itu belum juga menyadari, tidak begitu memperhatikan pemerintahan, bahkan lebih mementingkan pengejaran kesenangan. Inilah sebabnya ketika mendengar tentang mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dia bertekad untuk mendapatkannya dan mengirim rombongan orang pandai untuk mencarinya sampai dapat.
Tentu saja rombongan Jagoan istana ini lebih mudah mendapatkan keterangan tentang Pek I Mo-ko dibandingkan Kwa Bun Houw yang juga sedang mencari jejak Pek I Mo-ko yang dikejar oleh Ouwyang Hui Hong. Rombongan itu memiliki surat kuasa dan setiap pejabat daerah yang mereka lewati, siap membantu dan mereka lebih mudah mengumpulkan keterangan tentang Pek I Mo-ko dari pada hasil penyelidikan Kwa Bun Houw yang kadang-kadang malah dibohongi orang atau dicurigai orang. Maklum bahwa daerah perbatasan antara Kerajaan Wei di utara dan Kerajaan Liu Sung di selatan merupakan daerah liar dan di situ terdapat tokoh-tokoh sesat yang masing-masing ingin menjadi orang yang paling berkuasa sehingga daerah itu amat tidak aman. Banyak terjadi kejahatan macam apapun karena tidak ada alat negara yang menjamin keamanan bagi rakyat jelata. Yang ada ialah hukum rimba. Dan para tokoh sesat di wilayah tak bertuan itupun jarang ada yang jujur atau setia kepada satu di antara dua kerajaan itu. Mereka pada umumnya curang dan licik, hanya membantu demi keuntungan diri sendiri belaka, maka tidak segan untuk berkhianat ke kanan atau ke kiri, demi keuntungan pribadi. Tentu saja rakyat hidup tercekam ketakutan, tertindas dan menjadi penakut atan nekat, dan tidak ada orang yang berani memberi keterangan sejujurnya kepada Bun Houw yang bertanya-tanya tentang Pek I Mo-ko.
Seunggunnya, berita tentang mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang membocor di kedua kerajaan itu, bukan hanya menjadi perhatian dua orang kaisar yang haus akan khasiat benda langka itu. Bahkan begitu para datuk besar dunia persilatan mendengarnya, maka mereka, pun menjadi gempar dan mereka itu tentu saja ingin sekali ikut memperebutkan dan memiliki benda wasiat atau jimat itu. Dahulunya, benda itu dianggap dongeng saja, apalagi ketika ada berita bahwa yang beruntung memiliki benda itu adalah datuk besar Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, tidak ada orang yang berani mati untuk mencoba merampas di tempat tinggal datuk besar itu, yaitu di Lembah Bukit Siluman. Kini, begitu tersiar kabar bahwa benda ajaib itu dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko, murid dan juga pelayan dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, tentu saja para datuk dan tokoh sesat mempunyai keberanian dan keinginan untuk mencari Pek I Mo-ko dan merampas mustika itu.
Sungai Huai merupakan sebuah di antara sungai-sungai yang mengalir di daerah tak bertuan itu dan di sepanjang sungai ini paling terkenal sebagai tempat yang rawan di mana seringkali timbul pertentangan, pertempuran antara para pengikut Kerajaan Wei dan Kerajaan Liu Sung, antara gerombolan penjahat yang saling berebutan kekuasaan, pada hal daerah di sepanjang lembah Sungai Huai ini sesungguhnya merupakan daerah pertanian yang amat subur. Setelah meninggalkan sumbernya di Pegunungan Tapie-san, air sungai itu lalu melewati tanah datar ke timur dan membuat tanah yang dilewatinya itu menjadi tanah yang subur dan tak pernah kekurangan air. Rakyat di sepanjang lembah Sungai Huai semestinya dapat hidup makmur kalau saja daerah itu tidak menjadi daerah rawan di mana yang berlaku hanyalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan siapa kuat menindas yang lemah.
Kalau dilihat kenyataan, hukum rimba ini memang berlaku di dunia ini, di manapun juga, bahkan di kota besar atau di kota raja sekalipun. Di mana-mana manusia menjadi permainan nafsu, dan di mana nafsu memperhamba manusia, maka sudah pasti hukum rimba berjalan. Yang berkedudukan tinggi menginjak yang rendah, yang kaya memeras yang miskin, yang pandai mempermainkan yang bodoh dan sebagainya lagi. Namun, hukum rimba umum di kota itu selalu terselubung oleh hukum-hukum yang justeru biasanya menjadi senjata bagi yang kuat untuk menindas yang lemah! Hukum rimba yang berlaku di kota bermuka munafik. Sebaliknya, hukum rimba di daerah sungai Huai itu mentah dan keras, liat dan ganas, tanpa pura-pura lagi. Orang yang berani menjelajahi daerah itu, harus memiliki kekuatan yang dapat diandalkan. Apakah dia ahli silat pandai, atau setidaknya berkawan banyak, atau yang memang miskin sama sekali sehingga tidak ada sesuatu pada dirinya yang menimbulkan keinginan di hati orang lain untuk merebutnya.
Tok Siauw Kwi Suma Hok
PADA suatu pagi yang cerah, pemandangan alam amatlah indahnya di sepanjang lembah sungai Huai. Musim semi baru sebulan usianya sehingga di sepanjang lembah sungai nampak warna-warni yang amat indah menyedapkan penglihatan. Daun-daunan yang hijau muda, kuning diseling bunga-bunga warna-warni, berlatar belakang tanah yang dihiasi permadani rumput hijau.
Air sungai nampak mengalir tenang dan tidaklah sekotor di musim penghujan, dan di musim seperti itu, air sungai itu kaya dengan ikan barbagai macam.
Hanya ada beberapa orang buruh tani miskin yang bekerja di sawah ladang milik mereka yang mempunyai kekuasaan. Para buruh tani yang bekerja di sawah tanpa baju, hanya bercelana hitam sampai ke bawah lutut yang telah berlumpur-lumpur itu nampaknya tidak lebih makmur dari pada kerbau-kerbau yang dipekerjakan untuk meluku sawah. Kerbau-kerbau itu setidaknya lebih gemuk dari pada mereka. Dan para buruh tani itu bukan merupakan pekerja bebas, melainkan lebih pantas disebut budak belian. Mereka telah tertekan di bawah semacam "kontrak". Mereka telah tenggelam atau terbelenggu oleh semacam hutang kepada majikan mereka, hutang uang yang mereka perlukan, entah untuk keperluan berobat, atau keperluan sandang dan makan untuk keluarga mereka di musim rontok dan musim salju. Kini, dengan hutang yang terus anak beranak sampai ke leher, mereka terbenam dan terbelenggu sehingga mungkin hutang itu tidak akan terbayar oleh tenaga yang mereka berikan untuk bekerja selama mereka hidup! Dan anak-anak mereka, yang laki-laki akan mewarisi keadaan ayah ini, yang perempuan, itupun kalau wajahnya menarik, akan menjadi penghibur atau pelacur, paling untuk menjadi selir, kalau buruk rupanya, akan menjadi wanita yang diperas tenaganya di rumah tangga majikan mereka. Hanya orang-orang seperti inilah yang tidak merasa ngeri tinggal di daerah rawan ini, karena apa yang perlu ditakutkan? Mereka tidak mempunyai apa-apa, bahkan mereka sekeluarga dapat dikatakan adalah "kepunyaan" majikan mereka.
Tiba-tiba, kesunyian yang nampaknya saja amat hening penuh kedamaian itu, terisi oleh suara suling yang merdu dan melengking-lengking. Keadaan yang memang amat sunyi itu, yang kadang hanya diseling dengus kerbau dan suara pekerja sawah bicara singkat, dilatarbelakangi suara lembut air yang mengalir tenang, kini dapat menampung sepenuhnya suara tiupan suling yang merdu itu, sehingga terdengar amatlah indahnya seperti suara suling yang turun dari angkasa. Padahal, kalau yang pada saat itu mendengarkan suara suling itu seorang ahli musik atau setidaknya yang mengenal sifat suara suling, tentu akan terkejut dan bergidik ngeri. Suara suling itu memang merdu, tanda bahwa peniupnya memang ahli. Namun, di balik kelembutan suara suling yang melengking itu terkandung nada-nada yang selain ganjil juga keras dan penuh kekejaman, seperti suara suling yang ditiup oleh mulut yang dipenuhi perasaan hati yang penuh kebencian!"
Sebuah perahu kecil yang ujungnya runcing meluncur terbawa arus sungai, perlahan-lahan dan dengan tenang sekali, tak jauh dari tepi sebelah selatan. Di atas perahu itu nampak seorang pemuda yang kepalanya tertutup sebuah caping iebar sehingga wajahnya terlindung dari sinar matahari pagi yang menyongsong perahu yang meluncur ke timur. Pemuda inilah yang meniup suling itu, sebatang suling yang agak panjang terbuat dari pada logam, bukan suling bambu. Warna suling itu hitam legam sehingga jari-jari tangannya yang bermain di atas lubang-lubang suling itu nampak putih seperti jari tangan wanita saja.
Pemuda itu memang tampan sekali. Usianya sekitar duapuluh dua tahun. Pakaiannya pesolek dan indah, terbuat dari sutera biru putih yang mahal. Tubuhnya sedang dan ramping, dan bentuk pakaiannya seperti seorang pemuda bangsawan atau hartawan yang terpelajar. Capingnya terbuat dari bambu, namun anyamannya halus sekali dan pinggirnya diberi hiasan rumbai-rumbai hitam. Sepasang matanya tajam kadang mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek, dengan lekukan yang membayangkan watak mata keranjang.
Sungguh amat mengherankan melihat seorang pemuda yang jelas bukan orang dusun miskin itu berani mendatangi tempat seperti itu, berperahu seorang diri saja dan meniup suling sedemikian santainya, seolah dia memasuki daerah yang paling aman dan tenteram di dunia ini. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak satu jam yang lalu. dari kedua tepi pantai sungai itu, banyak pasang mata yang buas mengikuti gerak-geriknya dan banyak orang menyusuri pantai untuk membayangi perahunya yang meluncur perlahan mengikuti arus sungai yang tenang itu. Para buruh tani yang bekerja di sawah ladang melihat berkelebatnya bayangan puluhan orang yang menyusup di balik semak-semak belukar dan pohon pohon di sepanjang tepi sungai dan merekapun mendengar suara suling. melihat pula meluncurnya sebuah perahu yang ditumpangi pemuda bercaping lebar. Mereka tahu apa yang akan terjadi. Tentu para bajak dan perampok tidak akan membiarkan perahu lewat begitu saja tanpa diganggu. Andaikata panumpangnya tidak mempunyai sesuatu yang berharga, setidaknya perahu itu pun sudah merupakan benda yang berguna bagi mereka, yang "pantas" untuk dirampas! Seperti juga kalau ada orang berani menunggang kuda melintasi daerah itu, si kuda itu saja sudah menjadi alasan kuat bagi perampok untuk turun tangan mengganggu penunggangnya, kalau perlu membunuhnya untuk merampas kudanya! Akan tetapi karena maklum bahwa mereka tidak berdaya, maka para buruh tani itu hanya saling pandang, menggerakkan pundak dan melanjutkan pekerjaan mereka, walaupun diam-diam mereka juga sering menengok ke arah perahu di sungai itu.
Pemuda bercaping itu agaknya sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengancamnya. Dia enak-enak meniup suling dan baru setelah dari empat penjuru muncul empat buah perahu besar yang masing-masing terisi enam orang, empat buah perahu hitam yang meluncur ke arahnya dan nampak rantai berujung kaitan menyambar dari perahu-perahu itu dan mengait perahunya yang berada di tengah-tengah sehingga perahunya terhenti, dia menghentikan tiupan sulingnya dan menyingkap sutera tipis di depan muka, sutera yang tengantung dari capingnya, untuk melihat apa yang terjadi.
Dia melihat empat buah perahu itu. DI masing-masing perahu, lima orang duduk dengan golok di tangan, seorang berdiri bertolak pinggang dengan sikap memimpin. di semua ada empat orang pemimpin bajak air dengan duapuluh orang anak buahnya. Dan perahunya sendiri sudah terkait dan tidak dapat bergerak lagi.
"Hemm, apakah artinya semua ini? Siapakah kalian dan apa maksud kalian mengepungku dan mengait perahuku?" terdengar pemuda itu bertanya, suaranya halus dan sopan, juga ramah walaupun sepasang matanya kini mencorong mengintai dari balik caping lebarnya.
Seorang di antara empat pemimpin itu, yang berdiri di perahu yang berhadapan dengan perahu pemuda itu dan yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam, tertawa bergelak mendengar pertanyaan itu.
"Ha-ha-h a-ha-ha, orang muda. Melihat engkau seorang pemuda tampan yang bersikap halus, biarlah kami tidak akan membunuhmu. Cepat engkau tanggalkan seluruh pakaianmu, seluruhnya! Kemudian, tanpa membawa apapun, engkau tinggalkan perahumu dan meloncat ke daiam air! Ha-ha!"
Tiga orang kepala bajak yang lain tertawa, disusul anak buah mereka yang sudah dapat membayangkan pemandangan yang amat lucu kalau mereka nanti meiihat pemuda bercaping itu dengan ketakutan dan bertelanjang bulat melempar diri ke dalam air sungai dan menjadi mangsa buaya-buaya yang banyak terdapat di air sungai itu.
"Ah, begitukah kiranya?" pemuda itu bertata perlahan, lalu dengan tenang dia melepaskan ikatan tali capingnya dari bawah dagu seolah dia sudah mulai untuk menanggalkan semua pakaiannya dimulai dari capingnya dulu. Setelah caping dibuka dan diletakkan di atas lantai perahunya, semua bajak air melihat wajahnya yang memang tampan sekali.
"Aduh sayang dia laki-laki! Kalau perempuan, tentu akan menyenangkan sekali, ha-haha!" seorang di antara empat kepala bajak itu tertawa, disambut oleh teman-temannya pula.
Kini pemuda itu bangkit berdiri, memandang ke sekeliling, kemudian bertanya dengan suara yang tetap halus, tenang dan ramah,
"Sebelum aku mati, aku ingin tahu siapa pembunuhku. Siapakah kalian ini?"
Si raksasa hitam yang menjadi pemimpin utama itu kembali tertawa.
"Engkau ini pemuda yang sungguh tolol, berani memasuki daerah ini tanpa mengenal kami. Dengarlah! Kami adalah Empat Buaya Sungai Huai bersama anak buah kami. Nah, cepat taati perintah kami tadi! Buka semua pakaianmu, tinggalkan di perahu dan engkau loncat ke air dalam keadaan telanjang bulat!"
Akan tetapi pemuda itu tidak menanggalkan bajunya, hanya mengangguk-angguk dan mendekatkan suling di mulutnya.
"Aih, kiranya ini Empat Ekor Bangkai Buaya bersama bangkai buaya buaya kecil di sungai ini!" Dan kini dia menempelkan ujung suling di mulutnya, mempengunakan suling itu sebagai sebuah senjata tutup (alat meniupkan jarum) dan empat kali dia meniup ke arah empat orang kepala bajak di depan, belakang dan kanan kiri. Terdengar pekik empat orang itu dan merekapun terjungkal roboh ke dalam perahu masing-masing! Tentu saja duapuluh orang anak buah bajak menjadi terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi melengking yang aneh dari suling yang ditiup oleh pemuda itu. Mula-mula lengking tuara itu seperti benda tajam menusuk telinga para anak buah bajak. Mereka terbelalak, akan tetapi makin lama belalak mereka makin tidak normal dan mereka mencoba untuk menutupi kadua telinga dengan jari tangan. Namun, terlambat. Darah mengalir keluar dari telinga mereka. Mereka roboh ke perahu mereka, merintih-rintih, merasa telinga mereka teperti dimasuki benda tajam dan akhirnya mereka berkelojotan sekarat!
Setelah melihat semua pengepungnya yang berjumlah duapuluh empat orang itu roboh semua di perahu masing-masing, baru pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya yang melengkingkan suara aneh. Senyum melebar, dan kini wajahnya yang tampan itu mengandung sesuatu yang mengerikan, seperti topeng Iblis yang tampan.
Seorang di antara empat pemimpin bajak yang tadi roboh lebih dahulu disambar jarum yang ditiupkan melalui suling, agaknya belum tewas dan dia mencoba untuk bangkit duduk. Tangan kirinya diangkat ke arah pemuda itu, menuding dan terdengar suaranya parau, mulut itu hanya bergerak kaku karena mukanya sudah menjadi biru menghitam keracunan.
"Kau ... Tok ... siauw ... kwi ...?" Dan diapun roboh terkulai.
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang mampu meluluhkan hati setiap orang wanita, lalu mendengus melalui hidungnya dengan sikap sombong.
"Baru engkau tahu, ya! Menentang Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok sama dengan rindu akan kematian Ha-ha-hal!" Kini, dengan tangan kanan, dia melepaskan-setiap besi pengait dan sekali dia mengerahkan tenaga, rantai itu melambung dan perahu terisi enam orang di depannya ikut melambung lalu jatuh terbalik. Enam orang yang sudah mati atau sedang sekarat itupun berjatuhan ke air dan perahunya jatuh pula terbalik. Tiga perahu yang lain dia balikkan seperti itu sehingga kini empat buah perahu itu semua terbalik dan dua puluh empat orang, ada yang sudah menjadi mayat ada yang masih sekarat, semua jatuh ke dalam air.
"Huh. mengotori air sungai saja!" pemuda itu mengomel dan diapun menggunakan dayungnya, mendayung perahu kecilnya meluncur ke depan lalu ke kanan, ke arah darat di tepi sungai yang datar.
Dengan wajah membayangkan rasa jijik pemuda itu lalu mendayung perahunya menjauhi mayat-mayat itu dan akhirnya dia mendarat di sebelah selatan sungai. Sekali tarik rantai di ujung perahunya, dia membuat perahu itu terlempar ke darat dan jatuh ke dalam semak-semak. Kalau ada yang melihat ini, tentu akan kagum bukan main karena perbuatan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda yang nampaknya tampan dan lemah lembut ini ternyata memiliki tenaga yang dahsyat.
Kalau sebelum menyerang tadi, para pimpinan bajak sungai itu tahu siapa yang mereka hadapi, seperti diserukan oleh seorang di antara empat pimpinan mereka sebelum tewas, tentu hari itu akan ada duapuluh empat orang bajak yang mati konyol. Pemuda ini memang bukan orang biasa saja. Namanya, yaitu nama julukannya, akan membuat gentar seluruh dunia kang-ouw, yaitu nama julukan Tokb-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun). Namanya adalah Suma Hok dan dia merupakan putera tunggal dari Suma Koan yang berjuluk Kai-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang datuk besar rimba persilatan berusia limapuluh lima tahun yang menjadi majikan dari bukit yang disebut Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis). Dalam hal kebesaran namanya, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan ini tidak kalah tersohornya dibandingkan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek majikan Lembah Bukit Siluman.
Suma Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi ini, biarpun baru berusia duapuluh dua tahun, namun namanya sudah amat terkenal, terutama sekali di selatan, di wilayah Kerajaan Liu-sung karena pernah dia menggegerkan kota raja Nan-king dengan perbuatannya yang berani mencuri masuk ke istana hanya karena dia tergila-gila kepada seorang dayang istana! Biarpun akhirnya dia terpaksa melarikan diri menghadapi pengeroyokan puluhan orang jagoan istana kaisar, namun namanya menjadi terkenal sekali dan ditakuti. Kemudian, Kaisar Cang Bu sendiri, atas nasihat para jagoannya, bahkan mengirim utusan mengundang pemuda ini agar suka bekerja sebagai jago istana dan dijanjikan bahwa dayang itu akan diserahkan kepadanya untuk menjadi isterinya. Namun, penawaran kaisar itu ditolaknya! Pertama, karena dia tidak ingin terikat menjadi pejabat, dan ke dua, diapun tidak Ingin memperisteri dayang itu, hanya ingin melampiaskan nafsunya saja, seperti seekor kumbang yang akan terbang pergi meninggalkan kembang yang sudah dihisap madunya. Penolakan ini membuat dia semakin terkenal, karena jarang ada orang berani menolak perintah kaisar, Apalagi perintah ini merupakan undangan untuk menerima anugerah!
Suma Hok sudah mendarat karena dari sungai tadi, setelah membunuh duapuluh empat orang bajak sungai, dia melihat beberapa orang buruh tani bekerja di sawah. Maksudnya hanya untuk bertanya-tanya kepada mereka tentang Pek I Mo-ko karena sesungguhnya, yang membuat dia melakukan perjalanan ke daerah itu sekali ini adalah karena diapun mendengar tentang Akar Bunga Gurun Pasir yang kabarnya telah berada di tangan Pek I Mo-ko dan diapun, seperti para tokoh kang-ouw lainnya, ingin mencoba untuk merampas dan memilikinya.
Begitu mendarat, dia mengebut-ngebutkan bajunya, mengeluarkan sebatang sisir dari saku jubahnya dan menyisir rambut yang agak kacau terkena angin, menyisipkan sulingnya di ikat pinggang, mengenakan lagi capingnya untuk melindungi rambut dari angin dan debu, yang melindungi muka dari terik matahari, lalu diapun melangkah menuju ke sawah ladang; di mana terdapat beberapa orang sedang bekerja meluku sawah.
Akan tetapi, tiba-tiba dia berhenti dan mulutnya membayangkan senyum yang khas, senyum seperti tadi ketika dia menghadapi pengepungan para bajak. Biarpun matanya belum melihat apa-apa yang mencurigakan, namun pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu tudah menangkap gerakan banyak orang.
"Tikus-tikus busuk, keluarlah dari balik semak kalau memang ada keperluan dengan aku?" katanya sambil memandang ke kanan kiri di mana terdapat semak belukar. Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dan berloncatan keluar. Kiranya mereka adalah limabelas orang yang rata-rata mamiliki wajah bengis dan tubuh yang kokoh, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang suka mengandaikan kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka untuk menang sendiri. Biar pun dikepung limabelas orang yang tanpa bicarapun sudah mudah ditebak bahwa mereka tidak mempunyai niat baik, namun Suma Hok hanya tersenyum saja dengan sikap tenang sekali.
"Hemm, kalian ini tikus-tikus busuk, apakah ingin berubah menjadi bangkai-bangkai tikus?"
Seorang di antara mereka, yang tubuhnya jangkung kurus bermuka kuning melangkah maju selangkah. Di kedua tangannya terdapat sepasang pedang dan sambil menyilangkan kedua pedang yang tajam mengkilat di depan dadanya, dia berkata,
"Bocah sombong! Di air boleh jadi engkau jaya, akan tetapi di daratan ini, kami akan mencincang badanmu menjadi bakso, kecuali kalau engkan mau berlutut dan minta ampun, menyerahkan seluruh pakaianmu dan juga perahu yang kautarik ke darat itu. Hayo berlutut dan minta ampun kepada aku Si Harimau Muka Kuning!"
Suma Hok tersenyum,
"Baiklah, aku akan berlutut kepadamu untuk menghormati arwahmu!" Dan dia benar benar melangkah maju kedepan si jangkung muka kuning, lalu berlutut di depannya. Akan tetapi pada saat dia berlutut, sulingnya meluncur ke depan mematuki pusar si muka kuning yang terbelalak, pedang-pedang di kedua tangannya terlepas dan ketika suling itu dicabut, diapun terjengkang dan tewas seketika!"
Tentu saja empatbelas orang anak buah Si Harimau Muka Kuning menjadi terkejut bukan main. Mereka adalah orang-orang yang biasa merampok, memperkosa, menyiksa dan membunuh. Biarpun pemimpin mereka telah roboh dan tewas, mereka bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Bagaikan sekawanan serigala liar yang haus darah, mereka lalu mengepung dan mengeroyok Suma Hok dengan berbagai senjata yang menjadi andalan mereka. Bagaimanapun juga, musuh itu hanya seorang saja dan tadi mungkin pemimpin mereka tewas karena diserang secara mendadak.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa yang mereka hadapi adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh melebihi tingkat mereka atau pemimpin mereka. Begitu Suma Hok menggerakkan sulingnya, nampak sinar hitam bengulung-gulung bagaikan seekor naga bermain di angkasa dan terdengarlah bunyi nyaring ketika berkali-kali sinar itu membuat senjata lawan terlempar atau patah-patah, disusul jerit-jerit kesakitan dan dalam beberapa gebrakan saja, delapan orang telah roboh berkelojotan dan muka mereka berubah menghitam! Mereka telah tercium ujung suling sedikit saja kulit tergores ujung suling dan terbuka, maka racun yang amat jahat akan memasuki tubuh mereka. Mula-mula muka mereka yang menghitam, disusul seluruh tubuh dan matilah orang yang terluka itu.
Melihat dahsyatnya ilmu kepandaian pemuda tampan itu dan keadaan mayat kawan-kawan mereka, enam orang lainnya menjadi pucat dan mereka terbelalak, kemudian tanpa diperintah lagi, mereka melempar senjata, menjatuhkan diri berlutut. Melihat akibat mengerikan dari serangan suling itu merekapun teringat dan dapat menduga bahwa mereka tentu berhadapan dengan Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok!
"Suma Kongcu (Tuan Muda Suma), karena tidak tahu. kami telah berbuat kesalahan, mohon sudi mengampuni kami ...
" mereka meratap. Memang bagi mereka yang telah mengenalnya, pemuda ini selalu disebut Kongcu (Tuan Muda), sebutan yang sesuai dengan penampilannya sebagai seorang bangsawan muda yang "hartawan dan terpelajar!"
"Heran, minta ampun sudah terlambat. Siapa berani menentangku harus mati!" kata pemuda itu dan dia mendekatkan ujung suling ke mulutnya.
Enam orang itu membentur-benturkan dahi pada tanah dan minta-minta ampun dengan tubuh gemetar. Akan tetapi pemuda itu tidak perduli. Beberapa kali dia meniup dan jarum-jarum lembut yang beracun menyambar ke arah mereka. Enam orang itu terjengkang, berkelojotan sebentar dan tewas dengan tubuh menghitam karena leher setiap orang ditembusi jarum beracun.
Selagi mereka masih berkelojotan, Sumn Hok sudah meninggalkan tempat itu, melangkah menuju ke sawah ladang. Para buruh tani tadi melihat apa yang terjadi. Mereka merasa ngeri dan tegang, akan tetapi tidak ada yang berani bergerak atau membuka suara. Mereka tahu bahwa setiap kali ada dua pihak berkelahi, tentu ada yang mati. Akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang pemuda, dengan seorang diri saja, dalam waktu sesingkat itu, telah membantai demikian banyak orang. Diam-diam mereka mengeluh, karena akhirnya merekalah wang akan mendapatkan pekerjaan tambahan, yaitu mengubur mayat-mayat itu. Walaupun tidak ada yang memaksa mereka untuk menguburkan mayat-mayat itu, tarpaksa mereka harus menguburnya sendiri karena kalau tidak, mayat-mayat itu akan membusuk dan tentu mereka yang akan merasa tersiksa kalau bekerja di sawah setiap hari. Selain itu, juga dalam hati para buruh tani miskin ini masih terdapat perasaan tidak tega membiarkan mayat-mayat itu terlantar tanpa dikubur.
Keadaan para tokoh kang-ouw dan para petani miskin itu membuktikan betapa manusia dibentuk oleh lingkungannya. Para petani itu sendiri kalau meninggal dunia, atau kalau ada sanak keluarganya yang meninggal dunia, atau mati hanya dapat dikubur secara gotong-royong karena tidak mungkin mereka dapat melakukannya sendiri karena mereka tidak mempunyai daya. Karena mereka atau keluarga mereka sendiri kalau mati dikubur oleh pertolongan orang lain, maka tentu saja mereka tidak mungkin dapat membiarkan ada mayat terlantar tanpa ada yang menguburnya. Di dalam setiap masyarakat yang bergotong-royong, seorang anggauta masyarakat itu suka atau tidak suka terbawa untuk bersikap gotong-royong pula. Sebaliknya dalam suatu masyarakat yang bersikap acuh dan mementingkan diri sendiri masing-masing, para anggautanya tentu bersikap demikian pula. Oleh karena inilah maka para bijaksana jaman dahulu selalu menganjurkan kepada para anak cucu dan murid agar memilih, sahabat dalam pergaulan mereka. Bersahabat dengan orang pandai, sedikit banyak tentu akan menambah pengertiannya. Bersahabat dengan orang saleh, sedikit banyak tentu akan memperbaiki kelakuannya. Bersahabat dengan orang kaya juga sedikit banyak tentu akan menambah rejekinya. Akan tetapi bersahabat dengan orang jahat, mudah sekali kita terbawa dan terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Bagaimana mungkin kita akan minum teh saja kalau semua sahabat kita minum arak bermabuk-mabukan. Sebaliknya, kalau semua sahabat minum teh, kita merasa sungkan untuk mabuk-mabukan seorang diri saja!"
Ketika melihat pemuda bercaping lebar itu menghampiri mereka dan berdiri di tepi sawah memandang kepada mereka, para buruh tani merasa takut dan tegang, dan mereka itu hanya berani membungkuk dengan sikap hormat tanpa berani mengeluarkan suara.
Suma Hok memandang ke arah tujuh orang buruh tani yang mengerjakan sawah yang hanya dibantu oleh tujuh ekor kerbau yang menarik luku. Dia mengangkat tangan ke atas melambai dan berseru,
"Paman sekalian datanglah ke sini, aku ingin menanyakan sesuatu kepada kalian!"
Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi tntu saja tidak berani membantah. Mereka tidak khawatir, karena mereka tidak merasa mempunyai kesalahan, juga tidak mempunyai apapun untuk diganggu. Kerbau-kerbau itupun milik majikan sawah, bukan milik mereka.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah tujuh orang petani itu datang mendekat, Suma Hok lalu berkata kepada mereka,
"Para paman harap jangan takut. Aku hanya membutuhkan keterangan dari kalian dan kalau keterangan kalian itu kuanggap bermanfaat bagiku, aku akan memberi hadiah kepada kalian."
Seorang di antara para petani yang lebih berani bicara, mewakili kawan-kawannya bertanya,
"Keterangan apakah yang dapat kami berikan kepada kongcu? Kami hanyalah buruh-buruh tani yang miskin dan bodoh,"
"Aku hanya ingin bertanya apakah kalian dalam waktu dekat ini melihat seorang kakek berusia enampuluhan tahun yang pakaiannya serba putih yang mempunyai tahi lalat di dagu. Biasanya dia membawa sebatang pedang dan tak pernah ketinggalan selalu membawa sebuah kipas. Adakah kalian melihatnya lewat di sini atau berada di sekitar daerah ini?"
"Kakek berpakaian putih bertahi lalat di dagu, membawa pedang dan kipas?" kata petani itu dan kini tujuh orang itu saling, pandang.
"Benar, apakah kalian melihatnya?" tanya Suma Hok penuh harapan.
"Apakah yang kongcu tanyakan itu disebut Pek I Mo-ko?"
"Benar dia!" Suma Hok hampir bersorak-saking gembiranya.
"Jadi kalian melihat dia dan tahu di mana mereka berada."
Kembali tujuh orang itu saling pandang dan mereka semua menggeleng kepala! Tentu saja hati Suma Hok yang tadinya penuh kegembiraan itu, seketika berubah menjadi kecewa sekali dan dia mengerutkan alis, senyumnya mulai aneh karena dia marah, merasa, dipermainkan,
"Kalian lihat!" Dia menuding ke arah mayat-mayat berserakan itu,
"Aku akan membunuh semua orang yang membikin marah hatiku, akan tetapi akupun dapat bermurah hati memberi hadiah banyak kepada orang yang menyenangkan hatiku. Kalian jangan main-main. Tadi mengatakan tahu nama kakek yang kucari, sekarang bilang tidak ada yang melihatnya! Lalu bagaimana kalian bisa tahu bahwa yang kucari adalah Pek I Mo-ko?"
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 08
"Harap maafkan kami petani-petani bodoh, kongcu. Adanya kami mengetahui bahwa yang kongcu cari adalah Pek I Mo-ko karena baru kemarin ini kami juga mendapat pertanyaan yang sama benar dengan pertanyaan kongcu dan nona yang bertanya itulah yang menyembutkan nama Pek I Mo-ko dan yang menyebutkan ciri-cirinya tadi. Maka, begitu kongcu menanyakan kakek berpakaian putih, kami segera teringat akan keterangan nona itu dan menduga bahwa yang kongcu cari tentulah Pek I Mo-ko."
Suma Hok tersenyum lagi dan lenyap kemarahannya walaupun dia masih merasa kecewa,
"Dan bagaimana kalian menjawab pertanyaan nona itu?"
"Sama seperti kami menjawab kongcu. Kami tidak pernah melihat kakek berpakaian putih yang bernama Pek I Mo-ko itu. Kami hanya beri tahu bahwa kami tidak melihat kakek itu, akan tetapi kemarin pagi kami melihat serombongan orang berkuda lewat di sini, dari selatan dan mereka menuju ke arah Bukit Merpati Hitam di sana. Mendengar itu, nona itu nampak gembira sekali dan berkata bahwa itu tentulah rombongan jagoan Istana Liu-sung yang juga mencari Pek I Mo-ko, maka iapun segera menyusul ke arah bukit itu,"
Suma Hok mengerutkan alisnya berpikir. Ah, agaknya Kaisar Cang Bu dari Kerajaan Liu-sung di selatan juga mengirim jagoan-jagoannya untuk merampas mustika itu, pikirnya. Ini gawat. Dia akan menghadapi banyak lawan tangguh sehingga makin menyulitkan usahanya merampas Akar Bunga Gurun Pasir.
"Siapakah nama nona itu?" Tiba-tiba dia tertarik karena dia menduga bahwa tentu nona itu seorang gadis kang-ouw pula yang mencoba peruntungannya memperebutkan mustika itu. Dia tersenyum mengejek ketika mengajukan pertanyaan itu. Kalau ada pasukan jagoan istana, bagaimana mungkin seorang gadis akan mencoba untuk memperebutkan benda itu? Bisa mati konyol!
"Kami tidak berani bertanya, kongcu. Ia masih muda, kurang lebih delapanbelas tahun usianya, cantik seperti puteri bangsawan, sikapnya keras dan tegas, dan di punggungnya ia membawa sepasang pedang yang sarungnya indah, Dan iapun pandai menunggang kuda dengan tangkas sekali."
"Hemm baru saja aku diganggu bajak air dan perampok. Apakah seorang gadis cantik yang melakukan perjalanan seorang diri seperti itu, di daerah ini tidak diganggu orang?"
Petani yang mewakili teman-temannya itu menghela napas panjang.
"Baru malam tadi kami menguburkan mayat tiga orang yang lelah berani mengganggunya tak jauh dari sini. Mereka adalah tiga orang saudara Tiga Naga Begal yang terkenal lihai sekali di daerah ini. Mereka menghadang nona itu, dan terjadi peikelahian. Akan tetapi hanya sebentar saja. Kami tidak melihat nona itu mencabut pedang, akan tetapi tahu-tahu tiga orang pengeroyok itu telah roboh dan tewas dengan leher hampir putus semua!"
Suma Hok diam-diam merasa kaget dan kagum. Jelas bahwa nona itu memiliki ilmu pedang yang amat hebat dan pantas saja ia berani mencoba untuk berlumba memperebutkan mustika!
Dia lalu memandang ke arah bukit yang ditunjuk oleh petani tadi. Bukit Merpati Hitam! Kesanalah rombongan jagoan istana Liu-sung pergi, dan ke sana pula nona itu pergi. Agaknya Pek I Mo-ko berada di sana!"
Dia mengeluarkan tujuh potong perak yang masing-masing ada dua tail beratnya dari buntalan pakaiannya dan melemparkannya ke depan para petani itu.
"Nah, jawaban kalian cukup berharga. itulah upah kalian, seorang sepotong!" Setelah berkata demikian, diapun berkelebat dan lenyap dari depan tujuh orang buruh tani yang kini menjadi bengong akan tetapi wajah mereka berseri memandang potongan perak yang telah mereka pungut. Belum pernah selama hidup mereka memegang potongan perak seberat itu! Malam ini mereka akan menggali lubang besar dan mengubur mayat-mayat itu tanpa mengomel.
Kaum sesat di daerah tak bertuan di sepanjang Sungai Huai menjadi geger. Mereka merasa sial sekali karena dalam waktu beberapa hari di daerah itu bermunculan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak gerombolan bajak air sungai maupun perampok mengalami nasib sial bertemu dengan mereka dan mati konyol. Berita ini tersiar luas dan para gerombolan penjahat itu maklum bahwa daerah rawan itu kedatangan orang-orang yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari mereka, maka gerombolan yang biasanya ganas dan kejam itu menjadi gentar dan tidak ada yang berani keluar. Mereka juga mendengar bahwa banyak datuk kang-ouw dan pendekar perkasa, bahkan kabarnya jagoan Istana Kerajaan Liu sung maupun Kerajaan Wei, sedang memperebutkan benda mustika yang berada di daerah itu. Tentu saja banyak penjahat mengilar mendengar ini, akan tetapi karena maklum bahwa yang berebutan adalah orang-orang dari tingkatan tinggi, mareka tidak berani ikut-ikutan, bahkan menjauhi Bukit Merpati Hitam yang agaknya menjadi tujuan para datuk dan para pendekar itu.
Bukit itu disebut Bukit Merpati Hitam karena di puncak bukit yang tidak begitu tinggi itu dijadikan sarang ribuan atau bahkan puluhan ribu ekor burung merpati yang sebagian besar berbulu hitam. Di waktu pagi dan senja, dapat dilihat burung-burung itu pergi dan pulang, dan kadang nampak burung-burung itu terbang beriringan amat tinggi sehingga dari bawah kelihatan seperti seekor naga hitam terbang di angkasa. Bukit itu sendiri tidak terlalu besar, sedang aja dan dari kaki sampai ke lereng bukit, penuh dengan hutan liar. Tanah pegunungan ini tidak subur, mengandung kapur. Bahkan puncaknya nampak putih dan tidak ada tumbuh-tumbuhan, gersang dan kering, berlubang-lubang dan banyak guhanya. Itulah sebabnya maka burung-burung merpati itu bersarang di sana, Apalagi tempat itu memang jarang didatangi manusia. Untuk apa bersusah payah mendaki bukit sampai ke puncak kalau melalui hutan liar penuh semak berduri dan di puncaknya hanya merupakan bata kapur belaka yang sama sekali tidak menarik?
Akan tetapi, pada hari ini. bukit itu merupakan tempat yang amat penting. Mula-mula, serombongan orang berkuda mendaki bukit itu, dan di antara mereka terdapat pula Pek I Mo-ko. Duabelas orang Jagoan istana Wei mengawalnya, bukan saja untuk mengawal dan menjaga keselamatan Pek I Mo-ko yang menjadi utusan Kaisar Wei Ta Ong. akan tetapi juga untuk mencegah agar Pek I Mo-ko yang baru diterima sebagai pembantu itu tidak akan mengkhianati Kaisar Kerajaan Wei. Hanya Pek I Mo-ko seorang yang berpakaian seperti orang Han walaupun dia sendiri juga bukan orang suku Bangsa Han saeli. Duabelas orang jagoan Istana itu semua berpakaian seperti biasa pakaian para jagoan atau perwira Bangsa Tartar yang menguasai daratan Cina bagian utara pada waktu itu. Mereka semua mengenakan topi yang dihias bulu ekor rajawali, dan di kanan kiri ada ekor tupai yang panjang bergantung sampai ke pundak. Kalau bulu ekor rajawali itu berwarna kehitaman dan mencuat ke atas, ekor tupai itu berwarna putih seperti kapas. Wajah mereka rata-rata angker dan keras, dan raksasa kembar Liauw Cu dan Liauw Bu juga berada di antara mereka. Mereka masing-masing menunggang kuda yang besar dan bagus. Karena mereka tigabelas orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja mereka merasa kuat dan tidak membutuhkan pengawalan pasukan yang hanya akan menarik perhatian orang saja. Mereka ingin melakukan perjalanan diam-diam dan berahasia seperti yang dikehendaki Pek I Mo-ko yang bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau para tokoh kang-ouw mengetahui akan mustika yang dia sembunyikan di puncak Bukit Merpati Hitam itu. Terutama sekali dia takut kepada bekas guru dan majikannya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu puteri majikannya itu pernah menemuinya dan menuntut dikembalikannya mustika yang dia curi dari gurunya itu.
Pek I Mo-ko bukan seorang bodoh. Betapapun rapatnya rahasia itu disimpan, dan betapa hati-hati mereka melakukan perjalanan agar jangan diketahui orang, dia dapat menduga bahwa tentu ada saja yang tahu dan karenanya diapun sudah berunding dengan teman-temannya dan mengatur siasat bagaimana kalau sampai mereka menghadapi orang-orang pandai yang mencoba untuk mengganggu usaha mereka mengambil mustika itu, atau yang hendak merampas Akar Bunga Gurun Pasir.
Ketika hampir tiba di puncak bukit itu, Pek I Mo-ko dan duabelas orang rekannya turun dari atas kuda dan menambatkan kuda mereka di pohon terakhir yang dapat tumbuh di lereng bukit. Bukan saja perjalanan mendaki puncak memang sulit kalau dilakukan dengan berkuda, akan tetapi melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ini merupakan rencana dan siasat yang diatur oleh Pek I Mo-ko kalau-kalau nanti mereka menghadapi gangguan musuh.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke puncak dengan jalan kaki. Pek I Mo-ko menjadi penunjuk jalan, berada di depan diiringkan duabelas orang jagoan Istana yang selalu waspada dan siap tempur. Pek I Mo-ko sendiri masih menggantungkan pedangnya, namun kipasnya berada di tangan kiri dan kadang-kadang dia pengunakan untuk mengipasi lehernya karena pendakian itu membuat tubuh terasa panas.
Setelah tiba di puncak, matahari telah naik cukup tinggi dan hari itu cerah sekali. Di sepanjang perjalanan mendaki puncak tadi, tiga-belas orang jagoan istana dari Lok-yang ini selalu memandang ke sekeliling dan mereka merasa lega karena tidak pernah melihat bayangan orang yang mengikuti mereka, juga tidak terdengar suara yang mencurigakan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian puncak yang datar, di mana terdapat puncak terakhir berupa dinding batu kapur yang berlubang-lubang dan menjadi sarang burung-burung merpati hitam, tiba-tiba saja muncul limabelas orang dari balik batu-batu kapur besar yang berserakan di situ, ada pula yang keluar dari guha-guha. Kiranya di situ telah menanti limabelas orang jagoan istana Kerajaan Liu-sung! Inilah para jagoan yang diutus Kaisar Cang Bu untuk mengejar Pek I Moko ke utara dan merampas mustika Akar Bunga Gurun Pasir itu! Mereka telah menyebar mata-mata dan akhirnya mereka mengetahui bahwa Pek I Mo-ko dan duabelas orang jagoan istana Kerajaan Tartar atau Dinasti Wei di utara sedang melakukan perjalanan ke Bukit Merpati Hitam. Mereka mendahului naik ke puncak bukit ini dari arah lain dengan mengambil jalan yang lebih dekat dan menanti kemunculan Pek I Mo-ko dan kawan-kawannya sejak pagi tadi!
Tentu saja Pek I Mo-ko dan kawan-kawannya terkejut. Dari pakaian dan sikap mereka, tahulah dia dan kawan-kawannya bahwa mereka berhadapan dengan para jagoan dari kota raja Liu-sung, bahkan mereka semua tahu siapa pria berusia limapuluh tahunan yang memimpin rombongan itu. Dia itu bukan lain adalah Jenderal Pouw Cin yang amat terkenal sebagai panglima pasukan pengawal Istana dan dikabarkan memiliki ilmu silat dan ilmu perang yang hebat! Pek I Mo-ko dan kawan-kawannya memang sudah menduga akan adanya orang-orang yang mungkin akan mencoba untuk merampas mustika yang akan mereka ambil dari tempat simpanan Pek I Mo-ko, akan tetapi mereka sama sekali tidak mengira bahwa calon lawan mereka adalah para Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung! Akan tetapi karena mereka memang sudah merencanakan siasat dan telah bersiap-siap, merekapun tidak merasa gentar.
Jenderal Pouw Cin yang sudah mengenal Pek I Mo-ko, tersenyum dingin ketika melihat Pek I Mo-ko bersama para jagoan islana Kerajaan Wei yang menjadi musuh kerajaan kaisarnya.
"A-ha, kiranya kaki tangan pemberontak di Nan-ping yang menjadi pelarian dan buruan pemerintah, kini telah bekerja sama pula dengan orang-orang biadab Tartar dari utara! Hemm, bagus! Dosamu berlipat ganda. Ciong Kui Le, menyerahlah engkau pengkhianat!"
Pek I Mo-ko memperlihatkan sikap menentang.
"Orang she Pauw, yang memberontak terhadap Kerajaan Liu-sung adalah kepala daerah Nan-ping. Aku hanya bekerja kepadanya, aku tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan. Jenderal Pouw Cin, aku tidak mempunyai urusan denganmu, dan aku tidak akan suka menyeretkan diri untuk ditawan olehmu!"
Kata-kata itu mengandung isyarat bagi teman-temannya untuk bergerak dan dengan serentak, duabelas orang jagoan istana itu sudah menggerakkan senjata masing-masing, menyerang limabelas orang jagoan Liu-sung. Tentu saja limabelas orang jagoan itu dengan marah menyambut serangan itu dan terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian di puncak bukit tandus itu.
Menurut yang telah direncanakan Pek I Moko dan kawan-kawannya, kalau muncul lawan-lawan yang hendak mengganggu pengambilan mustika, para jagoan Istana Kerajaan Wei itu bertugas untuk menyerang mereka sehingga Pek I Mo-ko mendapat kesempatan untuk mengambil mustika itu tanpa ada yang mengetahuinya. Biarpun kini, di luar dugaan mereka, yang muncul adalah limabelas orang jagoan dari pemerintah yang menjadi musuh mereka, rencana itu tetap dilaksanakan. Duabelas orang jagoan Tartar itu dengan serentak menyerang pihak lawan yang limabelas orang jumlahnya, sedangkan Pek I Mo-ko sendiri diam-diam menyelinap pergi dan lenyap ke dalam sebuah di antara guha-guha yang banyak terdapat di dinding kapur itu. Dia memasuki guha yang berbentuk terowongan yang dalam. Setelah memasuki terowongan sejauh ratusan meter, dia berhenti dan mengerahkan tenaga sinkang, mendorong batu besar yang berada di sebelah kiri dinding terowongan. Batu besar yang bagi orang lain tentu hanya merupakan balu dinding seperti yang lain itu bengeser dan nampaklah lubang terowongan lain. Pek I Moko memasuki terowongan ini dan di tempat yang tersembunyi inilah dia menyembunyikan mustika yang diperebutkan itu. Dia mengambil sebuah peti hitam sebesar duapuluh sentimeter persegi, membuka tutupnya dan dia tersenyum melihat benda mustika itu masih berada di situ. Hanya merupakan sepotong akar yang mirip sebuah tangan manusia, baik bentuk maupun ukurannya, hanya "jari-jari" tangan itu agak panjang dan ujungnya bergantungan banyak akar rambut. Dia mengambil akar itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya, menutup kembali peti kosong dan membiarkannya di tempat yang tadi. Kemudian dia berlari keluar melalui terowongan yang menembus ke samping puncak bukit itu, yang berlawanan dengan bagian di mana terjadi pertempuran. Inilah siasat yang telah diatur oleh Pek I Mo-ko. Selagi teman-temannya menahan para lawan, dia dengan aman dapat mengambil benda yang amat diharapkan oleh Kaisar Wei Ta Ong itu! Dan kudanyapun sudah siap menantinya di bawah puncak. Setelah nanti dia tiba di tempat panambatan kuda-kuda itu, baru dia akan melepas tanda panah api ke udara untuk memberitahukan teman-temannya agar mereka dapat pergi meninggalkan puncak.
Dengan hati girang, membayangkan betapa dia tentu akan mendapatkan kedudukan tinggi dan hadiah besar dari Kaisar Wei Ta Ong dan selanjutnya hidup sebagai seorang pejabat tinggi yang dihormati dan berenang di dalam kemuliaan dan kemewahan, Pek I Mo-ko menyelinap di antara batu-batu kapur, menuruni puncak menuju ke hutan pertama di lereng bawah puncak di mana mereka tadi menambatkan kuda.
Hutan pertama itu sudah dekat, tinggal ratusan meter lagi. Begitu dia sudah meloncat ke atas punggung kudanya, lalu melepaskan panah api, berarti dia telah berhasil dan akan dapat lebih dahulu melarikan diri ke utara, membawa Akar Banga Gurun Pasir!"
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri serang gadis yang tersenyum mengejek kepadanya. Pek I Mo-ko terbelalak memandang karena gadis itu bukan lain adalah Ouwyang Hui Hong, puteri bekas guru dan majikannya! Satu-satunya orang di dunia ini kecuali gurunya yang sama sebali tidak ingin dia jumpai di saat seperti itu! Akan tetapi, dia tidak takut karena dia maklum bahwa betapa lihaipun puteri bekas gurunya itu, dia percaya bahwa dia masih mampu mengatasinya karena dia lebih berpengalaman dan memiliki lebih banyak tipu muslihat dalam Ilmu silat mereka yang berasal dari satu sumber.
"Hemm, Iblis busuk, murid murtad dan khianat, kaukira akan mampu lepas dari tanganku? Serahkan kembali mustika milik ayahku lalu serahkan tangan kananmu untuk kubuntungi sebagai hukumanmu, atau terpaksa aku akan membunuhmu!" Hui Hong berkata, suaranya galak. Hukuman potong tangan ini memang merupakan jenis hukuman yang biasa, dilakukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek terhadap orang-orang yang suka mencuri, merupakan hukuman yang berlaku di daerah Lembah Bukit Siluman.
Di bagian manapun di dunia ini, setiap kelompok manusia, baik yang dinamakan sudah beradab, setengah beradab, atau masih biadab, membentuk masyarakat, kemudian masyarakat yang membentuk pemerintah atau kepala suku dengan para pembantunya Pemerintah atau kepala suku bagi yang belum mempunyai pemerintahan, lalu mengadakan hukum-hukum. Hukum diadakan dengan maksud menegakkan keadilan, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah untuk kemudian dihukum sesuai dengan peraturan. Memang, niat itu baik sekali, terutama untuk menghapus hukum rimba, yaitu yang kuasa dan yang kuat selalu menang dan selalu benar. Hukum pada hakekatnya diadakan orang untuk melindungi mereka yang lemah, mereka yang tidak mampu melindungi diri sendiri, hukum diadakan untuk melindungi mereka yang akan dijadikan korban kesewenang-wenangan dari mereka yang berkuasa dan kuat. Akan tetapi sungguh menyedihkan kalau dilihat betapa di bagian manapun di dunia ini, hukum bahkan menjadi alat bagi yang kuasa dan yang kuat untuk membenarkan diri sendiri secara sah. Kalau sebelum adanya hukum, mereka itu selain menang dan benar karena kekuasaan dan kekuatan, setelah adanya hukum, mereka menang dan benar menurut hukum. Bahkan yang dapat dihukum hanyalah yang berada di bawah, dan yang mengeterapkan hukum tentulah pihak atasan. Kalau yang bawah hendak mengeterapkan hukum kepada pihak atasan, itu namanya bukan menegakkan hukum, melainkan pemberontakan! Begitulah kenyataannya yang terjadi di seluruh dunia, secara tertelubung maupun terang-terangan. Ada hukum ataupun tidak, yang kuasa dan yang kuat tetap saja menang dan benar, tiada bedanya dengan hukum yang berlaku di rimba. Hanya binatang-binatang seperti harimau, singa, gajah, banteng, beruang, mereka yang kuat-kuat, atau yang besar-besar, atau yang bergerombolan seperti srigala, mereka sajalah yang selalu menang dan benar. Kelenci? Kijang? Tikus? Mereka yang kecil-kecil? Aah. hanya menjadi "makanan" yang besar-besar.
Wajah Pek I Mo-ko sejenak berubah pucat. Kalau dia mengingat atau membayangkan bekas guru dan majikannya. Bu eng-kiam Ouwyang Sek, dia sungguh merasa ketakutan sekali. Untung bukan datuk itu yang berhadapan dengan dia, karena kalau datuk itu yang kini berada di dengannya. Biapapun takkan mampu melindungi tangannya dibuntungi! atau bahkan lehernya! Akan tetapi, yang dihadapinya hanya Owyang Hui Hong, seorang gadis berusia delapan belas tahun. Betapapun lihainya, dia akan dapat menandinginya. Hanya yang membuat dia marah adalah karena kemunculan gadis ini tentu saja dapat mengacaukan rencananya. Dia tidak dapat cepat meninggalkan tempat itu dan memberitahu kawan-kawannya. Kalau sempai para jagoan Liu-sung itu dapat mengejarnya, tentu dia berada dalam bahaya! Maka, dia harus lebih dulu membunuh gadis ini, lebih cepat lebih baik.
"Mampuslah!!" Dia membentak dan tiba-tiba saja nampak sinar pedang meluncur ke arah leher Hui Hong, disusul totokan ujung, gagang kipas ke arah dada.
"Huh, iblis busuk!" Hui Hong memaki dan dengan lincah sekali iapun sudah meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari dua serangan maut itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Tanpa membuang waktu, Iapun segera menggerakkan kedua pedang itu dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat antara dua orang yang memiliki ilmu silat dari satu guru itu. Keduanya sudah mengenal ilmu silat dan gerakan masing-masing maka agak tukarlah bagi mereka untuk dapat berhasil dengan serangan mereka. Permainan pedang dan kipas di kedua tangan Pek I Mo-ko pada dasarnya juga merupakan Ilmu pedang pasangan, hanya pedang kiri diganti dengan kipas untuk membingungkan lawan. Bukan itu saja, juga kipas itu mengandung alat rahasia untuk melepas jarum beracun dari gagangnya yang berlubang, juga selain dapat dipergunakan sebagai pedang, dapat dipakai menotok jalan darah lawan.
Hui Hong sudah mengenal kipas ini, maka biarpun beberapa kali Pek I Mo-ko mencoba untuk menyerang lawannya dengan jarum beracun, selalu serangan itu gagal dan jarum-ja-rumnya dipukul runtuh oleh pedang Hui Hong. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Pek I Mo-ko menang pengalaman dan lebih matang gerakannya. Hanya kelebihan ini tidak berarti karena gadis itu menutup kekurangannya dengan kelebihannya dalam hal gin-kang (Ilmu meringankan tubuh). Gadis itu dapat bergerak-gerak lebih cepat. Dan dalam hal tenaga sintang, Hui Hong dapat menandingi bekas pembantu ayahnya itu, maka dapat diduga bahwa perkelahian mati-matian itu akan berlangsung lama dan sukar diduga siapa yang akhirnya akan menang.
"Cring-cring, tranggg ...!!" Pek I Mo-ko terhuyung dan meloncat ke belakang. Mukanya berubah dan matanya terbelalak. Dia tidak mengenal jurus yang baru saja dimainkan gadis itu untuk menyerangnya sehingga hampir saja lehernya tercium ujung pedang kiri gadis itu!
Hui Hong tersenyum mengejek.
"Kaukira telah mengenal semua ilmu pedangku?" katanya dengan nada memandang rendah.
"Kaukira ayah begitu bodoh untuk tidak membekali aku dengan ilmu baru sebelum menyuruh aku mencarimu! Iblis busuk tolol, sekarang engkau mati!" Hui Hong kembali memainkan sepasang pedangnya, akan tetapi kini dengan gerak-gerakan aneh yang tidak dikenal Pek I Mo-ko sehingga dia terkejut dan hanya mampu memutar pedang dan kipasnya untuk melindungi dirinya karena dia tidak mampu menduga ke arah mana gulungan dua sinar pedang lawan itu akan menyambar. Dalam beberapa jurus saja dia terdesak mundur terus.
Pada saat Pek I Mo-ko terdesak, tiba-tiba terdengar bunyi suling ditiup orang. Suaranya melengking, naik turun tinggi rendah dan merdu sekali. Biarpun mungkin bagi orang lain suara ini biasa saja, suara sebatang suling yang dimainkan orang, namun bagi Pek I Mo-ko maupun Hui Hong terkejut sekali dan otomatis keduanya menahan senjata dan meloncat ke belakang. Mereka berdua menyangka bahwa yang datang adalah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk besar majikan Bukit Bayangan Iblis! Kalau datuk itu yang datang, celakalah, demikian pikir Pek I Mo-ko maupun Hui Hong. Suma Koan adalah seorang datuk sakti yang kepandaiannya setingkat dengan ayah Hui Hong. maka tentu saja kedua orang itu merasa jerih. Akan tetapi, ketika keduanya menoleh, ternyata yang muncul dan yang kini sudah menurunkan sulingnya dan tidak meniupnya lagi adalah seorang pemuda yang tampan sekali.
"Tok-siauw-kwi Suma Hok!" seru Pek I Mo-ko yang mengenal pemuda itu sebagai putera tunggal Suma Koan.
Suma Hok tersenyum dan deretan giginya berkilat.
"Aha, kiranya Pek I Mo-ko masih mengenal aku? Bagaimana kabarnya, Moko?" kata pemuda itu dengan sikap seorang yang kedudukannya lebih tinggi.
"Baik-baik, Suma Kongcu," kata Pek I Mo-ko yang mengharapkan bantuan pemuda putera datuk besar itu.
"Dan bagaimana dengan kongcu sendiri? Apa yang kongcu kehendaki maka datang ke tempat ini?"
Mendengar pertanyaan itu, Suma Hok tertawa dan mengerling ke arah Hui Hong. Gadis itupun memandang kepadanya dan diam-diam ia harus mengakui bahwa pemuda putera datuk Kui-siauw Giam-ong itu memang tampan dan gagah sekali, walaupun senyum dan pandang matanya membuat ia merasa tidak sedap di hati.
"Ha ha-ha, pertanyaan yang aneh dan lucu, Moko. Biarlah kujawab begini saja. Aku kebetulan lewat dan melihat engkau bertanding ... eh, maksudku terdesak oleh gadis cantik ini. Bukankah adik yang manis ini puteri dari Paman Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang terkenal itu, yang pernah menjadi guru dan majikanmu, Moko?"
Pek I Mo-ko dan Hui Hong diam-diam harus memuji kecerdikan Suma Hok, akan tetapi Hui Hong hanya tersenyum mengejek tanpa mengatakan sesuatu.
"Bagaimana kongcu bisa menebak dengan tepat? Pernahkah kongcu bertemu dengan nona Ouwyang Hui Hong ini?" Di dalam benak Pek I Mo-ko sedang bekerja keras untuk mencari jalan keluar yang baik dari ancaman ini. Dia harus dapat menarik putera datuk besar ini di pihaknya. Kalau terjadi kebalikannya dan dia dikeroyok dua, jelas itu berarti bencana baginya.
Kembali Suma Hok tersenyum dan menggerak-gerakkan sulingnya dengan sikap gagah untuk berlagak.
"Ha-ha, apa sukarnya! Biarpun aku belum pernah bertemu dengan nona Ouwyang, aku sudah mendengar tentang namanya, dan melihat gaya permainan siang-kiam tadi, mudah diduga siapa ia. Juga, kalau ia mencarimu lalu menyerangmu, siapalagi kalau ia bukan puteri Paman Ouwyang Sek yang tentunya hendak minta kembali Akar Bunga Gurun Pasir yang telah kaularikan dari Lembah Bukit Siluman. Bukankah benar begitu, adik Ouwyang Hui Hong yang baik?"
Hui Hong cemberut.
"Hemm, biarpun tebakkanmu benar, apa anehnya tebakan itu. Semua orang juga bisa menebaknya. Dan akupun bukan adikmu, dan tidak suka kau sebut adik yang baik! Tak perlu kau merayuku, karena kata-katamu tentu sama beracunnya dengan sulingmu, Suma Hok!"
Suma Hok tidak menjadi marah, bahkan tertawa bergelak mendengar ucapan galak ini,
"Ha-ha-ha-ha, engkau memang manis sekali. Hong-moi (adib Hong) yang baik! Ha-ha-ha!"
Melihat sikap pemuda itu demikian manis dan akrab, tentu saja Pek I Mo-ko menjadi khawatir bukan main.
"Suma Kongcu, bantulah aku menghadapi gadis ini. Kalau kita berdua melawannya, tentu kita dapat menangkapnya. Ia begitu cantik, apakah kongcu tidak ingi memilikinya! Nah, kaubantu aku, dan ia menjadi milikmu. Juga, aku akan memintakan hadiah yang besar untuk kongcu kepada Kaisar Wei Ta Ong!"
Suma Hok memandang kepadanya dengan alis berkerut.
"Pek I Mo-ko, apa kaukira aku ini seorang yang tolol dan suka mengabdi kepada orang Tartar macam engkau? Aku memang telah jatuh cinta kepada adik Ouwyang Hui Hong ini, akan tetapi aku akan melamarnya dengan resmi. Nah, berikan Akar Bunga Gurun Pasir itu kepadaku, baru kuampuni nyawamu. Mustika itu akan kukembalikan kepada Paman Ouwyang ketika aku dan ayah datang melamar adik manis ini. Untuk membalas budi, tentu Paman Ouwyang akan suka menerima aku sebagai mantu!"
Celaka, pikir Pek I Mo-ko dengan muka pucat. Akan tetapi karena dia bukan berhadapan dengan datuk besar Kui-siauw Giam-ong, melainkan hanya puteranya yang masih muda, diapun tidak gentar.
"Bocah sombong, kaukira aku takut padamu? Diajak kerja sama tidak mau, baik, mari kita lihat siapa di antara kita lebih lihai!" Diapun segera menyerang dengan pedang dan kipasnya.
Suma Hok yang maklum akan kelihatan Pek I Mo-ko, segera mengerahkan tenaga sin-kang pada sulingnya dan menangkis, lalu balas menyerang. Setelah terjadi serang menyerang beberapa gebrakan, masing-masing mendapat kenyataan bahwa kepandaian mereka berimbang.
"Nona Ouwyang. daripada mustika terjatuh di tangan bocah ini, lebih baik kukembalikan kepada ayahmu. Nah, kaubantulah aku!" kata Pek I Mo-ko bukan karena dia takut kalah, melainkan dia maklum bahwa untuk mengalahkan pemuda ini bukan soal mudah dan yang dia takuti adalah kalau para jagoan istana dari Liu-sung datang ke tempat itu.
Tiba-tiba Hui Hong menggerakkan sepasang pedangnya dan ia menyerang Suma Hok! Tentu saja Pek I Mo-ko menjadi girang, sebaliknya Suma Hok terkejut bukan main.
"Trang-tranggg ...!" Dua kali sulingnya menangkis dan dia mendapat kenyataan bahwa puteri Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek itu memiliki sin-kang yang tak kalah kuat olehnya! Dia semakin kagum akan tetapi juga merasa penasasan sekali.
"Hong-moi ...!"
"Aku bukan apa-apamu, tak usah menyebut Hong-moi (dinda Hong), Hong-moi segala!" bentak Hui Hong sambil menyerang lagi dengan pedangnya.
Suma Hok meloncat ke belakang.
"Nona Ouwyang, apakah engkau percaya kepada omongan orang yang telah berkhianat kepada ayahmu ini! Dia menipumu! Dia tidak akan mengembalikan mustika itu. Mari kita bunuh si Jahanam itu!"
Akan tetapi mana pemuda itu tahu akan isi hati Ouwyang Hui Hong? Gadis ini khawatir kalau benar-benar benda pusaka itu terjatuh ke tangan Suma Hok, kemudian Suma Hok dan ayahnya, datuk Suma Koan datang melamarnya kepada ayahnya sambil mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir tentu ayahnya akan merasa sungkan untuk menolaknya! Daripada hal yang membuatnya khawatir itu benar terjadi, lebih baik benda langka itu tetap berada di tangan Pek I Mo-ko dan kelak ia akan dapat mencarinya dan merampasnya lagi. itulah sebabnya mengapa ia menyerang Suma Hok, sehingga seolah-olah ia setuju dengan ajakan bekas pembantu dan murid ayahnya itu.
Melihat gadis itu benar-benar menyerang Suma Hok dengan dahsyat, tentu saja Pek I Moko menjadi girang. Tak disangkanya bahwa "siasatnya" berhasil. Dia sendiri tidak tahu bahwa penyerangan gadis itu terhadap Suma Hok sama sekali bukan karena keberhasilan siasatnya, Diapun cepat menggerakkan pedang dan kipasnya membantu Ouwyang Hui Hong mengeroyok Suma Hok.
Tingkat kepandaian tiga orang ini dapat dikata seimbang, maka kini menghadapi dua orang, tentu saja Suma Hok menjadi terdesak hebat. Untung pada saat itu, Pek I Mo-ko segera teringat bahwa andaikata dia dan Hui Hong berhasil merobohkan Suma Hok, tetap saja dia harus kembali menghadapi Hui Hong yang tentu menuntut dikembalikannya akar itu! Teringat akan hal ini, juga karena khawatir para jagoan istana Liu-sung akan datang ke situ. Pek I Mo-ko pura-pura terhuyung ketika suling di tangan pemuda itu menangkis pedangnya. Akan tetapi dia bukan terhuyung begitu saja, bahkan sempat terjengkang lalu bergulingan sampai jauh, kemudian meloncat dan melarikan diri!"
Baik Hui Hong maupun Suma Hok melihat akal bulus Pek I Mo-ko ini.
"Keparat. Jangan lari!" bentak Hui Hong akan tetapi ia tidak sempat melakukan pengejaran karena Suma Hok memperhebat serangan sulingnya kepada gadis itu sambil tertawa-tawa. Suma Hok dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu merampas Akar Bunga Gurun Pasir atau menawan Hui Hong. Dan agaknya dia memilih yang kedua!
"Ha-ha, sekarang aku tahu mengapa engkau menyerangku. Engkau tidak ingin akar itu terjatuh ke tanganku, ya? Baik, ada cara lain yang akan memaksa engkau menerima pinanganku kelak. Kalau engkau sudah menjadi milikku, mustahil engkau akan berani menolak lamaran ayahku untuk menjadi isteriku, ha ha-ha!"
Wajah Hui Hong berubah merah sekali saking marahnya.
"Jahanam busuk, lebih baik aku mati dari pada menerima lamaran Iblis macam engkau! Dan jangan harap engkan akan dapat mengalahkan aku." Gadis itu memperhebat gerakan sepasang pedangnya. Suma Hok terkejut dan cepat dia memutar sulingnya. Namun, gerakan gadis itu sungguh luar biasa cepatnya sehingga nyaris lengan kirinya terbacok. Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan jatuh terjengkang! Kiranya pemuda yang amat cerdik ini tadi melihat contoh yang dilakukan Pek I Mo-ko dan meniru kelicikan orang itu. Begitu terjengkang, dia bergulingan dan Hui Hong yang kini sudah "naik darah" oleh ucapan penuda tadi, melilat kesempatan baik ini segera mengejar, menubruk untuk memberi tusukan tusukan maut dengan kedua pedangnya. Pada saat dia bengulingan. Suma Hok menggunakan tangan kiri dimasukkan ke saku dalam bajunya dan pada saat Hui Hong menubruk ke depan, tangan kirinya bergerak cepat ke arah muka gadis itu. Yang nampak hanya sinar merah dari sehelai saputangan merah yang dikebutkan oleh Suma Hok.
Hui Hong sama sekali tidak menyangka akan kecurangan ini. Apalagi melihat bahwa yang menyambar ke arah mukanya hanya ujung sehelai saputangan. Maka ia hanya miringkan kepalanya dan melanjutkan serangan pedangnya yang menusuk ke arah dada. Suma Hok menggulingkan tubuhnya dan tusukan itu luput. Suma Hok meloncat dan menjauh. Ketika Hui Hong hendak mengejar, tiba-tiba gadis itu terhuyung, memegangi kepalanya yang tiba-tiba menjadi pening, matanya gelap dan tahulah ia bahwa saputangan tadi mengandung bubuk pembius yang amat kuat.
"Jahanam kau ...!" Ia memaki, hendak menyerang sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ia terpelanting dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja Suma Hok tidak cepat menerimanya dalam rangkulan sambil tersenyum penuh kemenangan.
Ketika ia membuka kedua matanya, Hui Hong mendapatkan dirinya terlentang di dalam sebuah guha, bertilamkan rumput dan daun kering. Ia teringat, kaget dan mencoba untuk bangun. Akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia tahu bahwa ia dalam keadaan tertotok!
"Ha, engkau sudah sadar, sayang?"
Hui Hong menoleh ke kanan dan melihat Suma Hok duduk di dalam guha itu, tersenyum kepadanya.
"Jahanam, lepaskan totokan ini!" kata Hui Hong dan dengan mata terbelalak ia melihat ke arah pakaiannya. Ia merasa lega karena pakaiannya masih lengkap dan ia tahu bahwa pemuda itu belum melakukan hal yang baginya amat mengerikan, lebih hebat dari pada maut. Pemuda itu belum memperkosanya.
"Ha.ha, tenanglah, Hong-moi. Kalau aku mau, alangkah mudahnya tadi memperkosamu selagi engkau pingsan. Akan tetapi aku tidak mau. aku ingin engkau menyerahkan diri kepadaku dalam keadaan sadar dan suka rela."
"Cih! Tidak sudi! Bebaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati. Engkau jahanam yang curang, pengecut, engkau menggunakan racun pembius!"
"Ha-ha-ha, memang sudah lupakah engkau bahwa aku ini Tok-siauw-kwi (Iblis suling Beracun). Racun adalah permainanku sejak kecil, manis. Dan aku ingin menundukkanmu dalam keadaan utuh, tidak terluka, maka terpaksa aku menggunakan bubuk racun pembius. Ha-ha, sebentar lagi akan kubebaskan engkau agar dapat menyerah kepadaku dengan penuh kesadaran, ha-ha-ha!"
"Apa yang akan kaulakukan, keparat!" Wajah Hui Hong menjadi pucat dan matanya terbelalak. Pemuda itu menghampirinya, lalu mengikat kedua pergelangan tangan dan kakinya dengan tali kulit yang amat kuat, dan mengikatkan ujung tali-tali itu pada empat batang besi yang dia tanam kuat-kuat di lantai guha. Keadaan gadis itu sama sekali tidak berdaya. Kedua lengannya terpentang, juga kedua kakinya. Setelah merasa yakin bahwa kedua kaki dan tangan gadis itu tidak akan dapat lepas dari ikatan, Suma Hok membebaskan totokannya,
"Jahanam kau! Kalau engkau berani menodaiku, ayahku tentu akan menghancurkan kepalamu!" dalam ketakutan yang amat sangat namun ditahan-tahannya, Hui Hong berteriak.
Namun, Suma Hok tersenyum.
"Hong-moi, ayahmu adalah seorang datuk, seperti juga ayahku. Dia tidak akan marah, Apalagi kalau ayah datang sendiri meminang dan mengantarkan akar itu."
"Goblok kau! Akar itu dilarikan Pek I Moko! Cepat kejar dia!" teriak Hui Hong penuh harapan untuk mengalihkan perhatian Suma Hok.
"Ha.ha, kalau engkau lepas, sukar untuk menangkapmu kembali, Hong-moi. Kalau hanya Pek I Mo-ko yang lari, apa sih sukarnya mencari dia dan merampas akar itu? Andaikan aku tidak berhasil, aku akan minta bantuan ayah dan pasti kami berhasil. Nah, sekarang engkau harus menyerah kepadaku, Hong-moi, Terpaksa kulakukan ini agar kelak engkau tidak mungkin lagi dapat menolak pinanganku.
Hui Hong meronta-ronta, akan tetapi karena kedua kaki dan tangannya terpentang dan terikat kuat sekali, yang dapat ia lakukan hanyalah mengangkat-angkat tubuh di bagian perut dan dada saja!"
"Brettt! beetttt!" Dengan beberapa kali renggutan saja Suma Hok sudah berhasil merenggut lepas pakaian Hui Hong. Gadis itu demikian marah dan malunya sehingga hampir ia jatuh pingsan. Ia tidak melihat harapan untuk dapat lolos dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut ini. Ia akan diperkosa! Ia akan diperhina! Lebih baik mati dan jalan satu-satunya untuk dapat membunuh diri hanya menggigit lidahnya sendiri saja sampai putus!
Pada saat ia hendak melakukan bunuh diri yang mengerikan itu, tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dari luar guha. Suma Hok yang dengan sikap mengejek dan tenang sudah mulai membuka kancing bajunya, juga melihat berkelebatnya bayangan itu dan diapun maloncat berdiri dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda yang memandang kepadanya dengan mata mencorong bagaikan sepasang mata seekor naga!"
Hui Hong juga melihat pemuda yang baru masuk ke dalam guha itu, dan hampir ia berteriak saking girangnya akan tetapi juga malunya. Ia hampir telanjang bulat! Pemuda itu Kwa Bun Houw!"
Seperti telah kita ketahui, Bun Houw tak pernah menghentikan pencariannya terhadap Hui Hong yang melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. Dan diapun melihat rombongan Pek I Mo-ko dan duabelas orang jagoan Kerajaan Wei atau Tartar itu mendaki Bukit Merpati Hitam. Dia hanya mengintai. Yang ia cari adalah Hui Hong. Dari tempat pengintaiannya ia mengharapkan Hui Hong akan-muncul dan tentu saja dia siap membantu kalau sampai Hui Hong kemudian dikeroyok oleh Pek I Moko dan kawan-kawannya. Tapi yang muncul bukanlah Ouwyang Hui Hong, melainkan limabelas orang jagoan istana Kerajaan Liu-sun! Ketika terjadi pertempuran untuk memperebutkan akar itu, diapun diam saja dan tidak perduli. Dia tidak ingin mencampari urusan itu. Baginya, apa yang disebut Akar Bunga Gurun Pasir itu tidak ada artinya sama sekali. Dia hanya mencari Ouwyang Hui Hong, mengharapkan agar gadis itu dapat ditemukannya dalam keadaan selamat. Kemudian, dia, melihat Pek I Mo-ko menyelinap pergi meninggalkan pertempuran dan lenyap ke dalam sebuah guha.
Cepat Bun Houw melakukan pengejaran dan memasuki guha yang ternyata merupakan sebuah terowongan itu. Akan tetapi, terowongan itu mempunyai banyak cabang dia menyusup ke sana sini dengan bingung, kehilangan jejak Pek I Moko. Dia harus dapat membayangi Pek I Mo-ko, karena dia tahu bahwa yang dikejar oleh Hui Hong adalah orang ini, Dia akan menangkap Pek I Mo-ko dan akan memaksanya mengaku di mana adanya nona itu. Jangan-jangan Hui Hong telah berhasil mengejar Pek I Mo-ko dan celaka di tangan penjahat ini.
Setelah melalui lorong yang berliku-liku itu, akhirnya Bun Houw menemukan pintu sempit yang tadinya tertutup batu besar. Dia. memasukinya dan melakukan pencarian terus sampai tiba di luar, di samping puncak yang berlawanan dengan tempat terjadinya pertempuran. Akan tetepi di situ sunyi saja. Terlalu lama waktu dia pengunakan untuk berputar-putar di lorong tadi sehingga dia terlambat, tidak melihat perkelahian antara Pek I Mo-ko dan Hui Hong, juga tidak melihat munculnya Suma Hok yang berhasil menawan Hui Hong. Tiba-tiba dia mendengar caci maki dari dalam guha di ujung dinding batu kapur itu. Suara wanita! Suara Hui Hong! Cepat dia lari ke dalam guha itu dan hampir meledak rasa dadanya melihat betapa seorang pemuda tengah berusaha memperkosa Hui Hong yang sudah dibelenggu kaki tangannya dan dalam keadaan setengah telanjang!
Kini, dua orang muda itu saling berhadapan, berdiri dalam jarak lima meter, keduanya memiliki pandang mata yang tajam mencorong, keduanya saling pandang dengan penuh kemarahan, karena Suma Hok juga marah sekali bahwa keasyikan yang hampir dinikmatinya itu diganggu orang.
"Engkau calon bangkai yang sudah bosan hidup!" bentak Suma Hok dan tiba-tiba saja dia melompat ke depan, kedua tangannya membentuk cakar dan agaknya dia bendak meremukkan kepala dan mengoyak dada pengganggu itu. Serangannya dimaksudkan untuk membunuh, maka dia sudah menggerakkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Melihat pemuda tampan pesolek itu menerjangnya dengan terkaman yang merupakan serangan maut itu, Bun Houw segera mengerahkan tenaga pula dan mendorong dengan kedua telapak tangannya, menyambut dua tangan lawan.
"Dessssss ...!" Tubuh Suma Hok yang sedang meloncat itu terdorong ke belakang dan tentu dia akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dengan lincah dan ringan sekali. Keduanya terkejut. Suma Hok terkejut setengah mati karena sama sekali tidak mengira bahwa lawannya memiliki tenaga sin-kang sekuat itu. Bun Houw juga terkejut melihat betapa dorongannya yang amat kuat itu tidak dapat merobohkan lawan yang dapat berjungkir balik seperti gerakan seekor burung walet saja. Masing-masing mengetahui bahwa lawan merupakan orang yang lihai.
"Sobat," kata Suma Hok.
"Kulihat engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Tentu engkau telah mengenal namaku dan sebaiknya kalau engkau tidak mencampuri urusanku."
Bun Houw tersenyum dan di dalam hatinya merasa sayang sekali, karena dalam pandangannya, pemuda itu demikian tampan dan halus, juga cara bicaranya kali ini menunjukkan bahwa dia terpelajar, juga memiliki ilmu silat yang hebat. Akan tetapi kenapa hendak melakukan perbuatan yang demikian rendah dan hina terhadap Hui Hong?
"Sayang aku tidak mengenal siapa engkau, sobat, hanya tahu bahwa hampir saja engkau melakukan perbuatan yang amat jahat dan hina!"
"Hmm, tidak perlu mencampuri urusanku. Kalau engkau belum mengenalku, ketahuilah bahwa aku bernama Suma Hok berjuluk Tok-siauw-kwi dan aku putera tunggal dari Kui-Siauw Giam-ong Suma Koan. Nah, sebaiknya engkau cepat pergi dari pada mencari penyakit."
Dari gurunya, yaitu Tiauw Sun Ong bekas pangeran yang buta dan sakti itu, Bun Houw telah diberitahu tentang nama-nama para tokoh dan datuk besar dunia kang-ouw, maka mendengar nama ini, diam-diam dia terkejut. Pantas saja demikian lihai, tidak tahunya putera seorang di antara para datuk persilatan yang amat tersohor.
"Aku pernah mendengar nama Suma Hok sebagai seorang laki-laki jantan yang gagah, bukan seorang laki-laki tak mengenal susila dan seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau tukang memperkosa)!"
Marahlah Suma Hok. Wajahnya yang tampan berubah kemerahan dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke muka Bun Houw.
"Keparat, siapa engkau jangan mati tanpa meninggalkan nama!"
Nah, keluar sekarang belangnya, pikir Bun Houw. Lenyap sudah sikap halus dan kata-kata yang sopan, yang muncul kini ucapan orang yang biasa suka memandang rendah orang lain, seperti seorang penjahat tulen.
"Aku Kwa Bun Houw dan ...
"
Suma Hok yang curang mempengunakan saat Bun Houw sedang bicara itu untuk meniupkan jarum dari sulingnya. Namun, Bun Houw justeru memiliki kelebihan dalam menghadapi serangan mendadak seperti itu. Walaupun cuaca di dalam guha itu tidak begitu terang, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara luncuran jarum-jarun mengikuti suara tiupun pada suling itu. Jangankan hanya remang-remang, biar gelap gulita atau dia memejamkan mata sekalipun, pendengarannya akan mampu menangkap serangannya itu. Dia dilatih oleh seorang guru yang buta, dan dia-pun dibiasakan untuk berlatih dengan mata terpejam sehingga tumbuh kepekaan dan ketajaman luar biara pada bagian indra yang lain. Dengan mudah, Bun Houw meloncat ke kiri dan jarum-jarum itu lewat, tak sebatang pun mengenai tubuhnya, bahkan kini tongkat butut di tangannya menyambar cepat menotok ke arah tiga jalan darah di dada dan kedua pundak Suma Hok. Gerakan ini amat cepatnya sehingga nyaris pundak kiri Suma Hok tertotok walaupun pemuda ini sudah berusaha untuk menangkis. Terpaksa dia melempar tubuhnya ke belakang, lalu membalas dengan serangan sulingnya yang ujungnya beracun, Bun Houw dapat mengelak dan memutar tongkatnya. Terjadilah pertandingan yang dahsyat antara suling dan tongkat butut. Akan tetapi lewat belasan jurus saja Suma Hok terdesak hebat. Gerakan tongkat lawan itu terlampau cepat baginya, Apalagi dalam keadaan remang-remang begitu Suma Hok merasa tidak leluasa memainkan sulingnya. Dia semakin kaget dan penasaran, akan tetapi diapun tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia yang akan rugi. Setelah berhasil menghalau sambaran tongkat ke arah kepalanya dengan tangkisan suling yang kembali membuat seluruh lengannya sampai ke pundak tergetar hebat, Suma Hok meloncat keluar dari dalam guha.
"Keluarlah dan kita bertanding di luar," teriaknya.
Akan tetapi Kwa Bun Houw tidak memperdulikannya lagi. Cepat dia meloncat ke dalam guha di mana Hui Hong masih rebah terlentang dengan kaki tangan terbelenggu dan setengah telanjang! Dengan memalingkan mukanya, Bun Houw menggerakkan tangannya ke arah belenggu-belenggu dari tali kulit yang mengikat kaki tangan gadis itu. Putuslah semua tali itu dan Bun Houw menanggalkan jubahnya, menjatuhkannya di lantai, kemudian sekali meloncat diapun sudah keluar dari dalam gua, tanpa menengok sedikitpun ke arah gadis itu!
Hui Hong dapat melihat semua ini dan kedua matanya menjadi basah. Di dalam hatinya ia berterima kasih sekali kepada pemuda itu. Bun Houw bukan saja telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya maut dan penghinaan, akan tetapi yang membuat ia merasa terharu sekali adalah sikap Bun Houw ketika membebaskannya dari belenggu tadi. Pemuda itu membuang muka, sedikitpun tidak pernah melirik, apalagi melihat kepadanya. Kalau hal itu dilakukan Bun Houw, betapa akan malunya dan agaknya selamanya ia tidak akan kuasa untuk dapat menentang pandang mata Bun Houw lagi. Kini ia cepat mengenakan kembali pakaiannya! Untung bahwa renggutan tangan Suma Hok tadi hanya membuat kancing-kancing bajunya tanggal saja, dan sedikit yang robek sehingga pakaian itu masih dapat menutupi tubuhnya, dan setelah ia menutupinya dengan jubah yang ditinggalkan Bun Houw, maka keadaannya menjadi sopan lagi.
Ia menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula ke dalam guha itu oleh Suma Hok, dan dengan hati dipenuhi amarah ia meloncat keluar dari dalam guha. Akan tetapi, yang didapatkannya dua orang yang berkelahi di luar guha, yang tadi sudah didengarnya, bukanlah Bun Houw melawan Suma Hok, melainkan Bun Houw melawan seorang pemuda tinggi besar dan gagah yang menggunakan pedang dengan gerakan yang cepat bukan main. Hui Hong terkejut sekali karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya. Apalagi ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu yang bukan lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Ouwyang, Toan!"
Perebutan Mustika Akar Bunga Gurun Pasir
OUWYANG TOAN adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, anak tunggal yang lahir dari isterinya yang pertama, yang telah lama meninggal dunia. Karena itu, bagi Hui Hong. Ouwyang Toan adalah seorang kakak tiri, seayah berlainan ibu. Akan tetapi, pemuda berusia duapuluh lima tahun itu tahu benar bahwa sesungguhnya, gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu sama sekali bukan adik tirinya karena Hui Hong adalah anak ibu tirinya bersama pria lain. Hanya ayahnya dan Ouwyang Toan yang tahu selain ibu tirinya tentu saja, bahwa ketika ibu tirinya menjadi isteri ayahnya. Ibu tirinya telah mengandung.
Ouwyang Toan disuruh ayahnya menyusul Hui Hong yang diberi tugas mencari Pek I Mo-ko dan merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir setelah terdengar berita bahwa benda mustika itu kini dijadikan rebutan. Ouwyang Toan juga mendengar bahwa Pek I Mo-ko dan rombongannya pergi ke Bukit Merpati Hitam, maka diapun bengegas menuju ke puncak bukit itu. diapun melihat pertempuran hebat antara belasan orang jagoan istana Kerajaan Wei melawan para Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung. Akan tetapi dia tidak melihat Pek I Mo-ko, juga tidak melihat adiknya. Maka, dia meninggalkan tempat pertempuran itu dan mencari-cari di sekitar puncak. Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda tampan sedang lari. Dihadangnya pemuda itu ketika mereka berhadapan, keduanya terkejut karena mereka saling mengenal.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, kiranya Suma Hok! Agaknya engkau juga ingin ikut memperebutkan akar bunga milik ayah itu!" Ouwyang Toan bertanya dengan suara menegur dan mengejek.
"Ouwyang Toan, jangan sembarangan menuduh! Untuk apa akar itu bagiku? Aku sudah cukup kuat, tidak membutuhkan obat kuat! Kebetulan aku bertemu denganmu di sini. Baru saja aku melihat adikmu!"
"Hui Hong? Di mana ia?"
Suma Hok tersenyum mengejek.
"Huh. sekarang membutuhkan bantuanku, bukan? Bah. cepat-cepatlah! Atau engkau akan terlambat. Adikmu terjatuh ke tangan seorang jai-hwa-cat yang akan memperkosanya di sebuah guha itu di sana, guha paling kiri yang di atasnya terdapat batu berhentuk tengkorak besar!" Setelah berkata demikian, Suma Hok lalu melanjutkan larinya meninggalkan tempat itu.
Tentu saja Ouwyang Toan terkejut bukan-main. Namun dia masih regu ragu. Dia mengenal siapa Suma Hok, seorang yang cabul dan licik, walaupun kepandaiannya tinggi. Akan tetapi, betapapun juga, keterangan itu membuat hatinya terbakar. Bagaimana kalau benar adiknya akan diperkosa orang? Diapun cepat lari menuju ke guha yang ditunjukkan Suma Hok itu dan pada saat dia tiba di depan guha itu, Bun Houw meloncat keluar dari dalam guha. Melihat pemuda yang tidak dikenalnya ini, yang tidak mengenakan jubah luar dalam udara dingin itu, hal yang tidak wajar karena setiap orang tentu mengenakan jubah luar, diapun yakin bahwa tentu ini si jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang dimaksudkan Suma Hok.
"Di mana Hui Hong?" Diapun bertanya dengan hati yang panas.
Bun Houw tidak tahu siapa orang ini. Tentu saja timbul kecurigaannya ketika orang itu menyebut nama Hui Hong begitu saja. Yang Jelas, pemuda tinggi besar ini bukanlah pemuda yang tadi hendak memperkosa Hui Hong, karena yang tadi menggunakan senjata suling dan tubuhnya tidak setinggi yang ini. Mungkin pemuda pemerkosa tadi lari dan kini muncul temannya yang lebih lihai.
"Ia di dalam." jawabnya singkat pula.
Mendengar jawaban ini, Ouwyang Toan tidak ragu lagi. Tentu ini jai-hwa-cat itu! Akan tetapi dia harus melihat dulu keadaan adiknya di dalam guna, maka tanpa banyak cakap legi, diapun melengketi hendak memasuki guha. Akan tetapi melihat ini, Bun Houw juga melangkah menghadangnya.
"Tidak boleh masuki," katanya singkat.
Marahlah Ouwyang Toan. Tidak perlu diragukan lagi, tentu ini jahanam itu, pikirnya. Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat dibarengi bunyi berdesing ketika dia sudah mencabut pedangnya dari pinggang dan langsung saja ujung pedang itu meluncur ke arah dada Bun Houw! Bun Houw kagum bukan main cepatnya gerakan orang ini dan diapun semakin yakin bahwa tentu pemuda ini merupakan teman si pemerkosa tadi. Diapun tidak berani main-main. Dia mengerahkan tenaganya pada tongkatnya dan menangkis.
"Trangggg ...!" Keduanya undur selangkah dan saling pandang. Ouwyang Toan terkejut dan tahulah dia mengapa Suma Hok tadi tidak mau mencampuri. Kiranya jai-hwa-cat ini lihai dan tongkatnya itu pasti menyembunyikan logam keras, sedangkan tenaga orang ini juga kuat sekali. Maka dia memutar pedangnya dan cepat menyerang bertubi-tubi. Ouwyang Toan adalah putera tunggal Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, datuk besar ahli pedang, dan pemuda tinggi besar itu sudah mewarisi ilmu pedang ayahnya, maka permainan pedangnya hebat dan cepat bukan main, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Namun Bun Houw menghadapinya dengan tenang. Dia sendiri adalah seorang ahli pedang, bahkan permainan pedangnya merupakan Ilmu pedang kilat yang amat cepat. Pedang yang tersembunyi di dalam tongkatnya pun adalah pedang yang disebut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), maka ketika dia balas menyerang, Ouwyang Toan terdesak mundur dan pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main. Ayahnya dikenal sebagai Pedang Tanpa Bayangan, membuktikan betapa ilmu pedang ayahnya memiliki gerakan yang amat cepat seolah-olah tidak nampak bayangannya. Namun lawannya ini memiliki gerakan tongkat yang tidak kalah cepatnya sehingga tadi, selama belasan jurus saja ujung tongkat hampir berhasil menotok dadanya! Dia memutar pedangnya dan pertandingan itu berlangsung semakin seru.
Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita,
"Toan-ko ...! Hong-ko! Tahan senjata, jangan berkelahi!"
Mendengar suara Hui Hong, Ouwyang Toan dan Bun Houw menghentikan gerakan senjata mereka dan keduanya melompat ke belakang, terbelalak memandang heran mengapa Hui Hong menyuruh mereka berhenti.
Melihat dua orang pemuda itu masih marah dan setiap saat dapat saling serang lagi, tahulah Hui Hong bahwa tentu telah timbul kesalahpahaman antara mereka, maka iapun menghampiri kakaknya dan cepat memperkenalkan.
"Houw-ko, ini adalah kakakku, Ouwyang Toan. Dan Toan-ko, dia adalah Kwa Bun Houw seorang sahabat yang tadi baru saja menyelamatkan aku dari bencana dan maut!"
Kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar ucapan Hui Hong itu, apalagi Ouwyang Toan! Dia adalah seorang pemuda yang memiliki watak angkuh, keras dan merasa diri tidak pernah salah. Dan baru saja dia hampir membunuh seorang yang bukan saja tidak mengganggu adiknya, bahkan menjadi penyelamat adiknya. Dia memandang adiknya, matanya yang tajam melihat betapa pakaian adiknya tidak beres, dan adiknya mengenakan jubah pria, sedangkan pemuda yang baru saja diserangnya itupun tidak mengenakan jubah. Alisnya berkerut dan pandang matanya kembali dibayangi keraguan dan kecurigaan.
"Adik Hong, apa artinya semua ini? Kalan ia menolongmu, kenapa ia lari keluar guha dan kenapa pula engkau memakai jubahnya?" Dia yakin bahwa jubah yang dipakai adiknya itu tentu milik pria ini.
Hui Hong tentu saja mengenal watak kakaknya. Kakaknya ini teramat sayang kepadanya, bahkan memanjakannya, dan kakaknya ini keras hati dan juga cerdik dan angkuh. Hui Hong tersenyum, menoleh kepada Bun Houw dan berkata sambil tersenyum.
"Houw-koko, kaulihat. Kakakku ini cerdik sekali, bukan? Dia tahu saja bahwa jubah ini milikmu!" Ketika Hui Hong memandang kakaknya dan melihat Ouwyang Toan mengerutkan alis dan memandangnya dengan keras, senyumnya melebar.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 09
"Tenanglah, toako, dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Di tempat ini aku sudah beruntung dapat berhadapan dengan Pek I Mo-ko untuk merampas akar yang kuyakin tentu telah berada padanya. Kami bertanding mati-matian dan tadinya aku yakin sudah mulai dapat mendesaknya. Tiba-tiba muncul si keparat jahanam curang busuk itu! Dia membantu Pek I Mo-ko!"
"Siapa dia?" Ouwyang Toan berseru, suaranya mengandung penuh ancaman.
Hmm, aku akan menjaga jangan sampai bermusuhan dengan kakak beradik ini, pikir Bun Houw. Mengerikan! Mereka itu kelihatan begitu galak dan sadis!
"Siapalagi? Tentu saja Si Suling Beracun Suma Hok itu."
"Keparat dia!"
"Ketika kami berkelahi, Pek I Moko melarikan diri. Si jahanam Suma Hok tetap menyerangku dan akupun tidak akan kalah kalau saja dia tidak bertindak curang, mengebutkan kain yang mengandung debu pembius sehingga aku ditawannya. Ia membawaku ke guha ini dan nyaris aku bunuh diri menggigit putus lidahku sendiri dari pada diperkosa, ketika tiba-tiba muncul Houw-koko ini yang segera menyerangnya. Mereka bertanding dan Suma Hok yang licik dan curang pengecut itu melarikan diri. Houw-koko melepaskan ikatan kaki tanganku dan meninggalkan jubahnya untukku, lalu mengejar keluar. Ketika aku mengejarnya, ternyata dia malah berkelahi denganmu dan ... untung aku ...
"
"Jahanam suma Hok!" Ouwyang Toan memotong keterangan adiknya dan diapun sudah meloncat pergi dan lari cepat meninggalkan tempat itu. Bun Houw memandang dengan bengong.
"Agaknya kakakmu akan mengejar dan mencari Suma Hok," katanya.
Hui Hong tertawa kecil.
"Kakakku Ouw-yang Toan memang keras hati dan galak sekali. Mana mungkin dia dapat menangkap Suma Hok yang begitu licik? Tentu jahanam itu sudah lari jauh. Lebih baik mari kita kejar Pek I Mo-ko. Engkau mau membantuku, bukan? Aku harus merampas kembali akar itu dari tangannya."
"Tapi kakakmu ...? Apakah tidak lebih baik kita menunggu dia dulu? Atau membantunya menghadapi Suma Hok?"
"Tidak, koko."
Entah mengapa, hati Bun Houw berdebar girang mendengar sebutan koko (kakak atau kakanda) yang memasuki telinganya dengan merdu dan mesra itu.
"Kalau dia kembali, pasti dia melarang kita melakukan perjalanan bersama. Dia lebih galak dan keras dari pada ayah sendiri. Dan aku juga tidak mau terlambat. Kalau sampai akar itu didahului Suma Hok yang mendapatkannya celakalah aku!"
"Ehh? Kenapa begitu?" Bun Houw bertanya heran.
Hui Hong membanting kakinya tak sabar.
"Aih, kalau kita banyak mengobrol saja, berarti membuang waktu dan kalau tidak kakakku keburu datang lagi, juga tentu aku kedahuluan Suma Hok! Marilah, Houw-koko, apakah engkau tidak suka lagi membantu aku?" Hui Hong cemberut, yang dalam pandangan Bun Houw menjadi semakin manis saja.
"Kalau tidak mau, katakan saja terus terang dan aku akan pergi sendiri mengejar Pek I Mo-ko. Kalau engkau mau menunggu kakakku di sini, silakan!" Dan Hui Hong meloncat pergi, benar cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Nona Ouwyang Hui Hong ...!" Bun Houw memanggil sambil cepat mengejar. Akan tetapi gadis itu bahkan mempercepat larinya sehingga Bun Houw juga harus mengerahkan tenaga untuk berlari lebih cepat.
"Nona Ouwyang, tunggu aku ...!" Teriaknya dan teriakan ini dia ulangi sampai lima kali, akan tetapi Hui Hong berlari terus, dan panggilan yang terakhir dijawabnya tanpa menoleh.
"Tuan Kwa Bun Houw, tak usah engkau mengejarku!"
Jawaban ini membuat Bun Houw mengangkat kedua alisnya ke atas karena matanya dilebarkan saking herannya. Mengapa gadis itu tiba-tiba saja menyebut dia tuan? Padahal tadi telah menyebutnya koko dengan demikian mesranya! Dan diapun teringat. Dasar tolol kau! Dia mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan terbang dia mengejar, sekali ini dia berseru dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring melengking.
"Hoog-moi ...! Adinda Hui Hong... kau tunggulah aku ...!"
Dan benar saja. Gadis itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Bun Houw tiba di depannya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan keduanya berkeringat, keduanya agak terengah-engah karena tadi mereka telah mengerahkan seluruh tenaga untuk berlari cepat dan tahu-tahu kini mereka telah tiba di bawah bukit!"
"Hong-moi, kenapa kaupanggil aku tuan!"
'Hemm, cobalah bercermin! Kau sendiri memanggil aku nona!"
Bun Houw tertawa. Hui Hong juga tertawa.
"Houw-koko, aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu di guha tadi. Nah sekarang terimalah ucapan terima kasihku."
Gadis aneh! Berterima kasih sesudah kejar-kejaran dan marah-marahan.
"Sudahlah, Hong-moi. Di antara kita, mana ada yang disebut tolong-tolongan segala? Kita sudah menjadi sahabat baik, sudah seharusnya kita saling bantu, bukan!"
"Benarkah? Engkau selamanya mau membantuku? Selamanya sampai aku ... sampai rambut kepalaku ini menjadi putih semua?"
Wah, makin aneh saja gadis ini. Saling bantu antara sahabat memang sudah sewajarnya. Akan tetapi mana menuntut saling bantu sampai mereka menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek? Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda itu berseri dan kulit mukanya menjadi kemerahan. Dia mengangguk serius.
"Tentu! Akan kubantu engkau sampai selama hidupku."
Agaknya jawaban ini memuaskan hati Hui Hong.
"Mari kita lanjutkan perjalanan mencari Pek I Mo-ko dan nanti kuceritakan mengapa aku tidak ingin akar itu didapatkan lebih dulu oleh Suma Hok." Setelah berkata demikian, tanpa sungkan tanpa ragu, seperti mereka masih kanak-kanak saja, Hui Hong menggunakan tangan kanan memegang tangan kiri Bun Houw dan menggandengnya sambil melangkah melanjutkan perjalanan.
Tangan kiri Bun Houw merasakan kulit tangan gadis itu yang halus dan hangat, dan jantungnya berdebar tidak karuan. Saking tegangnya dan karena tidak ingin disangka yang bukan-bukan, maka dia tidak berani menggerakkan jari tangan kirinya yang digandeng itu. bahkan bukan hanya jari tangan, seluruh lengan, kirinya dia biarkan tengantung dan terkulai mati!"
Tiba-tiba Hui Hong menahan langkahnya, melepaskan tangannya yang memegang tangan Bun Houw, mengangkat muka memandangnya dengan alis berkerut.
"Ihhhh ...!"
"Ehh? Kenapa?" Bun Houw kaget melihat sikap gadis itu seolah tangannya dipagut ular.
"Tanganmu itu ... seperti tangan mayat saja! Engkau kenapa sih, Houw-ko? Apakah engkau sakit? Tanganmu dingin dan gemetar dan seperti tidak hidup lagi!"
Tentu saja Bun Houw menjadi gugup karena pertanyaan itu seperti serangan yang langsung mengenai jantungnya.
"Tidak ... eh, aku ... hanya ... hanya ...
" Dia menggagap.
"Hanya apa? Engkau begini gugup!"
Bun Houw memang berwatak jujur, walaupun tidak dapat dikata bodoh. Dia merasa sukar kalau harus berbohong, maka dalam keadaan terhimpit itu, dia mengaku terus terang.
"Ketika tanganmu menggandeng tanganku, aku ... ah, entahlah Hong-moi. Aku merasa takut akan kausangka yang bukan-bukan kalau aku menggerakkan tanganku."
"Apa itu yang bukan-bukan?"
"Misalnya engkau menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar ...
"
"Ihhh, engkau ini aneh sekali. Belum pernah aku bertemu laki-laki seaneh engkau."
"Dan engkau lebih aneh lagi, Hong-moi, biarpun aku belum pernah bergaul dengan banyak wanita seperti kita sekarang ini."
"Hemmm, bohongnya! Dan engkau bahkan sudah pernah bertunangan!"
Bun Houw mengerutkan alirnya.
"Hong-moi, harap jangan sebut-sebut lagi hal itu Sudah kuceritakan bahwa Cia Ling Ay menjadi sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. Ia seperti adik saja bagiku. Kemudian bubungan perjodohan yang diikat oleh orang tua kami itu dibikin putus setelah orang tuaku meninggal dunia, dan ia dinikahkan dengan orang lain. Tidak ada apa-apalagi antara kami, tidak ada apa-apalagi ...
" Bun Houw merasa sedih sekali.
Bukan sedih karena putusnya hubungan jodoh itu, melainkan sedih teringat dan membayangkan nasib Ling Ay yang demikian buruk, dijodohkan dengan seorang suami seperti putera pembesar pemberontak itu. Bahkan tidak hanya sampai sekian nasib buruk yang menimpa diri bekas tunangannya yang juga merupakan sahabatnya terbaik di waktu mereka masih remaja itu. Ketika ia gagal memperoleh jejak Hui Hong, dia merasa tidak enak karena dia telah meninggalkan keluarga Cia Kun Ti dengan janji bahwa dia akan mengantar dan mengawal mereka untuk pindah ke tempat aman di dusun. Maka, sebelum melanjutkan pencariannya terhadap Hiu Hong, dia kembali dulu ke Nan-ping untuk memberitaku kepada keluarga Cia agar mereka itu berangkat lebih dulu dan dia akan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, ketika tiba di rumah keluarga Cia, dia terkejut setengah mari mendengar bahwa Cia Kun Ti dan isterinya tewas terbunuh, sedangkan Ling Ay sendiri lenyap diculik penjahat!
Dengan marah dan khawatir akan keselamatan Ling Ay, Bun Houw lalu berusaha mencari jejak penculik Ling Ay. Dia lalu menyelidiki dan menemukan jejaknya, terus melakukan pengejaran. Akhirnya dia tiba di kuil kosong di mana Ling Ay hampir diperkosa penculiknya. Akan tetapi, ketika Bun Houw tiba di situ, dia tidak menemukan Ling Ay dan penculiknya hanya menemukan sebuah tusuk sanggul perak di lantai. Dipungutnya tusuk sanggul itu. Dia tidak tahu apakah itu tusuk sanggul milik Ling Ay, akan tetapi dia menyimpannya dalam saku bajunya.
Bun Houw melakukan penyelidikan terus dan akhirnya dia mendapat keterangan dari penduduk dusun bahwa ada wanita muda yang menurut keterangan itu tentu Ling Ay adanya, melakukan perjalanan bersama seorang wanita lain yang cantik sekali. Mendengar bahwa Ling Ay nampak akrab dengan wanita itu, hatinya merasa lega. Ayah ibu Ling Ay telah tewas, akan tetapi Ling Ay masih dalam keadaan selamat. Dia lebih mengkhawatirkan Hui Hong yang mengejar Pek I Mo-ko, penjahat yang lihai itu. Maka diapun melanjutkan usahanya mencari jejak Hui Hong. Ketika dia mendapat jejak itu menuju ke utara, diapun cepat melakukan perjalanan ke utara. Kebetulan sekali dia melihat rombongan Pek I Mo-ko dan membayanginya. Demikianiah, ketika percakapannya dengan Hui Hong menyangkut nama Ling Ay, dia teringat lagi kepada bekas tunangannya itu merasa bersedih mengingat akan nasibnya yang amat buruk.
"Tapi engkau kelihatan seperti orang berduka. Houw-ko. Ada apakah?"
Bun Houw teringat babwa gadis ini pernah menggodanya dan mengatakan bahwa dia masih mencinta Ling Ay. Oleh karena itu, diapun tidak berani berterus terang.
"Aku tidak berduka, Hong-moi, hanya kecewa karena bukan saja engkau tidak berhasil merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, bahkan engkau nyaris celaka di tangan Suma Hok yang jahat itu."
Ucapan itu seperti menggugah Hui Hong dari tidurnya. Ia menyambar tangan Bun Houw dan menariknya, diajak lari cepat.
"Celaka aku sampai lupa. Mari kita kejar Pek I Mo-ko sebelum jahanam itu lari jauh!"
Bun Houw mengikuti saja, bahkan dia menunjukkan ke arah mana larinya Suma Hok yang tadi dikejar pula oleh Ouwyang Toan. Hui Hong mengejar ke sana, karena ia tahu bahwa Suma Hok bekerja nama dengan Pek I Mo-ko, maka mencari Suma Hok tentu akan dapat bertemu pula dengan Pek I Mo-ko.
Dugaan Hui Hong memang benar. Ketika tadi Pek I Mo-ko melihat betapa Suma Hok telah bertanding melawan Hui Hong, dia lalu mempengunakan akal dan berhasil melarikan diri, membiarkan Suma Hok yang melewan gadis itu. Dia sendiri cepat lari ke arah di mana dia dan rombongannya meninggalkan kuda, dengan maksud untuk melepas panah api memberi isarat kepada kawan-kawannya dan melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi baru saja dia tiba di situ, dari balik semak belukar dan pohon-pohon, berlompatan keluar banyak orang dan Pek I Moko terbelalak memandang kepada mereka. Kiranya mereka adalah tujuh orang tokoh dunia persilatan yang rata-rata memiliki Ilmu kepandaian silat yang sudah tinggi tingkatnya! Biarpun dia tidak takut melawan mereka karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaianaya masih lebih tinggi dari mereka, namun munculnya orang-orang ini jelas hendak memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir yang kini berada di saku jubahnya sebelah dalam. Ini berarti bahwa perjalanannya menyerahkan mustika itu kepada Kaisar Wei Ta Oag tidak akan lancar dan selalu akan terancam bahaya. Apalagi kalau muncul empat orang yang amat ditakutinya, yaitu Empat Datuk Besar! Di antara mereka adalah bekas majikan dan gurunya sendiri, pemilik aseli dari mustika yang dicurinya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek Si Pedang Tanpa Bayangan! Puteri datuk itu, Ouwyang Hui Hong telah muncul mengejar-ngejarnya. Juga putera dari datuk besar ke dua yang ditakuti telah muncul, yaitu Suma Hok. Untung bahwa ayah pemuda itu, datuk besar Kui-siauw Giam-ong Suma Koan (Raja Maut Suling Setan) tidak ikut muncul! Masih ada dua orang datuk besar lagi yang amat ditakutinya, keduanya wanita namun kelihaian mereka tidak kalah dibandingkan dua orang datuk besar yang pria itu. Kalau dia bertemu dengan seorang saja dari mereka, berarti celaka baginya dan akan sukarlah baginya mempertahankan mustika yang sudah berada di saku jubahnya, dan berarti lenyap pula harapannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di Kerajaan Wei di utara.
Dengan lagak angkuh dia menghadapi tujuh orang itu, mengangkat dada lalu bertanya dengan suara menantang,
"Kalian menghadang perjalananku mempunyai maksud apakah? Aku Pek I Mo-ko tidak mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan kalian. Oleh karena itu, mengingat akan hubungan kita sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, harap kalian mundur dan biarlah lain kali kalau ada waktu, aku Pek I Mo-ko Ciong Kui Le akan berkunjung kepada kalian sambil membawa oleh-oleh!"
"Ha-ha-ha, Moko. Tidak perlu lagi berpnra-pura bodoh dan bersih!" kata seorang pria hitam penuh beewok berusia limapuluhan tahun. Dia adalah Yang-ce Hek-kwi (Iblis Hitam Sungai Yang-ce), seorang kepala bajak sungai yang amat ditakuti karena selain berkepandaian tinggi, dia juga mempunyai banyak-anak buah dan wataknya kejam sekali.
"Kami-semua sudah tahu bahwa engkau telah mencuri mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Nah, mengingat bahwa kita adalah orang-orang kang-ouw yang setia kawan, maka kaukeluarkan mustika itu, kita bagi rata agar masing-masing dari kita dapat memperoleh manfaat dari mustika itu. Kami pasti tidak akan melupakan kebaikanmu ini!"
Enam orang yang lain mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan usul atau tuntutan Iblis Hitam itu. Akan tetapi Pek I Mo-ko mengerutkan alisnya.
"Kalian semua adalah orang-orang tolol yang rakus. Aku tidak mempunyai akar itu!" Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi seorang dari mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat tertawa. Suara ketawanya seperti ringkik kuda dan mengandung getaran khi-kang kuat.
"Hi-hi-hihhh e Kalau benar engkau tidak membawa mustika itu, biarkan kami menggeledah pakaianmu Moko. Baru kami percaya!"
"Pek-bio-go (Buaya Muka Putih), berani engkau menghinaku? Kalau engkau sekarang sudah begitu lihai, hendak kuilhat apakah engkau berani menggeledah tubuhku. Lakukanlah kalau engkau bosan hidup!" bentak Pek I Mo-ko marah.
"Hi-hi-hiehhh, Ingat, kami bertujuh, Moko. Bukan aku sendiri yang membutuhkan mustika itu. Kami hanya minta bagian yang adil darimu. Kalau engkau berkeras, terpaksa kami bertujuh akan menggeledahmu. Kami sudah bersepakat untuk merampas mustika itu. dan kami bagi menjadi tujuh!"
Kini marahlah Pek I Mo-ko. Kedua tangannya bergerak dan tangan kanannya sudah memegang pedang, tangan kirinya memegang kipas mautnya.
"Bagus, kalian semua sudah bosan hidup!" bentaknya dan diapun indah menerjang ke depan dengan marah. Tujuh orang itu maklum akan kelihaiannya, maka mereka pun berloncatan ke belakang sambil mencabut senjata masing-masing dan mengeroyok Pek I Moko.
Tujuh orang kang-ouw ini memang sudah bersepakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa yang memperebutkan mustika itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar itu biasanya bertindak sendiri-sendiri, bahkan saling bertentangan. Maka, kalau mereka bertujuh dapat bersatu dengan janji kelak hasilnya akan dibagi rata, yaitu akar itu akan mereka bagi rata, tentu mereka tidak takut menghadapi lawan yang lebih lihai.
Pertempuran antara Pek I Mo-ko yang dikeroyok tujuh orang itu berlangsung seru dan mati-matian. Melihat betapa Pek I Mo-ko tidak mau digeledah, tujuh orang kang-ouw itu makin bersemangat. Mereka yakin bahwa benda mustika yang diperebutkan tentu ada pada diri kakek rambut putih dan pakaian pulih itu, maka mereka mengepung dan mendesak dengan ganas, Pek I Mo-ko yang marah juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun, karena dikeroyok oleh tujuh orang yang tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkatnya, dan karena tnjuh orang itu menyerang penuh semangat, setelah lewat empatpuluh jurus, Pek I Mo-ko terdesak sekali.
Bahkan tiga kali bajunya robek terkena senjata pengeroyok. Robekan yang ke tiga tepat mengenai saku jubah di sebelah kanan di mana tersimpan benda mustika itu. Dia terkejut dan merasa tidak perlu menyembunyikan lagi. Karena khawatir Akar Bunga Gurun Pasir itu akan terjatuh dari saku bajunya, dia mengeluarkannya dan menggigit kantung sutera kuning terisi mustika itu sambil terus mengamuk dengan pedang dan sulingnya. Sementara itu, tujuh orang kang-ouw yang mengeroyok, begitu melihat Pek I Mo-ko mengeluarkan sebuah kantong sutera dan menggigitnya, semangat mereka bertambah besar. Kini mereka yakin bahwa kantung itu terisi akar yang mereka perebutkan!"
Pada saat itu, sepasang mata mengintai dari balik semak belukar yang tebal dan penuh duri. Sudah sejak tadi orang ini mengintai. Dia seorang laki-laki berusia tigapuluk tahun lebih, bertubuh kekar dan terbakar sinar matahari. Akan tetapi dia bukan seorang di antara para tokoh kang-ouw yang memperebutkan mustika. Sama sekali bukan! Dia hanya seorang pemburu binatang hutan dan biarpun dia bertenaga besar, namun tidak ada artinya, bila dibandingkan dengan para tokoh kang-ouw. Maka, ketika dia dalam tempat pengintaiannya menyaksikan perkelahian antara para tokoh kang-ouw, dia memandang ketakutan.
Orang ini bernama So Kian, pemburu yang tinggal di dusun tak jauh dari puncak Bukit Merpati Hitam bersama isterinya. Dia dan isterinya hidup sederhana dari penghasilannya sebagai pemburu dan juga bertani di kebun belakang rumah mereka.
Ketika pada pagi hari itu So Kian sedang mengintai kijang atau binatang apa saja yang dapat dijadikan uang untuk biaya hidupnya, dia melihat rombongan tujuh orang kang-ouw itu. Dia menjadi curiga, juga takut, lalu bersembunyi di dalam semak belukar itu. Dan dia kini menjadi saksi pertempuran hebat yang membuat tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa kalau dia memperlihatkan diri, nyawanya tentu takkan dapat tertolong lagi! Maka, diapun bersembunyi dan tidak berani berkutik. Dia juga tidak tahu mengapa orang-orang yang berilmu tinggi itu bertempur mati-matian.
Kini Pek I Mo-ko terdesak dan berada dalam bahaya! Dia bahkan tidak sempat melepas panah api untuk memberitahn kepada para jagoan Kerajaan Wei yang menjadi rombongannya dan yang ia tinggalkan ketika pasukan jagoan liu bertanding melawan para jagoan dari Kaisar Cang Bu Kerajaan Liu-sung di selatan.
Pada saat yang amat berbahaya baginya itu. nampak lagi beberapa orang bermunculan. Mereka adalah orang-orang dari partai-partai persilatan yang juga bertualang untuk memperebutkan benda mustika itu. Jumlah para pendatang ini tidak kurang dari limabelas orang, terdiri dari beberapa rombongan yang agaknya tertarik oleh perkelahian itu. Akan tetapi, di samping rasa kagetnya, Pek I Mo-ko juga girang ketika melihat Suma Hok berada di antara orang-orang yang datang itu dan pemuda tampan putera datuk besar majikan Bukit Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis) itu sendirian saja, Pek I Mo-ko hanya melihat satu jalan untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkan benda mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Kalan akar itu tidak ada lagi padanya, tentu tidak akan ada orang yang menyerangnya lagi. Dan akar itu akan aman kalau berada di tangan Suma Hok. pemuda yang dikenalnya, dan yang juga dapat diharapkan bisa bekerja sama dengannya itu. Tidak ada pilihan lain.
"Suma Kongcu, simpanlah benda ini untuk-ku!" teriaknya dan diapun melemparkan kantung sutera ke atas, ke arah Suma Hok. Pemuda yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Suling Beracun) itu cerdik sekali. Dia segera mengerti apa benda yang dilontarkan itu, maka sekali dia mengenjot tubuh, dia melayang ke atas untuk menangkap benda yang terlempar di udara itu.
"Suma Hok, engkau layak mampus!" terdengar bentakan dan sesosok tubuh lain melayang ke atas. bukan untuk menangkap kantung sutera, melainkan untuk menangkap Suma Hok. Bayangan ini bukan lain adalah Ouwyang Toan. Seperti diketahui, putera Bu-eng-kiam Ouwyang Cek ini marah sekali ketika mendengar bahwa Suma Hok nyaris memperkosa adik tirinya. Kini begilu melihat pemuda tampan itu, Ouwyang Toan yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras sudah meloncat dan menyerang tubuh Suma Hok yang masih melayang di udara! Melihat serangan Ouwyang Toan ini, tentu saja Suma Hok terkejut dan terpaksa dia tidak dapat menyambar kantung sutera yang dilemparkan Pek I Mo-ko tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis serangan Ouwyang Toan.
"Desssss ...!" Hebat sekali pertemuan tenaga melalui dua pasang tangan putera-putera datuk besar itu sehingga keduanya terpental dan melayang ke bawah. Sedangkan kantung sutera itu melayang lenyap, tak dapat dilihat siapapun. Pek I Mo-ko tidak dapat melihatnya karena dia sedang dihimpit serangan tujuh orang lawannya. Suma Hok maupun Ouwyang Toan juga tidak melihatnya.
Begitu mereka turun ke atas tanah, Ouwyang Toan sudah menerjang lagi. Suma Hok maklum bahwa tentu Ouwyang Toan telah tahu akan perbuatannya tadi yang nyaris memperkosa Ouwyang Hui Hong, adik Ouwyang Toan. Maka diapun tidak banyak cakap, menangkis dan membalas seningga terjadilah perkelahian seru antara dua orang muda perkasa itu.
Pada saat itu, sebelum belasan orang tokoh dunia persilatan yang tadi muncul tahu siapa yang memegang Akar Bunga Gurun Pasir dan siapa yang harus mereka serang, terdengar suara gaduh dan bermunculan rombongan jagoan Kerajaan Liu-sung dan rombongan jagoan Kerajaan Wei yang tadi saling serang. Para jagoan Liu-sung akhirnya tahu bahwa Pek I Mo-ko tidak berada di antara para jagoan Wei, maka merekapan dapat menduga bahwa Pek I Mo-ko tentu telah melarikan diri membawa mustika yang diperebutkan itu. Maka, dengan sendirinya mereka meninggalkan lawan dan melakukan pengejaran. Para Jagoan Wei juga Ikut mengejar. Di antara kedua rombongan sudah ada beberapa orang yang terluka dalam pertempuran tadi.
Setelah dua rombongan itu tiba, keadaan menjadi semakin kacau. Melihat betapa dia tidak akan mampu mengalahkan Ouwyang Toan dengan mudah, suma Hok mendapat akal dan diapun berteriak.
"Cuwi (saudara sekalian) harap hentikan perkelahian!" teriaknya sambil melompat ke belakang.
Ouwyang Toan yang keras hati itu mendelik.
"Suma Hok, aku harus membunuh atas perbuatanmu terhadap adikku!"
"Ouwyang Toan, urusan pribadi yang tidak ada artinya perlukah diperpanjang di sini? Semua orang ribut mencari Akar Bunga Gurun Pasir, dan engkau ribut urusan tetek-bengek!"
Mendengar ini, Ouwyang Toan seperti diingatkan akan tugasnya. Dia di suruh ayahnya menyelidiki hasil tugas adiknya, Ouwyang Hui Hong yang ditugaskan mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir dan menghukum bekas pelayan dan murid yang murtad itu! Mendengar ucapan yang mengingatkan dia akan tugasnya itu, dia lalu menghadapi Pek I Mo-ko yang juga sudah tidak dikeroyok oleh tujuh orang kang-ouw karena mereka tadi melihat betapa Pek I Mo-ko yang tadinya menggigit kantung sutera, telah melemparkan kantung sutera itu.
"Pek I Mo-ko, cepat berlutut! Engkau harus mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir milik ayah dan menerima hukuman buntung lengan!"
Pek I Mo-ko memandang Ouwyang Toan dengan senynm mengejek.
"Ouwyang Toan, orang menuduh seseorang mencuri haruslah disertai buktinya. Kalau ada buktinya bahwa Akar Bunga Gnrun Pasir berada di tanganku, barulah tuduhan itu berisi. Kalan tidak, bukan kah itu hanya fitnah saja? Aku tidak membawa mustika itu, Kalau tidak percaya, siapa saja boleh menggeledahku!"
"Kami melihat dia melemparkan benda mustika itu ketika kami desak tadi!" Tiba-tiba Yang-ce Hek kwi berseru.
"Dia melemparkannya kepada pemuda bersuling itu!" kala orang ke dua sambil menuding ke arah Suma Hok. Dia tidak mengenal Suma Hok, yang dikiranya hanya seorang di antara mereka yang memperebutkan benda mustika itu atau juga kawan Pek I Mo-ko. Mendengar ini semua orang mamandang kepada Suma Hok dengan sinar mata penuh selidik dan juga mengancam. Banyak di antara mereka yang mengenal Tok-siauw-kui Suma Hok dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena di situ berkumpul banyak tokoh kang-ouw yang memperebutkan, maka mereka yang mengenalnya juga tidak merasa takut. Siapa yang memegang mustika itu tentu akan dikeroyok banyak orang!"
Suma Hok juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi dia tersenyum, dan menggeleng kepalanya.
"Aku memang meloncat untuk menangkap benda yang melayang tadi, akan tetapi Ouwyang Toan muncul dan menyerangku. Aku terpaksa melayaninya dan benda tadi entah melayang ke mana?"
"Kalau begitu benda itu tentu masih berada di sekitar sini! Mari kita cari!" kata Yang-ce Hek-kwi dan tujuh orang kang-ouw yang sudah bersekutu itu lalu mulai mencari. Melihat ini, tentu saja semua orang juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mencari, bahkan termasuk Pek I Mo-ko, Suma Hok, dan Ouwyang Toan! Semua semak belukar dibabat bersih dan semua orang bekerja keras sambil saling memperhatikan. Agar kalau ada yang menemukan dapat saling mengetahui. Dalam keadaan seperti itu, andaikata ada yang berhasil menemukan, tentu dia akan celaka, akan diserang oleh semua orang! Hal ini mereka sama mengetahui, maka tentu saja mereka mencari dengan hati tegang dan gelisah. Bahkan tujuh orang kang-ouw yang sudah bergabung itupun menjadi gelisah karena bagaimana mungkin mereka bertujuh dapat menghadapi lawan yang demikian banyak dan lihai?
Akan tetapi, sampai habis semak belukar di sekeliling tempat itu dibabat, kantung sutera itu tidak juga dapat ditemukan! Semua orang merasa heran, juga Pek I Mo-ko memandang dengan wajah pucat. Suma Hok juga terheran-heran, demikian pula tujuh orang yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko. Hanya mereka sembilan orang itulah yang tahu benar akan melayangnya kantung sutera tadi.
"Kita ditipu!" teriak seorang jagoan Liu-sung.
"Mustika itu tentu masih disimpan Pek I Mo-ko!"
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang kepada Pek I Mo-ko dengan pandang mata mengancam. Bahkan para jagoan Wei sendiri juga mengerutkan alisnya memandang kepada Pek I Mo-ko. Si kembar raksasa Liauw Gu dan Liauw Bu saling pandang. Mereka telah menerima tugas rahasia dari Kaisar Wei Ta Ong, bahwa kalau Pek I Mo-ko menipu mereka dan hendak melarikan mustika itu, boleh dikeroyok dan dibunuh saja!"
"Kalau mustika itu dilemparkan lalu tidak diterima orang, mengapa tidak berada di sekitar tempat ini?" tanya Liauw Bu.
"Sungguh telah kulemparkan kepada Suma Hok ...!" kata Pek I Mo-ko bingung dan gelisah!
"Dia bohong! Pek I Mo-ko bohong! Tentu mustika itu disembunyikan!" orang-orang mulai berteriak-teriak.
"Hukum dia! Bunuh dia kalau tidak mau menyerahkan mustika itu!" terdengar teriakan orang-orang lain.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berat, mengandung getaran amat kuat.
"Siapa-pun tidak berhak menghukum dan membnnuh Ciong Kui Le kecuali aku!"
Semua orang menengok ke arah orang yang bicara itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang pria yang gagah perkasa penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, mukanya hitam seperti arang, akan tetapi muka itu tidak buruk, bahkan ganteng dan gagah. Pakaiannya dari sutera halus dan nampak bersih, dan di punggungnya tengantung sebatang pedang yang sarungnya dibuat dari emas murni berukir naga yang amat indah, dan gagang pedang itu dihias ronce merah kuning.
Mereka yang mengenal pria ini nampak gemetar dan gentar karena pria ini bukan lain adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembab Bukit Siluman, seorang di antara Empat Datuk Besar yang aneh dan ditakuti orang! Setelah melempar pandang matanya yang mencorong, menyapu semua orang yang berada di situ dengan sinar mata merendahkan, dia berkata lagi.
"Akar Bunga Gurun Pasir adalah benda mustika yang tidak boleh dimiliki orang lain! Pek I Mo-ko harus menyerahkannya kepadaku dan yang lain boleh pergi dari sini!"
Mendengar ucapan ini, tujuh orang kang-ouw yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko dan yang belum pernah bertemu dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, menjadi marah sekali. Mereka bertujuh mengandalkan diri sebagai sekelompok orang yang tangguh karena mereka bekerja sama. Dengan maju bertujuh, mereka tidak takut menghadapi siapapun juga. Dengan dipimpin Yang-ce Hek-kwi, mereka kini maju dan mengepung Ouwyang Sek, Si Iblis Hitam itu berdiri di depan Ouwyang Sek dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk besar itu,
"Dari mana datangnya manusia sombong ini? Akar Bunga Gurun Pasir dimiliki siapa saja yang menang dalam perebutan! Kami bertujuh yang akan membunuh Pek I Mo-ko kalau dia tidak mau menyerahkan mustika itu, dan kalau engkau ini manusia sombong hendak menghalangi, kau akan kami bunuh pula!"
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"'Kalian bertujuh sudah bosan hidup agaknya," katanya perlahan.
"Engkaulah yang bosan hidup dan sekarang juga akan kuantar engkau ke alam baka!" Yang-ce Hek-kwi yang sudah marah sekali dan pemberani karena mengandalkan gerombolannya, sudah menggerakkan goloknya membacok ke arah muka Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Melihat ini, semua orang kang-ouw yang sudah mengenal datuk besar itu memandang dengan hati tegang dan mereka semua maklum bahwa tujuh orang tokoh kang-ouw tingkat pertengahan itu sungguh mencari penyakit!
Melihat golok menyambar ke arah mukanya. Ouwyang Sek sana sekali tidak mengelak, bahkan tangan kirinya bergerak, dengan tangan terbuka dia menyambut golok itu! Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat. namun tertahan dan tertangkap tangan itu bagaikan terjepit catut baja yang amat kuat.
Tentu saja Yang-ce Hek-kwi terkejut dan marah. Dia mengerahkan tenaga untuk membuat tangan itu terbuka, juga ingin menarik lepas goloknya sekuat tenaga. Akan tetapi, golok itu seperti melekat pada tangan itu dan pada saat Yang-ce Hek-kwi mengerahkan tenaga terakhir, tiba-tiba Ouwyang Sek mendorong golok itu sehingga membalik dan meluncur ke arah muka pemiliknya. Yang-ce Hek-kwi terbelalak, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi ketika golok yang ditariknya itu meluncur ke arah mukanya.
"Crakkk ...!" Golok itu tepat membacok di tengah-tengah mukanya sehingga kepala bagian depan itu terbelah karena golok itu masuk sampai ke tengah kepala. Tubuh Yang-ce Hek-kwi terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka terbelah!
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang temannya menyerang Ouwyang Sek dari belakang dengan menusukkan pedang kanan ke arah punggung dan pedang kiri mengikuti dengan bacokan ke arah kepala datuk besar itu. Ouwyang Sek miringkan tubuh, mengangkat lengan kanan sehingga pedang itu terjepit di bawah ketiaknya, lalu tubuhnya membalik ke kiri, tangan kirinya membuat gerakan menampar kepala penyerangnya lalu merampas pedang kirinya.
Penyerang itu mengeluarkan pekik dan roboh terjengkang. Sepasang pedangnya tertinggal di jepitan ketiak kanan Ouwyang Sek dan di tangan kiri datuk itu. Kepala orang itu retak dan diapun tewas seketika!"
Lima orang kawanan kang-ouw itu terkejut dan marah. Mereka serentak menyerang dari lima penjuru. Akan tetapi, begitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menggerakkan sepasang pedang rampasan, tiga orang pengeroyok yang berada di depan, kanan dan kiri roboh mandi darah dan lewat dengan leher hampir putus. Melihat ini, dua orang yang tersisa menjadi gentar dan mereka melarikan diri. Akan tetapi, belum sepuluh langkah mereka melarikan diri, terdengar suara berciut nyaring dan dua batang pedang rampasan itu telah menembus tubuh mereka dari punggung sampai ke dada dan merekapun roboh menelungkup dan tewas seketika!"
Suasana menjadi sunyi melengang! Semua orang menahan napas, tegang dan kagum bukan main. Biarpun tujuh orang kang-ouw tadi hanya memiliki ilmu kepandaian pertengahan saja, namun mereka maju bertujuh dan sungguh membutuhkan ketangkasan luar biasa untuk membunuh mereka dalam beberapa gerakan saja. Pek I Mo-ko sudah seperti lumpuh saking takutnya. Tadipun dia tidak berani menggunakan kesempatan untuk melarikan diri, dan dia terpukau di tempatnya, memandang dengan muka pucat sekali.
"Ciong Kui Le, ke sini kau!" Tiba-tiba Bu-eng-kiam Oowyang Sek membentak. Suaranya penuh wibawa, terasa getaran kuat dalam suara itu oleh semua orang.
Pek I Mo-ko menghampiri bekas guru dan majikannya, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba Ciong Kui Le menerima kesalahan hamba dan mohon pengampunan." katanya merendah.
"Serahkan Akar Bunga Gurun Pasir kepadaku!"
Tubuh Pek I Mo-ko menggigil dan mukanya menjadi semakin pucat.
"Mohon maaf, suhu ...
"
"Lancang! Siapa sudi mempunyai murid macam engkau? Aku bukan gurumu!" bentak Bu eng-kiam Ouwyang Sek dan mukanya yang berkulit hitam itu nampak semakin hitam!
"Maaf, ... lo cian-pwe ... akan tetapi akar itu ... tadi hamba lemparkan kepada Suma Kongcu ...! Banyak yang melihatnya ... hamba tidak berani berbohong ...
"
Ouwyang Sek mencari dengan pandang matanya rampai pandang mata itu berhenti pada wajah Suma Hok. Pemuda putera Kui-siauw Giam ong Suma Koan ini tersenyum, melangkah maju dan memberi hormat kepada Ouwyang Sek dengan kedua tangan di depan dada.
"Paman Ouwyang, selamat datang, paman."
Terhadap pemuda itu. Ouwyang Sek bersikap ramah, karena ayah pemuda itu merupakan seorang yang setingkat dengan kedudukannya.
"Hemm, kiranya engkau pun barada di sini! Di mana ayahmu?"
"Ayah mengutus saya untuk mencoba merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, dan tentu akan kami serahkan kepada paman kalau saya berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah ayah sendiri juga akan datang."
"Benarkah engkau menerima akar itu dari Pek I Mo-ko seperti diceritakannya tadi.?"
"Ketika Pek I Mo-ko dikeroyok tujuh orang tak tahu diri itu," dia menunjuk mayat tujuh orang yang tewas di tangan Ouwyang Sek,
"dia terdesak dan dia melemparkan sebuah kantung sutera kepada saya. Ketika saya meloncat untuk menyambutnya, tiba-tiba saya diserang oleh saudara Ouwyang Toan! Terpaksa saya menangkis dan kantung sutera itu lenyap entah ke mana. Sudah kami cari sampai ke seluruh tempat di sekitar ini, namun tidak berhasil."
Ouwyang Sek memandang puteranya yang sudah mendekat.
"Benarkah itu. Toan-ji (anak Toan)?"
"Memang benar, ayah. Aku tidak tahu bahwa kantung sutera itu berisi akar yang kita cari. Setelah kami semua tahu, kami mencarinya namun tidak berhasil. Sudah pasti bahwa akar dalam kantung sutera itu dibawa pergi orang lain."
"Kenapa kau menyerang Suma Hok?"
"Dia telah berbuat kurang ajar terhadap adik Hui Hong, ayah."
"Paman, saya mencinta adik Hui Hong, bagaimana berani berbuat kurang ajar? Kelak saya dan ayah akan berkunjung dan melamar adik Hui Hong." kata Suma Hok cepat.
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya. Urusan itu tidak penting baginya.
"Sudahlah, aku ingin mendapatkan kembali akar itu." Dia lalu memandang ke sekeliling.
"Kalau di antera saudara ada yang menemukan akar itu dan mengembalikannya kepadaku, tentu akan kuberi hadiah besar. Sebaliknya, siapa saja yang menemukannya dan tidak mau mengembalikan, biar dia bersembunyi di manapun akan dapat kutemukan dan kubunuh! Nah, aku sudah bicara dan harap saudara sekalian pergi dari sini meninggalkan kami sendiri!"
Orang-orang kang-ouw itu merasa jerih, bahkan para pendekar dari partai persilatan yang hadir di situ, tidak ingin bermusuhan dengan datuk besar yang lihai itu. Akar yang diperebutkan sudah lenyap, apalagi pemilik aselinya sudah berada di situ. Tidak perlu lagi memperebutkan benda yang tidak tentu ke mana lenyapnya. Maka, pergilah mereka meninggalkan tempat itu.
Rombongan para jagoan dari Kerajaan Wei melangkah maju menghadapi Ouwyang Sek.
Pemimpin rombongan, yaitu Liauw Gu dan Liauw Bu, raksasa kembar itu, mewakili rombongannya. Liauw Gu. berkata,
"Lo-cian-pwe, kami adalah utusan Kerajaan Wei. Kami tidak ingin bermusuhan dengan lo-cian-pwe. Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa Pek I Mo-ko Ciong Kui Le ini sekarang telah menjadi seorang ponggawa Kerajaan Wei dan merupakan anggauta rombongan kami. Oleh karena itu, kami harap dapatlah kiranya lo-cian-pwe memandang kaisar kami dan membiarkan dia pergi bersama kami."
Berkerut sepasang alis yang tebal itu.
"Hemm, urusan antara Ciong Kui Le dan aku adalah urusan peibadi kami berdua saja, dan terjadi sebelum dia menjadi orangnya kaisar Kerajaan Wei. Aku tidak mempunyai urusan dengan Kerajaan Wei. Kalian kembalilah ke utara dan sampaikan kepada Kaisar Wei Ta Ong bahwa setelah aku selesai membuat perhitungan dengan orang ini, baru kulepaskan dan untuk pergi menghadap beliau. Kalau sekarang ada yang melindungi dia dariku, siapapun juga, termasuk kalian, maka contohnya adalah tujuh orang itu!" Ouwyang Sek menunjuk ke arah mayat tujuh orang yang tadi dibunuhnya.
Para jagoan Kerajaan Wei tidak berani nekat menentangnya. Pula, sudah jelas bahwa mustika itu tidak ada lagi kepada Pek I Mo-ko sudah lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana lenyapnya. Untuk apa mempertaruhkan nyawa membela Pek I Mo-ko? Bahkan Sribaginda Kaisar sendiri tentu akan menjatuhkan hukuman berat kepada Pek I Mo-ko apa bila dia pulang tanpa membawa mustika itu, dan dianggap sebagai pembohong dan penipu yang berani mempermainkan kaisar. Mereka lalu saling memberi isarat dengan pandang mata dan pergilah mereka tanpa bicara apa-apalagi. Akhirnya, yang tinggal di situ hanyalah Ouwyang Sek. Ouwyang Toan, dan Pek I Mo-ko yang masih berlutut, di antara tujuh mayat yang berserakan.
"Toan-ji, kau geledah dia!" Ouwyang Sek berkata, Ouwyang Toan mengangguk dan begitu tubuhnya bergerak, terdengar suara kain robek dan pakaian luar yang membungkus tubuh Pek I Mo-ko sudah menjadi koyak-koyak, tinggal pakaian dalam saja. Akan tetapi, mereka tidak menemukan Akar Bunga Gurun Pasir yang mereka cari, Ouwyang Sek menjadi kecewa dan dia memandang ke sekeliling, seolah-olah hendak mencari mustika itu.
"Kami semua tadi sudah mencari dan aku memperhatikan kalau-kalau mustika itu di temukan orang, akan tetapi tidak berhasil, ayah. Benda itu hilang. Tentu sudah diambil orang lain yang tadinya bersembunyi."
"Kui Le," kata Ouwyang Sek kepada bekas murid dan pelayannya,
"Katakan siapa yang kini menguasai mustika milikku itu! Baru akan kupertimbangkan nyawamu!"
Pek I Mo-ko yang kini hanya mengenakan celana dalam sebatas lutut dan tubuh atasnya tidak berpakaian, memberi hormat sambil berlutut,
"Lo-cian-pwe, hamba tidak berbohong. Tadinya memang berada pada hamba. Hamba ditekan oleh Kaisar Wei Ta Ong untuk menyerahkan benda itu kepadanya. Ketika tadi hamba dikeroyok dan terdesak, dari pada benda itu dirampas penjahat, maka hamba lemparkan kepada Suma Hok karena hamba tahu bahwa dia hendak mengembalikan kepada lo-cian-pwe kalau nanti dia meminang Ouwyang Siocia. Akan tetapi Ouwyang Kongcu menyerangnya pada saat dia hendak menyambut benda itu sehingga benda itu melayang dan entah jatuh ke mana. Anehnya, ketika semua orang mencari, benda itu tidak dapat ditemukan. Hamba kira pengambilnya tentulah orang yang berkepandaian tinggi sehingga tak seorangpun di antara kami semua dapat melihatnya. Dan yang memiliki kepandaian tinggi itu, selain lo-cian-pwe, hanya ada tiga orang lain lagi."
"Hmm, kaumaksudkan, tiga orang datuk besar lainnya! Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik), atau Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im)?"
"Siapalagi kalau bukan mereka yang memiliki ilmu kepandaian setinggi lo-cian-pwe?"
Ouwyang Sek mengangguk-angguk, kemudian dia memandang kepada bekas pelayan itu dan suaranya terdengar tegas.
"Baik, kuampunkan nyawamu, akan tetapi karena perbuatanmu, mustika milikku itu lenyap. Hayo cepat kaubuntungi sendiri tangan kirimu!"
"Lo-cian-pwe, ampunkan hamba ...
" Pek I Moko meratap.
"Jahanam busuk!" Ouwyang Toan membentak.
"Apa kau ingin ayah atau aku yang membuntunginya? Kalau aku yang diperintahkan membuntungi, bukan hanya tanganmu, juga kedua kakimu!"
Ouwyang Sek tersenyum mendengar ucapan puteranya. Pek I Mo-ko maklum bahwa tidak mungkin ada pengampunan baginya dan ucapan Ouwyang Toan tadi memang ada benarnya. Perintah bekas majikannya hanya membuntungi tangan kiri. Hal itu masih ringan dari padat dibuntungi lengan kanannya, atau bahkan kedua lengannya dan kakinya! Cepat dia menyambar sebatang golok yang banyak berserakan di situ, senjata tujuh orang yang tewas, dan sekali tabas, buntunglah pengelangan tagan kirinya. Darah mengucur deras dan Pek I Mo-ko cepat menotok jalan darah di lengan kirinya untuk menghentikan keluarnya darah dari luka di pergelangan tangannya.
Ouwyang Sek mengangguk-anggnk.
"Toan-ji, mari kita pergi! Kita cari Hui Hong!"
Ayah dan anak itu berkelebat lenyap meninggalkan Pek I Mo-ko di antara mayat-mayat itu. Pek I Mo-ko menggigit bibir menahan rasa nyeri, dan dengan tangan kanannya dia mengambil obat luka dari pakaiannya yang terkoyak-koyak tadi, mengobati luka dan membalut pergelangan tangan kiri yang buntung itu dengan robekan kain pakaiannya. Kemudian, tertatih-tatih dia meninggalkan tempat itu.
"Mari, Hong-moi, kita harus cepat dapat menangkap Pek I Mo-ko!" kata Bun Houw yang berlari cepat di samping Hui Hong.
"Houw-ko, tentu saja aku ingin cepat menangkapnya, agar benda mustika milik ayah itu tidak sampai dia serahkan kepada orang lain."
"Dan dia harus memberitahu siapa yang membunuh keluarga Cia dan menculik Ling Ay." kata pula Bun Houw yang masih penasaran karena dia teringat akan nasib Ling Ay.
Tiba-tiba Hui Hong menghentikan langkahnya. Tentu saja Bun Houw merasa heran dan diapun berhenti, lalu menghampiri gadis itu.
"Hong-moi, kenapa engkau berhenti?"
Hui Hong menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Sudah sejak pertemuannya dengan Bun Houw. hatinya merasa tidak senang melihat Bun Houw mencampuri urusan rumah tangga wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.
"Kwa Bun Houw," katanya dengan suara dingin.
"Sebagai seorang pendekar, engkau sungguh tidak pantas sekali mencampuri urusan pribadi dan rumah tangga seorang wanita yang bukan apa-apamu!"
"Eihhh?" Bun Houw membelalakkan matanya memandang,
"Apa maksudmu, Hong-moi dan kenapa engkau tiba-tiba marah kepadaku?"
"Engkau masih pura-pura tidak mengerti? Aku muak melihat sikapmu itu, mengingat bahwa kita telah bersahabat. Engkau tidak berhak mencampuri urusan perempuan bernama Cia Ling Ay itu! Ingat, ia tetah menjadi isteri orang lain. Kenapa engkau masih memperhatikan dan mengurus dirinya? Tidak malukah engkau kalau diketahui orang bahwa engkau, seorang pendekar yang berkepandaian lumayan, memperhatikan isteri orang lain?"
Bun Houw menjadi semakin heran, akan tetapi juga penasaran. Kenapa begitu dia menyebut nama Ling Ay, Hui Hong berubah sikap, menjadi marah dan galak? Tiba-tiba Bun Houw teringat akan sesuatu dan diapun tersenyum memandang wajah gadis itu.
"Kwa Bun Houw, mengapa engkau cengar-cengir seperti itu? Aku tidak main-main! Aku marah dan jengkel, engkau tahu?"
Bun Houw tertawa.
"Ha ha, aku tahu, Hongmoi. Engkau ... cemburu kepada Ling Ay! Benarkah?"
Wajah Hui Hong menjadi merah sekali dan matanya melotot.
"Aku? Cemburu? Kalau bukan engkau yang mengeluarkan ucapan itu, tentu akan kutampar mulutmu sampai hancur! Kenapa aku mesti cemburu? Huh, Bun Houw, engkau tidak patut menjadi sahabatku!" Dan iapun menggerakkan tubuhnya, lari meninggalkan Bun Houw.
Kini pemuda itu, terkejut.
"Heiii..! Hong-moi, jangan begitu! Jangan marah dan meninggalkan aku. Maafkan ucapanku tadi!" teriak Bun Houw sambil mengerahkan tenaga mengejar.
Karena ilmu berlari cepat Bun Houw tidak berada di bawah tingkat Hui Hong, maka gadis itu tetap tidak mampu meninggalkannya. Hal ini membuat Hui Hong menjadi semakin marah. Gadis ini marah kepada diri sendiri karena ia merasakan benar bahwa ia memang cemburu! Ia merasa tidak senang karena Bun Houw begitu memperhatikan Ling Ay yang sudah menjadi isteri orang lain. Hal ini membuat ia merasa seolah ia sama sekali tidak menarik hati, kalah oleh seorang wanita lain yang sudah menjadi uteri orang. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa ia cemburu, bahkan perasaan ini membuat ia merasa malu dan bahkan menambah kemarahannya. Marah kepada diri sendiri yang semua ia tumpahkan kepada Bun Houw yang ia anggap sebagai biang keladinya!
Melihat ia tidak mampu meninggalkan Bun Houw, ia pun tiba-tiba berhenti,
"Mau apa engkan mengejarku?"
"Hong-moi, Jangan begitu. Jangan engkau marah kepadaku. Aku ... aku minta maaf kalau ucapanku menyinggung hatimu."
"Tidak ada yang menyinggung, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya ingin engkau jangan mendekati aku, jangan mengikuti aku!" kata Hui Hong ketus.
"Tapi, Hong-moi. Tadi kita begitu akrab, engkau bersikap demikian ramah dan baik kepadaku dan ...
"
"Cukup. pergilah! pergi dan jangan ikut aku lagi!" kata Hui Hong dan iapun lari lagi. Tentu saja Bun Houw masih merasa penasaran dan diapun mengejar lagi. Terjadi lagi kejar-kejaran sampai Hui Hong berhenti lagi dan membalik.
"Kalau engkau masih mengejar, akan kuhajar kau!"
"Hong-moi, ...!" Bun Houw terkejnt karena tidak menyangka bahwa Hui Hong benar-benar marah sekali dan seperti membencinya.
"Cukup! Aku tidak mau lagi berkenalan denganmu, tidak mau lagi bicara denganmu!"
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
"Hong-moi. apakah dia kurang ajar kepadamu?" Dan muncullah Ouwyang Toan dan Ouwyang Sek.
"Ayah ...!" Hui Hong lari menghampiri ayahnya.
"Hong-moi, apa yang dilakukan orang ini kepadamu?" Ouwyang Toan kembali bertanya sikapnya marah.
"Dia ... dia menjengkelkan, dia menuduh aku cemburu!" kata Hui Hong yang masih marah dan jengkel.
Ouwyang Toan menghampiri Bun Houw dengan sikap menantang. Pemuda tinggi besar ini memang berwatak keras, pencemburu, dan memandang rendah orang lain.
"Hemmm, siapapun yang mengganggu adikku, harus dihajar!"
Bun Houw mengerutkan alisnya.
"Aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun."
"Engkau pengecut! Hanya berani mengganggu perempuan, tidak berani bertanggung jawab dan takut menerima tantanganku?" Ouwyang Toan tersenyum mengejek.
Wajah Bun Houw berubah merah.
"Sobat, harap jangan keterlaluan dan jangan mendesakku. Aku tidak mempunyai alasan untuk berkelahi denganmu."
"Kalau aku mendesak, kau mau apa? Aku mempunyai alasan cukup kuat untuk menantangmu, kalau engkau berani. Kalau engkau takut. cepat berlutut dan minta ampun kepada kami!"
Sepasang mata Bun Houw berkilat,
"Engkau terlalu sombong!"
"Kau berani? Nah, sambutlah ini!" Ouwyang Toan menyerang dengan dahsyat sekali.
Tangan kanannya yang dikepal menghantam ke arah kepala Bun Houw, diikuti tangan kiri yang menyusut dan mencengkeram ke arah dada.
Bun Houw mengelak dan ketika tangan kiri lawan mencengkeram, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Tangan kirinya berputar di depan dada ketika menangkis sambil miringkan tubuhnya ke kanan.
"Dukkk!" Pertemuan kedua lengan kiri itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Ouwyang Toan merasa penasaran dan diapun menyerang kalang kabut, gerakannya bengis dan ganas sekali.
Biarpun dia tidak ingin bermusuhan dengan kakak Hui Hong, namun karena dihina dan didesak, timbul kemarahan di hati Bun Houw dan diapun mulai membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang seru. Karena maklum bahwa lawan lihai dan memiliki tenaga yang kuat, Bun Houw segera menggunakan ilmu silatnya yang menggunakan jari-jari tangan untuk menotok.
"Ihhh ...!" Ouwyang Toan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan totokan jari tangan lawan. Dia menjadi semakin marah karena terhuyungnya itu menunjukkan bahwa dia terdesak walaupun belum roboh. Diapun cepat mencabut pedangnya.
"Kalau engkau benar laki-laki, keluarkan senjatamu!" tantang Ouwyang Toan, pedangnya melintang di depan dada.
Karena tantangan itu juga merupakan penghinaan, Bun Houw mencabut tongkat bututnya dari pinggang.
"Hemm. engkau terlalu mendesakku, Ouwyang Toan. Jangan salahkan aku kalau sampai engkau terluka." Dia memperingatkan, merasa tidak enak sekali ketika dia melihat ke arah Hui Hong gadis itu tetap memandangnya dengan marah.
"Lihat pedang!" Ouwyang Toan membentak, dan nampak sinar berkilat ketika pedangnya menyambar-nyambar. Bun Houw seperti tidak melihat datangnya bahaya, bersikap acuh dan tetap memandang ke arah Hui Hong, akan tetapi begitu pedang lawan menyambar, dia sudah mengelak dengan ringan. Memang bagi pemuda murid Tiauw Sun Ong ini, tidak perlu mempergunakan matanya ketika bertanding. Dia biasa berlatih tanpa menggunakan penglihatan matanya, berlatih di dalam kegelapan yang pekat, bahkan berlatih dengan mata terpejam, seperti gurunya yang buta. Karena latihan-latihan itu, seluruh bagian tubuhnya memiliki kepekaan seolah-olah di semua bagian tubuhnya terdapat mata. Gerakannya demikian otomatis tanpa melihat lagi.
Setiap kali pedang di tangan Ouwyang Toan bertemu tongkat, terdengar suara nyaring seolah-olah tongkat butut itu merupakan sebuah benda logam yang amat kuat. Mudah diduga bahwa tongkat butut itu menyembunyikan senjata yang terbuat dari pada baja. Permainan tongkat Bun Houw demikian aneh, cepat dan kuat sehingga setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar pedang Ouwyang Toan makin menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia terdesak.
"Toan-ji, mundur, biar aku bermain-main sebentar dengan bocah ini!" terdengar suara yang dalam dan berwibawa.
Mendengar suara ayahnya, Ouwyang Toan terkejut dan heran, akan tetapi dia meloncat keluar dari perkelahian itu, ke dekat ayah dan adiknya. Tentu saja dia merasa heran. Ayahnya adalah seorang datuk besar yang tidak mau sembarangan melayani orang-orang yang rendah tingkatnya, Apalagi seorang pemuda! Dan bagaimana mungkin pemuda ini akan mampu menandingi ayahnya? Tingkat kepandaiannya hanya setinggi tingkatnya, tidak banyak selisihnya!"
Sementara itu, ketika kakek berusia lima-puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu menghampirinya, Bun Houw merasa jantungnya berdebar tegang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa tidak enak sekali. pria ini adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang sudah banyak didengar namanya. Gurunya sendiri pernah menceritakan kepadanya tentang Empat Datuk Besar. Biarpun gurunya yang buta belum pernah melihat mereka, namun gurunya mendengar banyak tentang mereka. Hal ini masih belum banyak artinya bagi Bun Houw. Yang membuat dia tidak enak dan gelisah adalah karena Bu eng-kiam ini adalah ayah kandung Hui Hong! Tadipun dia sudah merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak gadis itu, Apalagi sekarang dia berhadapan dengan ayahnya. Maka, cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada orang tua itu.
"Lo-cian-pwe, harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya tidak ingin bermusuhan atau berkelahi dengan siapapun apa lagi dengan lo-cian-pwe yang saya hormati. Tidak ada alasan bagi kita untuk bertanding dan saya tidak berani kurang ajar melawan lo-cian-pwe yang berkedudukan tinggi dalam dunia persilatan."
"Orang muda, siapa namamu?"
"Nama saya Kwa Bun Houw, locianpwee."
"Kwa Bun Houw, engkan sudah berani menentang kedua orang anakku, dan kulihat tadi ilmu pedangmu cukup baik sehingga Toan-ji tidak mampu mengalahkanmu. Sudah sepatutnya kalau aku mengukur sampai di mana kehebatan Ilmu pedangmu yang tersembunyi dalam tongkat. Biarlah aku melawan pedangmu itu dengan tangan kosong, agar jangan dikatakan aku yang tua menghina yang muda. Hayo maju dan seranglah aku."
"Saya tidak berani, lo-cian-pwe." Alis yang tebal itu berkerut.
"Berani atau tidak, tidak perduli! Engkau harus menyerangku, atau aku akan tutun tangan membunuhmu. Aku membenci seorang penakut!"
"Kalan begitu, biar lo-cian-pwe yang menghajar dan membunuh saya, dan saya akan mencoba untuk membela diri," kata Bun Houw yang tetap tidak mau mendahului menyerang.
Ouwyang Sek mendengus.
"Huh, memang kau sudah bosan hidup. Kalau engkau menyerang dulu, paling banyak aku hanya akan menjatuhkanmu. Akan tetapi, kalau sekali aku menyerang, aku tidak akan berhenti sebelum orang yang kuserang mampus!"
"Terserah kepada lo-cian-pwe. Saya tidak akan berani menyerang lebih dulu." kata Bun Houw sambil memandang ke arah Hui Hong. Dia melihat betapa Hui Hong berdiri dengan alis berkerut dan muka berubah agak pucat. Jelas gadis itu nampak gelisah sekali dan diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Bun Houw. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatannya! ini saja sudah cukup mengobati semua kegelisahannya! Hui Hong mengkhawatirkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa gadis itu diam-diam suka kepadanya dan tidak membencinya seperti diperlihatkan dalam sikapnya tadi. Sungguh membuat dia semakin bingung karena dia tidak dapat mengetahui bagaimana sebenarnya isi hati gadis itu.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 10
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. Dia aneh, wataknya keras dan kadang amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah seperti pasang surutnya air laut.
Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul perasaan benci terhadap pemuda itu.
"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!" bentak datuk itu dan begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw. Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah menyambar.
Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. Maka, mengandalkan kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.
Kembali Bun Houw berbasil menghindarkan diri dengan elakan.
Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. Serangan susulannya semakin ganas sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa kewalahan, terdesak dan terhimpit oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak berani mempergunakan senjata untuk melindungi dirinya, karena mempergunakan senjata berarti balas menyerang. Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap menghindar tanpa membalas merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.
"Hyaanattt ...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu bergerak secara beruntun, saling susul menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak terus. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga pada telunjuknya dan menyambut serangan talapak tangan kiri lawan itu dengan totokan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari sambaran telapak tangan yang ampuh itu.
"Tukk ...!" Ouwyang Sek mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Bun Houw meloncat ke samping dan merasa betapa tangannya tergetar hebat saking kuatnya telapak tangan lawan yang ditotoknya tadi.
"It-sin-ci (Satu Jari Sakti) ...!" Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah.
"Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat, bagaikan gelombang dahsyat yang hendak menelan dirinya.
Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali membuat dia terjengkang dan terguling-guling.
"Mampuslah!" Ouwyang Sek membentak dan menyusulkan serangan maut. Karena tubuh Bun Houw bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.
"Dukk ...!" Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena tongkat itu menotok pula lutut kirinya!
Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan.
"Lo-cian-pwe, bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."
Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. Kini tangan kanan memegang pedang dan tangan kirinya memegang tongkat.
Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu,
"Orang muda, apa hubunganmu dengan Tiauw Sun Ong? tiba-tiba dia bertanya.
Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena tidak mau berurusan dengan dunia ramai.
"Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebut-nyebut tentang beliau."
Tiba tiba datuk besar itu tertawa.
"Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat menyelamatkan nyawamu! Hari ini engkau akan mati di tanganku dan nyawamu boleh memberitahu kepada Tiauw Sun Ong!" Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan seperti seekor beruang.
Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat terhindar dari malapetaka, satu-satunya jalan adalah balas menyerang. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.
Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk betar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw, maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah lewat limabelas jurus. Sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia dapat sempat mengatur keseimbangan dirinya, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terpukul. Pedang itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.
"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!" Ouwyang Sek berseru sambil tertawa-tawa, lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari maut.
"Ayah, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.
"Hong-moi, jangan lancang kau!" Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.
Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus,
"Toan-koko, ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!" Kemudian dia menoleh kepada ayahnya dan suaranya terdengar tegas,
"Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!"
"Hui Hong, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan ini?" Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan bengis.
Berjodoh dengan Ilmu Sakti Im Yang Butek Cin Keng
"AYAH, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?"
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta ayah jangan membunuhuya."
"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi dengan adanya pedang ini!"
"Ada apa dengan pedang itu, ayah '!"
"Kau tak perlu tahu!" Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah.
"Minggirlah dan aku akan membunuhnya!"
"Hong-moi. minngirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.
Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang.
"Ayah, kalau ayah memaksa hendak membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa mampu membalas. Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!"
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya ke lubang kubur juga. Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh yang hebat, tentu sudah mati seketika.
"Baiklah, biar dia pergi!" akhirnya dia berkata.
"Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha-ha!"
"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw ...
"Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan perasaan iba. Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan perasaan senang yang membuat dia lupa akan kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan mempertaruhkan nyawanya!"
"Sampai ... jumpa ...
" Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.
"Ha ha ha-ha!" Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan pohon-pohon.
"Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. Biar belum dapat menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu. Hatiku puas, ha-ha ha!"
"Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.
"Tak perlu kautahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.
Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. Dia dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang pemberian garunya juga disita. Ayah Hui Hong membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri? Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga mencintanya, tentu takkan membiarkan dia dihajar seperti itu. Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.
Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. Begitu dia menyusup ke dalam semak-semak, Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang baik-baik.
"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. Hemm, gadis itupun tentu sekejam ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.
"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan kurampas dengan kekerasan!" suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap sama sekali.
Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan menuruni lembah. Dia harus mencari obat. Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba menyembuhkan atau mengurangi lukanya.
Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu karena matahari telah condong jauh ke barat. Dia harus mendapatkan tempat berlindung melewati malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia melewatkan malam di tempat terbuka. Apalagi kalau sampai diserang binatang buas atau orang jahat. Dia takkan mampu membela diri sama sekali. Sedikit saja dia mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan mungkin nyawanya akan melayang saat itu juga.
Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pria berusia limapuluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda tampan. Pemuda inilah yang mengejutkan hatinya karena dia mengenalnya sebagai pemuda yang lihai, yang nyaris memperkosa Hui Hong.
Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria kecil kurus yang ternyata adalah ayahnya.
"Ayah, orang ini pasti tahu siapa yang mengambil mustika itu! Mungkin dia sendiri yang mengambilnya!"
Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak mengesankan, akan membuat siapapun memandang rendah kepadanya. Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya karena memandang rendah datuk itu!"
Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. Sudah beberapa orang dibunuhnya tadi karena dia dan puteranya mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang diperebutkan dan yang lenyap ketika diperebutkan.
"Begitukah? Kalau begitu, geledah seluruh badannya!" katanya.
Akan tetapi, Suma Hok kelihatan ragu-ragu. Dia sudah merasakan kelihaian Kwa Bun Houw, maka menggeledah badan merupakan pekerjaan yang berbahaya. Ayahnya melihat keraguan ini dan dia mengerutkan alisnya.
"Kenapa ragu-ragu?"
"Ayah, orang ini lihai sekali, sebelum kurobohkan bagaimana dapat menggeledahnya?"
"Hemm, ada aku di sini, takut apa?" bentak ayahnya marah karena sikap takut-takut dari puteranya itu merupakan tamparan bagi keangkuhannya.
Suma Hok menghampiri Bun Houw, tangannya mencengkeram ke arah baju, menduga bahwa Bun Houw tentu akan mengelak atau menangkis. Akan tetapi, ternyata dia dapat mencengkeram baju itu dengan mudah dan sekali tarik, terdengar suara memberebet dan baju itupun koyak-koyak! Nampaklah dada Bun Houw dan melihat kulit dada yang matang biru itu, Suma Hok tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau telah terluka parah!" Dan timbullah kesombongan Suma Hok. Dengan sikap gagah dia lalu merobek-robek pakaian Bun Houw sehingga tinggal cawat saja yang menutupi tubuh pemuda itu. Akan tetapi, Suma Hok tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kantung kecil berisi beberapa potong emas, yaitu emas pemberian gurunya yang masih bersisa. Melihat isi kantung itu sambil menyeringai Suma Hok memasukkannya ke dalam saku bajunya sendiri.
"Dia tidak membawa akar itu, ayah. Tentu dia sembunyikan entah ke mana. Orang ini licik sekali, ayah."
"Hemm, terhadap aku dia tidak dapat licik!" kata Suma Koan sambil menghampiri Bun Houw. Sepasang matanya yang tajam dan mengandung kekejaman itu menyelidiki wajah Bun Houw.
"Hayo katakan, di mana engkau simpan akar itu!" Dia bertanya, langsung saja menuduh seperti yang dilakukannya tadi terhadap banyak orang yang dibunuhnya satu demi satu karena mereka tidak mampu menunjukkan di mana adanya benda yang amat diinginkannya itu.
Bun Houw sudah menderita luka parah. Dia tahu bahwa kalau tidak mendapatkan obat yang amat manjur, dia akan terancam maut. Kini, dia ditelanjangi dan dihina tanpa mampu membalas karena begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dia akan mati seketika. Maka, tentu saja dia tidak mengenal lakut lagi. Dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Sudah pernah didengarnya tentang Kui-siauw Giam-ong. Karena tadi dia telah mendengar bahwa pemuda yang nyaris memperkosa Hui Hong adalah Suma Hok putera Kui-siauw Giam-ong, siapa lagi kakek kecil kurus ini kalau bukan si datuk sesat itu? Dia merasa penasaran sekali dan biarpun terancam maut. Sebelum mati dia harus memperlihatkan keberaniannya dan menyatakan perasaan hatinya.
Dengan pandang mata berani dia menatap wajah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, lalu tersenyum mengejek.
"Orang tua, apakah engkau tidak malu dengan sikapmu ini?"
Sepasang mata Suma Koan terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Beraninya anak ini! "Hei, setan. Apakah engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan?" bentaknya, sedangkan puteranya. Suma Hok, juga marah sekali. Akan tetapi melihat kemarahan ayahnya, dia tilak berani lancang turun tangan membunuh Bun Houw dan membiarkau ayahnya yang akan menangani sendiri pemuda itu.
Senyum di bibir Bun Houw melebar.
"Tentu saja aku tahu, paman. Namamu disohorkan orang sebagai Kui-siauw Giam-ong, seorang di antara datuk sesat yang besar dan berkepandaian tinggi, dihormati dan ditakuti orang. Siapa kira orangnya hanyalah pengecut besar!"
"Apa kaukata? Orang muda, engkau benar-benar sudah bosan hidup!" datuk besar itu membentak, kemarahannya sudah memenuhi kepala sampai ke ubun-ubun.
"Mati hidup di tangan Tuhan! Engkau dihormati sebagai seorang datuk besar, akan tetapi engkau hanya pandai memaksa dan menghina seorang muda yang sudah tertuka parah! Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu tentang akar itu, bahkan melihatpun belum. Kalau engkau tidak percaya, sudahlah mau bunuh tinggal bunuh. Lebih senang aku yang mati dari pada engkau yang hidup akan tetapi sebagai seorang pengecut besar yang namanya akan ditertawakan orang sampai tujuh turunan!"
"Jahanam busuk, tutup mulutmu! Ayah, biar kuhabiskan saja keparat ini!" Suma Hok melangkah maju dan mengangkat tangannya, akan tetapi ayahnya mendelik kepadanya,
"Jangan bunuh! Kau ingin ucapannya yang menghina tadi terbukti? Aku tidak akan membunuhnya, aku akan membuat dia tetap hidup, menderita dan tersiksa, dan biar dia tahu betapa lihainya Kui-siauw Giam-ong yang dihinanya!" Suma Koan mengerahkan tenaga dan sekati dia menepuk punggung Bun Houw, pemuda itu terpelanting dan roboh, tak mampu bangkit kembali, terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, seluruh tubuh terasa nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum dan napasnya makin sukar seolah dadanya terhimpit kuat.
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan tertawa, diikuti oleh puteranya dan Suma Hok berkata,
"Jahanam sombong, rasakan kau sekarang. Pukulan ayah itu akan membuat engkau mati perlahan-lahan. Tidak ada tabib di dunia ini mampu menyembuhkanmu dan dalam waktu tiga bulan atau paling lama seratus hari, engkau akan mampus dalam keadaan yang amat tersiksa!"
"Sudah, biarkan dia mengenang kelihaianku. Mari kita pergi!" kata datuk sesat itu dan mereka berdua berkelebat lenyap dari situ, meninggalkan Bun Houw yang masih terengah-engah di atas tanah.
Sementara itu, hari semakin gelap. Bun Houw mencoba bangkit berdiri, akan tetapi terpelanting lagi. Kepalanya pening, napasnya sesak dan kedua kakinya menggigil, tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Dia berusaha untuk meninggalkan tempat itu. Dia harus dapat mencapai dusun di depan. Sambil merangkak-rangkak, kadang-kadang harus berhenti terengah-engah, Bun Houw menuju ke dusun. Sudah nampak ada sinar lampu berkelap-kelip dan sinar itulah yang menjadi pedoman ke arah mana dia harus merangkak.
Malam tiba dengan cepatnya.
Dengan susah payah, dalam keadaan setengah mati, akhirnya Bun Houw dapat mencapai depan pintu sebuah rumah sederhana yang terpencil, merupakan rumah pertama dari dusun yang kecil itu. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mengetuk daun pintu.
Di dalam gubuk terdengar gerakan dan api penerangan yang tadi berkelap kelip ditiup padam. Di sebelah dalam, di kamar rumah sederhana itu, So Kian, pemburu yang tadi mengintai orang-orang kang-ouw bertempur, berpelukan dengan isterinya. Isterinya ketakutan setengah mati! Sore tadi suaminya pulang dengan pakaian yang kotor penuh lumpur dan debu, dengan tubuh gemetar dan muka pucat. Dengan ketakutan So Kian menceritakan kepada isterinya apa yang dilihatnya di dalam hutan dekat puncak Bukit Merpati Hitam itu. Betapa banyak orang-orang kang-ouw yang menyeramkan dan berkepandaian tinggi sekali saling serang. Betapa akhirnya setelah mereka saling serang, dia dapat pula melarikan diri dan terus pulang.
Dalam keadaan tegang dan ketakutan, kini setelah malam tiba mendengar daun pintu di luar diketuk orang, tentu saja So Kian dan isterinya menjadi semakin ketakutan. So Kian adalah seorang pemburu yang biasa hidup di tengah hutan dan sering menghadapi bahaya dan kekerasan. Dia seorang pemberani. Akan tetapi sekali ini, setelah melihat banyak orang kang-ouw yang berilmu tinggi mengadu kepandaian, dia merasa dirinya kecil dan lemah, dan dia tahu bahwa kalau ada orang kang-ouw yang melihatnya dan menyerangnya, tentu dia akan tewas dan tidak berdaya melawannya. Kini, dia dan isterinya saling peluk di atas pembaringan, dalam kamar mereka dan hanya berdoa agar orang di luar itu segera pergi.
Ketukan itu terdengar beberapa kali, makin lama semakin lemah dan akhirnya tidak terdengar lagi. So Kian dan isterinya merasa lega. akan tetapi semalam itu mereka gelisah dan tidak berani keluar dari dalam kamar.
Baru pada keesokau harinya, pagi-pagi sekali So Kian suruh isterinya berindap-indap menuju ke depan dan mengintai dari celah-celah di balik pintu depan. Mereka berdua terkejut bukau main melihat seorang laki-laki muda, hanya bercawat, rebah terlentang di depan pintu. Muka pemuda itu pucat agak kebiruan, seperti muka mayat.
"Celaka ...! Ada orang mati di sini ...!"
So Kian berbisik dengan suara gemetar.
"Kita harus cepat minggat dari sini. Jangan ada yang menyangka kami yang membunuhnya!
"Celaka ... ah, sungguh celaka ...-!" katanya kebingungan dan hendak lari ke dalam.
Akan tetapi, isterinya yang masih terus mengintai, memegang lenganuya.
"Ihh, kenapa engkau sekarang menjadi seperti anak kecil ketakutan?" isterinya mengomel.
"Lihat, orang itu belum mati. Dia kelihatan sakit keras dan membutuhkan pertolongan."
"Ah. aku tidak berani. Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang semua ke sini dan hancurlah kita ...
"
'Tolol kau! Mana ada iblis jahat seperti orang itu? Dia masih muda dan sedang menderita. Mau kita tolong dia!" Wanita itu karena merasa kasihan, timbul keberaniannya dan ia membuka daun pintu. Terpaksa So Kian mengikuti isterinya dan mereka berlutut di dekat tubuh Bun Houw. Setelah dekat, baru mereka tahu bahwa pemuda yang hampir telanjang itu memang belum mati Bun Houw roboh pingsan setelah ketukan pintu itu dibukai orang.
"Dia pingsan. Mari kita angkat ke dalam. Kasihan sekali, dia membutuhkan pertolongan." kata isteri So Kian. Kini So Kiao tidak takut lagi dan pada dasarnya dia seorang yang baik budi. Diangkatnya tubuh lunglai itu di kedua lengannya yang kuat dan dibawanya ke dalam kamar sebelah yang kosong. Dia meletakkan lubuh yang pingsan itu ke atas sebuah pembaringan.
"Cepat ambilkan pakaianku. Dia harus diberi pakaian agar tidak kedinginan." kata So Kian kepada isterinya.
Tak lama kemudian, Bun Houw sudah berpakaian dan diselimuti. Akan tetapi melihat wajah yang pucat kebiruan, dada dan punggung yang menghitam dan membengkak, napas terengah-engah, suami isteri itu menjadi bingung sekali.
"Cepat kau pergi mengundang tabib atau membeli obat. Aku akan menunggunya." kata isterinya dan So Kian mengangguk, kemudian diapun pergi karena dia tidak ingin orang itu mati di dalam rumahnya.
Belum lama So Kian pergi, Bun Houw merintih dan bergerak. Isteri So Kian yang tadi duduk, kini bangkit berdiri menghampiri. Bun Houw tidak membuka mata, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak seperti orang mengigau.
"Akar ... Akar Bunga Gurun Pasir ... harus didapatkan mustika itu ...
"
Isteri So Kian membungkuk.
"Akar Bunga Gurun Pasir apakah yang kau maksudkan, kong-cu (tuan muda)?" Ia menyebut Bun Houw "kong-cu" karena ia mengira bahwa tentu pemuda itu seorang pemuda kota yang pantas disebut kongcu. Akan tetapi Bun Houw tidak menjawab, bahkan tidak pula membuka matanya, seperti orang tertidur. Isteri So Kian merasa lega melihat si sakit seperti tidur nyenyak, maka ia pun merasa tidak enak berdua saja dengan seorang pemuda. Ditinggalkannya Bun Houw ke belakang dan iapun hendak mencuci pakaian suaminya yang kotor berlumpur, yang ditanggalkannya kemarin sore dan belum sempat dicuci karena mereka sudah ketakutan mendengar cerita suaminya tentang orang-orang kang-ouw yang saling serang.
Ketika ia mencuci baju suaminya yang kotor, tiba-tiba tangannya memegang benda keras di saku baju itu. Diambilnya benda itu. Ternyata sebuah kantung sutera kecil yang terisi benda keras sebesar tangan. Diambilnya benda itu dan ia mengamatinya dengan heran. Seperti kayu atau akar, bentuknya seperti tangan, ada jari-jarinya dan akar rambut bergantungan. Nampaknya agak mengerikan seperti tangan manusia kering. Dimasukkannya kembali benda itu ke dalam kantung dan disimpannya. Setelah selesai mencuci pakaian dan dijemurnya, dibawanya kantung itu dan ia kembali ke kamar.
Bun Houw bergerak gelisah dalam tidurnya.
"Akar ... Akar Bunga Gurun Pasir ... ah, di mana mustika itu? Aku harus mendapatkannya ...
" dia mengigau.
Mendengar ini, dan melihat betapa wajah pemuda itu menjadi kebiruan, napasnya terengah-engah, wanita itu mengambil benda dari dalam kantung dan mengamatinya. Akar Bunga Gurun Pasir? Inikah benda yang dicarinya Memang seperti akar, akar yang aneh. Orang yang sakit parah itu selalu menanyakan Akar Bunga Gurun Pasir, kalau benar ini barang yang dicarinya, tentu akar inilah obatnya! Karena melihat keadaan Bun Houw semakin parah, napasnya tinggal satu-satu dan mukanya biru kehitaman mengerikan, wanita itu takut kalau-kalau Bun Houw mati sebelum suaminya kembali. Dalam bingungnya, ia lalu membawa akar itu ke dapur dan memasaknya dengan air.
Ketika api mulai panas, ia terkejut mendengar ledakan-ledakan kecil dan akar itu bergerak-gerak dalam air seperti hidup. Dan lebih aneh lagi, air itu cepat sekali mendidih. Ia tidak tahu bahwa akar itu memang Akar Bunga Gurun Pasir, benda mustika yang langka sekali. Di dalam akar bunga yang dapat hidup di Gurun Pasir itu terdapat hawa dingin yang merupakan inti dingin sehingga dapat membuat tanaman itu bertahan di gurun yang panas. Darah atau getah akar itu mengandung hawa dingin akan tetapi karena luarnya terselubung hawa panas, maka ketika ditemukan dengan air panas, hawa dingin di dalam itu melawan sehingga terjadi ledakan-ledakan kecil. Setelah hawa dingin itu terserap oleh hawa panas dari api, maka air itu cepat sekali mendidih.
Seperti biasanya kalau ia menggodok obat, air itu dibiarkan sampai tinggal sepertiga bagian, baru ia tuangkan air yang kini menjadi kehijauan itu ke dalam mangkok dan terjadi keanehan lain. Air yang tadinya mendidih itu setelah diangkat dari atas api, sebentar saja menjadi dingin kembali. Isteri So Kian cepat membawa mangkok obat itu ke dalam kamar.
"Akar ... ah. akar ... Akar Bunga Gurun pasir ...
" Bun Houw masih mengerang dan mengeluh.
"Inilah obat akar itu. Minumlah." kata isteri So Kian sambil membantu Bu Houw bangkit duduk dan memberi minum obat dari dalam mangkok. Dalam keadaan tidak sadar Bun Houw menelan air obat hijau itu sampai habis berteguk-teguk. Wanita itu lalu merebahkannya kembali dan ia melangkah hendak keluar dari dalam kamar, untuk mempersiapkan masakan di dapur. Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras mengejutkan di belakangnya. Ketika ia membalik, ia terbelalak dan mangkok kosong itupun terlepas dari tangannya, terbanting pecah di atas lantai kamar. Ia memandang dengan mata terbalalak dan muka pucat, takut dan bingung.
Memang hebat akibat dari obat yang diminum habis oleh Bun Houw itu. Kini tubuhnya bergerak-gerak aneh, menegang, bergerak-gerak seperti sepotong benda aneh, tangan dan kakinya mencakar-cakar, memukul menendang dalam keadaan masih rebah, matanya terbelalak merah, mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara yang aneh seperti seekor binatang disiksa, jari-jari tangannya terbuka, dan terdengar suara berkerotokan di tubuhnya, seolah-olah semua tulangnya hendak rontok, dan perlahan-lahan, tubuhnya menjadi kemerahan seperti kepiting direbus, dan mengeluarkan uap panas!"
Agaknya teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Bun Houw terdengar pula oleh So Kian yang datang berlari-lari. Dia mendengar suara aneh di dalam rumahnya, dan diapun lari memasuki rumah. Dilihatnya isterinya berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak di luar pintu kamar di mana tamu yang sakit itu berada.
"Apa yang terjadi ...?" tanyanya sambil cepat menghampiri isterinya. Wanita itu tadi tidak mampu bergerak saking kaget dan khawatir, juga takutnya. Kini mendengar suara suaminya ia membalik dan hampir pingsan roboh dalam rangkulan suaminya. Ia tidak mampu bicara, hanya menuding ke arah dipan dalam kamar.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
So Kian cepat memandang dan diapun terbelalak. Sambil merangkul Isterinya, dia melangkah masuk ke dalam kanar itu, hendak menghampiri tamu mereka yang kini berkelonjotan dan menggeliat-geliat aneh. Akan tetapi, baru tiga langkah mereka mendekat, mereka terpaksa mundur lagi dengan cepat. Hawa panas yang menyerang mereka, yang keluar dari tubuh di atas dipan itu. sungguh tak tertahankan! Tamu mereka itu seperti dalam keadaan terbakar tanpa nampak ada apinya! Agaknya terbakar dari dalam oleh hawa panas yang melebihi api!
"Apa ... apa yang lelah terjadi ...
" So Kian bertanya kepada isterinya, Isterinya menggigil dan memandang ke arah tubuh yang berkelonjotan itu dengan hati ngeri.
"Aku ... aku meminumkan obat ...
"
"Obat? Obat apakah?" Suaminya bertanya. Kini mereka hanya berdiri di luar pintu kamar. Di tempat itu pun masih terasa panas yang keluar dari dalam kamar, seolah kamar itu kebakaran.
Aku menggodok akar itu dan memberi minum. Dia selalu mengigau menanyakan akar itu. Maka, ketika aku menemukan akar dalam kantung itu di dalam saku bajumu, kukira itulah obat yang dicarinya, dan kugodok lalu kuminumkan.
"Akhh! Benda itukah?" So Kian termenung. Kemarin sore ketika dia bersembunyi menonton para tokoh kang-ouw bertempur hebat, ada benda yang jatuh menimpa pundaknya. Dia terkejut dan mengambil benda itu yang ternyata sebuah kantung sutera. Tanpa disadarinya, karena dalam keadaan tegang dan ngeri, dia mengantongi benda itu, tanpa mengetahui apakah benda itu dan kenapa pula dia mengantungnya. Kalau dia tahu bahwa benda itu yang dijadikan perebutan antara para tokoh kangouw yang lihai itu, tentu menjamahpun dia tidak berani. Kini baru dia teringat. Mereka memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir!"
"Benda apakah itu?" tanya isterinya.
Suaminya menggeleng kepala.
"Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi agaknya benda itulah yang disebut Akar Bunga Gurun Pasir itu dan dijadikan rebutan. dan kenapa engkau menggodok dan meminumkannya? Lihat, dia sekarat mengerikan!"
Wanita itu menutupi mukanya dengan tangan.
"Ah, kukira ... dia mencari obat itu, dan aku ... aku tidak tega melihat dia tersiksa ... aku tidak tahu obat itu akan membunuhnya ...
" Dan wanita itu menangis.
Suaminya merangkulnya.
"Sudahlah, bukan kau sengaja. Maksudmu baik. dan aku sendiri tidak tahu benda apa Akar Bunga Gurun Pasir itu. Kebetulan saja kudapatkan dan dia sudah meminumnya. Sudahlah, kita harus cepat pergi dari sini. Cepat kumpulkan semua pakaian dan barang berhanga yang dapat kita bawa."
"Eh? Ke mana kita akan pergi? Dan kenapa harus pergi!"
"Sudahlah, cepat lakukan apa yang kuminta, bahaya maut mengancam kita. Kita pergi mengungsi untuk sementara, kalau kelak sudah aman kita kembali lagi."
"Tapi ... tapi orang itu sakit ...
"
Suaminya menghela napas panjang.
"Memang dia sakit, mungkin akan mati. Akan tetapi apa yang dapat kita lakukan? Akupun gagal mencari tabib, satu-satunya tabib sedang pergi untuk beberapa hari lamanya. Kita harus cepat mengungsi."
"Tapi ... bagaimana kita dapat meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu? Dia akan mati ...!"
"Sudahlah! Kebaikan hatimu mungkin akan menyeret kita berdua ke dalam maut!" Suaminya membentak dan wanita inipun tidak berani membantah lagi. Tak lama kemudian, mereka pergi meninggalkan rumah itu sambil membawa buntalan pakaian.
Bun Houw dapat mendengar dan melihat semua itu! Dia mengalami hal amat aneh. Ketika dia ditemukan oleh So Kian dan Isterinya. dia benar-benar dalam keadaan pingsan dan tidak ingat apa-apalagi, tidak merasakan apa-apalagi. Akan tetapi, pagi tadi, dia siuman dan merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, kemudian perasaan panas dingin menyerangnya silih benganti. Ketika wanita itu datang membawa mangkok dan membantunya minum, dia masih sadar dan tahu bahwa wanita itu telah menolongnya dan kini berusaha mengobatinya. Karena dia memang membutuhkan obat. obat apa saja untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk-nusuk, tanpa membantah diapun menelan cairan yang dituangkan ke dalam mulutnya, meneguk sampai habis isi mangkok itu.
Dan mulailah dia terbakar! Terjadi kebakaran hebat di dalam tubuhnya. Rasa panas menyerangnya sedemikian hebatnya sehingga dia tidak mampu menguasai tubuhnya lagi. Tubuh itu meregang dan menggelepar, menggeliat dan berkelonjotan tanpa dapat dia kuasai lagi. Bahkan kerongkongannya mengeluarkan suara di luar kehendaknya, lepas dari pengendaliannya. Anehnya, matanya yang melotot itu dapat melihat segala dengan jelas, dan juga telinganya dapat menangkap semua suara sehingga dia dapat melihat dan mendengar ketika suami isteri penolongnya itu bercakap-cakap. Akan tetapi dia tidak dapat bicara, tidak dapat membuat gerakan kecuali hanya menyerah saja dan membiarkan hawa panas yang teramat kuat di dalam tubuhnya itu menguasainya. Tubuhnya kini menjadi seperti medan perang di mana terjadi pertempuran hebat antara dua kekuatan yang menguasai dirinya. Kekuatan racun dan kekuatan obat.
Bun Houw tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tidak tahu obat apa yang telah diminumnya tadi. Dia masih teringat bahwa dua kali dirinya telah menjadi bulan-bulan pukulan orang-orang sakti, yaitu datuk sesat Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, kemudian terjatuh ke tangan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan menerima siksaan pula. Nyawanya sudah bergantung kepada sehelai rambut. Dan kini, setelah minum obat dari mangkok yang diberikan isteri orang yang menolongnya, tubuhnya kebakaran dari dalam! Dan tadi dia masih mendengar percakapan mereka, akan tetapi dia masih belum mengerti benar. Mereka bicara tentang Akar Bunga Gurun Pasir! Benarkah dia telah diberi minum Akar bunga Gurun Pasir? Benarkah mustika yang dijadikan perebutan semua orang kang-ouw itu kini telah masuk ke dalam perutnya dan mengakibatkan tubuhnya kebakaran seperti itu? Dia tentu akan mati! Belum pernah selama hidupnya dia merasakan siksaan yang sedemikian hebatnya. Bahka siksaan dua orang datuk sesat itupun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi dalam tubuhnya setelah dia minum obat itu.
Saking panasnya. Bun Houw membuat gerakan untuk melepas bajunya. Terdengar suara berebrebetan dan baju itu koyak-koyak.
Baru membuat sedikit gerakan saja, bajunya koyak-koyak. Untung dia masih teringat untub tidak membuka celananya. Biarpun sudah bertelanjang baju, masih saja dia merasa terbakar. Dadanya seperti akan meledak rasanya dan ketika dia memandang ke arah dadanya, ternyata tanda menghitam bekas pukulan dua orang datuk itu telah lenyap! Kulit dadanya halus dan bersih, akan tetapi kini seluruh tubuhnya berwarna kemerahan seperti kepiting direbus!
Setelah berkelojotan selama setengah jam, akhirnya Bun Houw dapat mengendalikan kekuatan hebat yang mencengkeram dirinya dari dalam itu. Di dalam dirinya seperti ada gas yang hendak keluar, mencari jalan keluar dan bagaikan liar. Akan tetapi, setelah rasa nyeri di tubuhnya perlahan-lahan lenyap, yang ada hanyalah perasaan panas, dia mulai dapat mengendalikan hawa yang amat kuat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi yang pernah digembleng oleh orang sakti, diapun dapat merasakan betapa dirinya telah dikuasai oleh tenaga dalam yang amat dahsyat. Diapun dapat bangkit duduk, lalu bersila.
Kini dia dapat merasakan benar hawa yang dahsyat itu berputar-putar di seluruh tubuh melalui jalau darahnya. Mula-mula, memang kekuatan itu tak terkendalikan olehnya, berputar-putar liar dan tak menentu. Akan tetapi, akhirnya, perlahan-lahan dia dapat mengendalikannya. Ketika dia mengendalikan tenaga dahsyat itu dan membiarkan berputaran secara teratur, hampir saja dia pingsan. Begitu cepatnya hawa itu berputar sehingga dia merasa seperti akan terapung ke atas. Setelah dia dapat membiarkan diri dengan keliaran tenaga dalam tubuh itu, dapat juga dia menghentikannya ke dalam pusar di perut bawah dan di situ, tenaga dahsyat itu masih berputar-putar dan beberapa kali sukar dikuasai, akan tetapi akhirnya dapat bergabung dengan tenaga sin-kang yang selama ini terhimpun di situ dan dapat diam.
Setelah tenaga itu tidak liar lagi, dia mulai dapat mempengunakan ingatannya. Mula-mula Hui Hong marah-marah dan cekcok dengan dia karena Hui Hong nampaknya cemburu kepada Ling Ay, menuduhnya masih mencinta bekas tunangannya itu yang telah menjadi isteri orang. Kemudian muncul Ouwyang Toan yang memaksanya untuk berkelahi, dan sesudah itu, ayah Hui Hong, datuk sesat Ouwyang Sek memaksanya berkelahi. Dan agaknya Ouwyang Sek telah mengenal gurunya, Tiauw Sun Oug, bahkan amat membenci gurunya itu. Dalam perkelahian yang terpaksa dia layani itu, akhirnya dia terkena pukulan pada dadanya, pukulan keras mengandung racun yang amat hebat, dan Pedang Kilat, pedang pusaka bersarung tongkat yang dia peroleh dari gurunya itu, dirampas Ouwyang Sek. Kemudian, Hui Hong yang menyelamatkannya, ketika Ouwyang Sek hendak membunuhnya.
'Heran, bagaimanapun juga, ada pula perasaan iba dan sayang dalam hati Hui Hong kepadaku," keluh Bun Houw ketika mengenang, paristiwa itu. Dia melanjutkan lamunannya, mengingat-ingat.
Dalam keadaan terluka oleh pukulan Ouwyang Sek, dia diperbolehkan pergi dan dalam perjalanan itu, dia bertemu dengan datuk sesat yang lain, yaitu Suma Koan bersama puteranya Suma Hok. Dia pernah membebaskan Hui Hong dari cengkeraman Suma Hok yang nyaris memperkosanya. Tentu saja Suma Hok mendendam kepadanya. Ayah dan anak itu menuduh dia menyembunyikan Akar Bunga Gurun Pasir. Mereka menghinanya, menelanjanginya, bahkan menyiksanya, kemudian datuk sesat yang kejam itu sengaja memukulnya sehingga dia keracunan dan akan mati perlahan-lahan. Dalam keadaan tiga perempat mati itu dia merangkak-rangkak ke dusun dan akhirnya dia tiba di depan pintu sebuah pondok, lalu tidak ingat apa-apalagi.
Dia memejamkan mata, lalu mengingat-ingat lagi. Dia kini tahu bahwa dia telah ditolong oleh wanita itu dan suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Kemudian, entah bagaimana, dia merasa seperti dalam mimpi, dalam keadaan setengah sadar dia merasa dibantu wanita itu bangkit duduk dan diberi minum dari sebuah mangkok. Minuman yang terasa amat dingin di mulut akan tetapi amat panas di perut. Dan setelah obat itu diminumnya sampai habis, mulailah dia kebakaran! Kemudian dia mendengar percakapan suami isteri itu, melihat pula mereka berdiri di ambang pintu. Mendengar mereka menyebut tentang Akar Bunga Gurun Pasir.
"Ah, tidak salah lagi. Orang itu telah menemukan Akar Bunga Gurun Pasir secara kebetulan dan Isterinya menemukan mustika itu, lalu memasaknya dan memberikan kepadaku sebagai obat! Mustika yang diperebutkan orang seluruh dunia kang-ouw itu secara aneh dan kebetulan, tidak disangka-sangka dan tidak disengaja, telah masuk ke dalam perutku!" Dan tiba-tiba, karena merasa geli, Bun Houw tertawa dan begitu tertawa, dia terkejut bukan main karena hawa dahsyat yang tadi sudah agak jinak berdiam di dalam dian-tin (pusat bawah perut), kini bangkit lagi dan meliar, dan suara ketawanya tak terkendalikan lagi, bergelak-gelak menggelegar dan didorong oleh tenaga sakti yang dahsyat itu.
Akhirnya, setelah dengan susah payah, Bun Houw berhasil meredakan tawanya, mengembalikan tenaga itu ke dalam pusar dan diapun mengatur pernapasannya. Tenaga yang berdiam di dalam tubuhnya itu. Sungguh dahsyat akan tetapi juga liar dan berbahaya. Dia bisa bersikap seperti orang yang tidak waras pikirannya kalau tidak mampu mengendalikan hawa sakti itu. Kini dia dapat menduga bahwa itulah hawa yang ditimbulkan oleh mustika Akar Bunga Gurun Pasir! Dia tentu saja tidak tahu bahwa tenaga sekti itu menjadi liar setelah bengulat dan bercampur dengan hawa beracun di tubuhnya akibat pukulan dua orang datuk esat. Tenaga bawa sakti itu menjadi semakin dahsyat, akan tetapi juga menjadi liar.
Kemudian dia teringat. Suami Isteri pemilik pondok ini telah melarikan diri. Dia tidak menyalahkan mereka. Tentu saja mereka ketakutan, bukan saja melihat keadaan dirinya, akan tetapi juga takut, kepada orang-orang kang-ouw. Dan ketakutan mereka itu beralasan. Besar sekali kemungkinannya, dia yang akan menjadi perebutan oleh orang-orang kang-ouw, kalau mereka tahu bahwa dia telah minum habis sari Akar Bunga Gurun Pasir! Dan suami isteri itu tentu saja takut kalau mereka menjadi korban kekejaman orang-orang kang-ouw.
"Aku tidak boleh berada di sini," pikirnya.
"Jangan sampai para datuk menemukan aku di rumah ini. Suami isteri itu telah menanam budi kepadaku, bukan saja menolongku, memberi pakaian, bahkan juga wanita itu telah menyelamatkan nyawaku dengan memberi Akar Bunga Gurun Pasir, walaupun secara tidak disengaja. Aku harus pergi!"
Setelah berkata demikian kepada diri sendiri, Bun Houw lalu turun dari pembaringan. Begitu dia turun, kembali dia terkejut. Gerakannya demikian ringannya, seperti melayang-layang. Dia merasakan dirinya seperti sehelai bulu, ringan dan seperti akan terapung! Melihat betapa tubuh atasnya telanjang, dan di atas meja masih tersangkut sebuah baju milik tuan rumah yang agaknya tertinggal. Dipakainya baju itu dan Bun Houw keluar dari dalam rumah. Matahari telah naik cukup tinggi dan keadaan di luar rumah itu sunyi saja. Agaknya dusun itu hanya kecil dan para penghuninya sudah pergi ke sawah ladang mereka. Bun Houw merasa lega bahwa tidak ada orang lain melihat dia berada di rumah itu. Dengan demikian, maka setelah dia meninggalkan rumah itu, pemiliknya akan terhindar dari bahaya tersangkut dalam urusan perebutan Akar Bunga Gurun Pasir.
Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, Bun Houw lalu menyelinap keluar dari dusun itu dan pergi menuju ke sebuah bukit yang nampak tak jauh dari tempat itu.
Bun Houw memasuki hutan di lereng bukit itu. Perutnya terasa lapar sekali setelah dia terbebas dari siksaan rasa nyeri. Kini tubuhnya terasa enak, hangat dan nyaman. Ternyata setelah dia berjalan kaki dan tubuhnya berkeringat, rasa panas yang amat hebat itu makin lama semakin mereda, berubah menjadi rasa hangat. Dia merasa tubuhnya sehat sama sekali. Tidak ada lagi sisa rasa nyeri akibat pukulan dan siksaan dua orang datuk sesat itu. Dia telah sembuh sama sekali! Hanya masih ada perasaan aneh karena tubuhnya kadang-kadang masih terasa ringan bukan main. seolah-olah kalau ada angin besar bertiup, tubuhnya akan dibawa melayang ke angkasa. Dan kini perutnya lapar bukan main. Sanggup rasanya dia untuk menghabiskan daging seekor kijang gemuk!
Bun Houw mengharapkan untuk menemukan buah apa saja untuk mengisi perutnya yang amat lapar. Akan tetapi, sampai jauh memasuki hutan, dia tidak melihat pohon buah, tidak pula bertemu dengan binatang buruan. Tidak bertemu manusia yang dapat dimintai tolong memberi makanan. Dan ketika dia menghentikan langkahnya dan menghapus keringat, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan lima orang muncul di depannya. Lima orang laki-laki tinggi besar dan kokoh kuat, antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun usia mereka. Setiap orang memegang sebatang golok yang besar dan sikap mereka bengis, wajah mereka membayangkan kekerasan dan kejahatan.
Sialan, pikir Bun Houw. Dia mengharapkan bertemu makanan, malah bertamu lima orang penjahat! Mereka ini jelas penjahat, pikirnya. Dari sikap seseorang, kita dapat menduga wataknya. Dan sinar mata lima orang ini amat kejam dan bengis. Akan tatapi, dia pura-pura tidak perduli dan tidak melihat mereka lalu melanjutkan langkahnya ke kiri.
"Tunggu ...!" Tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang itu, dengan gerakan cepat yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, lima orang itu telah mengepung Bun Houw dalam setengah lingkaran di depannya.
Bun Houw bersikap tenang. Ketika hendak membuka mulut bicara, dia merasa lagi betapa hawa yang amat kuat bergerak dari pusarnya, mendorong ke atas dan hampir saja dia mengeluarkan teriakan atau pekikan nyaring. Dia masih mampu menahan dirinya, menarik napas panjang untuk menenteramkan hawa liar yang masih mencengkeramnya dari dalam.
"Ngo wi (anda berlima) menahan parjalananku ada urusan apakah?"
"Tak perlu banyak tingkah. Engkau melanggar wilayah kekuasaan kami. Cepat serahkan segala yang kaumiliki sebagai pajak jalan kepada kami, baru kami perbolehkan engkau melanjutkan perjalanan." bentak seorang di antara mereka yang codet (berbekas luka) pipi kanannya.
Tak salah dugaannya. Mereka ini penjahat, perampok! "Maafkan aku, sobat. Terus terang saja, aku orang miskin tidak mempunyai apa-apa, bahkan saat ini perutku lapar sekali karena sejak kemarin belum makan apa-apa." katanya tenang sambil mengerahkan kemauannya untuk mengendalikan hawa dahsyat dari pusarnya.
"Enak saja bicara!" bentak orang ke dua yang mukanya hitam.
"Engkau tahu dengan siapa berhadapan? Kami adalah Hek-san Ngo-houw (Lima Harimau Bukit Hitam) yang menguasai wilayah ini. Kalan engkau tidak punya apa-apa, hayo tinggalkan semua pakaianmu berikut sepatu itu!"
Bun Houw tersenyum. Aneh mereka ini. Mengaku sebagai Hek-san Ngo-houw dan bersikap garang. Padahal, baru kemarin orang-orang kang-ouw, bahkan para datuk besar, muncul di Bukit Merpati Hitam. Apakah lima orang ini demikian beraninya memperlihatkan kekuasaannya pada saat seperti itu?
"Sobat, apakah Bukit Merpati Hitam juga merupakan daerah kekuasaan kalian?" pancingnya.
Lima orang itu saling pandang, kemudian mereka mengamati Bun Houw dengan penuh perhatian, pandang mata mereka menyelidik. Kemudian si codet melangkah maju, menatap wajah Bun Houw dan bertanya,
"Apa hubunganmu dengan Bukit Merpati Hitam?"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Sobat, mari kita baik-baikan saja. Punyaku hanya pakaian yang menempel di tubuh ini, pakaian sederhana yang tidak ada harganya. Kalau kalian memintanya, apakah aku harus bertelanjang dan tidak bersepatu? Harap jangan keterlaluan." kata Bun Houw dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap para perampok ini keterlaluan. Mana ada perampok tega merampok seorang miskin yang tidak punya apa-apa?
"Cerewet amat sih engkau?" bentak orang ke tiga yang mukanya kekuningan.
"Cepat tanggalkan pakaian dan sepatumu, atau terpaksa kubikin engkau menanggalkan kepalamu dari tubuhmu!" Orang itupun maju dan goloknya menempel di leher Bun Houw dengan sikap bengis mengancam.
Bun Houw menahan diri agar tidak sampai terbakar perasaan marah. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan penjahat-penjahat kecil .yang biasanya hanya berani menindas yang lemah, menggunakan gertakan dan memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Tidak semestinya dia melayani orang-orang semacam ini.
"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani orang-orang seperti kalian!" katanya sambil membalikkan tubuhnya, dan melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
"Heh, kurang ajar! Engkau ingin mampus!" bentak mereka dan lima orang itu sudah menyerang sambil memaki-maki. menggerakkan golok mereka seperti hendak berlumba membunuh pemuda yang berani memandang rendah mereka.
Mendengar gerakan kaki mereka dan sambaran golok. Bun Houw membalikkan tubuh dan kedua tangannya bergerak seperti orang mengusir lalat. Akan tetapi akibatnya hebat. Dari kedua tangannya menyambar keluar hawa yang dahsyat dan panas dan lima orang itu seperti ditiup badai panas yang membuat mereka terjengkang dan terguling-guling dengan senjata mereka terlepas dari tangan. Mereka terkejut bukan main dan begitu dapat bangkit mereka segera melarikan diri tanpa di komando lagi, lintang pukang dan jatuh bangun. Akan tetapi Bun Houw ingin memberi pelajaran kepada mereka agar jangan mereka melanjutkan perbuatan jahat itu mengganggu orang-orang yang tidak bersalah. Sekali lagi tangannya mendorong ke depan, ke arah orang yang terdekat dan orang itupun terpelanting roboh. Dengan beberapa langkah saja Bun Houw sudah menghampirinya dan menginjakkan kaki pada dadanya. Biarpun injakan itu tidak disertai pengerahan tenaga, namun orang itu merasa betapa dadanya tertindih benda yang amat berat.
"Am ... pun ... taihlap ...
" Dia mencoba untuk berseru dengan napas terengah-engah.
Melihat seorang kawannya roboh dan tertawan, empat orang perampok yang sudah lari itu menoleh dan mereka pun kembali, menghampiri Bun Houw yang siap menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi setelah dekat, empat orang itu sama sekali tidak mengeroyok, melainkan menjatuhkan diri berlutut pula.
"Taihiap, ampunkan kawan kami." kata mereka berulang-ulang.
Tergerak perasaan Bun Houw. Bagaimanapun Juga, orang-orang itu masih mempunyai perasaan setia kawan, pikirnya.
"Kalau kalian mengharapkan ampun, berjanjilah bahwa kalian tidak akan mengganggu orang tak berdosa, Apalagi kalan dia miskin."
"Kami berjanji ... kami berjanji ...
" kata mereka berulang-ulang.
Bun Houw melepaskan injakannya dan ternyata yang ditangkapnya tadi adalah pimpinan gerombolan itu. Mereka berlima menghaturkan terima kasih dan pimpinan perampok itu berkata dengan sungguh-sungguh.
"Percayalah, taihiap. Dahulu kami adalah pemburu-pemburu. Akan tetapi, setelah hasil baruan makin berkurang sehingga tidak cukup untuk makan kami sekeluarga, kami mulai minta sokongan kepada rombongan pedagang yang lewat. Akan tetapi, kemudian rombongan pedagang itu tidak lewat di sini lagi, semenjak banyak orang kang-ouw berkeliaran di sini dan mereka itu menjadi korban siluman Guha Setan."
Bun Houw mengerutkan alisnya.
"Siluman Guha Setan? Apa dan siapakah itu?"
Kepala perampok itu mengeluarkan makanan dari buntalan mereka.
"Marilah kita makan dulu, taihiap. Bukankah taihiap tadi mengatakan sejak kemarin belum makan? Kamipun lapar. Kita makan dan kami akan menceritakan tentang guha itu."
Melihat kesungguhan hari mereka, walaupun makanan dan minuman yang dikeluarkan hanya roti kering dan dendeng bersama seguci arak, Bun Houw tidak sungkan lagi. Dia mengangguk dan merekapun duduk di atas tanah berumput, makan makanan sederhana namun terasa nikmat dan lezat bagi perut yang lapar.
Sambil makan, mereka bercerita dan Bun Houw mendengarkan dengan mata penuh keheranan. Menurut cerita mereka, di puncak Bukit Hitam itu terdapat sebuah guha yang besar. Tadinya tak pernah ada orang berani memasuki guha itu yang menurut kepercayaan penduduk dnsun di sekitar kaki bukit, guha itu dihuni setan, dan karenanya guha itu diberi nama Guha siluman. Akan tetapi akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu. orang-orang kang-ouw berdatangan ke bukit itu, mendaki sampai ke guha di dekat puncak
"Yang mengerikan, setiap orang kang-ouw. betapapun tingginya ilmu kepandaiannya, setelah memasuki guha itu, tahu-tahu menjadi gila dan mati di depan guha. Di depan guha itu kini berserakan rangka manusia. Kami sendiri hanya berani nonton dari jauh, sama sekali tidak berani mendekat karena kami masih sayang nyawa," si kepala perampok mengakhiri ceritanya.
Biarpun tertarik dan heran, namun Bun Houw tidak mau menelan mentah-mentah cerita itu. Dianggapnya bahwa cerita itu hanya kepercayaan orang-orang tahynl belaka.
"Ketika kalian melakukan pengintaian itu. apa yang kalian lihat? Apakah orang-orang-kang-ouw itu dibunuh oleh setan atau siluman?"
"Kami pernah melihat dua orang kang-ouw yang gagah keluar dari dalam guna itu setelah mereka bertapa beberapa minggu lamanya. Begitu keluar, mereka saling serang dengan ilmu silat yang gerakannya aneh sekali, entah mereka itu berkelahi ataukah latihan karena pertandingan itu bagi kami amat seru. Akan tetapi, keduanya roboh dan tewas tanpa terluka!"
Bun Houw semakin tertarik.
"Dan kalian sudah melihat adanya siluman itu? Kalau tidak pernah melihatnya, bagaimana kalian dapat mengatakan bahwa orang-orang kang-ouw itu dibunuh siluman?"
"Memang tidak ada yang pernah melihatnya, taihiap. Akan tetapi kematian orang-orang itu aneh. Ada yang melihat seorang kang-ouw keluar dari guha, lalu bersilat seperti orang gila dan kemudian roboh sendiri dan mati. Siapalagi kalau bukan siluman yang membunuhnya? Guha itu memang dihuni siluman, siapa yang masuk ke sana tentu keluarnya akan menjadi gila dan mati konyol."
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 11
Bun Houw menjadi tertarik bukan main.
"Sungguh menarik. Aku akan ke sana sekarang juga."
Mendengar ini, lima orang perampok itu terbelalak dan saling pandang, kemudian pimpinan mereka berkata,
"Taihiap, jangan pergi ke sana! Biarpun ilmu kepandaian taihiap amat tinggi, akan tetapi bagaimana mungkin taihiap sunggup melawan siluman yang tidak kelihatan. Harap taihiap menjauhi tempat itu. Kami peringatkan karena kami berhutang nyawa kepada taihiap." Juga yang lain membujuk, akan tetapi Bun Houw hanya tersenyum.
"Sudahlah, makin aneh kalian bercerita, semakin tertarik hatiku dan kalan kesempatan ini tidak kupergunakan untuk melihat tempat itu, aku akan selalu merasa menyesal dan kecewa. Nah, selamat tinggal, kawan-kawan, jangan melupakan janji kalian tadi." Setelah berkata demikian, Bun Houw mempengunakan kepandaiannya. Sekali berkelebat dia lenyap dari depan lima orang itu. Setelah dia minum sari Akar Bunga Gurun Pasir, dia memiliki tenaga sin-kang yang demikian dahsyat dan kuatnya sehingga kadang-kadang dia belum mampu mengendalikannya. Seperti ketika dia melompat dari depan lima orang itu, tubuhnya melayang seperti terbang saja, bahkan lebih cepat lagi seolah-olah dia pandai menghilang!
Lima orang perampok itu terbelalak dan seorang di antara mereka berbisik,
"Wah, dia pandai menghilang. Jangan-jangan ...
" dan tidak berani melanjutkan.
"Jangan-jangan apa?" bentak kepala perampok dan mereka semua merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang karena sebelum dijawab mereka sudah dapat menduga apa yang menjadi dugaan kawan mereka.
"Jangan-Jangan dia itu justeru penghuni guha siluman ..." Lima orang itu saling pandang, bengidik dan tidak berani banyak cakap lagi, melainkan segera pergi menuruni lereng, menjauhi puncak di mana terdapat guha yang mereka yakini menjadi tempat tinggal Iblis-iblis dan siluman itu.
Sementara itu, dengan cepat sekali Bun Houw mendaki bukit dan tak lama kemudian tibalah dia di depan guha yang dimaksudkan. Sebuah guha di puncak yang tandus itu, guha batu yang besar, mulut guha itu tidak kurang dari lima meter lebarnya dan tiga meter tingginya. Akan tetapi bukan guha itu yang menarik perhatian Bun Houw, melainkan benda-benda yang berserakan di depan guha yang merupakan tanah datar yang kering kerontang. Rangka-rangka manusia berserakan! Bahkan ada mayat menghitam, sudah melewati masa membusuk akan tetapi kulitnya masih ada dan dagingnya belum habis semua. Mengerikan rangka dan mayat itu masih berpakaian! Dan senjata bermacam-macam berserakan pula di situ. Ada pedang, golok, tombak, toya dan bayak macam lagi. Suasana di situ sunyi senyap, hanya kadang diseling suara burung gagak yang menyeramkan. Pantas menjadi tempat iblis dan setan. Akan tetapi Bun Houw bukan seorang penakut. Kalau orang-orang itu, dia dapat menduga tentu orang-orang yang pandai Ilmu silat melihat banyaknya senjata di situ, sampal tewas di tempat ini, tentu ada yang membunuh mereka. Setidaknya, dia harus mencari tahu apa yang menyebabkan matinya orang-orang itu. Dan agaknya rahasianya terletak di dalam guha besar itu.
Dia bersikap hati-hati sekali. Untuk menyelidiki lebih dahulu kaadaan guha itu dari luar, Bun Houw memejamkan kedua matanya dan mengerahkan sin-kang kepada pendengarannya. Dia pernah dilatih gurunya yang buta untuk mengandalkan telinga atau pendengarannya yang kadang lebih tajam, lebih waspada dan lebih dapat diandalkan dari pada penglihatan. Kalau dia memejamkan kedua matanya, maka pendengarannya menjadi lebih tajam dan peka. Dan ternyata apa yang tidak mampu ditangkap penglihatannya, kini dapat dia tangkap dengan pendengarannya. Ada suara di dalam guha, suara orang bergerak!"
Bila memang tidak dapat memastikan siapakah orang yang membuat gerakan di dalam guha itu, atan bukan. Yang jelas, ada sesuatu yang bergerak di sana. Setankah? Manusia? Hewankah? Dia tidak tahu dan diapun tidak berani lancang mematuki guha, Apalagi pendengarannya menangkap bahwa gerakan itu menuju ke mulut guha!
Bun Houw tetap mengintai dan akhirnya dia melihat apa yang tadi didengarnya lebih dahulu. Seorang laki-laki keluar dari dalam guha itu. Laki-laki ini berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah. Pakaiannya kumal, agaknya sudah beberapa lamanya tidak pernah diganti, rambutnya kusut akan tetapi wajahnya nampak gembira bukan main. Bahkan dia tersenyum lebar, lalu tertawa bergelak dan mencabut pedangnya, memandang kepada mayat dan rangka yang berserakan.
"Ha-ha-ha, akhirnya akulah yang menang. Aku yang menguasai Ilmu itu dan aku yang akan menjadi jago silat nomor satu di dunia ini, ha-ha-ha! Dengan Im-yang Bu-tek Cin-keng aku merajai dunia persilatan, semua datuk akan kutalukkan satu demi satu, ha-ha-ha!" Dan orang itu lalu menggerakkan tubuh dan pedangnya, bersilat secara aneh sekali. Akan tetapi, yang membuat Bun Houw terkejut, hawa pedang yang menyambar-nyambar itu terasa olehnya padahal dia bersembunyi di balik batu besar yang jaraknya ada limapuluh meter! Sungguh hebat ilmu silat itu! Akan tetapi, belum ada sepuluh jurus orang itu bersilat, tiba-tiba dia mengeluh, terhuyung, pedangnya terlepas dan dengan susah payah dia mempertahankan diri agar tidak jatuh, kedua tangan memegangi kepala dan napasnya terengah-engah!"
Bun Houw terkejut dan cepat dia meloncat keluar untuk menolong orang itu! Akan tetapi, begitu mendengar ada gerakan orang menghampiri dari arah kiri, tiba-tiba orang yang terhuyung itu membalikkan tubuh dan kedua tangan yang tadi memegangi kepala kini menyambar dengan dorongan ke arah Bun Houw! Bun Houw terkejut, mengenal pukulan ampuh ketika merasakan angin dahsyat menyambar. Diapun cepat mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangan menyambut karena sudah tidak mungkin dapat mengelak lagi tanpa membahayakan dirinya.
"Desst ...!!" Bun Houw merasa betapa tubuhnya tengetar, akan tetapi hawa dahsyat, timbul dari pusarnya menolak kekuatan aneh dari tangan lawan dan diapun dapat mempertahankan dirinya. Dan orang itupun terjengkang dan ketika dia melihat, ternyata orang itu telah tewas! Bun Houw tercengang. Jelas, bahwa orang itu memiliki ilmu yang hebat bukan main. Dan tangkisannya tadi sama sekali tidak mengandung daya serang. Akan tetapi kenapa orang ini tewas, diapun teringat akan keadaan orang itu sejak tadi keluar dari dalam guha. Ketika baru kaluar, jelas dia sehat dan ketika bermain silat, gerakan-gerakannya luar biasa, sedikitpun tidak menunjukkan kelemahan, bahkan hawa sambaran pedangnya dapat mencapai tempat dia bersembunyi. Kemudian selagi bermain silat, orang itu terhuyung seperti terluka parah. Namun masih mampu melancarkan serangan sedemikian dahsyatnya, dan ketika dia menangkisnya, orang itu tewas! jelas bukan karena tangkisannya, melainkan karena orang itu sudah terluka lebih dahulu selagi berlatih silat.
Tentu saja dia merasa heran bukan main. Tentu ada rahasia yang amat eneh di dalam, guha yang dikenal dengan sebutan Guha Siluman itu! Benarkah orang itu tadi telah di lukai oleh setan penghuni guha? Melihat banyaknya senjata berserakan di situ, Bun Houw memungut sebatang padang yang cukup baik dan dengan pedang di tangan, diapun memasuki guha itu dengan hati-hali sekali, penuh kewaspadaan.
Ternyata guha itu selain lebat dan tinggi juga dalam dan ada terowongan besar di sebelah kiri. Dan di dinding guha itu segera nampak tulisan yang diukir pada batu, huruf-huruf besar yang indah bentuknya.
HANYA YANG BERJODOH DAN BERBAKAT SAJA MAMPU MEWARISI IM YANG BU TEK CIN KENG, YANG TIDAK AKAN MATI KONYOL.
Membaca tulisan itu, Bun Houw tertegun, teringat akan ucapan orang yang baru saja tewas di luar guha. Orang itupun mengatakan bahwa dia telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng dan akan merajai dunia persilatan. Akan tetapi tiba-tiba saja orang itu mati konyol. Seperti mereka yang mayat dan rangkanya berserakan di luar guha itukah yang dinamakan "mereka yang tidak berjodoh"? Ataukah ada rahasia lain di balik semua ini? Karena merasa amat tertarik untuk memecahkan rahasia kematian begitu banyak orang gagah di depan guha, Bun Houw segera berindap memasuki lorong terowongan di sebelah kiri guha. Bagaimanapun juga, tempat itu menyeramkan dan membuat dia berhati-hati, dengan pedang yang diambil di luar guha tadi, siap di tangan kanan, pendengarannya memperhatikan dengan tajam ke arah depan dan belakang. Namun, terowongan itu sunyi saja tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah melangkah sejauh kurang lebih seratus meter dalam kegelapan, akhirnya terowongan itu membawanya ke sebuah ruangan bawah tanah yang luas dan ada sinar masuk dari atas karena terdapat retakan-retakan yang lebar di atas.
Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak ada orang, tidak ada mahluk bergerak, dia memperhatikan sekeliling. Ruangan itu merupakan kamar bawah tanah yang berbentuk bulat dan pada dindingnya penuh dengan ukiran huruf-huruf dan gambar-gambar orang yang membuat bermacam gerakan silat.
Mengertilah Bun Houw bahwa rnangan itu menyembunyikan pelajaran silat rahasia, dengan tulisan dan gambar di dinding dan agaknya ilmu inilah yang disebut Im-yang Bu-tek-Cin-keng itu! Sebagai seorang ahli silat yang pernah digembleng oleh orang sakti, tentu saja Bun Houw tertarik bukan main untuk mempelajari Ilmu di dinding itu. Apalagi mengingat bahwa dibandingkan dengan para datuk, kepandaiannya masih jauh. Melawan para datuk, kepandaiannya masih kalah jauh, Hampir saja dia tewas di tangan datuk Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, kemudian di tangan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan diapun tidak berdaya, disiksa hampir mati, belum bertemu para datuk lain. Kalau memang ilmu di dinding ini hebat, tentu dia akan dapat membela diri lebih baik kalau bertemu dengan orang-orang jahat seperti mereka itu.
Setelah memeriksa huruf-huruf dan gambar itu, dia tercengang. Ilmu silat yang diajarkan di dinding itu sungguh merupakan ilmu yang amat aneh! Nampaknya saling bertentangan, namun serasi! Dia mendapatkan tulisan huruf-huruf kecil di sudut bawah yang mengatakan bahwa yang berjodoh dan berbakat, boleh mewarisi ilmu itu, akan tetapi tidak boleh setengah-setengah, harus dipelajari dengan sempurna dan hal ini akan makan waktu bertahun-tahun! Tulisan itu memperingatkan bahwa kalau hal ini dilanggar, maka akan mendatangkan kegilaan atau kematian.
Hemm, kalau memang sudah ingin belajar kenapa harus setengah-setengah, pikir Bun Houw. Dia hidup sebatang-kara, tidak mempunyai urusan apa-apalagi, tidak mempunyai tempat tinggal. Mengapa dia tidak mempelajari ilmu di dinding ini sampai dapat menguasainya dan tinggal di guha ini?
Demikianlah, dengan hati yang tetap Bun Houw mulai hari itu tinggal di dalam guha yang dinamakan Guha Siluman itu. Ketika dia mulai berlatih samadhi menurut petunjuk tulisan dinding, cara bersamadhi dan melatih pernapasan yang aneh dan berbeda dengan yang pernah dipelajarinya, tiba-tiba dia merasa ada bentrokan tenaga sin-kang di dadanya. Akan tetapi, perasaan yang tidak enak itu akhirnya lenyap "ditelan" oleh hawa yang dahsyat, yang didapatnya dari minum sari Akar Bunga Gurun Pasir. Dan diapun mulai menghafalkan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Setelah berlatih selama beberapa bulan, baru dia tahu mengapa ada peringatan di bagian depan guha. Kiranya pelajaran itu memang diperuntukkan mereka yang memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga bagi orang yang sin-kangnya tidak kuat, melatih diri dengan ilmu ini bisa mencelakai dirinya sendiri. Latihan itu menimbulkan hawa sin-kang yang aneh dan kuat, akan tetapi kalau tidak memiliki dasar yang kuat, bangkitnya sin-kang itu dapat membuat orang tidak kuat bertahan dan mengalami luka dalam yang hebat. Tahulah dia mengapa orang-orang itu tewas di depan guha. Mereka semua datang mempelajari ilmu, akan tetapi tidak memenuhi syarat. Mungkin ada yang tidak kuat sin-kangnya sehingga luka dalam dan tewas, dan mungkin ada pula yang tidak sabar, tergesa-gesa sehingga menghentikan latihan sebelum sempurna benar, atau hanya mempelajari setengah-setengah sehingga menjadi korban ilmu aneh yang masih belum dikuasainya benar itu.
Beberapa bulan setelah dia berada di guha itu, pernah dia mendengar dari dalam guha betapa ada datang beberapa orang di luar guha. Akan tetapi agaknya mereka itu mengenal korban terakhir, laki-laki tinggi besar itu. Mereka berseru kaget.
"Ahh, bukankah ini Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)? Lihat itu pedangnya!"
"Benar dia ini ikat pinggangnya dari baja yang dapat dipergunakan sebagai senjata pedang pula! Ahh, bagaimana seorang seperti dia menjadi korban pula di sini?"
"Kalau tokoh seperti dia saja tewas di sini, apalagi kita! Ikh, aku tidak mau berlama-lama disini. Aku mau pergi saja sebelum mati konyol di sini!"
"Aku juga mau pergi. Tingkat Ilmu kepandaian Toat-beng Kiam-ong lebih tinggi dari tingkat guruku, kalan dia saja gagal, apalagi aku!"
Merekapun pergi dan sejak itu, tidak pernah lagi Bun Houw mendengar ada orang datang ke guha itu. Agaknya, matinya orang yang berjuluk Toat-beng Kiam-ong itu membuat orang-orang kang-ouw menjadi gentar dan tidak ada lagi yang berani mencoba-coba untuk mempelajari ilmu dari guha itu. Makin mendalam dia mempelajari ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng, semakin tahulah dia bahwa para korban itu benar-benar menjadi korban kealaian mereka sendiri. Ada yang memang tidak persiapan! Dia sendiri, kalau saja tidak secara aneh dan kebetulan mendapatkan kekuatan dahsyat dari pertemuan antara racun-racun dalam tubuhnya akibat pukulan para datuk dengan khasiat obat Akar Bunga Gurun Pasir belum tentu akan sanggup bertahan mempelajari ilmu yang aneh ini.
Bukit itu memang pantas mendapat nama Hwa-san (Bukit Bunga). Apalagi kalau tiba musim bunga, sungguh tidak ada tempat yang lebih indah dari pada Hwa-san. Sebuah bukit penuh bunga! Dari jauh nampak seperti segunduk kain berkembang beraneka warna. Apalagi kalau orang berada di puncak bukit itu dan melihat ke bawah. Hamparan penuh bunga yang menghamburkan semerbak harum, menarik datangnya lebah dan kupu-kupu. Segala terdapat di sisi lain lereng bukit itu.
Kalau saja ada orang yang mampu mendaki bukit itu dan berada di puncaknya pada saat itu, ketika musim bunga sedang dalam puncak keindahannya, maka orang itu akan dapat menikmati segala keindahan melalui mata, telinga dan hidungnya. Karena bukan saja pemandangan amat indah dan udara dipenuhi keharuman bunga. Juga kicau burung-burung memenuhi tempat itu, berseling nada dan irama dengan gemercik air anak sungai yang mengalir turun dan menjadi air terjun kecil dengan dendang abadi. Bahagialah orang yang dapat menikmati segala keindahan di dunia ini dengan batin yang bebas dari pengaruh nafsu. Karena keindahan yang dinikmati dengan batin bengelimang nafsu, akan berubah menjadi kesenangan dan keindahan itu akhirnya menjadi kebosanan. Dan kalau sudah bosan, maka keindahan itu tidak akan lagi karena nafsu selalu mengejar yang baru, yang tidak ada, yang belum dicapai atau dimilikinya.
Pria yang duduk diatas batu besar di puncak yang datar itu berusia enam puluh tahun. Namun dia masih nampak muda seperti baru limapuluh tahun saja, wajahnya segar dan belum banyak keriput, duduknya masih tegak dan baru sedikit uban menghias rambutnya. Wajah pria ini masih jelas meninggalkan sisa ketampanan di waktu muda. Wajah yang nampak gembira bukan main sehingga jelas mudah diduga bahwa orang itu sedang menikmati keindahan di sekelilingnya, dan yang terhampar di sebelah bawah sana Namun, kalau kita mendekatinya, akan nampak bahwa pria ini adalah seorang yang tidak dapat melihat lagi. Dia seorang buta! Tentu dia menikmati keindahan itu melalui telinga dan hidungnya saja. dan perasaannya yang menjadi amat peka karena kurangnya indra penglihatan yang paling penting bagi manusia itu.
Pria yang duduk bersila seperti patung dengan mulut tersenyum-senyum itu adalah Tiauw Sun Ong, bekas pangeran yang kini menjadi seorang yang sakti itu. Dalam menikmati kesegaran di puncak Hwa-san, mencium keharuman selaksa bunga, mendengar kicau burung dan dendang air terjun, terbayang dalam benaknya kehidupan yang lalu ketika dia masih dapat melihat dan menjadi seorang pangeran di istana. Setiap musim bunga, diapun selalu berada di taman bunga Istana yang luas dan indah, minum arak, bersajak, bermain musik dan dalam suasana yang romantis itu, selalu saja terjadi pertemuan antara dia dengan wanita cantik yang disusul dengan hubungan mesra. Dia terkenal sebagai seorang pangeran yang tampan dan pandai, juga adik kaisar sehingga dia terpandang, dihormati dan dimuliakan, membuat banyak gadis bangsawan tergila-gila kepadanya.
Keharuman bunga itu membuat Tiauw Sun Ong teringat kembali betapa di waktu mudanya dia dihujani cinta kasih banyak wanita, walaupun di antara sekian banyaknya, yang masih teringat sampai sekarang, masih berkesan di hatinya hanya beberapa orang saja. Dan yang terakhir sekali adalah wanita yang amat dicintanya dan hubungannya dengan wanita itu mengakibatkan dia menjadi buta dan terasing dari keluarga kaisar.
"Cu Lan ...!" Bibirnya bergerak memanggil nama ini tanpa bersuara. Wanita itu adalah selir kakaknya, selir kaisar yang paling disayang oleh kaisar. Memang amat cantik jelita.
Kebetulan saja dia bertemu dengan selir itu pada musim bunga seperti ini, di taman bunga. Dan peristiwa itu bukan hanya bertemunya dua pasang mata yang bertautan, melainkan juga dua buah hati. Mereka lupa segala, menjalin hubungan cinta yang mesra.
Ketika itu, Pouw Cu Lan selir kaisar itu berusia duapuluh tahun, telah tiga tahun menjadi selir kaisar dan belum mempunyai anak. Hubungan mesra mereka itu hanya berjalan kurang lebih tiga bulan. Para selir lain yang iri hati terhadap Cu Lan, melaporkan kepada kaisar. Mereka tertangkap basah di pondok taman dan dalam keadaan amat main. dia lalu membikin buta kedua matanya sendiri, kemudian pergi meninggalkan istana. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri kekasihnya itu, setelah dia pergi. Dia hidup terlunta-lunta sampai jauh ke utara. Ketika itu, dia berusia tigapuluh satu tahun. Hanya pertemuannya dengan seorang tosu yang sakti saja yang membuat dia bersemangat kembali untuk melanjutkan hidup. Dia menjadi murid tosu itu, mempelajari ilmu-ilmu sehingga menjadi seorang yang sakti, walaupun buta.
Masih ada beberapa orang wanita yang tak pernah dapat dia lupakan, namun tidak seperti Pouw Cu Lan yang benar-benar telah dapat merebut cinta hatinya. Namun, dia sungguh merasa bersalah kepada kakaknya, dan merasa malu sekali. Maka, biarpun hatinya selalu tersiksa apabila dia teringat kepada kekasihnya itu, dia menahan diri dan tidak pernah dia mau mencari tahu lagi tentang diri kekasihnya. Bahkan dia selalu menjauhkan diri dari kota raja, berkelana di gunung-gunung dan di tempat-tempat sunyi, seperti seorang terlantar, seperti pengemis walaupun dia tidak pernah minta-minta.
Diapun mendengar akan kehancuran kerajaan kakaknya. Lima tahun yang lalu, Kerajaan Liu-sung yang dipimpin kakaknya, yaitu Kaisar Cang Bu telah jatuh ke tangan pemberontakan yang dipimpin oleh seorang pemberontak bernama Siauw Hui Kong bersama keluarga Siauw. Para pemberontak itu dapat merebut tahta kerajaan. Kaisar Cang Bu membunuh diri, dan para pemberontak yang berbaik dengan Kerajaan Wei di utara, mendirikan sebuah kerajaan baru yang dinamakan Kerajaan Chi. Tiauw Sun Ong bersedih mendengar semua itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia tidak berdaya. Walaupun dia memiliki ilmu kepandaian yang membuat dia sakti, namun dia hanya seorang buta. Bagaimana dia akan mampu menyelamatkan kerajaan kakaknya! Setelah kerajaan kakaknya jatuh, dia semakin acuh terhadap urusan dunia dan kini dia berada di Hwa-san, menemukan tempat yang amat menyenangkan, tenang dan tenteram. Dia mengambil keputusan untuk tinggal di tempat indah itu sampai dia mati, tidak akan turun dari bukit itu.
Tiauw Sun Ong tidak tahu bahwa bagaimanapun besar keinginan manusia, kadang-kadang nasib menentukan lain. Dia tidak tahu bahwa pada saat dia termenung itu, terjadi peristiwa di kaki bukit yang merupakan awal perubahan kehidupannya, yang akan mengguncang kedamaian yang dia rasakan di puncak bukit itu. Jauh di kaki bukit Hwa-san, pagi hari itu seorang wanita memasuki sebuah dusun di kaki bukit. Wanita itu hampir limapuluh tahun usianya, namun masih nampak cantik dan muda. Orang akan mengira ia berusia tigapuluh tahun lebih. Wajahnya yang manis itu berkulit putih kemerahan, hidungnya mancung dan mulutnya kecil penuh gairah. Akan tetapi orang akan bersikap hati-hati dan bahkan mungkin jerih kalau melihat matanya. Mata itu memang indah dan jeli, akan tetapi sinarnya kadang-kadang seperti mata harimau marah, menusuk dan berapi. Pakaiannya sederhana seperti juga riasan wajahnya yang manis, akan tetapi cukup bersih dan karena potongannya ringkas dan ketat, maka bentuk tubuhnya yang ramping padat itu nampak nyata. Pakaian seorang wanita yang sering melakukan perjalanan jauh, bukan pakaian seorang ibu rumah tangga yang selalu sibuk dengan anak-anaknya dan pekerjaan rumahnya.
Setelah memasuki dusun itu, wanita cantik ini mencari-cari dengan pandang-matanya. Ia tidak perduli akan pandang mata orang-orang dusun, terutama prianya, yang memandang heran dan kagum kepadanya. Ia mencari kedai nasi atau rumah makan karena perutnya terasa lapar dan ia ingin sarapan.
Ketika ia melihat dua orang pemuda berusia duapuluhan tahun berdiri di tepi jalan memandang kepadanya, ia lalu menghampiri mereka. Seorang membawa sabit panjang dan seorang lagi memegang cangkul. Agaknya dua orang pemuda petani yang hendak pergi ke ladang.
"Sobat, tolong tunjukkan di mana aku dapat membeli makanan di tempat ini! Aku merasa lapar dan ingin makan." kata wanita itu, suaranya lembut dan merdu.
Dua orang pemuda itu sudah menyeringai girang ketika wanita cantik itu mendekati mereka tadi. Kini, mendengar ucapan itu, mereka saling pandang dan wajah mereka berseri, gembira dan bangga. Siapa orangnya tidak akan bangga dilihat orang bahwa wanita kota yang cantik itu menghampiri mereka dan mengajak mereka bercakap-cakap? Dan benas saja, para penduduk berhenti melangkah dan memandang ke arah mereka, dengan heran.
Dua orang pemuda yang merasa bangga itu setelah saling pandang, lalu dengan ramah seorang di antara mereka, yang hidungnya pesek, memperlihatkan senyumnya yang dianggsap paling manis.
"Aih, nona hendak mencari kedai makanan? Di dusun ini tidak ada yang menjualnya, nona."
Wanita itu tersenyum. Senyumnya mengandung sejuta madu dan dua orang pemuda itu semakin terpesona.
"Tidak perlu kedai penjual makanan. Kalau ada penduduk yang mau membagi sedikit makanan dan air teh kepadaku, akan kubayar mahal."
Pemuda ke dua yang mempunyai tahi lalat di dagu, segera berkata,
"Kalau begitu, marilah ikut dengan kami ke rumah kami, nona. Kami dapat menyuguhkan makanan dan minum sekadarnya untuk nona."
Wanita itu nampak girang bahwa dua orang pemuda itu menyebutnya "nona" dan iapun mengangguk. Dapat dibayangkan betapa bangga dan girangnya hati dua orang pemuda itu. Dengan dada membusung mereka berjalan mendampingi wanita itu di kanan kirinya dan membawanya pergi ke rumah mereka yang tak jauh dari situ.
Rumah mereka sederhana namun bersih dan dua orang pemuda kakak beradik itu segera memanggil Ibu mereka yang menjanda. Ibu mereka sudah berusia limapuluh tahun, tampak tua sekali dan ia tergopoh memasuki rumah dari belakang ketika mendengar suara, anak-anaknya.
"Eh, kenapa kalian tidak ke ladang dan hei, siapakah ia?"
"Ibu, nona ini datang untuk minta sedikit makan dan minum, ia lapar dan ingin membeli makanan dan minuman, akan tetapi tidak ada." kata yang pesek.
"Ibu, keluarkan semua yang ada untuk nona ini." kata yang bertahi lalat.
"Maafkan kalau aku mengganggu," kata wanita itu,
"aku hanya ingin sarapan karena lapar, dan nanti kubayar hanganya, berapapun kalian minta."
"Aih, tidak usah, nona ...
" kata Ibu itu yang tentu saja bersikap hormat melihat seorang wanita kota. Ia lalu sibuk di dapur dan tak lama kemudian ia sudah menghidangkan nasi putih dengan lauknya sayuran dan ikan asin. Juga semangkok teh hangat.
Melihat hidangan yang sederhana itu, sang tamu nampak girang. Perut yang lapar hanya menuntut makanan, tidak memilih lagi dan tanpa sungkan iapun segera makan dan minum sampai kenyang. Ketika ibu itu menyingkirkan mangkok piring, wanita itu menghapus bibirnya dengan saputangan dan memandang kepada dua orang pemuda yang masih duduk menghadapinya dan tadi dengan ramahnya menemaninya makan. Ia melihat betapa pandang-mata dua orang pemuda itu berbeda dari tadi.
Kalau tadi ketika bertemu di jalan dan mengnjaknya ke rumah mereka, dua orang pemuda itu ramah dan sopan, kini pandang mata mereka membuat alisnya berkerut. Ia sudah hafal akan pandang mata pria seperti ini, pandang mata penuh gairah yang membuatnya marah dan tidak senang. Akan tetapi mengingat bahwa baru saja ia terhindar dari rasa lapar karena keramahan dan suguhan mereka, ia menahan diri, hal yang jarang sekali ia lakukan, dan dengan acuh ia bertanya kepada mereka.
Sebuah Rahasia Terkuak
"WAH, aku sudah makan dan minum cukup kenyang, sobat. Sekarang katakan berapa yang harus kubayar kepada kalian untuk harga makanan dan minuman ini."
Doa orang pemuda itu saling lirik dan menyeringai, kemudian yang berhidung pesek mengangkat muka, memberanikan diri dan dengan cengar cengir dia menjawab,
"Aih, nona yang manis, makanan dan minuman itu tidak kami jual. Kami tidak minta uang, hanya minta ...
"
Makin dalam kerut di antara alis mata yang hitam kecil dan panjang melengkung itu "Minta apa?"
Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan tertawa kecil, kemudian yang bertahi lalat melanjutkan ucapan saudaranya yang terputus tadi,
"kami hanya minta engkau bersikap manis kepada kami." Dan seperti dikomando saja, dua orang pemuda itu bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu dari kanan kiri, kemudian keduanya merangkul dan mendekatkan muka hendak menciuminya!
Wanita itu masih duduk dan melihat niat dua orang pemuda itu, tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dengan punggung tangannya.
"Plak! Plakkl" Kelihatan perlahan saja kedua tangan itu menampar, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Dua orang pemuda itu terpelanting dan roboh pingsan dengan sebelah muka hancur seperti kena ditampar dengan senjata baja yang amat kuat. Kulit sebelah muka mereka itu seperti terkupas, telinga remuk dan mata membengkak. Mereka hanya sempat memekik pendek terus roboh pingsan.
Mendengar pekik ini, ibu kedua orang pemuda itu berlari masuk dari belakang dan ia menjerit-jerit ketika melihat kedua orang anaknya roboh dengan muka mandi darah.
Wanita cantik itu bangkit berdiri, memandang dengan senyum dingin dan berkata,
"Mengingat ibunya, aku mengampuni mereka dan tidak akan membunuh meraka." Setelah berkata demikian, dengan langkah gontai ia keluar dari rumah itu.
Ibu kedua orang anak itu mengejarnya kasar dan masih menjerit-jerit.
"Tolooonggg ... perempuan ini membunuh kedua orang anakku ...!"
Wanita cantik itu tidak berhenti atau menengok. Ia tahu bahwa Ibu itu mengira kalau anaknya yang pingsan itu tewas. Akan tetapi pada saat itu, teriakan si Ibu yang berulang-ulang membuat para tetangga berlarian ke tempat itu dan terpaksa si wanita cantik menghentikan langkahnya karena terhalang, bahkan terkepung.
Tangkap perempuan ini! Ia membunuh dua orang anakku setelah kami menyuguhkan makan dan minum kepadanya. Ia jahat, ia siluman betina!" ibu itu berteriak-teriak sambil menudingkan telunjuknya ke arah si perempuan cantik yang masih tersenyum-senyum saja.
Melihat belasan orang laki-laki maju dengan sikap marah, wanita itu menyapu mereka dengan pandang matanya yang jeli dan tajam.
"Aku menghajar mereka. Dan, kalian mau apa! Minta sekalian dihajar?"
Tentu saja ucapan ini membuat semua orang menjadi marah. Perempuan ini memang cantik, akan tetapi jahat bukan main,
"Tangkap perempuan ini!" teriak seorang laki-laki setengah tua.
"Seret ia dan hadapkan kepala dusun!"
"Pembunuh ini harus dihukum!"
Duabelas orang mengepung dan menggerakkan tangan hendak menangkap wanita itu. Ia tersenyum dan mendengus,
"Kalian memang menjemukan!" dan sebelum ada tangan yang dapat menyentuhnya, wanita itu bergerak, tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri dan terdengarlah guara orang-orang itu mengaduh kesakitan dan duabelas orang itupun roboh satu demi satu. Semua orang terbelalak melihat duabelas orang itu merintih-rintih dengan tulang patah atau muka matang biru. Padahal, wanita itu hanya nampak berkelebatan dan menggerakkan kedua tangannya secara lembut saja.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan muncul dua orang pria yang pakaiannya gagah seperti yang biasa dipakai oleh para pendekar. Dengan pakaian ringkas, pedang tergantung di punggung, dua orang laki-laki yang usianya sekitar tigapuluh lima tahun ini sudah melompat ke depan wanita cantik itu.
"Dari mana datangnya perempuan jahat, iblis betina yang kejam?" bentak seorang di antara mereka yang rambutnya sudah banyak dihias uban.
Wanita itu mengangkat muka, memandang kepada dua orang itu dengan senyum dingin mengejek. Sejenak ia mempelajari keadaan mereka. Memang ada keanehan pada dua orang yang usianya antara tigapuluh lima sampai empat puluh tahun itu. Keduanya membawa pedang di punggung, dan kalau yang seorang rambut kepalanya sudah banyak putihnya, yang ke dua biar rambutnya masih hitam, akan tetapi jenggot dan kumisnya semua sudah putih!
"Hemm, kiranya Pek-mau Siang-kaw (Sepasang Anjing Rambut Putih) yang muncul! Kalian mau apa?" tanya wanita itu dengan suara lembut.
Dua orang gagah itu saling pandang, membelalakkan mata dan muka mereka berubah merah sekali. Mereka adalah sepasang pendekar yang terkenal di wilayah Hwa-san, terkenal dengan julukan Pek-mau Siang-houw (Sepasang Harimau Rambut Putih) karena mereka memiliki kelainan pada rambut dan jenggot kumis mereka. Akan tetapi wanita cantik ini sengaja mengubah julukan mereka Siang-houw (Sepasang Harimau) menjadi Siang-Kaw (Sepasang Anjing)! Sungguh penghinaan yang berupa ejekan merendahkan.
"Siluman betina, siapakah engkau yang berani bermain gila dan bersikap kurang ajar terhadap Pek-mau Siang-houw?" bentak yang kumisnya putih.
Kini sepasang mata itu mencorong marah dan senyumnya berubah menjadi dingin mengejek.
"Anjing-anjing seperti kalian tidak pantas mengenal namaku. Pergilah sebelum engkau tidak hanya menjadi sepasang anjing, melainkan menjadi sepasang bangkai anjing!"
Sungguh hebat penghinaan ini, amat memandang rendah dan makian itu dilakukan di depan banyak orang pula! Pek-mau Siang Houw adalah dua orang bersaudara yang selalu menentang kejahatan sehingga mereka telah membuat nama besar. Kebetulan sekali pada pagi hari itu mereka lewat di situ dan mendengar ribut-ribut. Melihat bahwa yang mengacau di dusun itu hanya seorang wanita cantik setengah tua, mereka masih bersikap sabar dan lembut. Siapa kira wanita itu malah menghinanya.
"Singgg ...!" Keduanya mencabut pedang dari punggung dan nampak sinar berkilat saking tajamnya pedang mereka, berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
Wanita itu sama sekali tidak kelihatan gentar, bahkan mengeluarkan saputangan merahnya dan menghapus keringat dari leher dan mukanya, nampak kesal melihat lagak kedua orang pendekar itu.
"Siluman betina! Keluarkan senjatamu dan hadapi pedang kami!" bentak dua orang pendekar itu.
Mereka melihat betapa wanita itu telah merobohkan dua belas orang dengan mudah, maka merekapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini lihai, maka mereka tidak ragu dan sungkan untuk maju bersama, akan tetapi tetap saja mereka tidak suka menyerang lawan seorang wanita yang bertangan kosong dengan pedang mereka.
"Huh, pedang mainan kanak-kanak itu kau pergunakan untuk menakut-nakuti aku? Majulah, agaknya kalian memang sudah bosan hidup!" bentak wanita itu, mengebut-ngebutkan saputangannya di depan leher untuk mengusir panasnya matahari pagi yang makin meninggi.
"Siluman, engkau patut dibasmi dari muka bumi!" bentak kedua orang pendekar itu dan merekapun menyerang dengan pedang mereka dari kanan kiri.
"Wuuuttt, sing-sing ... !" Nampak sinar pedang bergulung-gulung ketika sepasang pedang itu menyambar. Namun, yang diserangnya lenyap dan berkelebat di antara sambaran sinar pedang! Dua orang pendekar itu membalik dan mereka menghujankan serangan kilat ke arah wanita itu. Namun, sungguh hebat gerakan wanita itu. Lembut seperti orang menari saja, namun langkahnya ringan dan seperi bayangan yang tak pernah dapat disentuh sinar pedang! Sampai belasan jurus, dua orang pendekar itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga mereka dan memainkan jurus-jurus pilihan yang paling ampuh, namun wanita itu tetap saja tidak dapat disentuh pedang mereka. Kemudian, wanita itu menggerakkan saputangan suteranya yang panjangnya hanya tiga jengkal, saputangan sutera yang lembut dan ringan. Akan tetapi, begitu sapu tangan itu menyambar sebatang pedang, ujungnya melibat dan sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang yang di libat saputangan itu palah!
Melihat pedang saudaranya patah, si rambut putih menusukkan pedangnya ke arah lambung wanita itu dari arah kiri.
"Cappp ... !" Pedang itu menancap sampai setengahnya dan semua orang ternganga, mengira bahwa wanita itu tentu akan tewas.
Akan tetapi, tiba-tiba si rambut putih memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat karena dia melihat bahwa pedang itu bukan menembus lambung melainkan dijepit di bawah ketiak wanita itu. Sebelum dia mampu menghindarkan diri, kaki wanita itu menendang bawah pusarnya.
"Kekkk ...!" Tubuh si rambut putih terjengkang, pedangnya terlepas dan diapun roboh terbanting dan tewas seketika karena tubuhnya di bawah pusar, bagian kelamin, telah hancur oleh ujung sepatu wanita itu. Si kumis putih terkejut, akan tetapi pada saat itu, wanita tadi melemparkan pedang yang dijepit dengan lengannya ke arah si kumis putih. Pedang itu meluncur seperti anak panah, tak dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh si kumis putih dan pedang itu memasuki dadanya sampai tembus ke punggung. Si kumis putih roboh dan tewas di dekat mayat saudaranya..
Wanita itu tertawa, suara kerawa yang merdu dan halus, lalu ia pergi dari situ sambil mengebut-ngebutkan saputangan suteranya untuk mengusir keringat, dan tangan kirinya menyapu-nyapu baju yang terkena debu. Semua penghuni dusun memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Tak eorang pun berani menghalangi wanita itu atau mengejarnya.
Andaikata ada yang mengejar pun tidak akan berhasil menyusul wanita itu yang kini berkelebatan dengan ilmu lari cepat, mendaki bukit di depan dengan kecepatan seperti larinya seekor kijang.
Siapakah wanita yang demikian lihainya dan juga amat kejamnya itu. Kalau saja dua orang pendekar itu, Pek-mau Siang-houw, mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, belum tentu mereka berani bersikap seperti itu di depan wanita cantik itu. Ia sungguh bukan wanita biasa, bahkan bukan wanita kang-ouw biasa. Ia adalah seorang datuk besar yang namanya ditakuti semua orang, bahkan para pendekar juga harus berpikir masak-masak untuk menentang datuk yang luar biasa lihai dan kejamnya ini.
Kekejamannya itu hanya ditujukan kepada para pria! Ia seorang pembenci laki-laki! Tidak ada lagi orang yang mengenal nama aselinya, hanya mengenalnya dengan julukan Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im). Sungguh julukan yang sama sekali berlawanan dengan wataknya, karena julukan ini memang ia sendiri yang memilihnya. Ia menyamakan dirinya dengan Kwan Im Pouw-sat. Dewi Belas Kasih yang dipuja orang karena ia merasa bahwa selama ini belum pernah ia berhubungan dengan pria, ia masih perawan walau usianya sudah hampir limapuluh tahun. Dan memang penampilannya seperti seorang dewi, cantik jelita, sederhana, lemah lembut dan sedikitpun tidak menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat. Apa lagi seorang yang dapat membunuh banyak orang tanpa berkedip. Pagi hari itu saja, ia telah melukai parah dua orang pemuda yang memberinya hidangan, kemudian melukai duabelas orang dusun, bahkan membunuh dua orang pendekar yang menentangnya. Tidak ada yang tahu bahwa watak kejamnya terhadap pria ini muncul ketika ia menderita patah hati karena cintanya gagal. Pria yang dicintanya tidak membalas cintanya dan sejak itu ia membenci pria yang dianggapnya palsu dan hanya mendatangkan duka saja bagi wanita!
Cepat sekali wanita itu mendaki bukit Hwat-san, biarpun pendakian itu amat sukar, namun ternyata wanita cantik itu dapat mencapai puncak dalam waktu tingkat. Tebing-tebing yang licin dan keras ia panjat dengan mudah, jurang yang amat curam dan lebar dapat ia lompati. Ketika tiba di puncak yang landai dan penuh bunga, Kwan Im sianli tertegun dan sejenak ia berdiri terpesona, memandang ke sekeliling dan berputar pada ujung kakinya.
"Aihhhh, betapa indahnya ...!" Ia menghirup napas panjang, memasukkan udara sejuk segar itu sebanyaknya ke dalam paru-parunya, ia merasa nyaman sekali. Kalau orang melihatnya pada saat itu, tentu akan mengakui bahwa julukan wanita itu memang tepat. Berdiri di puncak bukit, di antara bunga-bunga yang sedang mekar, pantaslah ia menjadi seorang dewi!
"Pantas kalau tempat seindah ini menjadi tempat tinggal Si Buta yang menjengkelkan hati itu. ...
" katanya lirih dan di dalam suaranya terkandung penyesalan, kekecewaan dan penasaran.
"Bwe Si Ni ... engkaukah yang datang itu ...?" Tiba-tiba terdengar suara lembut, dan Kwan Im Sianli cepat meloncat ke arah datangnya suara. Dan di sana, di atas batu datar yang lebar, duduklah pria itu! Pria yang dicari-carinya selama ini.
"Pangeran ...!" serunya sambil menghampiri dan sekali ini dalam suaranya terdengar kelembutan yang luar biasa, suara yang mengandung kasih sayang dan kerinduan. Pancaran matanya juga lembut dan sayu, dan mulutnya tersenyum pahit, menggetar penuh harap.
Pria itu, Tiauw Sun Ong, tertawa dan ketika dia tertawa, wajahnya nampak lebih muda.
"Ha-ha-ha, Si Ni, apakah engkau tidak pernah tua? Engkau masih seperti dulu saja. Engkau tahu, aku bukan lagi seorang pangeran, melainkan seorang jembel. Bahkan sekarang Kerajaan Liu-sung juga sudah jatuh, keluargaku sudah terbasmi. Aku orang buangan, jangan sebut pangeran lagi."
Dia lalu menggerakkan tangan mempersilakan.
"Duduklah, Si Ni. Sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa. Bagaimana kabarnya dengan dirimu?"
Kwan Im Sianli duduk pula di atas batu yang lebar itu, berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Sejenak mereka berdiam diri dan wanita itu memandang dengan sinar mata penuh kasih dan keharuan. Sementara itu, Tiauw Sun Ong hanya menunduk, diam-diam dia terkejut ketika tadi mengenal suara wanita ini, seorang di antara wanita yang tak pernah dapat dia lupakan. Teringat olehnya betapa dahulu, ketika dia masih menjadi pangeran, di antara para gadis yang mengejar dan merindukannya terdapat seorang dayang istana yang cantik bernama Bwe Si Ni. Tanpa main-main Bwe Si Ni menyatakan cintanya, rela mengorbankan nyawa sekalipun untuknya asal cintanya diterima. Karena merasa kasihan kepada gadis cantik manja yang begitu pasrah, Tiauw Sun Ong merasa tidak tega untuk menolak begitu saja. Dia bersikap ramah dan manja walaupun belum menyatakan bahwa dia membalas cinta kasih gadis dayang istana itu. Apalagi ketika itu dia sudah mempunyai seorang pacar, yaitu seorang gadis bangsawan puteri keluarga Kwan. Memang Tiauw Sun Ong mempunyai kelemahan terhadap wanita. Dia tidak tega menolak untuk bersikap manis terhadap wanita yang jatuh cinta kepadanya!
Akan tetapi, dalam taman, dia bertemu selir kaisar, Pouw Cu Lan dan dia begitu tergila-gila sehingga terjadilah hubungan antara-mereka. Melihat ini, Bwe Si Ni menjadi cemburu dan marah, bahkan sakit hati. Ialah seorang di antara mereka yang melapor kepada kaisar sehingga hubungan antara selir dan adik kaisar itu tertangkap basah. Ketika Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana, Bwe Si Ni, gadis dayang itupun minggat dari Istana!"
Belasan tahun kemudian setelah Tiauw sun Ong menjadi perantau buta dan mendapatkan ilmu, manjadi orang sakti, pada suatu hari muncul Bwe Si Ni di depannya! Akan tetapi bukan Bwe Si Ni gadis dayang yang dahulu, yang lemah lembut dan hangat, yang mati-matian mencintanya, melainkan Bwe Si Ni yang sudah berubah menjadi seorang iblis betina, seorang yang memiliki Ilmu kepandaian yang tinggi dan dahsyat. Dan Bwe Si Ni yang ketika itu sudah berusia tigapuluh lima tahun. menuntut agar dia suka hidup bersamanya menjadi suami isteri. Biarpun dia telah menjadi seorang buta yang hidup terlunta-lunta ternyata cinta kasih Bwe Si Ni tidak pernah berkurang! Namun, bekas pangeran itu menolak dan hal ini membuat Bwe Si Ni menjadi kecewa dan berduka sekali. Ia menangis dan memohon, mengatakan bahwa ia tidak pernah mau berdekatan dengan pria lain karena ia sudah bersumpah untuk hidup menjadi isteri Tiauw Sun Ong. Ketika bekas pangeran itu tetap menolak, ia menjadi penasaran dan marah. Dengan tegas ia mengatakan, bahwa kalau Tiauw Sun Ong menolak, ia akan membunuhnya kemudian membunuh diri sendiri. Ingin mati bersama! Tiauw Sun Ong tetap menolak dan Bwe Si Ni menyerang. Terjadi perkelahian yang hebat. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Bwe Si Ni masih belum mampu menandingi Tiauw Sun Ong walaupun bekas pangeran yang buta ini mengalah dan selalu mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, dengan hati kecewa, duka, penasaran dan makin mendendam, Bwe Si Ni pergi dan ia memperdalam Ilmunya sehingga akhirnya ia terkenal sebagai seorang wanita sakti yang berjuluk Kwan Im Sianli. Akan tetapi, kegagalan cintanya dengan bekas pacarnya itu membuat hatinya menjadi pahit getir dan pembenci pria. Kalau ada pria bersalah sedikit saja kepadanya, apalagi bersikap kurang ajar. ia dengan kejam akan membunuhnya atau setidaknya membikin cacat!"
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan kini, dalam usia hampir limapaluh tahun, setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya ia dapat berhadapan dengan Tiauw Sun Ong lagi! Tentu saja ada ketegangan di hati Tiauw Sun Ong yang maklum akan isi hati bekas dayang ini, akan tetapi ia tetap tenang dan menahan diri sehingga suaranya tidak membayangkan perasaan hatinya.
Sementara itu, begitu berjumpa dengan bekas pangeran itu, hati bekas dayang itu seperti terbakar kembali api cintanya. Biarpun pria yang menjadi idaman hatinya itu kini sudah hampir enampuluh tahun usianya, namun dalam pandangannya, tidak ada pria lain di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada si buta ini. Bagaikan awan disapu angin, dendamnya untuk membunuh pria yang dikasihinya itu lenyap, terganti perasaan rindu yang menyesakkan dadanya. Selama ini ia membenci pria. tidak sudi didekati pria manapun juga karena seluruh hatinya telah terisi oleh pangeran ini.
Selama belasan tahun ini, sejak kegagalannya membujuk kekasihnya untuk hidup bersama atau mati bersama, Bwe Si Ni telah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia menjadi datuk besar dunia kang-ouw yang ditakuti orang. Akan tatapi, begitu bertemu, semua dendamnya, mengabur dan kembali timbul kerinduannya kepada pria ini.
"Pangeran, aku datang untuk mengajakmu hidup bersama. Ketahuilah, pangeran, aku tetap setia kepadamu dan sampai kini aku tetap menjaga diriku sebagai calon milikmu, tidak membiarkan diriku disentuh pria manapun juga. Pangeran, aku tetap mengharapkan untuk menghabiskan sisa hidup kita yang tidak berapa lama lagi ini sebagai suami isteri ...
"
"Si Ni ...
"
"Pangeran, kasihanilah aku, bayangkan betapa selama puluhan tahun aku menunggu saat ini, penuh penderitaan, penuh harapan dan kerinduan. Tegakah engkau mengecewakan harapanku yang terakhir ini? Pangeran, aku rela meninggalkan segalanya, dan hidup di sini, di sisimu, sampai hayat meninggalkan badan ...
"
Wanita itu meratap dengan suara yang bercampur tangis.
Sampai lama Tiauw Sun Ong tidak mampu menjawab. Diam-diam dia mengeluh. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedamaian yang dinikmatinya itu kini dapat terganggu dan terguncang sedemikian hebatnya! Kemudian, setelah menarik napas panjang beberapa kali, diapun berkata dengan suara yang tenang namun tegas.
"Bwe Si Ni, dengarlah baik-baik. Aku sekarang tidak mempunyai apa-apalagi, maka yang bersisa hanya tinggal kejujuran. Kalau aku tidak jujur, berarti aku kehilangan segala-galanya. Dan kejujuran kadang kala menyakitkan perasaan, Si Ni. Maka, dengarlah baik-baik, pertimbangkan baik-baik dan jangan terburu nafsu, karena aku akan membuat pengakuan secara sejujurnya."
Wanita itu menghapus sisa air matanya dan iapun duduk bersila dengan tegak di depan pria itu, di atas batu datar.
"Bicaralah, pangeran."
"Si Ni, menghadapi urusan kita ini, aku hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu, menjadi seorang yang jujur akan tetapi dianggap kejam, atau menjadi seorang yang palsu akan tetapi dianggap baik. Dan setelah kupertimbangkan, aku memilih menjadi orang pertama. Yaitu jujur biarpun engkau akan menganggap aku kejam dan jahat. Kalau aku menuruti perasaan hatiku yang penuh iba kepadamu, tentu aku akan menerima permintaanmu, hidup sebagai suami isteri denganmu di sini sampai kita mati tua. Akan tetapi, itu berarti aku palsu biarpun kauanggap baik, karena terus-terang saja, Si Ni, sejak mataku buta, hatiku tidak buta lagi dan aku tidak mau mengikat diri dalam perjodohan dengan siapapun juga. Aku akan berterus terang bahwa tidak ada lagi cinta berahi di dalam hatiku terhadap seorang wanita. Kau tentu tidak ingin kubohongi, bukan! Nah, tinggalkan aku dalam damai. Si Ni, dan aku tahu bahwa kalau engkau mau, engkau akan dapat menemukan seorang suami yang jauh lebih baik dari pada aku yang tua dan buta ini."
"Pangeran Tiauw Sun Ong!" Tiba-tiba wanita itu membentak marah,
"Sudah tigapuluh tahun aku menanti dangan sabar, dengan setia, dan engkau tetap menolakku? Aku bisa membikin orang yang paling kau cinta menderita, aku bahkan dapat membunuhnya!"
"Sudahlah, Si Ni, kita berpisah dengan baik-baik saja. Engkau tidak perlu membujuk dan mengancam, aku sudah bicara dan tidak akan mengubah sikapku."
"Keparat! Kalau aka tidak dapat hidup bersamamu, aku bersumpah untuk mati bersamamu!"
"Sin Ni ... !" Akan tetapi teriakan Tiauw Sun Ong ini tidak ada gunanya karena wanita itu sudah meloncat sambil menghunus pedang yang tersembunyi dibalik jubahbya, ia sudah menyerang bagaikan kilat menyambar cepatnya! Pedang itu menusuk Tiauw Sun Ong!
"Trranggg ...!" Tongkat itu seperti otomatis bergerak dan berhasil menangkis pedang.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa betapa tangannya tergetar, maka iapun meloncat turun dari atas batu.
"Bagus! Engkau masih lihai, pangeran. Mari kita membuat perhitungan terakhir. Engkau dulu atau aku dulu yang mati!"
"Si Ni, janganlah ...
" akan tetapi bujukan ini dijawab dengan serangan begitu Tiauw Sun Ong turun dari atas batu. Si buta yang memiliki pendengaran amat tajam dan peka itu melompat dan menghindarkan diri dari serangan pedang. Wanita itu mengejar dan menyerang terus, dan pangeran itu kagum. Serangan-serangan Bwe Si Ni bukan main dahyatnya.
Sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan lima belas tahun yang lalu! Serangan itu didukung tenaga sin-kang yang kuat sekali, dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbebaya. Untuk melindungi dirinya, dari ancaman bahaya maut, bekas pangeran itu didukung tenaga sinkang yang kuat sekali dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbahaya. Untuk melindungi dirinya dari ancaman maut bekas pangeran itu sudah memutar tongkatnya dengan pengerahan sin-kang sehingga potongan kayu itu membentuk sebuah sinar bergulung-gulung seperti payung yang menjadi perisai dirinya.
Sebetulnya, Tiauw Sun Ong juga tidak takut mati atau begitu ingin untuk hidup terus dalam keadaan yang tak dapat dikata bahagia secara lahiriah. Akan tetapi, dia tidak mau bunuh diri, juga dia tidak ingin kalau wanita itu sampai menjadi pembunuhnya hanya karena ingin hidup atau mati bersama! Dia tidak ingin menjadi sebab kedosaan Bwe Si Ni setelah dia tidak mampu membahagiakan wanita itu.
Sementara itu. Kwan Im Sianli juga terkejut bukan main di samping kekagumannya. Ia telah maju pesat dalam ilmu silat, bahkan ditakuti dunia kang-ouw, dianggap sebagai seorang datuk persilatan yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, kini kembali ia tahu bahwa untuk membunuh pria yang dikasihinya ini jelas bukan perkara mudah. Bahkan untuk mengalahkannya saja belum tentu ia mampu! Ilmu tongkat yang dimainkan orang buta itu selain aneh, juga sukar ditembus pedangnya, bahkan setiap kali pedangnya bertemu tongkat, tangannya terasa panas dan nyeri!"
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita. Suara tawa yang amat aneh, makin lama semakin nyaring dan amat mengejutkan hati Kwan Im Sianli dan juga Tiauw Sun Ong karena tanpa dapat mereka tahan lagi. Kwan Im Sianli ikut pula tertawa bergelak dan biarpun dia sudah menahannya, tetap saja bekas pangeran itupun tertawa di luar kehendaknya. Tentu saja keduanya terkejut dan otomatis meloncat ke belakang.
Kwan Im Sianli menoleh ke arah wanita yang tertawa itu, sedangkan bekas pangeran itu memperhatikan dengan pendengarannya yang tajam. Setelah, kini tidak perlu lagi mengerahkan sin-kang untuk menandingi Tiauw Sun Ong, Kwan Im Sianli berhasil memusatkan sin-kangnya dan menghentikan tawanya yang tak dapat dikendalikannya tadi itu. Dan ia melihat seorang wanita yang satu dua tahun lebih tua darinya, akan tetapi yang juga kelihatan masih muda sekali, bersama seorang wanita muda berusia, dnapuluh tahun lebih. Dan iapun segera mengenal wanita itu dan mukanya berubah merah karena marah!"
"Setan perempuan, kiranya engkau yang menggangguku?" bentak Kwan Im Sianli dengan marah.
"Engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"
Wanita yang baru datang itu tidak kalah cantiknya dibandingkan Bwe Si Ni dan ia tertawa lagi, lalu berkata kepada wanita muda yang ikut datang bersamanya.
"Hi-hi-hi hik ... Ling Ay, kaulihat baik-baik. Inilah wanita yang pernah kuceritakan kepadamu. Kwan Im Sianli Bwe Si Ni. Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan orang ini!"
Wanita muda itu memang Ling Ay adanya, Cia Ling Ay, janda muda dari Nan-ping yang ditolong oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan kemudian menjadi murid wanita cantik yang menjadi datuk besar persilatan itu. Sudah tiga tahun lamanya Cia Ling Ay ikut gurunya, setiap hari digembleng Ilmu silat dan sihir sehingga kini ia bukanlah Ling Ay tiga tahun yang lalu. Dan selain gurunya memiliki cara mengajar yang istimewa, juga Ling Ay ternyata memiliki bakat terpendam yang besar sekali sehingga mudah baginya menguasai Ilmu-Ilmu yang aneh dan dahsyat. Kini ia mengikuti gurunya mandaki puncak Hwa-san dan mereka melihat betapa Kwan Im Sianli bertanding atau lebih tepat lagi mendesak dan menyerang seorang laki-laki buta yang lihai sekali.
"Bi Moli, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Jangan angkau mencampuri urusan pribadi kami dan pergilah, biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan Pangeran Tiauw Sun Ong!" kata pula Kwan Im Sianli yang maklum bahwa sebagai sama-sama datuk besar, tingkat kepandaian mereka berimbang dan kalau wanita itu membantu Tiauw Sun Ong, ia sungguh tidak berdaya. Baru menghadapi Tiauw Son Ong seorang saja tadi ia sudah sukar untuk dapat mengalahkannya.
"Hemm!. Bwe Si Ni! Dahulu ketika kita masih muda, aku telah menjadi seorang puteri bangsawan dan engkau hanya seorang dayang. Engkau menyembah-nyembah kepadaku. Sekarang, setelah angkau memiliki sedikit kepandaian dan berjuluk Kwan Im Sianli, apa kau kira angkau ini benar-benar seorang dewi dan menganggap semua wanita lain sebagai setan perempuan? Engkaulah yang iblis betina, perempuan tak tahu malu! Engkau tentu masih ingat bahwa akulah dahulu pacar dan tunangan kakanda Tiauw San Ong! Kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar itu, tentu aku yang menjadi isterinya! Engkau dayang tak tahu malu, mendesak-desaknya, bahkan sampai sekarang, setelah kanda Tiauw Sun Ong menjadi buta dan mengasingkan diri, engkau masih berani mengganggunya!"
Wajah Bwe Si Ni menjadi pucat, lalu merah kembali. Biarpun ucapan itu dirasakan amat menghinanya, namun ia tidak mungkin dapat membantah. Memang, puluhan tahun yang lalu ketika ia masih menjadi seorang dayang istana, Kwan Hwe Li adalah pacar dan tunangan Pangeran Tiauw Sun Ong. Bahkan pangeran itu menolak cintanya karena telah mempunyai pacar wanita itu, puteri seorang bangsawan tinggi she Kwan. Hubungan antara Kwan Hwe Li dan Tiauw Sun Ong juga putus setelah Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana dan kota raja.
"Kwan Hwe Li, lidak perlu engkau menyombongkan diri. Mungkin saja dahulu engkau puteri bangsawan, akan tetapi sekarang tidak lagi! Bahkan Kerajaan Liu-sung telah hancur. Engkau hanya bekas puteri bangsawan. Dan tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, biarpun engkau mengaku pacar dan tunangan, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa engkaulah yang dahulu mencelakainya dan melaporkan hubungannya dengan selir Pouw Cu Lan kepada kaisar sehingga mereka tertangkap basah?"
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 12
"Bwe Si Ni, tak tahu malu engkau! Memang aku melaporkan karena hal itu kuanggap tidak benar. Dan aku berhak karena aku merasa cinta kami dilanggar. Akan tetapi engkau, hanya seorang dayang, engkaupun berani ikut pula melapor kepada kaisar!"
"Hemm, jadi kita ini sama, saja? Lalu mau apa engkau datang ke sini kalau tidak ingin merayu Pangeran Tiauw Sun Ong?" Kwan Im Sianli mengejek.
"Aku bukan perempuan hina macam kamu! Aku sudah merasa sebagai seorang wanita tua yang tidak haus lagi akan kemesraan pria. Aku dalang karena mengingat akan persahabatan antara aku dan kanda Tiauw Sun Ong, dan hanya akan menjenguknya tanpa ingin mengganggunya. Akan tetapi aku melihat engkau mati-matian menyerangnya untuk membunuhnya. Kanda Tiauw Sun Ong bisa saja mengalah kepadamu, akan tetapi aku tidak! Kalau engkau melanjutkan niat busukmu, aku akan membantunya membunuhmu atau mengusirmu!"
Tiauw Sun Ong yang sejak tadi diam saja, menghela napas panjang dan berkata,
"Sudah, dinda Kwan Hwe Li. Bagaimanapun juga, Bwe Si Ni tidak berniat jahat, hanya menuruti gelora perasaannya. Ingin mengajak aku hidup bersama atau mati bersama."
Kwan Im Sianli mambanting kakinya dengan gemas, lalu menudingkan pedangnya ke arah muka Tiauw Sun Ong.
"Pangeran, ilmu kepandaianku masih terlampau rendah untuk dapat mengalahkanmu. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak akan mampu menyiksa batinmu tanpa menyentuh tubuhmu!"
Setelah berkata demikian, Kwan Im Sianli Bwe Si Ni melompat dan meninggalkan tempat itu dengan cepat sekali.
"Seorang wanita yang keras hati ...
" kata Tiauw Sun Ong, nada suaranya menyesal karena kembali dia telah membikin hati seorang wanita menderita.
"Entah apa yang dimaksudkan dengan kalimatnya yang terakhir itu."
"Pangeran, ancamannya tadi bukan kosong belaka. Ia tidak dapat mengalahkanmu, akan tetapi ia dapat mengganggu atau bahkan membunuh Pouw Cu Lan dan anaknya ... anakmu, pangeran!"
Belum pernah bekas pangeran itu terkejut seperti ketika dia mendengar kata terakhir itu.
"Hwe Li! Apa maksudmu? Anakku ...??"
Pria buta itu sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi agak pucat dan jelas bahwa dia nampak gelisah dan terkejut sekali.
"Kanda Tiauw Sun Ong, mari kita duduk, dan dengarkan keteranganku." kata Bi Moli Kwan Hwe Li. Wanita ini masih cantik sekali, sehingga sesuai dengan julukannya, yaitu Bi Moli (Iblis Betina Cantik). Setelah mereka duduk di atas batu dan Ling Ay juga duduk di belakang subonya (ibu gurunya). Bi Moli! melanjutkan.
"Sebetulnya, ketika mengetahui bahwa pangeran berada di sini, aku hanya datang menjenguk saja tanpa maksud lain. Akan tetapi, kiranya iblis betina berkedok dewi itu juga berada di sini bahkan sedang berusaha untuk membunuhmu ...
"
"Sudahlah, Hwa Li. Katakan saja apa maksudmu dengan anakku tadi." Pangeran itu memotong dengan tidak sabar. Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga tidak mau berbantah dengan Hwe Li tentang wanita yang lain itu.
"Pangeran, ketika pangeran meninggalkan Istana. Pauw Cu Lan menerima hukuman berat dari Kaisar, Ia dihukum buang. Akan tetapi ketika hukuman dilaksanakan, di dalam perjalanan ia dirampas oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika itu ia sudah mengandung, pangeran, mengandung anakmu. Nah, sekarang agaknya Kwan Im sianli Bwe Si Ni hendak mencari ibu dan anak itu dan akan membunuh mereka."
Bi Moli Kwan Hwe Li memandang dengan sinar mata berkilat, lalu bangkit dan berkata kepada muridnya.
"Ling Ay mari kita pergi!" Dan iapun tanpa banyak cakap lagi sudah meninggalkan tempat itu dengan cepat, diiringi muridnya.
Tiauw Sun Ong masih duduk bersila seperti arca, mukanya pucat sekali. Dia tahu bahwa guru dan murid itu meninggalkannya, akan tetapi dia tidak berusaha mencegah mereka. Keterangan Kwan Hwe Li tadi sudah cukup baginya. Lebih dari pada cukup untuk menikam jantungnya. Dia maklum bahwa tidak banyak bedanya antara Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni. Kedua wanita mencintanya dan kecewa karena cinta mereka dia tolak. Keduanya mendendam kepadanya karena patah hati dan cemburu.
Dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya dari pada seorang wanita yang dilanda cemburu. Wanita yang cemburu dapat melakukan kekejaman yang melebihi pembunuhan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa orang separti Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni tidak akan berbohong. Mereka-berdua telah menjadi datuk besar dalam dunia persilatan.
Dia mempunyai seorang anak! Dia tidak perlu tahu pria atau wanita anak itu. Yang penting, dia mempunyai seorang keturunan dan sekarang anak itu terancam bahaya maut di tangan Bwe Si Ni!
"Tidak, anak itu tidak berdosa. Anak itu tidak boleh dibunuh, aku akan melindunginya!" Dengan tekad ini, Tiauw Sun Ong lalu bangkit berdiri dan mengambil bekal pakaian dari dalam gubuk tempat tinggalnya di puncak itu dan tak lama kemudian diapun turun gunung, suatu hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya pagi itu. Pagi tadi, menikmati keindahan musim bunga di puncak Hwa-san, dia mengambil kepulusan untuk tinggal di situ sampai mati, tidak akan turun gunung. Siapa kira, baru beberapa jam saja kini dia sudah terpaksa turun gunung untuk melaksanakan tugas yang amat berat!
Bukan saja dia harus melindungi nyawa seorang anak dari ancaman maut di tangan Kwan
Im Sianli Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga akan mengalami kesulitan kalau berhadapan dengan suami Cu Lan yang agaknya menjadi ayah tiri anaknya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang di antara para datuk berar. Dan dia tahu ke mana harus mencari anak itu. Tentu di tempat tinggal Ouwyang Sek, di Lembah Bukit Siluman! Dengan sebuah tongkat, bekas pangeran yang buta itu menuruni bukit yang amat berbahaya itu dengan cepatnya, jauh lebih cepat dari pada seorang yang tidak buta! Orang takkan percaya bahwa dia buta kalau melihat betapa dia menuruni bukit itu. Ternyata kepekaan yang hebat pada dirinya dapat menggantikan tugas mata yang telah buta itu. Kepekaan ini ditambah penguasaan ilmu yang tinggi.
Rumah yang berdiri megah di Lembah Bukit Siluman itu amat besar dan angker. Gedung kuno itu mempunyai banyak arca dan ukir-ukiran, seperti istana raja saja di antara bangunan-bangunan lain yang nampak kecil sederhana yang terdapat di sekitar lembah itu. Gadung itu milik Bu-eng.kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman. Seluruh sawah ladang yang berada di bukit itu adalah milik datuk ini, dan para petani yang tinggal di sekitar tempat itu merupakan buruh tani penggarap sawah ladangnya. Bu-eng-kiam Ouwyang Sek terkenal sebagai daluk persilatan yang ditakuti, besar pengaruhnya, dan kaya raya.
Pada pagi hari itu, para pelayan laki-laki dan perempuan yang jumlahnya belasan orang di gedung itu nampak sibuk. Pihak tuan rumah sekeluarga, yaitu Ouwyang Sek, isterinya, dan kedua anaknya, yaitu Ouwyang Toan pemuda berusia dua puluh delapan tahun, dan Ouwyang Hui Hong gadis berusia dua puluh satu tahun, sedang menerima kunjungan tamu-tamu yang agaknya dihormati oleh keluarga tuan rumah.
Memang jarang terjadi dan agak aneh kalau keluarga Ouwyang yang terkenal angkuh dan memandang rendah orang lain itu sekali ini menerima kunjungan tamu yang dihormati. Akan tetapi, tidak akan mengherankan lagi kalau diketahui siapa yang datang berkunjung. Tamu tamu kehormatan itu adalah datuk besar Kui-siauw-giam-ong Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan bersama putera tunggalnya, Tok-siauw-kwi Suma Hok. Datuk yang datang sebagai tamu ini mempunyai kedudukan dan tingkat yang sama dengan pihak tuan rumah, dan kunjungannya adalah kunjungan kehormatan, membawa segerobak barang-barang hadiah amat berharga. Tentu saja Ouwyang Sek merasa terhormat dan girang sekali, dan disambutlah rekan setingkat itu dengan gembira dan penuh kehormatan pula. Dia mengarahkan isteri dan dua orang anaknya untuk ikut menyambut! Tentu saja hal ini menggirangkan pihak tamu, karena kedatangan mereka mempunyai maksud untuk mengajukan pinangan!"
Setelah para pengawal dan pengikutnya menghamparkan semua barang hadiah di atas meja besar di ruangan tamu yang luas itu, dipandang dengan kagum oleh Ouwyang Sek dan keluarganya, Suma Koan dengan wajah berseri bangga lalu mamberi hormat kepada tuan rumah.
"Sahabatku Ouwyang, sudah puluhan tahun antara kita terdapat ikatan yang akrab, bukan saja sebagai saingan dalam dunia persilatan, juga sebagai orang setingkat dan sederajat. Biarpun kadang-kadang keadaan membuat kita saling berhadapan sebagai saingan maupun lawan, namun di lubuk hatiku selalu ada perasaan kagum terhadapmu, sobat! Dan karena rasa kagum itulah, maka hari ini kami datang, bukan saja membawa sakedar oleh-oleh sebagai tanda persahabatan dan penghormatan. Juga membawa iktikad baik untuk lebih mempererat hubungan di antara keluarga kita."
Ouwyang Sek yang berusia limapuluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan gagah perkara itu, tertawa bergelak sambil memandang kepada tamunya yang usianya limapuluh delapan tahun, dan biarpun tubuh datuk itu kecil kurus, namun Ouwyang Sek tidak memandang rendah kepadanya karena dia tahu bahwa tubuh yang kecil itu memiliki kemampuan luar biasa dan dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan Suma Koan dengan mudah.
"Ha-ha-ha-ha, engkau selalu merupakan orang yang kukagumi, sobat Suma! Baik sebagai saingan, lawan maupun kawan. Aku dan keluargaku menghargai kunjungan persahabatan ini, dan marilah engkau dan puteramu menerima hidangan kami seadanya!" Langsung saja dua orang tamu itu dipersilakan memasuki ruangan dalam, di mana telah diatur meja yang penuh hidangan. Tamu ayah dan anak itu bersama pihak tuan rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak duduk mengelilingi meja hidangan. Sejak tadi, setelah diberi kesempatan memberi hormat kepada pihak tuan rumah, Suma Hok yang tampan dan pesolek berulang kali melepas pandang mata yang penuh kagum dan sayang ke arah Ouwyang Hui Hong. Namun gedis ini pura-pura tidak tahu saja walaupun ia bersikap ramah terhadap dua orang tamu itu demi ayahnya. Dalam lubuk hatinya Hui Hong tak pernah dapat melupakan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika ia nyaris diperkosa olah pemuda tampan pesolek itu.
Kedua pihak saling memberi hormat dan selamat melalui pengangkatan cawan arak dan mereka makan minum dengan gembira seperti layaknya tamu dan tuan rumah yang menjadi sahabat akrab dan saling menghormati. Sungguh luar biasa sekali kalau diingat betapa dua orang datuk ini pernah beberapa kali berhadapan sebagai lawan dan saling serang mati-matian!"
Setelah mereka makan minum sampai kenyang. pihak tuan rumah mempersilakan dua orang tamunya ke ruangan dalam yang lebih luas. di mana mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira. Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong tetap disuruh menemani ayahnya menyambut tamu-tamu itu dan melayani mereka bercakap-cakap.
Melihat sikap yang ramah dan senang hati dari Ouwyang Sek, Suma Koan melihat kesempatan baik sekali untuk menyampaikan isi hatinya.
"Sahabat Ouwyang, sesungguhnya kedatangan kami ini mempanyai niat yang amat baik, yaitu kami ingin sekali agar keluarga antara kita terjalin hubungan yang lebih baik. bahkan dua keluarga dapat menjadi satu!"
Ouwyang Sek adalah seorang yang keras hati dan keras kepala, kasar dan terbuka, maka dia masih belum mengerti apa yang dimaksudkan tamunya.
"Ha-ha-ha, sahabat Suma kunjunganmu ini saja sudah mempererat hubungan antara kita. Niat baik apalagi yang kau miliki terhadap kami?"
"Sahabat Ouwyang, engkau tahu bahwa aku hanya mempunyai seorang anak, yaitu puteraku Suma Hok ini, biarpun dia bodoh akan tetapi namanya cukup dikenal di dunia kang-ouw dan aku sudah bersusah payah untuk mewariskan seluruh kepandaian dan milikku kepadanya. Tahun ini, usianya sudah duapuluh lima tahun dan setelah mencari-cari sampai beberapa lama, aku tidak melihat seorangpun gadis yang pantas menjadi jodohnya, kecuali puterimu yang cantik jelita dan pandai ini. Kami datang untuk meminang puterimu!"
Ouwyang Sek terbelalak mendengar ini, menoleh ke arah puterinya yang mengerutkan alis dan mukanya menjadi merah sekali, dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, aku sampai lupa bahwa aku mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa!" Dia tertawa-tawa lagi.
"Ayah, aku belum ingin menikah!" Tiba-tiba Hui Hong berkata dengan suara tegas.
Ouwyang Sek menghentikan tawanya.
"Ehhh!" Dia menggerak-gerakkan alisnya yang tebal.
"Hui Hong, ingat, usiamu sekarang sudah dua puluh satu tahun, dan pelamarmu sekali ini adalah putera datuk besar Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan!"
Suma Koan tertawa.
"Ha-ha, sahabat Ouwyang, harap jangan terlalu memuji. Keadaanku tidak lebih besar dari pada keadaanmu, akan tetapi kalau keluarga Ouwyang menjadi satu dengan keluarga Suma, bukankah kita berdua menjadi yang terbesar dan siapa yang akan berani menentang kita!"
"Benar ... benar ... ah, pinanganmu ini akan kami pertimbangkan baik-baik ...!" kata Ouwyang Sek sambil tertawa lagi.
"Ayah! Aku tidak sudi menjadi jodoh jahanam yang tiga tahun lalu nyaris memperkosaku ini!" kata Hui Hong dan iapun bangkit berdiri lalu lari meningalkan ruangan itu menuju ke kamarnya.
"Hui Hong ...!" ibunya berseru dan lari mengejar.
Ouwyang Sek bersungut sungut, merasa tidak senang melihat sikap puterinya dan merasa tidak enak kepada tamunya.
"Sobat Suma Koan, engkau dan puteramu duduklah dulu, aku akan membujuk anak bandel itu. Percayalah, dia pasti akan taat kepada ayahnya," Katanya dan diapun lari mengejar anak dan isterinya. Suma Koan tersenyum dan minum araknya, tidak memperdulikan putranya yang kelihatan kecewa. Dia sudah merasa yakin bahwa tentu Ouwyang Sek akan menerima pinangannya. Dia tahu betapa rekannya itu terlalu mementingkan diri sendirl dan akan menggunakan siapapun, termasuk anak sendiri, demi keuntungan diri pribadi. Kalau keluarga Ouwyang menerima pinangannya, berarti dua keluarga datuk itu menjadi satu dan kedudukan masing-masing menjadi semakin kuat. Mana mungkin penawaran yang demikian menguntungkan akan ditolak oleh Ouwyang Sek. Ouwyang Toan yang kini duduk sendiri bersama dua orang temannya, sejak tadi memang sudah merasa canggung dan tidak suka. Diapun ikut merasa tidak suka mendengar pinangan itu, mengingat bahwa adiknya pernah akan diperkosa Suma Hok yang menjadi saingannya sebagai putera datuk yang bersaingan. Maka, melihat ayahnya lari mengejar, diapun baugkit dan mengaagguk kepada dua orang tamunya, dan melangkah pergi meninggalkan ruangan itu, juga menyusul adiknya.
Hui Hong duduk di tepi pembaringannya, alisnya berkerut, mukanya merah dan mulutnya cemberut. Ibunya kini duduk di dekatnya sambil merangkul pundak puterinya.
"Hui Hong. kenapa engkau bersikap seperti itu? Usiamu sudah duopuluh satu tahun dan ayahmu benar, engkau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Dan biarpun aku belum mengenal pemuda itu, akan tetapi aku tidak melihat keburukan pada dirinya, Dia tampan, halus dan sopan ...
"
"Ibu! Ibu tahu apa? Jahanam itu pernah menawan aku dan nyaris memperkosaku, ibu! Kalau tidak ada Kwa Bun Houw yang menyelamatkan aku, tentu anakmu ini sekarang sudah mati membunuh diri karena dinodai jahanam busuk itu. Bagaimana mungkin aku dapat menjadi isterinya!"
"Omong kosong!" Tiba-tiba ayahnya memasuki kamar dan membentak marah.
"Perbuatannya itu bukan berarti dia jahat dan busuk, melainkan karena dia cinta padamu, Hui Hong. Buktinya, sekarang dia datang bersama ayahnya dan mengajukan pinangan secara resmi. Dan kaulihat sendiri, hadiah yang dibawanya lebih besar dari pada kalau engkau dipinang putera seorang bangsawan tinggi. Ini berarti bahwa keluarga Suma menghargaimu, Hui Hong. Kalau engkau menjadi mantu Suma Koan, engkau akan menjadi seorang nyonya yang terhormat kaya raya, mulia dan terlindung."
"Tidak, aku tidak sudi, ayah!" Hui Hong berseru, juga dengan suara keras penuh kemarahan.
"Engkau harus mau, ini perintahku!" ayahnya membentak pula.
Pouw Cu Lan, ibu Hui Hong, segera menengahi.
"Aih, kalian ini ayah dan anak sama-sama keras kepala. Kenapa urusan ini tidak dibicarakan dengan tenang saja? Keduanya suka mengalah, serta mempertimbangkan pendapat masing-masing dan kita rundingkan, mana yang benar dan baik."
Hui Hong adalah seorang gadis yang cerdik walaupun ia keras hati. Ia juga mengenal ayahnya sebagai seorang yang berhati baja dan sukar sekali untuk mengubah apa yang sudah diputuskan ayahnya. Maka, tadi ia sudahi memutar otak dan kini ia turun dari pembaringan, berdiri tegak menghadapi ayahnya yang sudah mulai marah.
"Ayah, dongeng-dongeng jaman dahulu menyatakan bahwa setiap orang gadis yang terhormat harus dapat menjaga harga dirinya, dan setiap orang puteri kalau dipinang orang selalu mengajukan syarat. Aku pun ingin menjadl puteri terhormat dan siapapun yang meminangku, harus memenuhi syarat yang kuajukan!"
Mendengar ini, agak berkurang kemarahan Ouwyang Sek.
"Hemm, sekarang engkau bicara dengan sehat. Memang engkau berhak mengajukan syarat. Nah, syarat apa yang kauajukan itu, cepat katakan agar dapat kusampaikan kepada keluarga Suma."
"Aku mempunyai dua macam syarat yang harus dipenuhi." kata gadis itu dengan suara tegas.
"Pertama aku minta agar mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang hilang dari tangan ayah itu dapat ditemukan kembali dan diserahkan kepadaku. Hal ini menyangkut kehormatan keluarga kami, ayah."
Ouwyang Sek memandang puterinya dengan wajah yang cerah dan dia menganggukkan kepala.
"Bagus! Syarat itu memang pantas dan aku sendiri memperkuat syarat itu. Keluarga Suma harus bisa mendapatkan kembali mustika itu dan menyerahkannya kepada kita!" katanya gembira.
"'Masih ada syarat ke dua dan ke tiga, ayah."
"Hemm, katakan dua yang lain!"
"Syarat ke dua, aku hanya mau menjadi isteri seorang yang dapat menandingi dan mengalahkan aku. Hal inipun kulakukan untuk mengangkat nama dan kehormatan ayah."
Pria tinggi besar itu kini tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Baik sekali. Memang putera Suma Koan itu harus belajar yang rajin dan harus dapat mengunggulimu dalam ilmu silat. Syarat ke dua itupun akan kusampaikan kepada mereka."
"Syarat yang ke tiga adalah untuk menebus penyesalanku, ayah. Syarat itu adalah bahwa sebelum aku menerima pinangan itu, harus diusahakan agar aku dapat bertemu dengan Kwa Bun Houw dalam keadaan sehat!"
Terbelalak sepasang mata itu dan kulit muka yang kehitaman itu menjadi semakin hitam. Datuk itu kembali marah.
"Hui Hong, apakah engkau gila? Syaratmu yang ke tiga itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak, ayah? Ketika aku nyaris diperkosa jahanam Suma Hok, aku diselamatkan oleh Kwa Bun Houw. Akan tetapi ayah tidak membalas budi itu. sebaliknya ayah bahkan memukulnya dan melukainya. Aku merasa menyesal sekali, maka aku ingin bertemu dengan dia dan minta maaf."
"Huh, mana bisa begitu? Kalau dia sudah mampus?"
"Kalau dia sudah mati, aku tidak mau menikah!"
"Heiii?" Gilakah engkau? Celaka, anak ini jatuh cinta kepada setan itu!"
"Memang aku cinta kepada Houw-ko, ayah. Dia baik, berbudi, gagah perkasa dan aku berhutang nyawa dan kehormatan kepadanya. Aku, ...
"
"Cukup! Syarat gila itu tidak dapat diterima."
"Kalan begitu, akupun tidak sudi menikah dengan siapapun!"
"Aku akan memaksamu!"
Sepasang mata gadis itu mencorong penuh kemarahan.
"Ayah keras hati dan hendak memaksaku? Apa ayah kira akupun tidak dapat berkeras hati? Dengan kekerasan ayah dapat memaksaku, akan tetapi, akupun dapat membalas. Aku akan membunuh diri ketika pernikahan dirayakan dan jahanam itu hanya akan mengawini mayatkn dan ayah akan mendapat malu besar di depan para tamu!"
"Anak setan! Kalau begitu lebih baik sekarang saja engkan mati!" Datuk itu sudah mengangkat tangan dan hendak menyerang Hui Hong yang sama sekali tidak kelihatan takut. Melihat ini, Pouw Cu Lan menubruk suaminya.
"Jangan ...!" teriaknya.
Akan tetapi sekali dorong, tubuh wanita itu terlempar ke atas pembaringan. Dorongan yang terarah ini menunjukkan betapa sayangnya Ouwyang Sek kepada isterinya, walau dalam keadaan marah sekalipnn. Dia melangkah maju hendak melanjutkan serangannya membunuh Hui Hong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak membunuh anakku! Ia bukan anakmu, engkau tidak berhak membunuhnya!" Wanita itu berteriak, nadanya lantang dan mendengar ini, Ouwyang Sek seperti tersentak, tangan yang sudah diangkat itu turun dan perlahan-lahan dia memutar tubuhnya, menghadapi isterinya yang masih terduduk di atas pembaringan.
"Cu Lan, ... kau ... kau membuka rahasia itu ...!" kata Ouwyang Sek, semua kekerasan lenyap dari suaranya.
"Tidak perduli! Engkau tidak berhak membunuh anakku. Bukankah selama duapuluh tahun ini aku memegang janji, menyerahkan segalanya kepadamu, bahkan mencoba untuk belajar mencintamu? Akan tetapi, hari ini engkau hendak memaksanya menikah dengan orang yang tidak disukainya, hendak membunuhnya. Ia bukan anakmu!"
Diserang dengan ucapan seperti itu oleh Isterinya, Ouwyang Sek tertegun, mukanya berkerut seperti menahan rasa nyeri di dalam dadanya, kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Baik ... baik, Cu Lan. aku tidak akan membunuhnya ...
"
Dan dia menoleh ke arah Hui Hong.
"Aku akan minta mereka memenuhi syarat pertama dan ke dua, akan tetapi aku tidak perduli akan syaratmu yang ke tiga. Kalau dua syarat itu telah dipenuhi engkau harus menikah dengan Suma Hok, mau atau tidak mau! Kalau engkau akan membunuh diripun silakan, akan tetapi engkan harus menikah dengan putera Kui-siauw Giam-ong kalau dia dapat memenuhi dua syaratmu!"
Setelah berkata demikian, datuk besar ini keluar dari dalam kamar puterinya dan membanting daun pintu. Ketika tiba di luar, dia melihat puteranya, Ouwyang Toan berada di situ dan tahulah dia bahwa puteranya tadi juga ikut mendengarkan semua percakapan dalam kamar.
"Mau apa kau di sini?" tegur Ouwyang Sek yang masih marah.
Wajah pemuda tinggi besar dan gagah itu nampak tegang dan sinar matanya berseri.
"Ayah ... kalau begitu ... adik Hui Hong bukanlah adik tiriku, bukan anak kandung ayah? Kalau begitu ... antara ia dan aku tidak ada hubungan darah sama sekali ...
"
"Hemm, kalau sudah begitu kenapa?" ayahnya membentak dengan suara lirih agar jangan terdengar isterinya yang berada di kamar puterinya, sambil terus melangkah meninggalkan tempat itu diikuti puteranya,
"Kalau begitu aku dapat mengawininya, ayah! Aku ... sejak dulu aku ... cinta kepada Hui Hong."
Kembali Ouwyang Sek tertegun, akan tetapi karena hatinya sedang risau dan mendongkol, dia cemberut." Masa bodoh ia mau menikah dengan siapa, asal dapat mamenuhi syarat-syaratnya."
"Apakah syarat-syaratnya, ayah? Aku masih kurang begitu jelas. Ia menyebut-nyebut Kwa Bun Houw ...
"
"Itu tidak masuk hitungan! Syaratnya hanya dua, pertama harus dapat menemukan kembali mustika Akar bunga Gurun Pasir, ke dua harus mampu mengalahkannya."
"Akan kucoba, ayah."
Ayahnya menoleh dan memandang kepadanya, lalu mendengus marah.
"Agaknya engkau pun sudah gila!"
Mereka memasuki ruangan tamu dan dua orang tamu mereka segera bangkit menyambut. Suma Koan tersenyum lebar.
"Aha, sobat Ouwyang Sek, aku percaya engkau tentu telah berhasil membujuk puterimu, dan menerima pinangan kami."
Ouwyang Sek duduk, juga Ouwyang Toan mengambil tempat duduk semula. Setelah memandang kepada kedua orang tamu itu, dia lalu berkata.
"Aih. puteriku memang manja sekali. Ia tidak lagi menolak, akan tetapi mengajukan syarat-syarat!"
"Aihh! Syarat-syarat apakah yang diajukan adinda Ouwyang Hui Hong itu, paman!" terdengar Suma Hok bertanya, suaranya penuh gairah karena dia merasa yakin akan mampu memenuhi syarat yang diajukan gadis yang membuatnya tak nyenyak tidur tak enak makan itu.
"Syarat ini bukan hanya untuk keluarga Suma, melainkan syarat umum terhadap siapa saja yang ingin memperisteri Hui Hong. Pertama, pemuda itu harua mampu mencari sampai dapat mustika Akar Bunga Gurun Pasir kami yang hilang dan menyerahkan kepada Hui Hong, dan ke dua, pemuda itu harus mampu menandingi dan mengalahkan Hui Hong?"
Suma Hok mengerutkan alisnya. Syarat syarat itu, terutama yang pertama, terasa berat olehnya dan dia memandang kepada ayahnya. Akan tetapi Suma Koan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, syarat-syarat itu cukup sukar, akan tetapi untuk mendapatkan seorang gadis sehebat Ouwyang Hui Hong. syarat itu masih terlalu lunak. Sobat Ouwyang, kami menyanggupi syarat-syarat itu. Pertama akan kami coba penuhi syarat pertama menemukan kembali mustikamu itu, baru kemudian kami memenuhi syarat ke dua. Nah, kami minta diri, akan segera melaksanakan syarat pertama."
Ouwyang Sek bangkit dan mengantar kedua orang tamunya sampai ke pintu depan, ditemani oleh Ouwyang Toan. Diam-diam Ouwyang Toan merasa lega dan girang. Tadi ayahnya mengajukan di depan dua orang tamunya bahwa syarat-syarat itu ditujukan kepada siapa saja yang hendak memperisteri Hui Hong! Berarti dia pula berhak mempertsteri gadis itu kalau dapat memenuhi dua syarat itu. Dia harus lebih dulu mendapatkan kembali Akar Bunga Gurun Pasir, jangan sampai keduluan Suma Hok!
Akan tetapi Suma Hok merasa tidak puas sama sekali. Biarpun ayahnya telah menyanggupi dan menerima dua syarat itu, akan tetapi dia merasa seperti dipersukar, apalagi dia tidak mendapat kesempatan untuk berpamit kepada Hui Hong sehingga dapat bertemu lagi dengan gadis itu. Maka, sebelum ayahnya meninggalkan pintu gerbang keluarga Ouwyang, dia berhenti dan memberi hormat kepada Ouwyang Sek.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maafkan saya, paman Ouwyang, Karena syarat itu cukup berat dan entah sampai kapan saya akan dapat membawa ke sini mustika itu untuk dihaturkan kepada paman dan adinda Ouwyang Hui Hong, maka perkenankanlah saya untuk berpamit kepada puteri paman yang amat saya cinta itu."
Mendengar ini, Suma Koan cepat berkata untuk membela puteranya,
"Ha-ha-ha, dasar orang muda. Sobat Ouwyang, kurasa permintaan anakku itu pantas saja. Pula, sebagai tamu, aku sendiri merasa kurang enak kalau tidak pamit dari semua keluargamu yang tadi menyambut kami. Akupun ingin berpamit kepada isterimu dan puterimu."
Ouwyang Sek baru teringat akan sopan santun. Keluarganya telah menyambut tamu, bagaimana sekarang tidak muncul ketika tamu-tamunya pulang.
"Ha-ha-ha, memang sulit mengatur wanita. Toan-Ji (anak Toan), kau cepat minta ibumu dan adikmu keluar mengantar tamu!"
Biarpun hatinya merasa tidak senang, Ouwyang Toan pergi juga ke kamar adiknya. Dia mengetuk pintu kamar dan yang keluar adalah ibu tirinya. Akan tetapi dia dapat mendengar suara adiknya menangis! Adiknya menangis! Sungguh hal yang teramat aneh. Gadis yang keras hati dan gagah berani itu menangis! Dan dia teringat akan rahasia yang dibuka ayahnya tadi. Agaknya itulah yang membuat Hui Hong menangis.
Ketika mendengar Ouwyang Toan menyampaikan permintaan suaminya, Pouw Cu Lan mengerutkan alisnya.
"Katakan pada ayahmu bahwa saat ini adikmu tidak mungkin dapat keluar mengantar tamu pulang,"
"Tapi ayah akan marah ..."
"Katakan saja kepada ayahmu bahwa kalau besok para tamu mendatang lagi, aku tentu sudah dapat membujuk Hui Hong untuk keluar dan mengantar mereka pulang." Ia lalu masuk lagi dan menutupkan daun pintu kamar anaknya.
Terpaku Ouwyang Toan menyampaikan jawaban ibunya itu kepada ayahnya yang menjadi bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap atau bicara kepada tamunya.
Akan tetapi mendengar laporan Ouwyang Toan itu. Suma Hok yang cerdik segera berkata dengan gembira.
"Kalau begitu, biarlah kita menanti semalam di sini, ayah! Kesempatan ini dapat kupergunakan untuk melihat-lihat keindahan bukit ini."
"Ha-ha-ha, boleh saja kalau sobat Ouwyang Sek tidak berkeberatan menerima kita bermalam di sini semalam, agar besok aku dapat berpamit dari semua keluarganya." kata Suma Koan.
Tentu saja Ouwyang Sek tidak dapat berbuat lain kecuali menerima mereka, dan mereka semua masuk kembali. Hanya Ouwyang Toan yang diam-diam mendongkol kepada Suma Hok yang mulai saat itu dianggap sebagai saingannya untuk memperisteri Hui Hong yang sudah disayangnya sejak kecil. Rasa sayang sebagai kakak terhadap adik yang makin lama berkembang menjadi asmara, Apalagi setelah diketahui bahwa Hui Hong bukan adiknya, melainkan orang lain!"
Ouwyang Toan tidak salah dengar. Ketika dia menyampaikan pesan ayahnya kepada ibu tirinya, dia memang mendengar adiknya sedang menangis. Dan memang hal ini amat aneh. Hui Hong sejak kecil hidup dalam keluarga Ouwyang Sek, digembleng sehingga menjadi seorang gadis yang berani, keras hati dan seolah-olah pantang menangis, seperti seorang laki-laki gagah perkasa saja. Akan tetapi ketika itu, ia menangis terisak-isak, tak tertahankan sampai sesenggukan.
Kemarahan ayahnya yang hendak memaksanya menerima pinangan Suma Hok tidak membuat ia menangis walaupun ia marah, kecewa dan penasaran sekali. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan ayah dan ibunya, ketika ibunya mengatakan bahwa ia bukan anak kandung ayahnya, hal itulah yang menikam ulu hatinya. Setelah ayahnya pergi, ia menubruk ibunya, bahkan mengguncang kedua pundak Ibunya.
"Ibu, apa artinya semua itu? Aku bukan-anak kandung ayah? Ibu, apa artinya ini? Ayah bilang ibu telah membuka rahasia. Ibu, rahasia apakah yang terkandung di balik kehidupan ibu dan ayah? Kalau aku bukan anak kandung ayah, lalu siapakah ayahku? Ibu, ceritakan semua kepadaku!"
Dan berceritalah Pouw Cu Lan. Wanita cantik berusia empatpuluh dua tahun kita berceritera dengan suara gemetar menahan perasaan yang menusuk-nusuk.
"Tahukah engksu siapa ibumu ini, anakku?"
"Bukankah ayah sering membanggakan bahwa ibu adalah bekas selir kaisar? Apakah kalau begitu ayahku adalah ... kaisar?"
Wanita itu menggeleng kepalanya. Sungguh berat rasanya membuka rahasianya, rahasia yang penuh keaiban terhadap anak kandungnya sendiri.
"Memang benar, aku adalah seorang yang pernah menjadi selir mendiang Kaisar Cang Bu di Nan-king. kaisar Kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan digantikan Kerajaan Chi yang sekarang ini, anakku. Dengan mendiang kaisar, aku tidak mempunyai anak. Akan tetapi, duapuluh dua tahun yang lalu, sebagai selir kaisar aku bertemu dengan seorang pangeran. Kami. ... saling jatuh hati, saling mencinta dan kami ... mengadakan hubungan gelap."
Hui Hong yang mendengar cerita itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Ia hanya tahu bahwa ibunya terpaksa menjadi selir kaisar tidak mencinta kaisar dan bertemu dengan pangeran yang di cintanya.
"Akan tetapi, hubungan kami ketahuan kaisar. Pangeran itu merasa malu dan ... membutakan kedua matanya sendiri, lalu minggat dari Istana, dan aku ... aku menerima hukuman dari kaisar. Aku dihukum buang, ...
" Kini Pouw Cu Lin tidak dapat menahan tangisnya lagi karena ia teringat akan kekasihnya, pangeran itu.
"Lalu bagaimana, ibu?" Karena penasaran dan ingin tahu, Hui Hong mendesak ibunya yang sedang menangis.
"Ketika aku sedang dikawal menuju ke tempat pembuangan, Ouwyang Sek menghadang, membunuh para pengawal dan membebaskan aku dari kerangkeng, lalu dia ... dia mengambil aku sebagai isterinya.
Hui Hong mengerutkan alisnya. Cerita ibunya sungguh membuat ia tidak merasa senang. Ibunya seorang yang demikian cantik, dan pria yang selama ini dianggap sebagai ayahnya demikian buruk dan kasar.
"Dan ibu mau?" komentarnya yang mengandung teguran karena penasaran.
Wanita itu terisak, kepalanya tunduk dan ia mengangguk.
"Aku ... aku terpaksa mau karena ... karena hendak menyelamatkan ... engkau, Hui Hong."
Sekali ini Hui Hong terlonjak kaget.
"Ibu, apa artinya ini! Apa maksud ibu?"
"Hui Hong, apakah engkau kira ibumu ini demikian rendah sehingga rela begitu saja dipisahkan dari pangeran itu, satu-satunya orang yang kukasihi dengan badan dan batinku. Demi engkaulah maka aku terpaksa menerima paksaan derita lahir batin. Kalau tidak ada engkau, tentu sebelum dihukum buang, aku sudah membunuh diri mencuci aib dan duka karena dipisahkan dari pangeranku."
"Demi aku, Ibu, jelaskanlah!" Hui Hong semakin penasaran.
"Ketika aku dan pangeran itu dipisahkan dengan paksa. aku dalam keadaan mengandung, anakku. Mengandung ... engkau! Baru tiga bulan kandunganku itu. Aku tidak ingin kehilangan engkau, karena engkaulah satu-satunya peninggalan kekasihku itu kepadaku. Aku rela dihukum buang, bahkan ketika aku diselamatkan Ouwyang Sek, aku rela diperisteri dengan syarat bahwa aku baru mau menjadi isterinya setelah engkau terlahir dan setelah dia berjanji bahwa dia akan menganggapmu sebagai anak sendiri, akan memperlakukanmu dengan kasih sayang seperti anak sendiri."
"Aihhhh, ibu ... !" Mulai saat itulah Hui Hong menangis, merangkul ibunya.
Ia dapat membayangkan betapa hebat penderitaan ibunya, derita lahir batin demi untuk menyelamatkan dirinya, puterinya! Semua itu dilakukan ibunya karena amat besar cinta ibunya, terhadap ayah kandungnya, pangeran itu, sehingga rela berkorban perasaan, menderita lahir batin asal dapat menyelamatkan keturunan pangeran itu.
Sampai lama dua orang wanita itu saling rangkul dan bertangis-tangisan.
"Menangislah anakku ... menangislah karena engkau adalah manusia biasa, dari ayah yang luhur budi bukan anak seorang datuk sesat yang keras kepala dan keras hati ... menangislah, anakku sayang ...
" Belaian Ibunya itu membuat Hui Hong makin mengguguk dalam tangisnya.
Setelah tangis itu mereda, Hui Hong hanya terisak-isak, dan pada saat itu Ouwyang Toan muncul di pintu memanggil ibunya. Ia mendengar percakapan mereka dan matanya terbelalak, kemudian dia tersenyum-senyum dan batinnya bersorak. Hui Hong bukan adik kandungnya, bukan adik tirinya, bukan apa-apa, orang lain. Ini berarti bahwa dia boleh mengawini gadis itu!"
Setelah pemuda itu pergi, Hui Hong telah dapat menguasai dirinya, tidak terisak lagi. Ada perasaan aneh dalam hatinya. Ia bukan putri Ouwyang Sek! Sungguh aneh sekali perasaan ini membuat ia merasa lega dan bahkan bangga! Seringkali diam-diam ia merasa tidak suka akan sifat dan watak ayahnya itu. Terlalu keras, terlalu kejam, dan kadang terlalu licik. Kini bahkan ia merasa lega bahwa yang berbuat jahat dan keji terhadap Kwa Bun Houw bukanlah ayah kandungnya, bukan pula sanak saudara, melainkan orang lain. Tidak ada sedikitpun darah datuk itu mengalir di tubuhnya. Ayah kandungnya seorang pangeran! Perasaan bangga timbul dan ia merasa betapa harga dirinya melambung tinggi!
"Ibu, siapakah nama pangeran itu, ayah kandungku itu?" akhirnya ia bertanya.
Tiba-tiba terdengar suara lembut menyelinap masuk kamar itu. Datang dari arah jendela kamar.
"Namanya Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ehh? Siapa itu ...?" Pouw Cu Lan terkejut dan terbelalak memandang ke arah jendela.
Akan tetapi, reaksi Hui Hong sudah lebih cepat lagi. Sekali berkelebat, gadis itu telah meloncat keluar dari dalam kamar sambil mendorong daun jendela kamar terbuka. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang wanita berlari cepat sekali meninggalkan taman bunga di luar kamarnya. Tanpa mengeluarkan suara, iapun mengerahkan ilmunya berlari cepat dan melakukan pengejaran.
Bayangan itu mampu bertari secepat terbang. Hui Hong merasa penasaran sekali melihat bayangan itu melesat amat cepatnya menuruni bukit melalui bagian belakang yang sunyi dan juga amat sukar dilalui. Ia tidak mau kalah, mengerahkan ilmunya berlari cepat, meloncat bagaikan seekor kijang melakukan pengejaran. Namun, sampai tiba di kaki bukit yang sudah amat jauh dari rumah Ouwyang Sek, belum juga ia mampu menyusulnya. Akan tetapi, setelah mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi, wanita itu berhenti dan membalikkan tubuhnya, menanti pengejarnya sambil tersenyum. Dan begitu berhadapan, Hui Hong, tertegun. Wanita itu cantik manis dengan kulit muka yang putih dan tubuh yang ramping, padat. Nampaknya baru berusia tiga puluhan tahun, dan ia sama sekali tidak mengenalnya, bahkan belum pernah merasa berjumpa dengan wanita itu. Suara wanita inikah yang tadi menjawab pertanyaannya tentang nama ayah kandungnya?
"Bibi, engkaulah yang tadi menjawab pertanyaanku dari luar kamar?" tanya Hui Hong, sambil memandang dengan penuh perhatian.
Wanita itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih, Ia hanya mengangguk tanpa menjawab, akan tetapi pandang matanya juga mengamati wajah dan bentuk tubuh Hal Hnng yang merupakan seorang gadis yang cantik jelita, nampak gagah dan anggun, seorang gadis yang sudah matang, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya.
Melihat wajah yang cantik itu tersenyum ramah, Hui Hong merasa tidak enak kalau bersikap kasar, maka iapun merangkap kedua tangan di depan dada, lalu bertanya,
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah bibi dan mengapa pula bersikap seaneh ini?"
"Engkau tentu Tiauw Hui Hong, bukan?" Wanita itu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula.
Hui Hong mengerutkan alisnya.
"Tiauw ...?" ia menegaskan.
"Tentu saja," wanita itu tersenyum.
"Ayah kandungmu adalah Pangeran Tiauw Sun Ong, engkau tentu she Tiauw, bukan she Ouwyang."
"Siapakah engkau, bibi? Kenapa engkau mengetahui tentang ayah kandungku?"
"Hemm, hanya akulah yang tahu di mana adanya ayah kandungmu sekarang. Ibumu sendiri mana tahu? Sejak pangeran meninggalkan istana, ibumu tak pernah bertemu lagi dengan ayahmu, apalagi ia lalu menjadi isteri datuk iblis itu."
"Bibi, siapa nama bibi?"
"Belum waktunya engkau mengenal namaku. Kalau sekarang engkau suka ikut dengan aku, tentu aku akan dapat mengusahakan pertemuan antara engkau dan ayahmu. Nah, marilah engkau ikut pergi denganku."
Hui Hong mengerutkan alisnya.
"Bibi, bagaimana mungkin aku pergi bagitu saja? Ibuku tentu tahu di mana adanya ayah kandungku dan aku dapat mencarinya sendiri."
Wanita itu memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm, keras hati dan sombong seperti ayahnya. Kalau tidak percaya kepadaku, boleh kau tanya sekarang juga kepada Ibumu. Akan tetapi ingat, tanpa aku engkau takkan dapat tahu di mana adanya ayahmu itu. Nah, aku tunggu di sini, akan tetapi tidak sampai malam. Tanyalah kepada ibumu."
Hui Hong mengangguk dan cepat ia mempergunakan Ilmu berlari cepat mendaki bukit, diikuti pandang mata wanita itu yang tersenyum-senyum.
"Pangeran, kalau aku menahan puterimu, engkau pasti akan datang kepadaku." kata wanita itu seorang diri.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa senang karena ia memperoleh akal yang baik. Tidak ada gunanya membunuh puteri kandung pangeran itu, karena hal itu tentu membuat pangeran itu makin benci kepadanya. Padahal ia menghendaki pangeran yang dicintanya itu akan membalas cintanya dan menghabiskan sisa hidup di sampingnya.
Pouw Cu Lan masih berada di kamar puterinya dengan bingung, menduga-duga siapa suara wanita tadi yang mengenal nama Pangeran Tiauw Sun Ong! Iapun merasa khawaitir karena sudah agak lama puterinya melakukan pengejaran belum juga kembali. Namun, ia percaya akan kelihaian puterinya, dan menanti di situ sampai puterinya kembali.
Ketika Hui Hong meloncat masuk melalui jendela. Pouw Cu Lau memandang dengan gembira.
"Bagaimana, Hui Hong. Siapakah orang yang bicara tadi?"
"Nanti dulu, ibu. Aku ingin kepastian, benarkah nama ayah kandungku Tiauw Sun Ong?"
"Benar, anakku. Akan tetapi siapakah ia tadi ... ?"
"Dan ibu tahu, di mana sekarang ayah kandungku itu? Di mana Pangeran Tiauw Sun Ong sekarang?"
Ibunya menggeleng kepala dengan sedih.
"Bagaimana aku tahu, anakku? Sejak peristiwa itu terjadi, aku ditangkap lalu dihukum buang, dan sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu dangan dia, bahkan tidak pernah mendengar di mana ia berada. Aku yakin bahwa ayahmu ... ah maksudku, Ouwyang Sek, dia tentu tahu di mana adanya Pangeran Tiauw Sun Ong, akan tetapi dia tidak pernah mau bicara tentang pangeran itu."
"Benar juga ucapan perempuan cantik tadi." pikir Hui Hong.
"Ibunya sendiri tidak tahu di mana adanya ayah kandungnya!"
"Ibu, aku akan pergi mencari ayah kandungku."
"Tapi, di mana engkau akan mencarinya! Dan belum kauceritakan, siapa wanita yang tadi menyebut nama ayahmu?"
"Aku tidak mengenalnya, ibn. Ia seorang wanita cantik yang usianya sekitar tigapuluh tahun lebih. Ia tahu di mana ayahku berada dan aku akan diajaknya pergi mencari ayah."
"Tapi ... tapi, apakah ia? Aku khawatir sekali, anakku. Jangan engkau pergi kalau belum mengenal benar wanita itu."
Akan tetapi Hui Hong tidak perduli. Cepat ia mengambil beberapa potong pakaian dan berkemas, dibuntalnya pakaian itu dan setelah membawa bekal, tidak lupa membawa siang-kiam (sepasang pedang) yang menjadi senjatanya, iapun pergi meninggalkan ibunya walaupun wanita itu menangis dan mencegahnya
Di kaki bukit itu, ia melihat wanita cantik tadi masih menantinya dan tanpa banyak cakap lagi Hui Hong lalu pergi bersamanya, meninggalkan Bukit Siluman.
Pria itu usianya sudah kurang lebih enam puluh tahun, namun tubuhnya masih gagah dan ramping kokoh, tidak seperti orang seusia dia yang biasanya kalau tidak kurus kering, tentu gendut dan gembrot dengan kulit bergantungan penuh lemak, muka penuh keriput dan garis-garis ketuaan tanda derita hidup. Wajahnya masih nampak tampan dan anggun walaupun kedua matanya buta, terpejam dan tidak berbiji lagi. Dia melangkah perlahan dengan tongkat butut di tangan pada saat ada belasan orang berdatangan dari depan. Pada hal tadi, ketika tidak ada orang lain, pria ini berjalan dengan cepat seperti orang berlari saja, akan tetapi begitu muncul rombongan terdiri dari belasan orang itu, tiba-tiba saja langkahnya menjadi perlahan dan biasa. Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun kedua matanya buta, orang ini dapat mengetahui akan munculnya belasan orang itu.
Di Jodohkan dengan Tiauw Hui Hong
BELASAN orang itu rata-rata nampak gagah dan kuat. berusia dari tigapuluh sampai limapuluh tahun, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar berusia limapuluh tahun yang sikapnya gagah sekali. Begitu melihat pria buta itu, belasan orang ini saling berbisik dan mereka sengaja lari menghadang pria itu. Pria buta itu maklum bahwa belasan orang itu menghadang di depannya. Dia menahan langkahnya, berdiri bersandar tongkat bututnya dan menundukkan muka. Nampak acuh, namun sesungguhnya, sepasang telinganya menangkap semua gerakan belasan orang itu, sampai gerakan yang sekecil-kecilnya.
Setelah berhadapan. pemimpin rombongan itu, yang tinggi besar dan gagah, segera maju dan berlutut dengan sebelah kakinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Empat belas orang pengikutnya. Ikut pula berlutut ketika si tinggi besar berlutut dan semua orang memberi hormat. Akan tetapi, pria buta itu bersikap seolah tidak tahu akan, apa yang terjadi di depannya.
"Pangeran, hamba bekas Jenderal Yap Lok, maafkan hamba dan empat belas orang pengikut hamba yang tardiri dari bekas para perwira menengah Kerajaan Liu-sung kalau hamba sekalian menghadang dan mengganggu ketenteraman paduka."
Pria buta itu memang bekas Pangeran Tiauw Sun Ong. Dia tersenyum, senyum lembut dan suaranya juga lembut ketika dia berkata,
"Seperti juga kalian ini bebas jenderal dan bekas perwira, akupun hanya bekas pangeran saja. Saudara Yap, kita sekarang menjadi orang-orang biasa, harap jangan memakai segala macam peradatan dan kesungkanan. Marilah kita bicara seperti kanalan dan sahabat saja. Bangkitlah kalian dan kalau aku boleh bertanya, kalian hendak ke mana?"
"Maaf, pangeran. Kami tidak dapat menghapus sebutan pangeran karena bagi kami, paduka satu-satunya pangeran yang masih ada, dan padukalah harapan kami satu-satunya. Kami sengaja mendaki Bukit Hwa-san untuk mencari dan menghadap paduka."
Pria buta itu mengerutkan alisnya. Sudah puluhan tahun dia meninggalkan Kerajaan Liu-sung, sampai beberapa tahun yang lalu kerajaan itu hancur dan runtuh, kini digantikan oleh Kerajaan Chi. Dia sudah tidak menganggap dirinya sebagai pangeran, Apalagi berhubungan dengan bekas pembesar militer kerajaan keluarganya yang sudah jatuh itu.
"Saudara Yap, ada urusan apakah engkau dan teman-temanmu mencari aku? Sudah puluhan tahun aku mengasingkan diri dan tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam-diam Tiauw Sun Ong merasa hatinya pedih. Baru saja dia terpaksa meninggalkan puncak Hwa-san setelah mendengar bahwa dia mempunyai keturunan, mempunyai seorang anak kandung yang terlahir dari Pouw Cu Lan, hasil hubungan gelapnya dengan selir kaisar duapuluhan tahun yang lalu. Dan kini, keselamatan Pouw Cu Lan dan puterinya itu diancam oleh Kwan Im Sianli Bwe Si Ni yang hendak membalas dendam kepadanya karena dia tidak mau diajak hidup bersama! Dia terpaksa terjun ke dunia ramai untuk melindungi anak kandungnya, akan tetapi di depan bekas Jenderal Yap Lok, dia mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia!"
"Pangeran, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja para pemberontak dari keluarga siauw yang hina itu merampas tahta kerajaan, menghancurkan Kerajaan Liu-Sung kita yang jaya dan mendirikan kerajaan baru? Selama kita masih hidup, kita harus berusaha untuk merebut kembali kekuasaan itu dan menegakkan kembali Kerajaan Liu-sung? Selama ini, kami tidak berdaya karena tidak ada lagi seorangpun pangeran dari Kerajaan Liu-sung. Kami telah berusaha mencari paduka, namun sia-sia belaka. Baru sekarang kami dapat menemukan jejak paduka, dan kami sengaja menghadap untuk mohon agar paduka suka memimpin kami, menyusun barisan untuk merebut kenbali kekuasaan dari raja pemberontak Chi itu."
Tiauw Sun Ong tertawa, tertawa karena geli mendengar usul yang penuh semangat itu.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar kata-katamu itu, seperti bermain sandiwara di panggung saja, maaf saudara Yap Lok, cita-citamu itu seperti membangun benteng di awang-awang saja. Aku hanya seorang buta, apalagi sudah tidak menginginkan segala kemuliaan duniawi, bagaimana kini kalian menganjurkan aku untuk menjadi pemimpin pemberontak terhadap Kerajaan Chi? Tidak, selain aku tidak mampu, juga aku tidak mau terlibat dalam perang dan keributan."
"Harap paduka tidak berpura-pura lagi. Kami telah melakukan penyelidikan dengan seksama dan kami tahu bahwa paduka sekarang, biarpun tidak dapat melihat lagi, namun telah menjadi seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pangeran, demi kejayaan Kerajaan Liu-sung, demi nama dan kehormatan keluarga paduka sendiri, marilah kita bangkit dan rampas kembali kerajaan ...
"
"Cukup! Aku tidak mau dengar lagi dan harap kalian memilih orang lain saja. Jangan ganggu aku lagi." kata bekas pangeran itu, nada dan suaranya tegas.
Wajah bekas jendral itu berubah merah dan dengan matanya dia memberi isarat kepada kawan-kawannya. Limabelas orang itu kelihatan marah dan garang, bahkan sudah meraba gagang senjata masing-masing.
"Hemmm, sungguh tidak kami sangka bahwa Pangeran Tiauw Sun Ong hanya seorang penakut dan pengecut."
"Yap Lok, tahan mulutmu!" bentak pria buta itu.
"Pangeran, kalau paduka tidak takut dan bukan pengecut, maka paduka lebih rendah lagi, karena paduka akan menjadi seorang pengkhianat yang menaruh dendam terhadap kerajaan keluarga sendiri karena peristiwa dengan selir yang sangat memalukan itu. Paduka dendam dan karena itu tidak perduli kerajaan sendiri dirampas orang lain."
"Yap Lok. aku tidak mau bekerja sama denganmu. Tidak perlu engkau menghinaku dan memanaskan hatiku. Pergilah kalian dan jangan ganggu aku lagi."
"Kalau paduka tidak mau, terpaksa kami paksa. Lebih baik kami melihat paduka tewas di tangan kami dari pada melihat paduka berkeliaran sebagai seorang pengkhianat," kata Yap Lok sambil mencabut pedangnya.
Perbuatannya ini diikuti empatbelas orang pengikutnya dan nampaklah senjata berkilauan di tangan mereka dan otomatis merekapun membuat gerakan mengepung pangeran itu. Lima belas orang itu adalah bekas para perwira kerajaan, masing-masing memiliki Ilmu silat yang tangguh dan merupakan Jagoan-Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh.
Biarpun dia masih berdiri dengan kepala menunduk, namun bekas pangeran yang buta matanya itu dapat mengikuti gerak-gerik lima belas orang itu dengan pendengarannya yang amat peka dan tajam. Dia tahu bahwa limabelas orang itu telah mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap membunuh atau menawannya. Dia tersenyum getir. Tak di sangkanya bahwa setelah menyembunyikan diri dan hidup tenteram di tempat-tempat sunyi, hari ini dia terpaksa turun gunung dan begitu turun, dia sudah bertemu dengan belasan orang yang hendak menawan atau membunuhnya! Seolah g. makin terasa olehnya betapa dunia ini menjadi panas dan kotor oleh nafsu yang lelah menguasai diri manusia. Di mana terdapat manusianya, di mana terdapat kekerasan, nafsu bergelora dan manusia menjadi hamba setan yang merajalela dalam hati dan akal pikiran. Nafsu iblis mengendalikan manusia. menyeret manusia dalam segala macam perbuatan yang keras, kejam, kotor dan menyimpang dari sifat manusia pada saat dia dilahirkan. Panas bumi semakin panas, dunia semakin kacau. Di tempat-tempat yang tidak ada manusianya, segala sesuatu nampak penuh damai dan tenteram, margasatwa, bahkan pohon-pohon, hidup bebas dan begitu wajar. Namun, begitu dia tiba di tempat di mana ada manusianya, kebebasan sirna, persaingan, perebutan kekuasaan, pengejaran kesenangan, pemaksaan kehendak terhadap orang lain, penindasan, permusuhan, tiada hentinya menjadi permainan manusia.
"Kalian mau apa? Sadarlah, Yap Lok, engkau dan kawan-kawanmu telah menyimpang dari kebenaran. Jangan biarkan nafsu setan menyeret kalian ke jalan sesat!" Bekas pangeran itu masih mencoba untuk menyadarkan mereka.
"Engkau yang menyimpang dari kebenaran, engkau yang tersesat, Tiauw Sun Ong!" bentak Yap Lok.
"Menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!"
"Hemm, seekor semutpun akan menggigit kalau diinjak. Aku manusia. tentu akan membela diri kalau hendak dibunuh!" kata pangeran itu dengan sikap tenang.
Yap Lok memberi Isarat dengan pandang matanya dan seorang di antara pengikutnya, yang berdiri di belakang pangeran itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan menusukkan pedangnya ke arah punggung Tiauw Sun Ong.
"Haiiiilitttt ...!"
Pedang meluncur bagaikan kilat menyambar dan agaknya tidak mungkin bekas pangeran itu akan mampu menyelamatkan diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan dari belakangnya dan amat cepat dan kuat itu. Namun, baru saja orang itu bergerak, Tiauw Sun Ong sudah dapat mengetahui dan menangkap gerakannya dengan pendengaran. Dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, memutar tubuh atas ke belakang didahului sinar hitam menyambar dan tahu-tahu tongkat bututnya yang hitam sudah bergerak ke belakang dan memakai pergelangan tangan yang menusukkan pedang. Gerakan memutar tubuh itu membuat pedang yang menusuk lewat di samping tubuhnya dan pukulan tongkatnya dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
"Dukkk! Aughhh ...!" Orang itu melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang sambil menggosok pergelangan tangan kanan yang menjadi matang biru dan terasa nyeri bukan main. Masih untung bahwa Tiauw Sun Ong tidak menggunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, tentu tulang lengan itu telah menjadi patah!"
Melihat ini, empat belas orang yang lain dipimpin Yap Lok segera menggerakkan senjata menyerang. Hujan senjata menyambar dari segala jurusan ke arah tubuh Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran ini dengan amat lincahnya berloncatan ke sana-sini. didahului gulungan sinar hitam tongkatnya dan diapun tenggelam dalam pengeroyokan yang amat ketat. Biarpun lima belas orang itu merupakan bekas jagoan-jagoan Istana, namun kalau dibandingkan, tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi tingkat kepandaian Tiauw Sun Ong. Akan tetapi karena mereka berjumlah banyak, rata-rata lihai dan memiliki pengalaman bertempur, di lain pihak Tiauw Sun Ong tidak tega untuk membunuh atau melukai berat, hanya membela diri, maka sebentar saja bekas pangeran itu terdesak hebat! Tiauw Sun Ong menganggap mereka itu tidak jahat, walaupun dia tahu benar akan watak manusia yang selalu berbuat dengan bimbingan nafsu. Mereka ini banya akan memperalat dia, karena kalau dia mau memimpin "perjuangan" mereka itu, karena dia seorang bekas pangeran, tentu banyak bekas pasukan Liu-sung yang suka bergabung. Di balik semua ini, tentu mereka ini mempunyai suatu cita-cita yang pada hakekatnya mementingkan diri sendiri. Disebut dengan kata yang muluk bagaimanapun juga, pada dasarnya, mereka itu nekat karena mengejar sesuatu hasil yang mereka bayangkan akan dapat membuat mereka hidup mulia dan senang. Dan dia tahu bahwa ini memang kelemahan manusia. Nafsu yang menguasai diri membuat manusia selalu mengejar sesuatu yang dianggap akan menyenangkan dirinya, dan dalam pengejaran ini, manusia lupa diri, lupa akan kebenaran. Cara apapun yang dipergunakan, dianggap benar demi mencapai cita-cita yang dikejarnya. Tujuan menghalalkan segala cara selalu akan terjadi, lambat maupun cepat, disadari maupun tidak. Tiauw Sun Ong tidak menyalahkan mereka. Mereka ini hanya manusia-manusia lemah, seperti yang lain. Karena itu, dia tidak tega untuk membunuh atau melukai mereka, dan hal ini membuat dia sendiri menjadi repot dan terdesak hebat, bahkan terancam bahaya maut!
Pada saat itu, tiba-tiba bagaikan ada badai mengamuk, sesosok bayangan tubuh orang terjun ke dalam pertempuran. Dia menggerakkan kedua tangannya dan hanya dengan mendorong saja, para pengeroyok itu terpelanting, terjengkang dan terlempar bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 13
"Suhu ... !" Bayangan itu berteriak girang.
"Ehh ... ? Kaukah itu, Bun Houw?"
"Suhu, biar tcecu (murid) yang mengusir anjing-anjing serigala yang jahat ini!" teriak pula Kwa Bun Houw yang baru datang.
"Jangan lukai mereka, jangan bunuh. Mereka bukan perampok, bukan penjahat. Mereka bekas para perwira Liu-sung." kata Tiauw Sun Ong.
Bun Houw terkejut dan juga merasa heran. Gurunya bekas pangeran kerajaan Liu-sung, berarti para perwira Liu-sung adalah bawahannya. Kenapa menyerang bekas pangeran atasan mereka sendiri? Dan melihat gerakan mereka, penyerangan itu bukan main-main, melainkan dimaksudkan untuk membunuh. Lebih aneh lagi gurunya melarang dia untuk melukai mereka, apalagi membunuh. Akan tetapi, Bun Houw amat menghormati dan mentaati gurunya, maka diapun berseru,
"Baik, suhu. Harap suhu mundur dan biar teecu sendiri menghadapi mereka."
Bun Houw mengamuk. Ketika bekas panglima Yap lok mendengar percakapan itu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah murid bekas pangeran itu. Dan memang pernah mendengar bahwa pangeran yang menjadi buta dan meninggalkan istana sebelum kerajaan Liu-sung jatuh itu kabarnya telah menjadi seorang yang lihai. Tadinya dia dan kawan-kawannya memandang rendah karena betapapun lihainya, bekas pangeran itu telah menjadi seorang buta. Siapa kira, pangeran itu benar-benar lihai, buktinya tadi pengeroyokan mereka tidak mampu merobohkan sang pangeran. Kini muncul muridnya, tentu tidak selihai gurunya. Maka dengan marah karena putus harapan ditolak permintaannya oleh bekas pangeran itu, Yap Lok berseru menyuruh anak buahnya untuk menyerang dan diapun memelopori mereka dengan menusukkan pedangnya. diikuti oleh empat belas orang anak buahnya.
Akan tetapi Bun Houw menghadapi mereka dengan amat mudahnya. Pemuda ini hanya berdiri tegak dan nampak dia menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang menangkis dan mendorong. Akan tetapi akibatnya sungguh luar biasa. Lima belas orang itu tidak mampu mendekat dan mereka terpental atau terpelanting seperti dilanda badai yang dahsyat dan setiap kali mereka menyerang, dalam jarak dua meter mereka seperti bertemu dengan dinding yang tidak nampak, yang membuat mereka terpental kembali.
Akhirnya, setelah jatuh bangun tanpa tersentuh langsung oleh kedua tangan Bun Houw. Yap Lok maklum bahwa kepandaian pemuda ini bahkan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan ilmu Pangeran Tiauw Sun Ong! Maka, diapun memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka melarikan diri dari tempat itu.
Bun Houw membalik, menghadapi gurunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya.
"Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja?"
Akan tetapi kakek buta itu berdiri tegak, alisnya berkerut dan dia tidak segera menjawab, mukanya terangkat ke atas seperti tidak perduli kepada pemuda yang berlutut di depan kakinya.
"Suhu ...
" Bun Houw merasa akan sikap yang dingin itu.
"Bun Houw, katakan, ilmu iblis apa yang kau pergunakan tadi?"
Kini mengertilah Bun Houw. Gurunya yang buta ini lebih waspada dibandingkan orang yang melek. Sehingga gurunya tadi dapat mengikuti semua gerakannya ketika dia melawan empat belas orang itu.
"Suhu, tcecu mentaati perintah Suhu, tidak melukai mereka, bahkan tidak menyentuh mereka, hanya mendorong dari jauh saja."
"Itulah yang kumaksudkan. Tenaga doronganmu itu. Ilmu apa yang kaupergunakan dan dari mana engkau mempelajari ilmu itu? Hayo katakan! Apakah selama ini engkau berguru kepada orang lain tanpa minta ijin dariku?"
"Suhu, bagaimana teecu berani berguru kepada orang lain? Pula, di dunia ini mana ada guru lain yang lebih baik dari pada suhu suhu? Tidak, teecu tidak berguru kepada orang, akan tetapi teecu telah mengalami banyak hal yang aneh yang suhu tidak akan pernah mimpikan. Di antaranya, teecu telah menelan habis mustika Akar Bunga Gurun Pasir."
Kini sepasang mata yang buta itu terbelalak. kedua tangan itu kini meraba-raba kepala pemuda yang berlutut di depannya.
"Apa ...? Kau ... kau makan seluruh Akar Bunga Gurun Pasir dan kau masih hidup ...? Muridku, apa yang telah terjadi? Ceritakan semua kepadaku!"
Gembira sekali rasa hati Bun Houw melihat sikap gurunya yang sudah berubah ramah itu. Dia memegang tangan gurunya, bangkit dan menuntun gurunya untuk dnduk di atas batu besar di bawah pohon yang teduh. Setelah keduanya duduk, Bun Houw berkata,
"Panjang sekali ceritanya, suhu. Selama ini teecu telah mengalami banyak hal yang hebat dan aneh." Pemuda itu lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia menerima pukulan yang dahsyat dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang bahkan telah merampas pedangnya, Lui-kong-kiam dan membiarkan dia pergi dengan menderita luka parah. Betapa kemudian dia bertemu dengan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan karena tidak tahu di mana adanya Akar Bunga Gurun Pasir, datuk majikan Bukit Kui-eng-san itu memukul punggungnya, membuat dia semakin payah karena menerima dua kali pukulan beracun dari dua orang datuk sakti.
"Dalam keadaan hampir mati, teecu yang hampir telanjang karena semua pakaian dan bekal emas pemberian suhu dirampas Suma Koan, teecu menerima pertolongan suami isteri pemburu ketika teecu jatuh pingsan di depan pondok mereka. Dan entah bagaimana teecu sendiri tidak tahu, isteri pemburu itu di luar pengetahuannya, telah memberi teecu obat minum. Teecu sendiri tadinya tidak tahu obat apa yang diminumkan kepada teecu itu. Teecu merasa seperti terbakar dari dalam, akan tetapi selanjutnya ternyata teecu telah mendapatkan tenaga sinkang yang dahsyat luar biasa. Dan tanpa disengaja, tanpa diketahui pula oleh suami isteri itu, teecu telah menelan habis seluruh Akar Bunga Gurun Pasir!'
"Hemm, menarik sekali! Bagaimana pemburu itu dapat menemukan Akar Bunga Gurun Pasir?"
"Teecu tidak tahu bagaimana mustika yang dibuat perebutan oleh semua orang sakti di dunia itu terjatuh ke tangan seorang pemburu yang lemah saja. Dan tanpa disengaja, mustika itu telah memasuki perut teecu!"
"Teruskan ceritamu yang amat menarik itu, Bun Houw."
"Setelah teecu minum mustika aneh itu, terjadi keanehan dalam tubuh teecu. Agaknya hawa beracun dari kedua orang datuk itu bercampur dengan mustika Akar Bunga Gurun Pasir, mendatangkan semacam hawa yang dahsyat dan sukar dikendalikan." Bun Houw lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan perampok-perampok yang kemudian memberi tahu kepadanya tentang adanya guha siluman yang telah menjatuhkan banyak korban.
"Banyak terdapat kerangka manusia dan senjata-senjata di depan guha itu, dan pada saat teecu datang ke sana, teecu sempat melihat seorang korban terakhir. Dia seperti orang gila, menyerang teecu ketika teecu melihat dia bersilat aneh dan terhuyung. Teecu menangkis dan diapun roboh tewas. Kemudian teecu mendengar suara orang-orang di luar guha ketika teecu sudah berada di dalam bahwa yang batu saja tewas itu adalah Toat-beng Kiam-ong."
"Hemm, Toat-beng Kiam-ong? Dia seorang tokoh sesat yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Kalau dia sampai tewas, tentu ada yang amat hebat di dalam guha itu dan engkau memasukinya, Bun Houw? Manusia macam apakah yang berada di dalam guha dan telah membunuh banyak tokoh persilatan tu?"
"Tidak ada seorangpun manusia di sana, suhu. Yang ada hanyalah pelajaran Ilmu silat dan ilmu itulah yang telah membunuh banyak orang itu!"
"Ehh? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!" Kakek buta itu semakin tertarik mendengar cerita muridnya.
Bun Houw lain menceritakan dengan jelas tentang isi guha, tentang pelajaran ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentang peringatan akan bahayanya mempelajari ilmu yang mujijat itu. Kemudian Bun Houw menceritakan bahwa karena tertarik, dan karena ingin menguasai kekuatan dahsyat yang menggelora dan meliar di dalam tubuhnya, dia lalu mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng sampai berhasil baik dan dia mampu menguasai dan mengendalikan hawa sakti yang meliar di dalam tubuhnya.
"Ahh, kiranya begitu? Engkau telah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng? Akan tetapi, aku sendiri hanya pernah mendengar Ilmu itu yang dikabarkan telah musnah dari dunia ini. siapa tahu engkau malah yang telah mewarisi, Bun Houw. Pantas saja engkau tadi menggunakan tenaga yang demikian dahsyat, kiranya engkau telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tadinya kukira hanya dongeng belaka. Muridku yang baik. bersiaplah engkau!"
"Tapi, tuhu ...
" Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Tiauw Sun Ong telah menyerangnya dengan ganas sekali, menggunakan tongkatnya dengan jurus maut dan bahkan menggunakan seluruh tenaganya sehingga nampak kilat berkelebat dan bunyi berciutan ketika tongkat itu sudah melakukan totokan yang bertubi-tubi terhadap jalan darah di bagian depan tubuh Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gurunya tidak main-main dan ingin mengujinya, maka dia pun tahu bahwa kalau dia mempergunakan Ilmu yang dia dapat dari gurunya, dia tidak akan mampu bertahan. Gurunya menyerang dengan sepenuh tenaga dan kecepatan. Juga menggunakan jurus-jurus yang paling lihai. Maka, diapun tidak ragu lagi, segera mengerahkan tenaga sakti dan bergerak menurut ilmu barunya, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bagaikan air samudera digerakkan badai, datanglah tenaga yang bergelombang dahsyat menyambut serangan Tiauw Sun Ong.
Terjadi benturan-benturan tanaga jarak jauh yang membuat semua serangan kakek buta itu membalik. Tiauw Sun Ong terkejut akan tetapi juga girang sekali. Kini dia membuktikan sendiri bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah ilmu yang amat hebat dan yang membuat dia girang dan bangga adalah bahwa muridnya yang menjadi pewaris Ilmu itu! Dia menyerang lagi semakin hebat. Akan tetapi, makin keras dia menyerang, semakin keras pula dia terpental dan akhirnya. ketika sarangan terakhir yang amat dahsyatnya dia lakukan, ditangkis oleh Bun Houw. tubuh kakek itu terlempar dan terbanting keras.
"Suhu ... !" Bun Houw berteriak dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat suhunya dan membantu kakek itu bangkit berdiri.
"Suhu. maafkan teecu ...
"
Tiauw Sun Ong tertawa girang dan menyusut keringat dari dahi dan lehernya.
"Ha-ha-ha, bukan main! Sungguh aku merasa girang dan bangga sekali, Bun Hoaw. Engkau kini lebih hebat dariku, jauh lebih kuat dan aku bukanlah tandinganmu lagi! Ha-ha-ha!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan.
"Aih, suhu! Tadi suhu hanya menguji tenaga teecu saja dan mungkin karena teecu telah menelan Akar Bunga Gurun Pasir, dan karena suhu sudah tua, maka teecu unggul dalam hal tenaga. Kalau suhu menggunakan tongkat pedang dan menyerang teecu tanpa mengandalkan tenaga, mungkin teecu tidak akan mampu melawan."
"Hemm, memang baik sekali sikapmu merendahkan diri itu, tanda bahwa biar engkau telah mewarisi ilmu yang dahsyat, engkau tidak menjadi sombong. Akan tetapi, sesungguhnya, Bun Houw. Ilmu pedang kilat kita tidak akan mampu menandingi Im-yang Bu-tek Cin-keng. Apalagi kalau engkau sudah melatihnya sampai matang. Aku yakin semua datuk di empat penjuru tidak akan mudah mengalahkanmu kalau engkan menggunakan ilmu itu dan mengerahkan tenagamu yang timbul dari Akar Bunga Gurun Pasir. Hemm, bagaimanapun juga, engkau harus berterima kasih kepada dua datuk itu, Ouwyang Sek dan Suma Koan."
"Suhu, mereka berdua sudah memukul dan menyiksa teecu dengan pukulan beracun yang tentu akan mematikan teecu kalau saja tidak secara kebetulan teecu diberi minum Akar Bunga Gurun Pasir!" Bun Houw merasa penasaran.
"Justeru pukulan itulah yang membantu mustika itu bekerja dalam tubuhmu. Kalau hanya meminum air masakan mustika itu saja, kuyakin tidak akan sehebat itu khasiatnya. Ingat, mustika itu adalah milik Ouwyang Sek. Kalan mustika itu mendatangkan kekuatan sehebat itu. tentu sudah sejak dahulu dia minum sendiri! Mustika itu tadinya hanya dikenal sebagai obat penyembuh saja. Baru setelah bertemu dengan dua macam hawa beracun dalam tubuhmu, terjadi akibat yang luar biasa, yaitu menimbulkan tenaga mujijat yang kini menjadi milikmu. Nah, bukankah mereka telah berjasa besar, walaupun mereka melakukan tanpa sengaja, bahkan beriktikad buruk, yaitu untuk membunuhmu secara perlahan-lahan?"
Bun Houw mengangguk-angguk.
"Sekarang barulah teecu mengerti akan kata-kata dan nasehat suhu dahulu bahwa cara yang dipergunakan Tuhan untuk memberkahi manusia kadang berselubung rahasia besar. Kini teecu mengerti apa artinya berkah terselubung. Dalam suatu peristiwa yang nampaknya buruk merugikan, mungkin tersembunyi berkah yang amat besar seperti yang teecu alami sendiri."
Kakek buta itu mengangguk sagguk.
"Benar sekali, muridku. Aku sendiri, kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar sehingga akan membutakan mataku, yang membuat aku hampir tewas, tentu tidak akau dapat menguasai ilmu seperti sekarang ini dan tidak akan berjumpa denganmu. Oleh karena itu, seorang bijaksana pantang mengeluh apabila mengalami hal-hal yang tampaknya merugikan dan mengecewakan, karena dalam setiap peristiwa itu selalu terdapat hikmatnya yang terselubung,"
"Suhu benar, akan tetapi teecu hanya seorang manusia biasa, bagaimana mungkin teecu. dapat terbebas dari permainan rasa puas kecewa dan suka duka? Seperti kehilangan Lui-kong-kiam, hal itu tetap saja membuat teecu merasa kecewa dan menyesal sekali. Sekarang teecu harus mengunjungi Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. untuk minta kembali pedang itu."
"Bun Houw, engkau tadi belum bercerita jelas tentang terampasnya Lui-kong-kiam dari tanganmu oleh Ouwyang Sek. Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu yang sejelasnya tentang itu."
Bun Houw mengulang ceritanya tentang pertemuannya dengan Ouwyang Hui Hong, kemudian pertemuannya dengan Ouwyang Sek dan betapa nyaris dia dibunuh Ouwyang Sek kalau tidak ada Hui Hong yang menyelamatkannya dan mencegah ayahnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri!
Kakek buta itu mendengarkan dengan asyik dan wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah sehingga Bun Houw khawatir kalau-kalau suhunya terluka ketika bertanding dengan dia tadi.
"Kau kenapakah, suhu? Apakah suhu sakit?" tanyanya, menghentikan ceritanya yang sudah berakhir.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Bun Houw, ceritakan kepadaku, bagaimana keadaan gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu? Bagaimana bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya dan terutama bagaimana watak dan perangainya ketika engkau bersamanya?"
Tentu saja Bun Hoiw merasa heran sekali kenapa gurunya bertanya tentang gadis yang tidak dikenalnya itu.
"Ia ... ia seorang gadis yang gagah perkasa, suhu, dan menurut pendapat teecu, wataknya baik sekali, berbudi dan sederhana walaupun ia dapat bersikap keras dan galak."
"Wajahnya ... wajahnya bagaimana?"
Bun Houw menahan keheranannya,
"Wajahnya! Ia cantik dan agung, suhu, dan bentuk tubuhnya, ramping indah ...
" Bun Houw teringat ketika sekilas dia melihat tubuh Hui Hong yang telanjang di dalam guha.
"Usianya berapa?"
"Sekitar dua puluh satu tahun ...
"
"Ceritakan bagaimana bentuk matanya, hidungnya, mulutnya dan bentuk wajahnya, satu demi satu, yang jelas. ...
" Kakek itu nampak tegang dan bergairah sekali sehingga Bun Houw merasa semakin heran. Akan tetapi, merasa kasihan karena teringat bahwa gurunya tidak mampu melihat, dia lalu menggambarkan keadaan Hui Hong sejelasnya dan dia semakin bingung mendengar mulut gurunya berbisik-biiik.
"Mirip ia ... ah, mirip ia ...
"
Kamudian tiba-tiba Tiauw Sun Ong menangkap kedua tangan muridnya dan kedua mata yang hanya putih itu seperti hendak menatap wajah Bun Houw ketika mulutnya bertanya dengan suara gemetar,
"Bun Houw, bilang terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Hui Hong?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi, dia amat sayang dan taat kepada gurunya, dan tidak pernah berkata yang tidak benar. Dia menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, maka mendengar pertanyaan itu, dia menjenguk isi hatinya sendiri. Dia memang tak pernah dapat melupakan Hui Hong, hanya dia sendiri tidak yakin apakah dia mencinta Hui Hong, Dia pernah mencinta seorang wanita, yaitu Ling Ay. mungkin cintanya terhadap Ling Ay hanyalah cinta remaja, hanya karena ada ikatan perjodohan di antara mereka. Setelah perjodohan itu putus, dia tidak lagi memikirkan Ling Ay, Ketika dia bertemu lagi dengan Ling Ay yang telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan melihat penderitaan wanita itu, yang ada dalam hatinya hanyalah iba. Dan sekarang, perasaannya terhadap Hui Hong membuat dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan suhunya.
"Bagaimana, Bun Houw? Katakan terus terang, apakah eugkau mencinta Hui Hong?""
"Suhu, Justeru teecu masih bingung untuk menjawab yang sebenarnya kepada suhu. Teecu juga bingung mengapa suhu menanyakan hal itu. Akan tetapi, suhu, terus terang saja, teecu merasa kagum, suka dan iba kepadanya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan teecu. Bagaimana mungkin teecu dapat melupakannya? Akan tetapi, teecu tidak berani memastikan bahwa teecu mencintanya karena terus terang saja, teecu sendiri tidak mengerti, bagaimana dan apa cinta itu?"
Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, cinta antar pria dan wanita penuh pengaruh nafsu berahi, cinta seperti itu mementingkan kesenangan hati sendiri, karenanya hanya mendatangkan lebih banyak tangis dari pada tawanya. Akan tetapi, cinta seperti itu mungkin diperlukan oleh manusia. Begini saja, apakah engkau ingin selain berdekatan dengan Hui Hong, ingin melihat ia berada di sampingmu selalu ingin hidup bersamanya, membagi susah dan senang berdua? Nah, jawablah sejujurnya."
Wajah Bun Houw berubah kemerahan.
"Aih, suhu, siapa yang tidak mau? Ia pandai dan cantik jelita, berbudi dan ... ah, apa gunanya semua itu? Seorang gadis seperti Hu Hong, mana mungkin mau menjadi ... eh, maksud teecu, mana mungkin mau dekat dengan orang seperti teecu? Dari pada mengharapkan lamunan kosong, lebih baik teecu melihat kenyataan. Ayahnya dan kakaknya amat membenci teecu, bahkan menganggap teecu sebagai musuh,"
Akan tetapi, Tiauw Sun Ong tertawa,
"Ha-ha-ha, Bun Houw, engkau seorang laki-laki yang bodoh. Kautahu, Hui Hong itu amat mencintamu!"
"Eh-eh? Bagaimana mungkin suhu dapat mengetahuinya? Bakankah suhu belum pernah jumpa dengannya? Bagaimana suhu dapat mengatakan demikian?"
"Bodoh! Seorang gadis yang sudah membela seorang laki-laki dengan taruhan nyawa, itu berarti bahwa ia mencintamu. Bun Houw, mencintamu dengan tulus, bahkan lebih dari pada nyawanya sendiri."
"Akan tetapi, hal itu ia lakukau hanya untuk membatas budi, suhu. Teecu pernah menghindarkan ia dari pada malapetaka diperkosa oleh Suma Hok!"
"Tidak ada bilas budi dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aku yakin. Bun Houw, gadis itu mencintamu. Dan akupun yakin bahwa engkau juga mencintanya! Tidak perlu kau membantah lagi, aku dapat menjenguk isi hatimu dari suara dan kata-katamu. Nah, sekarang, bagaimana kalau kita pergi menemui keluarga Ouwyang dan aku melamarkan Hui Hong untuk menjadi jodohmu?"
Berbagai macam perasaan mencengkeram hati Bun Houw. Dia merasa girang, akan tetapi juga terharu dan diapun menjatuhan diri di depan kaki gurunya,
"Suhu ...
"
Tiauw Sun Ong meraba kepala muridnya.
"Eh! Kau kenapa? Tidak girangkah hatimu kalau kulamarkan Hui Hong untuk menjadi Jodohmu!"
"Suhu. tentu saja teecu gembira sekali dan terima kasih atas budi kecintaan suhu terhadap teecu. Akan tetapi, suhu. keluarga Ouwyang amat membenci teecu, Teecu khawatir kalau lamaran suhu hanya akan mendatangkan kemarahan kepada mereka dan akan menyusahkan suhu saja. Mengingat akan sikap Bu-eng-kiam Ouwyang Sek kepada teecu, teecu hampir yakin bahwa dia tentu akan menolak lamaran itu."
Bun Houw merasa betapa jari-jari tangan gurunya yang kini berada di pundaknya itu mengeras dan menegang.
"Dia berani menolaknya, akan kubunuh dia! Perhitungan antara aku dan dia masih belum lunas dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Suhu, kenapa subu marah kepadanya? Apakah karena dia telah menganiaya teecu dan merampas Lui-kong-kiam! Harap subu jangan membunuhnya, teecu kasihan kepada Hui Hong dan ...
"
"Justeru karena Hui Hong aku hendak membunuhnya! Karena Hui Hong dan Ibunya!"
"Suhu ...!"
"Bun Houw, dengar baik-baik. Kalau engkau mencinta Hui Hong, dan Hui Hong mencintamu, tidak ada seorang manusia atau iblis pun di dunia ini yang akan menghalangi kalian berjodoh. Cintamu terhadap Hui Hong kuterima dan engkau kutarima menjadi calon suami Hui Hong. Ingin aku melihat siapa yang akan berani mencampuri!"
"Akan tetapi, yang berhak menentukan tentu saja ayahnya, suhu."
"Tepat sekali! Ayahnya yang harus menentukan tentang pernikahan anaknya, dan ayah Hui Hong adalah aku!"
Bun Houw hampir terjengkang saking kagetnya. Dia memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak dan bingung, khawatir lagi kalau-kalau suhunya terluka oleh pertandingan tadi dan mengalami gangguan pada pikirannya karena terguncang hebat.
"Sudahlah, suhu, harap jangan pikirkan lagi urusan itu. Mari, suhu, silakan suhu beristirahat. Sebetulnya, kenapa suhu meninggalkan pondok dan mengapa suhu berada di sini? Suhu hendak pergi ke manakah?"
Tiauw Sun Ong tertawa, maklum apa yang dikhawatirkan muridnya.
"Ha-ha-ha, engkau mengira aku gila? Bun Houw, justeru aku pergi nutuk mengunjungi Ouwyang Sek, dan kebetulan bertemu denganmu di sini. Tidak ada berita yang lebih menggembirakan dari pada kenyataan bahwa engkau saling mencinta dengan Hui Hong, saling mencinta dengan anakku."
"Anak suhu? Siapakah anak suhu ...?"
"Hui Hong itu adalah puterikn, Bun Houw."
"Akan tetapi bagaimana mungkin ...?"
"Bun Houw, ingatkah engkau akan ceritaku dahulu tentang sebab butanya kedua mataku?"
Bun Houw mengangguk, lupa bahwa gurunya tidak dapat melihatnya. Ketika ingat akan hal itu, dia cepat berkata,
"Teecu ingat, suhu. Bukankah karena suhu membutakan diri sendiri karena urusan ... eh, selir kaisar itu?"
"Benar. Nah, selir itu bernama Pouw Co Lan dan setelah aku pergi meninggalkan Istana, kemudian aku mendengar bahwa selir itu dihukum buang oleh kaisar, akan tetapi di dalam perjalanan ia dibebaskan oleh seorang tokoh kang-ouw yang kemudian terkenal dengan julukannya Bu-eng-kiam ...
"
"Ouwyang Sek ... ?"
"Benar. Pouw Cu Lan dibebaskan Ouwyang Sek dari tangan para perajurit pengawal, dan dia membunuh semua perajurit dan membawa pergi wanita itu yang kemudian dia jadikan isterinya."
"Ibunya Hui Hong ...?" Bun Houw bertanya terkejut dan heran.
"Benar lekali. Pouw Cu Lan menjadi isteri Ouwyang Sek dan kemudian ia melahirkan Hui Hong, anakku!"
"Bagaimana ini, suhu? ia menjadi isteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek lalu melahirkan seorang anak, akan tetapi suhu mengatakan bahwa anak itu, Ouwyang Hui Hong, adalah puteri suhu?"
"Karena kemudian kuketahui bahwa setelah enam bulan menikah dengan Ouwyang Sek, Pouw Cu Lan melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti bahwa ketika menjadi Isteri datuk itu, ia telah mengandung kurang lebih tiga bulan. Jelas bahwa Hui Hong adalah keturunanku, anakku, bukan keturunan Ouwyang Sek. Maka, akulah yang berhak menentukan jodohnya, jodoh anakku. Nah, mari kita berkunjung ke Lembah Bukit Siluman!"
Bun Houw masih bingung. Kiranya Hui Hong adalah puteri gurunya, walaupun sejak anak itu berada dalam perut ibunya, sudah ditinggalkan ayah kandung. Bagaimana mungkin Hui Hong akan dapat mengakui Tiauw Sun ong sebagai ayahnya kalan sejak lahir ia berada di rumah Ouwyang Sek yang tentu dianggap ayahnya sendiri? Akan tetapi, kini dia berbesar hati. Kiranya gadis yang dikasihinya itu malah puteri gurunya sendiri! Kalau begitu, bukan hal penting mengenai pendapat Ouwyang Sek tentang hubungan batin antara dia dan gadis itu. Dengan hati dan langkah ringan, Bun Houw lalu berangkat bersama gurunya, menuju ke Lembah Bukit Siluman, tempat tinggal datuk yang ditakuti orang itu.
Dengan sikap jengkel Ouwyang Sek melangkah ke arah kamar puterinya dan sekali ini dia bertekad untuk memaksa Hui Hong keluar menemui kedua orang tamunya. Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Tok-siauw-kui suma Hok yang hendak pamit. Akan tetapi ketika dengan kasar dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia hanya mendapatkan isterinya yang sedang menangis di atas pembaringan Hui Hong.
"Hem, kenapa engkau menangis di sini dan di mana Hui Hong?" tanya datuk itu dengan suara yang ketus karena dia masih marah kepada isterinya yang membuka rahasia tentang ayah kandung Hui Hong. Dia telah banyak mengalah terhadap wanita ini, yang memang amat dicintanya. Dia memenuhi permintaan Pouw Cu Lan dan tidak mengganggunya sama tekali sebelum Hui Hong terlahir, kemudian, dia menyayang Hui Hong seperti anak kandungnya sendiri walaupun dia tahu bahwa anak itu bukan keturunannya. Dan kini tahu-tahu wanita itu sendiri yang membuka rahasia berkata di depan Hui Hong bahwa gadis itu bukan anaknya!
Mendengar suara suaminya, Pouw Cu Lan bangkit duduk dan menghadapi suaminya. Kedua matanya merah membengkak karena tangis. Kedua pipinya yang menjadi pucat basah air mata dan kedua mata itu mengeluarkan sinar marah. Melihat pria tinggi besar bermuka hitam itu berdiri di situ dan teringat akan kepergian Hui Hong, timbul sakit hati dan kemarahan yang hebat di dalam hati wanita itu. Teringat ia betapa selama bertahun-tahun, demi keselamatan Hui Hong, ia rela dijadikan benda permainan oleh pria yang sebetulnya amat dibencinya ini. Kini baru ia menyadari sepenuhnya betapa ia amat muak dan benci kepada wajah yang kasar hitam dan bengis itu. Maka, Pouw Cu Lan lalu bangkit berdiri dan dengan tangan gametar ia menudingkan telunjuknya ke arah muka itu dan suaranya terdengar lantang,
"Ouwyang Sek, engkan manusia jahat! Engkaulah yang membuat anakku pergi, tak dapat kucegah lagi! Engkau hendak memaksanya menikah dengan seorang pemuda yang tidak disukainya!"
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya yang tebal.
"Apa Hui Hong pergi? ia berani minggat? Anak bedebah itu!"
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau yang bedebah! Engkau tidak berhak menentukan jodohnya akan tetapi engkau memaksanya menjadi calon Isteri orang yang tidak disukainya!"
"Cu Lan, engkau tidak tahu diri! Bulankah selama ini aku selalu baik dan mencintamu? Bukankah selama ini aku amat menyayang Hui Hong seperti anakku sendiri? Akan tetapi engkau malah yang membuka rahasia itu, tentu membuat Hui Hong menjadi bingung. Dan aku memilihkan jodoh yang amat baik, kenapa kau ribut-ribut? Suma Hok adalah seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan kaya raya. Kurang Apalagi? Ayahnya juga seorang sahabatku, seorang yang memiliki tingkat yang sama denganku!"
"Huh, pemuda jahat itu kaupuji-puji? Padahal, dia nyaris memperkosa Hui Hong! Sepatutnya engkau marah dan membunuh pemuda itu, bukannya malah hendak manariknya sebagai mantu."
"Perbuatannya itu wajar saja, karena cintanya kepada Hui Hong ...
"
"Busuk! Jahat! Tentu saja engkau tidak menyalahkan dia yang hendak memperkosa anakku, karena engkau sendiri juga jahat seperti dia, karena engkau juga telah memperkosaku!"
"Cu Lan ... !" Wajah yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah.
"Engkau perempuan tak mengenal budi! Kalau tidak ada aku, kini tentu engkau telah mati bersama anak dalam kandunganmu, atau menjadi seorang nenek terlantar, mungkin menjadi jembel, minta-minta bersama anakmu, mungkin anak perempuanmu menjadi pelacur karena tidak ada yang menjamin kehidupannya. Engkau kini menjadi wanita terhormat dan hidup mewah, anakmu menjadi seorang gadis yang berilmu dan dihormati temua orang. Semua itu berkat jasaku, mengerti? Dan engkau berani bersikap seperti ini kepadaku?"
Cu Lan merasa terpukul karena apa yang diucapkan pria itu memang tidak bohong. Karena mengingat akan budi itulah ia rela menyerahkan hati dan tubuhnya kepada Ouwyang Sek, sekedar membalas budi, demi kebahagiaan putrinya. Kalau kini ia marah adalah karena melihat anaknya dipaksa untuk berjodoh dengan orang yang tidak disukai anaknya sehingga anaknya sekarang nekat pergi untuk mencari ayah kandungnya.
"Bagaimanapun juga, engkau yang memaksa ia menerima laki-laki yang bahkan dibencinya dan sekarang ia melarikan diri, ia pergi tanpa dapat kucegah." Cu Lan menangis dengan sedihnya, Ouwyang Sek mengepal tinju, dia marah sekali.
"Anak itu sungguh tak tahu diri! Sejak kecil kusayang dan kurawat, kudidik akan tatapi sekarang bukan saja berani membantahku bahkan pergi tanpa pamit. Tentang perjodohannya, bukan aku memaksanya! Bukankah ia telah mengajukan syarat yang cukup berat, yaitu pertama agar yang menjadi calon suaminya menemukan kembali mustika Akar Bunga Guruu Pasir, dan kedua agar calon suaminya dapat mengalahkannya dalam pertandingan? Nah, dengan adanya syarat itu, apakah itu berarti aku memaksanya?"
Cu Lan juga tarpaksa membenarkan ucapan suaminya ini. Ia tahu bahwa suaminya memang sungguh menyayang Hui Hong seperti anak sendiri, dan syarat yang diajukan Hui Hong itupun diterima, kecuali syarat ke tiga, yaitu agar calon jodohnya dapat mempertemukannya dengan Bun Houw untuk minta maaf tidak dipenuhi oleh Ouwyang Sek. Dilain hal itu, berarti suaminya memang sudah memberi kelonggaran kepada Hui Hong,
"Syarat itu harus ditambah, sekarang syarat dari aku sendiri! Kalau syaratku itu tidak dipenuhi, sampai mati aku akan menentang perjodohan anakku!"
"Hemm, syarat apalagi? Dua syarat Hui Hong itu sudah cukup berat!" Ouwyang Sek mengomel.
"Syaratku adalah bahwa siapa yang dapat mengembalikan Hui Hong kepadaku, ialah yang patut menjadi mantuku!"
Ouwyang Sek dapat menerima syarat isterinya, karena diapun maklum betapa akan duka hati isterinya kalau Hui Hong tidak kembali lagi kepadanya. Akan tetapi tentu saja dia merasa sungkan kepada rekannya, datuk dari Bukit Bayangan Iblis (Kui-eng-san).
"Baik, kau katakan sendiri kepada ayah dan anak itu agar tidak disangka aku yang sengaja mempersulit mereka."
"Huh, di mana kegagahanmu yang selama ini kau sombongkan? Demi membela anak, kenapa engkau tidak berani menentang mereka? Baik, aku akan menemui mereka dan mengatakannya sendiri!" kata Pouw Cu Lan dan diam-diam Ouwyang Sek memandang heran dan kagum, isterinya ini, bekas selir kaisar dan bekas kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong, selama ini bersikap sebagai seorang wanita lemah yang suka melakukan segala perintahnya dengan patuh. Akan tetapi saat ini telah berubah menjadi seorang wanita pemberani, bahkan berani untuk menentang keluarga Suma. Dan diapun menyadari bahwa semua kelemahan dan kepatuhan Cu Lan ternyata hanya demi puterinya. Kini begitu puterinya terganggu, iapun dapat berubah sebagai seekor harimau betina yang melindungi anaknya!"
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Tok-siauw-kwi suma Hok telah siap untuk pergi dan mereka berdua menanti di ruangan depan untuk berpamit dari keluarga Ouwyang, terutama sekali Suma Hok ingin bertemu lagi dengan Hui Hong dan pamit kepada gadis yang dianggapnya sebagai tunangan atau calon isterinya itu. Tentu saja mereka merasa heran, dan terutama Suma Hok merasa kecewa ketika mereka melihat Ouwyang Sek muncul kembali hanya bersama isterinya. Tidak nampak Hui Hong bersama mereka, juga tidak nampak Ouwyang Toan! Tidak munculnya Ouwyang Toan tidak diambil pusing oleh Suma Hok, akan tetapi tidak adanya Hui Hong membuat dia merasa kecewa sekali dan saking tidak dapat menahan kekecewaan hatinya, diapun menyambut Ouwang Sek dengan pertanyaan tanpa sungkan lagi,
"Paman Ouwyang, mana Hui Hong? Aku ingin berpamit kepada tunanganku yang tercinta itu!"
Sebelum Ouwyang Sek yang merasa malu dapat menjawab, isterinya telah mendahului dan dengan suara lantang Pouw Cu Lan berkata,
"Orang muda. dengarlah baik-baik. Anakku Hui Hong telah pergi tanpa pamit, entah ke mana kamipun tidak tahu, aku sebagai ibunya, kini menambahkan syarat sebagai sayembara untuk menjadi calon suami anakku. Anakku Hui Hong sudah mengajukan tyarat bahwa calon suami harus dapat menemukan kembali mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dan harus pula dapat mengalahkan ia dalam pertandingan. Sekarang kutambah dengan sebuah syarat lagi, yaitu siapa yang dapat menemukan Hui Hong dan dapat mengajaknya pulang ke sini, dialah calon suami anakku, calon mantuku!"
Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar,
"Bagus sekali! Syarat yang tiga itu cukup adil dan kami sanggup memenuhi ketiganya!"
Tentu saja semua orang terkejut, terutama Ouwyang Sek dan Suma Koan karena kedua orang datuk ini tidak dapat mengetahui atau mendengar kedatangan orang yang mengeluarkan suara itu. Tahu-tahu orang itu telah berada di situ dan ketika mereka menengok, ternyata di pekarangan itu telah berdiri seorang pemuda dan seorang kakek buta! Mereka itu bukan lain adalah Bun Houw dan gurunya, bekas Pangeran Tiauw Sun Ong.
Sejenak semua orang memandang ke arah guru dan murid itu dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akan tetapi tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh isak tangis dari Pouw Cu Lan sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepada Tiauw Sun Ong dan terdengar di antara isaknya ia berkata lemah.
"Pangeran ...!" Dapat dibayangkan betapa hancur hati wanita itu. Dahulu, ketika ia menjadi selir terkasih kaisar, ia telah saling jatuh cinta dengan Pangeran Tiauw Sun Ong. Adik suaminya. Mereka berdua telah lupa diri, berdua sehingga akhirnya tertangkap basah dan biarpun kaisar tidak menghukum adiknya, namun Pangeran Tiauw Sun Ong yang merasa berdosa dan malu, membutakan matanya sendiri di depannyal Pangeran itu telah menjadi seorang buta karena iapun ketika itu tidak mengharapkan hidup lagi, dihukum buang dan akhirnya dirampas oleh Ouwyang Sek. Andaikata Ia tidak mengandung, tentu ia akan membunuh diri! Kini, setelah kesemuanya itu hanya tinggal kenangan belaka, tiba-tiba ia berhadapan dengan Pangeran Tiauw Sun Ong, satu-satunya pria yang dicintanya, akan tetapi juga yang menderita sengsara karenanya!"
"Pangeran ...!" Kembali ia memanggil dengan suara merintih, diiringi tangis mengguguk.
"Ha-ha-ha-ha!" Kui-siauw Giam-ong tertawa bergelak.
"Saudara Ouwyang Sek. sungguh pertunjukan ini lucu sekali, seperti di atas panggung wayang dan engkau membiarkan saja badut ini datang disambut sembah dan tangis isterimu? Kalau perlu, aku dapat membantumu mengirimnya ke neraka!"
Ouwyang Sek yang mukanya hitam itu kini memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah.
"Tiauw Sun Ong, mau apa engkau datang ke sini?" Sungguh sama sekali tidak ramah ucapannya itu, namun Tiauw Sun Ong menyambutnya dengan senyum. Kakek buta ini juga sama sekali tidak memperdulikan bekas kekasihnya yang kini telah menjadi isteri datuk Bukit Siluman itu. Seperti orang yang dapat melihat saja, dia mengangkat muka ke arah dua orang datuk itu dan suaranya terdengar lembut namun berwibawa.
"Suma Koan, kebetulan sekati aku bertemu denganmu di sini. Dan Ouwyang Sek, aku juga girang bahwa engkau berada di rumah sehingga aku dapat bertemu dengan kalian dua orang datuk besar. Aku ingin menyampaikan terima kasih kepada kalian yang telah memukul muridku dengan pukulan beracun, karena perbuatan kalian itu mendatangkan untung yang teramat besar dan tak ternilai harganya bagi muridku."
Mendengar ucapan itu wajah kadua orang datuk itu berubah kemerahan karena tentu saja mereka mengira bahwa ucapan bekas pangeran itu merupakan ejekan atau sindiran, sama sekali mereka tidak tahu bahwa ucapan itu memang sungguh sungguh!
"Tiauw Sun Ong, tidak perlu banyak cakap. Cepat katakan mau apa kau ke sini sebelum kuusir engkau yang tidak kuundang!" bentak Ouwyang Sek yang menjadi semakin marah karena mara ia diejek.
Bekas pangeran itu tetap tersenyum.
"Ouwyang Sek, kami telah mendengar sayembara untuk pencalonan suami bagi anakmu Hui Hong. Nah, aku datang bersama muridku untuk mengajukan pinangan agar Hui Hong dapat menjadi jodoh muridku Bun Houw ...
"
"Tidak boleh!" bentak Ouwyang Sek memotong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bercakap begitu. Dengarkan dulu apa yang dikatakan pangeran!" bentak Cu Lan dan kembali Ouwyang Sek merasa heran. Wanita ini sekarang sungguh amat berani! "Hui Hong adalah anakku dan aku berhak pula memutuskan!" sambung pula Pouw Cu Lan.
"Kami sudah mendengar tentang tiga macam syarat itu. Pertama, menemukan Akar Bunga Gurun Pasir, ke dua menandingi Hui Hong dalam ilmu silat, dan ke tiga, membawa kembali Hui Hong yang sekarang pergi entah ke mana. Dan juga pedang Lui-kong-kiam milik muridku telah berada di tanganmu, Ouwyang Sek, biarlah kami menganggap itu sebagal Ikatan jodoh!"
"Tidak, aku tidak menerima pinangan itu! Hui Hong telah kujodohkan dengan putera saudara Suma Koan! Andaikata belum juga, aku tidak akan menjodohkan anakku dengan murid seorang buta!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bicara seperti itu!" Pouw Cu Lan berteriak, lalu ia bangkit, lari ke depan kaki Tiauw Sun Ong, menjatuhkan diri berlutut lagi dan berkata,
"Pangeran, Hui Hong adalah puteri pangeran, anak kita, dan saya setuju kalau ia dijodohkan dengan muridmu ... ,"
"Diam kau, perempuan binal!" bentak Ouwyang Sek marah, kemudian dia berkata kepada bekas pangeran itu dengan pandang mata penuh kebencian karena cemburu.
"Tiauw Sun Ong, pargilah engkau dari sini atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!"
Akan tetapi bekas pangeran itu kini tidak memperdulikannya lagi. Dia menunduk dan memalingkan muka ke arah bekas kekasihnya." Cu Lan, aku menysal sekali telah menyebabkan engkau menderita dalam hidupmu. Aku pun cukup menderita dan agaknya memang Tuhan telah menghukum kita berdua karena perbuatan kita yang tidak benar. Cu Lan, aku telah tahu tentang anak kita Hui Hong, sekarang katakan, ke mana ia pergi?"
"Pangeran, saya menceritakan kepadanya tentang kita, dan ia ... ia pergi bersama seorang wanita yang katanya mengetahui di mana engkau berada. Saya tidak dapat mencegahnya ...
"
"Siapa wanita itu?" tanya Tiauw Sun Ong, sedangkan Ouwyang Sek juga mendengarkan dengan penuh perhatian karena baru sekarang dia mendengar bahwa anaknya pergi bersama seorang wanita.
"Saya tidak melihatnya. hanya mendengar suaranya, dan menurut Hui Hong, ia seorang wanita cantik yang usianya sekitar tiga puluhan. Pangeran, tolong carikan ia, carilah anakku, cari anak kita karena aku merasa khawatir sekali ...
"
"Ha-ha-ha, saudara Ouwyang, sebetulnya bagaimanakah ini? Hui Hong yang hendak diperisteri putraku itu anak siapa! Anakmu, anak si buta ini, ataukah anak haram?" Suma Toan yang tidak sabar kini berseru dengan suara mengejek.
"Tiauw Sun Ong, dengar baik-baik!" Ouwyang Sek kini membentak marah.
"Engkau dan perempuan binal ini sama sekali tidak berhak atas diri Hui Hong! Lihat perempuan ini. Ia selir kaisar yang telah memberi segala galanya, kedudukan dan kemewahan, akan tetapi apa yang ia lakukan? Ia melakukan penyelewengan, berkhianat dan berjina denganmu, adik suaminya sendiri. Setelah tertangkap basah, kalian berpisah dan apa yang ia lakukaa? Ia mau menjadi isteriku dan "a melayaniku dengan sepenuh hati sampai sekarang. Perempuan macam ini apakah berhak untuk menjadi seorang ibu yang berhak penuh atas diri Hui Hong? Dan lihat dirimu sendiri! Engkau telah mengkhianati kakak sendiri, berjina dengan isteri kakakmu. Setelah ketahuan, engkau tidak bertanggung jawab, malah melarikan diri, tidak perduli kekasih gelapmu telah mengandung. Orang macam engkan ini apakah pantas menjadi ayah Hui Hong? Sebaliknya, sejak kecil, sejak lahir, Hui Hong kupelihara, kudidik sampai menjadi seorang gadis seporti sekarang keadaannya. Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku yang berhak menentukan jodohnya? Hayo jawab!"
Terdengar rintihan dan tangis keluar dari mulut Pouw Cu Lan. Wanita ini merasa betapa ucapan suaminya itu seperti pedang beracun menancap di ulu hatinya. Ia tidak mampu membantahnya walaupun semua itu ia lakukan demi Hui Hong! Juga bekas pangeran itu berdiri menunduk dan berulang kali menghela napas panjang. Biarpun kasar dan keji, ucapan dari datuk sesat itu memang benar. diapun mempunyai alasan, yaitu bahwa dia tidak tahu bahwa kekasihnya itu telah mengandung ketika dia meninggalkannya. Andaikata dia tahu, mnngkin tidak akan begini jadinya. Akan tetapi alasan itupun amat lemah dan dia tidak mau mengeluarkannya.
"Ouwyang Sek, aku datang bukan untuk merampas hakmu sebagai ayah atas diri Hui Hong. Bahkan aku mengakui engkan sebagai ayahnya. Buktinya, aku datang sebagai wakil muridku ini untuk melakukan pinangan atas diri Hui Hong sebagai puterimu. Dan kami akan memenuhi tiga syarat tadi, juga pedang Lui-kong-kiam itu boleh kausimpan sebagai tanda ikatan jodoh atau tanda bahwa kami telah meminang puterimu."
"Pedang Lui-kong-kiam ini kuambil dari tangan muridmu dengan kekerasan. Kalau memang dia mempunyai kemampuan, boleh merampasnya kembali dari tanganku!" kata Ouwyang Sek sambil menepuk pedang dengan sarungnya yang seperti tongkat dan yang tergantung di punggungnya itu.
Sementara itu Suma Koan juga melangkah maju menghampiri Tiauw Sun Ong dan tertawa dengan nada mengejek.
"Heii, orang buta. Sungguh lancang sekali engkau, berani meminang Ouwyang Hui Hong. Anak perempuan itu telah menjadi calon mantuku, tahu? Siapa yang meminang calon mantuku, berarti menghinaku. Engkau boleh mengajukan pinanganmu kalau mampu menghadapi suling mautku!"
Ditantang olah kedua orang datuk itu, Tiauw Sun Ong menoleh ke arah muridnya.
"Bun Houw, tidak ada jalan lain lagi. Kau rampaslah kembali Lui-kong-kiam dari Ouwyang Sek, dan biar aku yang akan melayani Iblis Suling Maut ini."
Bun Houw yang merasa kasihan sekali kepada ibu kandung Hui Hong, mengangguk, lalu diapun melangkah maju mengbampiri Ouwyang Sek. Bagaimaupun juga, dia tetap memandang kakek tinggi besar muka hitam ini sebagai ayah Hui Hong. maka diapun bersikap sopan.
"Lo-cian-pwe, aku menerima tantanganmu untuk mencoba mengambil kembali Lui-kong-kiam yang kaudapat."
"Heh, bocah yang bosan hidup. Kebetulan sekali karena akupun ingin menyelesaikan niatku yang tidak kulaksanakan dahulu, yaitu membunuhmu. Nah, majulah untuk menerima kematian!" Kakek itu menggerakkan tangannya dan dia sudah menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri sehingga mendatangkan suara menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Houw. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun sudah bersikap waspada, cepat dia meloncat ke belakang untuk mengelak dan mencari tempat yang lebih luat agar jangan mengganggu gurunya. Juga agar tidak terlalu dekat dengan ibu Hui Hong yang masih berlutut sambil menangis sedih.
Sementara itu, Suma Koan sudah menggunakan sulingnya untuk menyerang Tiauw Sun Ong Datuk dari Bukit Bayangan Iblis ini berjuluk Kui-siauw Giam-ong (Iblis Suling Maut), tentu saja senjata sulingnya itu dahsyat bukan main. Suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata yang kokoh kuat karena terbuat dari baja yang pilihan, juga ujungnya mengandung racun, dan suling itupun dapat dipergunakan untuk meniupkan jarum-jarum beracun ke arah lawan. Senjata inilah yang mengangkat Suma Koan dan membuat dia dijuluki Suling Maut.
Namun sekali ini, majikan Kui-eng-san itu berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Tadinya dia memang memandang rendah kepada kakek buta itu karena diapun baru pernah mendengar saja nama bekas pangeran ini. namun belum membuktikan sendiri kelihaiannya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang buta," demikian pikir Suma Koan dan serangan-serangannya yang dahsyat itu, dia mengira akan mampu merobohkan lawan buta itu dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi, begitu Tiauw Sun Ong menggerakkan tangannya, sebatang pedang berkilauan telah berada di tangannya dan dia melemparkan tongkat yang menjadi sarung pedang itu kepada muridnya sambil berseru,
"Bun Houw, kau pergunakan ini!"
Tiauw Sun Ong menggerakkan pedangnya dan nampak sinar bergulung-gulung, menangkis suling dan begitu kedua senjata itu bertemu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan terkejut bukan main karena dia merasa betapa retapak tangannya yang memegang suling tergetar hebat, tanda bahwa lawan buta itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, tidak berada di sebelah bawahnya! Maka, diapun berseru keras dan sulingnya melakukan serangkaian serangan yang lebih dahsyat lagi. disambut dengan tenang oleh Tiauw Sun Ong yang juga maklum bahwa dia melawan seorang datuk yang lihai.
Bun Houw menyambut sarung pedang berbentuk tongkat butut yang dilemparkan suhunya, akan tetapi melihat betapa Ouwyang Sek menyerangnya dengan tangan kosong, diapun hanya menyelipkan tongkat itu di ikat pinggangnya dan menghadapi serangan datuk Bukit Siluman itu dengan tangan kosong pula. Sampai belasan jurus dia hanya mengelak dengan berloncatan dan dengan menggeser kedua kakinya secara ringan dan lincah sekali sehingga semua serangan kakek itu hanya mengenai tempat kosong.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menjadi penasaran bukan main, rasa penasaran yang mendatangkan kemarahan. Belasan jurus dia menyerang dan pemuda itu hanya mengelak, akan tetapi tidak pernah pukulannya mengenai sasaran. Diam-diam dia terkejut di samping kemarahannya. Pemuda ini dahulu telah dia pukul dengan pukulan yang mengandung hawa beracun mematikan. Akan tetapi, kini bukan saja pemuda itu sama sekali tidak kelihatan menderita oleh pukulannya, bahkan kini pemuda itu sedemikian mudahnya menghindarkan diri dari belasan kali serangannya yang dahsyat.
"Bocah sombong, mampuslah!" Tiba-tiba dia membentak dan dia mengirim serangan dengan kedua tangannya yang menghadang dari kanan kiri dengan cepat dan kuat. tidak memungkinkan pemuda itu untuk mengelak lagi. Andaikata lawannya meloncat ke belakangpun tentu akan dilanda hawa pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang dan hawa beracun itu.
Melihat serangan maut ini. Bun Houw tidak mau mengelak lagi. Diapun diam-diam mengerahkan tenaga yang didapatnya dari latihan Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya dia mengatur dan membatasi tenaganya, hanya untuk melindungi dirinya saja, tanpa niat untuk menyerang atau mencelakai lawan.
"Wuuuuttt, desss ...!" Kedua telapak tangan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek bertemu dengan dinding yang tidak nampak dan demikian kuatnya benturan pada dinding tak nampak itu sehingga tubuh datuk itu terdorong ke belakang.
Dia tidak mampu menguasai kuda-kudanya lagi sehingga terpaksa kakinya terhuyung melangkah ke belakang sampai lima langkah! Dan yang membuat dia terbelalak adalah melihat pemuda itu masih berdiri tegak dengan sikap tenang!
Ilmu apa ini, pikirnya kaget dan karena maklum bahwa dengan tangan kosong dia tidak akan mampu menandingi pemuda yang memiliki tenaga mujijat yang tidak dikenalnya itu, Ouwyang Sek lalu menggerakkan tangan kanan ke punggungnya dan di lain saat, nampak kilat berkelebat menyambar ketika dia telah mencabut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) yang dahulu dirampasnya dari tangan Bun Houw!"
Melihat pedangnya sendiri kini dipergunakan lawan untuk menyerangnya, Bun Houw segera mencabut tongkat sarung pedang gurunya yang dia selipkan di pinggang. Dia tentu saja mengenal keampuhan Lui-kong-kiam, dan biarpun dia belum pernah melihat ilmu pedang datuk itu, namun mengingat bahwa datuk itu berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), dia dapat menduga bahwa Ouwyang Sek tentu seorang ahli pedang yang amat lihai.
"Singgg ... wuuuut, singgg ...!" Lui-kong-kiam di tangan Ouwyang Sek diputar-putar di atas kepalanya membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata.
"Bocah sombong, biar pedangmu sendiri menghirup darahmu!"
Pedang yang kalau digerakkan menimbulkan sinar berkilat itu menyambar ke arah leher Bun Houw. Memang pantas Ouwyang Sek dijuluki Bu-eng-kiam karena dia memang seorang ahli pedang yang mampu menggerakkan pedang dengan kecepatan luar biasa sehingga seolah-olah pedang itu tidak mempunyai bayangan, tahu-tahu telah tiba disasaran yang dituju. Namun Bun Houw adalah murid tersayang dari Tiauw Sun Ong yang memiliki ilmu pedang yang ampuh, yaitu ilmu pedang yang mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan naluri seorang buta. Gerakan pedang yang betapapun dapat ditangkap oleh pendengaran dan perasaan itu, maka begitu pedang itu menyambar ke arah lehernya, Bun Houw, sudah dapat menangkisnya dengan tongkat sarung pedang gurunya.
"Trangg ... !" Pedang terpental lalu menukik ke bawah, menusuk ke arah perut Bun Houw.
"Trangg ...!" Kembali pedang yang terpental itu membuat gerakan membalik dan kini sudah menyambar lagi menusuk dada.
"Trangg ...!" Dan kini Bun Houw melanjutkan tangkisannya dengan serangan balasan yang meubuat Ouwyang Sek harus cepat memutar pedangnya untuk membuat perisai gulungan sinar melindungi dirinya karena dia dapat merasakan sambaran angin dahsyat ketika tongkat itu menyambar-nyambar ke arah dirinya.
Terjadi perkelahian yang amat hebat antara Ouwyang Sek dan Bun Houw, dan makin lama, Ouwyang Sek menjadi semakin terkejut dan terheran-heran. Belum lama, ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan pemuda ini, Bun Houw belumlah sepandai ini walaupun tingkat pemuda ini sudah sedikit lebih tinggi dari pada tingkat Ouwyang Toan dan Hui Hong. Akan tetapi sekarang, bagaimana mungkin pemuda ini sudah menjadi sedemikian lihainya sehingga dia sendiri selalu kalah kalau beradu tenaga, dan ilmu pedangnyapun tidak mampu mendesak pemuda yang hanya bersenjatakan tongkat pendek ini?
Sementara itu. perkelahian antara Tiauw Siauw Ong dan Suma Koan juga terjadi dengan hebatnya. Namun, setelah beberapa kali meniupkan jarum beracun tanpa hasil karena selalu dapat dipukul runtuh oleh gulungan sinar pedang di tangan lawan yang buta itu. mulailah Suma Koan terdesak oleh gulungan sinar pedang yang dimainkan Tiauw Sun Ong. Melihat betapa ayahnya tidak mampu menang bahkan terdesak oleh orang buta yang tadinya mereka pandang rendah itu. Suma Hok juga mencabut sulingnya dan dia tanpa banyak cakap lagi sudah terjun ke dalam perkelahian membantu ayahnya mengeroyok Tiauw Sun Ong! Sang ayah juga diam saja dan agaknya mereka tidak merasa malu harus mengeroyok seorang lawan yang buta! Mengelahui bahwa dia dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Tiauw Sun Ong memutar pedangnya semakin cepat dan membentuk benteng pertahanan dari gulungan sinar pedang yang berkilauan untuk melindungi dirinya.
Bun Houw hanya mengimbangi permainan Ouwyang Sek karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin membuat datuk yang menjadi ayah tiri Hui Hong ini merasa terhina kalau dia kalahkan. Akan tetapi, kini dia melihat keadaan gurunya yang dikeroyok secara curang oleh ayah dan anak Suma, dia harus membantu gurunya," pikir Bun Houw dan untuk dapat melakukan itu. dia harus menyudahi perkelahiannya melawan Ouwyang Sek. Tiba-tiba Bun Bouw mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang membuat Ouwyang Sek merasa betapa jantungnya terguncang dan saat itu, pedang Lui-kong-kiam di tangannya bertemu dengan tongkat di tangan Bun Houw dan melekat! Dia berusaha menarik kembali pedang itu, namun tidak dapat dan karena marah dia lalu menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah muka Bun Houw. Hantaman ini dilakukan sekuat tenaga dengan kandungan hawa beracun dan kalau sampai terkena pukulan ini. betapapun lihainya, tentu pemuda itu akan roboh dan tewas.
Melihat pukulan tangan kiri ini, Bun Houw maklum betapa besar bahayanya, maka diapun mengerahkan tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan tangan kiri menyambut hantaman ke arah mukanya itu.
"Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, Ouwyang Sek mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya gemetar, terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Houw untuk secepat kilat melepaskan lekatan tongkatnya dari pedang, dan ujung tongkatnya sudah menotok pergelangan tangan kanan Ouwyang Sek sehingga pedang itu terlepas dan dilain detik, Lui-kong-kiam telah kembali kepada pemiliknya!"
Ouwyang Sek yang terhuyung ke belakang, terbelalak melihat pedang itu sudah terampas oleh Bun Houw. Dia merata malu, penasaran dan kemarahannya memuncak. Dengan mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dia menyambar sarung pedang yang masih tergantung di punggungnya, lalu dia meloncat ke depan, dengan buas menerkam dan menggerakkan sarung pedang berbentuk tongkat itu ke arah Bun Houw, menyerang dengan membabi-buta.
Bun Houw menyambut serangan sarung pedang itu. Melihat betapa Ouwyang Sek memegang ujung sarung pedang sehingga bagian yang berlubang menghadap ke arahnya, diapun mengelebatkan Lui-kong-kiam yang sudah dirampasnya, menarik ke depan dan tepat sekali Lui-kong-kiam masuk ke dalam sarung pedang itu! Dan pada saat itu, sarung pedang milik gurunya yang masih dipegang tangan kirinya, membuat gerakan menyerang ke arah leher Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, berusaha menarik sarung pedang itu, namun sia-sia dan kalau dia tidak cepat mengelak, serangan sarung pedang lawan tentu akan mengenai lehernya. Diapun dengan nekat menggunakan tangan kiri menangkap sarung pedang itu.
"Desss!" pada saat itu, Bun Houw sudah menendang, tepat mengenai perutnya dan biar pun dalam menendang ini Bun Houw membatasi tenaganya, tetap saja Ouwyang Sek terlempar ke belakang dan terpaksa melepaskan kedua sarung pedang tadi. Dia terbanting jatuh dan sakit di hatinya lebih hebat dari pada rasa nyeri di pinggulnya yang terbanting.
Sementara itu, Bun Houw sudah meloncat ke arah gurunya dan sekali pedang Lui-kong-kiam menyambar suling di tangan Suma Hok patah menjadi dua! Pemuda tampan pesolek itu tentu saja terkejut bukan main, akan tetapi juga jerih. Dia meloncat ke belakang dan ayahnya yang bukan orang bodoh, maklum bahwa kalau dilanjutkan dia akan kalah, cepat meloncat ke belakang pula, dekat puteranya. Ayah dan anak ini selamat dari keadaan yang lebih memalukan, yaitu jatuh di tangan si buta dan muridnya, Suma Koan memberi hormat ke arah Ouwyang Sek dan berkata.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 14
"Saudara Ouwyang, kami berpamit. Kalau kami sudah memenuhi tiga syarat puterimu, kami akan kembali membicarakan urusan perjodohan."
Setelah berkata demikian, ayah dan anak itu pergi tanpa menengok lagi kepada Tiauw Sun Ong dan Bun Houw yang juga tidak memperdulikan mereka.
Dengan tenang Tiauw Sun Ong mengangkat mukanya ke arah Ouwyang Sek dan diapun berkata dengan mara tegai.
"Nah, muridku telah memenuhi tantanganmu dan berhasil mendapatkan kembali Lui-kong-kiam dari tanganmu. Kami berdua menyanggupi sayembara itu dan kalau kami yang dapat memenuhinya, maka Bun Houw yang berhak untuk menjadi suami Hui Hong. Harap angkau sebagai seorang datuk tidak akan menjilat ludah sendiri, Ouwyang Sek."
Ouwyang Sek yang sudah bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar saking marah dan tak berdaya, kini melotot dan wajahnya yang hitam itu menyeramkan sekali,
"Tidak! Lebih baik melihat Hui Hong mati dari pada harus menjadi isteri muridmu! Lebih baik aku kawinkan Hui Hong dengan seorang jembel busuk tanpa nama dari pada harus menikah dengan muridmu! Engkau tidak patut dan tidak berhak menjadi ayahnya, dan Cu Lan juga hanya seorang perempuan hina, tidak berhak menentukan nasibnya. Hanya aku seorang yang berhak, dan aku akan mempertahankan Hui Hong dengan nyawaku!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak berbicara demikian!" tiba-tiba terdengar suara Cu Lan memekik. Wanita ini sudah berdiri dengan marah sekali. Wajahnya yang biasanya segar kemerahan, kini menjadi pucat, rambutnya awut-awutan, matanya merah membengkak, pipinya masih basah air mata dan mulutnya membayangkan kedukaan dan kemarahan yang teramat besar.
"Aku rela menjadi isterimu, rela menjadi barang permainanmu hanya untuk Hui Hong! Engkau tentu masih ingat bahwa aku mengancam akan membunuh diri kalau engkau menjamah tubuhku sebelum Hui Hong terlahir. Kemudian, akupun menyerahkan diri hanya dengan syarat bahwa engkau akan memperlakukan Hui Hong sebagai anak sendiri dan bersikap baik kepadanya. Semua derita itu kupertahankan demi Hui Hong. Sekarang, engkau hendak memaksakan kehendakmu atas diri Hui Hong, hendak kau jodohkan dengan orang yang tidak disukainya. Akupun tidak sudi lagi menjadi isterimu, dan sekarang karena Hui Hong telah mengetahui siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, maka aku menyerahkan Hui Hong kepada ayah kandungnya. Aku rela meninggalkannya karena ada ayah kandungnya yang akan melindungi dan membelanya. Pangeran, aku pasrah anak kita kepadamu dan aku setuju kalau akan kaujodohkan dengan muridmu. Selamat tinggal ...!"
"Cu Lan ... !" Tiauw Sun Ong berseru.
"Cu Lan ... !" Ouwyang Sek juga berteriak sambil meloncat ke arah isterinya. Namun terlambat, karena Cu Lan sudah menusukkan pisau yang tajam runcing itu ke dadanya, di bawah iga kiri dan iapun roboh dalam rangkulan Ouwong Sek.
"Cu Lan ...! Cu Lan isteriku ...! Aihh, Cu Lan ...!" Ouwyang Sek mengguncang-guncang tubuh isterinya dalam pelukannya, namun Cu Lan tidak dapat menjawab lagi karena ia sudah tewas seketika. Mengingat ini. Pangeran Tiauw Sun Ong menghela napas panjang. Dia tahu bahwa bagaimanapun juga, Ouwyang Sek mencinta isterinya, dan kini tentu Ouwyang Sek akan menderita tekanan batin dan kedukaan besar yang akan menyiksa hidupnya. diapun merasa iba kepada datuk itu yang akan kehilangan pula anak tiri yang dianggap anaknya sendiri dan disayangnya, telah kehilangan pula isterinya, walaupun kesayangan dan kecintaan datuk ini penuh dengan nafsu mementingkan diri sendiri.
"Ouwyang Sek, engkau memetik buah dari hasil tanamanmu sendiri," katanya lirih.
Ouwyang Sek menghentikan keluhannya dan mengangkat muka memandang kepada bekas pangeran itu dengan sinar mata penuh kebencian.
"Tiauw Sun Ong aku akan membalas semua ini! Aku bersumpah akan membalas semua ini kepada kalian berdua!"
Akan tetapi Tiauw Sun Ong tidak memperdulikannya.
"Bun Houw, mari kita pergi." Guru dan murid itupun pergi meninggalkan Lembah Bukit Siluman. Biarpun di situ terdapat banyak anak buah Ouwyang Sek, namun tidak ada seorangpun berani bergerak untuk menentang mereka karena selain mereka tidak berani, Juga tidak ada perintah dari majikan mereka. Ouwyang Sek dengan sedih memondong jenazah isterinya, dibawa masuk ke dalam runah dan keluarga itu berkabung. Akan tetapi, Hui Hong tidak berada di situ, bahkan Ouwyang Toan juga tidak ada karena pemuda ini setelah mengetahui bahwa Hui Hong pergi tanpa pamit, segera pergi pula untuk mencarinya.
Semua orang yang berada di dalam rumah makan itu, terutama yang pria, memandang kepada dua orang wanita yang baru memasuki rumah makan dengan pandang mata kagum. Lucu melihat gaya setiap orang pria yang berada di situ. Ada yang memandang langsung dan menyeringai, ada yang mengerling lalu membereskan letak pakaian dan rambut, ada yang melirik dengan sikap acuh namun sesungguhnya perhatiannya tercurah kepada dua orang wanita itu. Bahkan tiga orang pelayan rumah makan seperti berebut dulu menyambut mereka, dengan sikap hormat dan manis, dan mempersilakan, mereka ke meja yang masih kosong, yang kebetulan berada di sudut sebelah dalam sehingga banyak tamu yang dapat melihat mereka. Peristiwa seperti ini. datangnya tamu wanita-wanita cantik, amat menguntungkan rumah makan dan hal ini diketahui benar oleh para pelayan, maka dua orang wanita itu dipersilakan duduk di tempat yang mudah dilihat oleh para tamu di meja lain. Dengan adanya "tontonan" gratis ini. para tamu akan lebih betah tinggal di situ dan pesanan makanan dan minuman akan bertambah banyak.
Hui Hong Memburu 'Musuh'?
DUA orang wanita yang mamasuki rumah makan An-lok (Selamat Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang amat menarik hati, terutama kaum pria, karena keduanya amat cantik jelita. Orang pertama adalah seorang wanita yang telah matang karena ia nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih. Pada hal sesungguhnya wanita ini sudah berusia empat puluh delapan tahun! Dalam usia mendekati setengah abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik. Wajahnya yang berkulit putih halus kemerahan itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan sama sekali. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Rambutnya digelung indah seperti sanggol rambut seorang puteri bangsawan saja, dan pakaiannya juga indah dan mahal. Hal ini tidaklah mengherankan karena wanita ini adalah Bwe Si Ni yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuhi, dan setelah kini keluar dari istana, ia meniru gaya dan dandanan seorang pateri istana, bukan seorang dayang lagi!"
Wanita yang ke dua lebih menarik lagi walaupun pakaian dan dandanannya tidak semewah wanita pertama. Ia seorang gadis yang juga berkulit putih mulus, namun pakaian dan dandanannya sederhana sehingga ia nampak cantik manis dan agung, juga gagah karena di punggungnya terdapat gendongan sebuah bantalan kain kuning dan di bawah buntalan itu terdapat pula sepasang pedang yang sarung dan gagangnya terukir indah. Gadis berusia dua puluh satu tahun ini adalah Hui Hong.
Seperti kita ketahui, Hui Hong mendengar pengakuan ibu kandungnya bahwa ia bukanlah puteri Ouwyang Sek, melainkan puteri bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, ketika ia bertanya kepada ibunya di mana ayah kandungnya itu berada, ibunya tidak mampu menjawab, dan Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni yang menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong. Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan perjalanan jauh sampai pada pagi hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan An-lok, menjadi pusat perhatian para tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali tidak perduli akan sikap dan gaya para pria yang berada di rumah makan itu. Hui Hong sendiri sudah sering melakukan perjalanan dan ia tahu benar bahwa semua pria di manapun juga sama saja, selalu bergaya dan beraksi kalau melihat wanita cantik dan ia tahu bahwa sahabat barunya ini yang mengaku bernama Bwe Si Ni dan mengetahui di mana adanya ayah kandungnya, adalah seorang wanita yang amat cantik. Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat berlari cepat bukan main. Biarpun belum pernah ia menguji ilmu silatnya dan mereka berdua dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat menduga bahwa wanita ini tentu lihai. Setelah mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat bertanya makanan dan minuman apa yang mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya.
"Engkau ingin makan apa? Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan nampaknya acuh saja terhadap dirinya. Akan tetapi pagi ini kelihatan lebih ramah dari pada biasanya,
"Apa saja sesukamu, enci. Aku tidak ingin sesuatu yang istimewa, juga tidak menolak macam makanan." jawabnya, ramah pula. Biarpun di lubuk hatinya, Hui Hong belum percaya sepenuhnya kepada wanita ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia membutuhkan bantuannya untuk dapat bertemu dengan ayah kandungnya maka iapun berusaha untuk bersikap baik dan ramah.
Bwe Si Ni tersenyum.
"Aku ingin makan bebek panggang dan goreng burung dara. Minumnya ringan saja sari buah, tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan masakan itu kepada kepala pelayan yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya jelas menatap tajam dan penuh kagum kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan suaranya mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang ajar, hayo cepat sediakan pesanan kami!"
Kepala pelayan itu terkejut, membungkuk-bungkuk dan segera pergi. Sudah beberapa kali dalam perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya itu terhadap pria. ia sendiri juga membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni. Baru melihat saja sudah dapat membuat ia marah-marah. Sikapnya seolah wanita cantik ini amat membenci kaum pria. Diam-diam ia merasa heran. Seorang wanita sehebat ini, mustahil kalau belum berumah tangga dan ia menduga-duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana asalnya. Akan tetapi ia belum sempat mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan minum tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang seolah mengikuti setiap gerak gerik mereka. Hui Hong yang diam-diam memperhatikan temannya, melihat betapa cara makan Bwe Si Ni juga anggun, seperti dibuat-buat dan diatur. Pernah ia mendengar dari ayahnya, atau ayah tirinya, bahwa kehidupan para bangsawan tinggi lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal bicara atau makan saja mereka mempunyai cara sendiri, seperti diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan?
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka melihat para pelayan nampak ketakutan, dan kepala pelayan bersama pimpinan rumah makan itu yang tadinya hanya duduk di dekat kasir, dengan membungkuk-bungkuk dan senyum dibuat-buat menyongsong ke luar, seperti menyambut datangnya tamu agung. Bahkan para tamu yang tadinya nampak gembira mengamati dua orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tergesa-gesa membayar harga makanan dan meninggalkan meja mereka.
"Sediakan meja besar untuk kami! Yang di tengah itu, dan keluarkan hidangan yang kami sukai, seperti biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya sampai mengkilap!" terdengar suara dengan logat selatan, dan suara itu mengandung keangkuhan yang memuakkan hati Bwe Si Ni dan Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari meja bukan mereka, keduanya diam saja dan tidak ambil perduli. Sekeluarga yang tadinya makan minum di meja itu, tanpa berani membantah lalu pindah ke meja lain dan makanan mereka diusungi para palayan. Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan keluarkan dulu arak yang paling baik!" kembali terdengar suara orang, sekali ini bukan suara yang tadi, kemudian terdengar bangku diseret dan terdengar pula orang yang membesihkan hidung dan tenggorokan dengan suara yang menjijikkan sekali.
"Jahanam!" Bwe Si Ni mendesis dan melepaskan sepasang sumpitnya di atas meja. Juga Hui Hong merasa muak dan tidak melanjutkan makan. Untung mereka sudah kenyang. Kini dengan sinar mata marah, ketuanya menoleh untuk melihat orang-orang macam apa yang demikian sombong dan tidak mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, potongan pakaian mereka ringkas seperti yang biasa dipakai orang-orang dari dunia persilatan, dan di punggung mereka terselip golok telanjang yang berkilauan. Dari dandanan, senjata, dan sikap mereka jelas dan mudah diketahui bahwa mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang suka mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan kehendak kepada orang lain. Hal inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni kalau saja tiga orang itu tidak mencari penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda, berusia tiga puluh tahun dan mukanya kekuning-kuningan seperti penderita penyakit dan tubuhnya tinggi kurus, memandang kepada mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu amatlah cantiknya.
"Heiiii! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!" Serunya gembira.
"Siapa kira di sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik segerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka melihat dua orang wanita secantik yang ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali, sute (adik seperguruan)!" kata yang bertubuh pendek gendut berperut besar sambil terkekeh.
"Mereka memang cantik manis dan sekali ini aku tidak ingin pura-pura alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona. Akan tetapi dia lebih berhati-hati dibandingkan dua orang sutenya karena dia melihat sepasang pedang yang tergantung di pinggang Hui Hong. Bwe Si Ni sendiri menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan. Sebaiknya kalau kita mengundang mereka baik-baik untuk berkenalan." katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan saputangan.
Mereka memutari meja itu dan berdiri berjejer, menghadapi dua orang wanita itu dengan muka cengar-cengir. Si kumis lebat, yaitu orang tertua yang bertubuh sedang dan nampak kokoh kuat. mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada Si Ni dan Hui Hong, diikuti dua orang sutenya yang masih menyeringai senang karena setelah kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu, semakin jelas nampak betapa cantik menariknya dua orang wanita di depan mereka itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan kami, oleh karena itu, kami ingin berkenalan dengan ji-wi (anda berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai daerah ini. Kami mengundang ji-wi untuk berkenalan sambil makan minum di meja kami. Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si kumis lebat itu mempersilakan dua orang wanita itu untuk pindah ke meja mereka dengan keyakinan bahwa dua orang wanita itu akan pasti suka menerima undangannya karena kama berur Ki-elu Nf,o-houw ditakuti senni orang didsersb itu ...
"
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya.
"Tidak perduli kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum.
"Hi-hik. kami sudah makan kenyang. Andaikata belum makanpun, kami tidak sudi makan bersama kalian yang jorok dan menjijikkan!"
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu menghampiri meja kasir dan membayar harga makanan dan minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar dari rumah makan. Semua tamu yang kebetulan melihat semua ini, terbelalak dan terheran-heran bagaimana ada dua orang, wanita lagi, berani bersikap saperti itu terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak o en bikin ribut di sini ...
" pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru kami akan makan!" kata si kumis tebal dengan marah dan bersama dua orang suteenya, dia lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan melakukan pengejaran. Tiga orang ini memang merupakan tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di daerah Ki-ciu. Merekapun berhubungan baik dengan para pejabat setempat sehingga ada kerja sama diantara mereka. Mereka tidak dimusuhi para pejabat, akan tetapi merekapun berjanji tidak akan membuat kacau dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi masih menahan sabar walaupun marah sekali dengan sikap dua orang gadis di rumah makan An-lok. Ketika mereka membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau membikin ribut di dalam kota. Setelah Hui Hong dan Si Ni tiba di luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan perjalanan, barulah tiga orang itu dengan cepat mengejar, kemudian mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu.
Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang yang menjemukan itu membayangi mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi mereka," kata Hui Hong mendahului karena ia dapat menduga bahwa kalau wanita cantik itu yang turun tangan mungkin saja ia akan membunuh ketiganya. Biarpun sejak kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang datuk besar yang tadinya ia anggap sebagai ayahnya, bukan saja dididik dengan ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi juga melihat kekerasan dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi nasehat oleh ibunya agar ia tidak berwatak kejam dan tidak sembarangan membunuh orang. Karena itu, dalam hati Hui Hong terbentuk watak yang tidak kejam seperti ayahnya walaupun ia keras dan galak, dan tidak mau membunuh orang sembarangan saja. sekarangpun ia menganggap bahwa tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak seharusnya dibunuh seperti orang-orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin menonton dan melihat sampai di mana kehebatan puteri kandung Tiauw Sun Ong atau juga murid dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi mereka adalah gadis yang lebih muda, sedangkan wanita yang ke dua enak-enak duduk menonton, tiga orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si kumis tebal sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hui Hong sambil berkata,
"Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka kami menahan sabar. Sekarang, kami akan menghajar kalian dan menyeret kalian kembali ke rumah makan An-lok untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian lakukan tadi yang telah membikin malu kepada kami di depan orang banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang itu menelan ludah. Gadis yang mereka hadapi ini manis luar biasa! "Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar karena kalian pandai menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak menggonggong tidak menggigil. Pergilah, sekali ini biar kuampuni. Pergi sebelum kalian menerima penghinaan lebih parah lagi!"
Tentu saja tiga orang itu menjadi marah bukan main.
"Tangkap gadis liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk yang seorang lagi!" teriak si kumis tebal.
Tiga orang itu menerjang ke depan dan mereka memang memiliki gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman! Tingkat kepandaian Hui Hong jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, maka melihat mereka bertiga sudah menerjang untuk menangkapnya, dengan ringan dan mudah saja Hui Hong menyelinap di antara tangan-tangan mereka dan lolos dari terkaman. Tiga orang itu terkejut melihat gadis itu menjadi bayangan berkelebat dan lenyap. Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang mereka dan menggunakan tangan menggapai dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan pukulan!"
Kembali Hui Hong menggunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana-sini. kemudian ketika lengan si tinggi kurus muka kuning menyentuh pundaknya dari belakang, ia menangkap pergelangan tangan itu, mengerahkan tenaga dan membungkuk, menarik tangan itu dan tubuh si tinggi kurus berputar dengan kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk ... !" Si muka kuning mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi punggungnya yang rasanya seperti patah-patah tulangnya dan pinggulnya yang tipis tak berdaging itu nyeri bukan main. Dia melangkah menjauh dengan terpincang, pincang, untuk sementara tidak maupu menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja marah sekali melihat si muka kuning toboh. Mereka, menyerang semakin nekat dan kini mereka bukan hanya ingin menghajar, bahkan kalau perlu membunuh karena serangan-serangan mereka kini merupakan serangan maut yang dapat mematikan lawan. Melihat ini, Hui Hong juga tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ketika si perut gendut menerjang dari samping. ia mundur dua langkah dan ketika tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong mencuat dan ujung sepatunya memasuki perut yang bergajih itu dengan kerasnya.
"Ngekk ...!" Tubuh gendut itu terjengkang dan terbanting keras sampai bergulingan.
Si gendut berteriak-teriak kesakitan dan seperti juga sutenya tadi, dia merangkak dan dengan susah payah mencoba bangkit sambil menekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas.
Orang pertama yang selain marah juga terkejut melihat akibat perkelahian ini. mencabut goloknya yang terselip di punggung, lalu menyerang Hui Hong dengan bacokan-bacokan goloknya. Terdengar suara berdesing-desing ketika golok yang lebar dan tajam itu membelah udara kosong karena tidak pernah dapat menyentuh sasarannya.
Hui Hong menjadi marah. Mungkin saja tiga orang ini bukan orang-orang yang suka berbuat jahat, akan tetapi sudah jelas bahwa mereka, terutama si kumis tebal ini mempunyai hati yang kejam. Buktinya mereka mengeroyok seorang lawan wanita, bahkan melakukan serangan untuk mematikan, pada hal sebab perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan segan menggunakan golok menyerang lawan yang tidak bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok itu menyambar, Hui Hong membiarkan golok itu lewat dengan sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menotok pergelangan tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu terlepas dan ia sudah merampasnya! Pada detik yang lain, Hui Hong sudah menggerakkan lagi tangan kirinya, sekarang ke arah muka si kumis tebal. Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat dan si kumis tebal mengeluarkan pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan. Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan berdarah karena kumisnya telah dicabut oleh tangan Hui Hong. Kini kumis yang tebal itu tinggal sebelah saja, dan kulit di bagian kumis yang dijebol itu terluka berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua tangannya menekuk golok rampasan itu sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua potong. Ia melemparkannya ke atas tanah sambil tersenyum mengejek.
"Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, ekan tetapi juga penasaran dan marah. Peristiwa yang amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka alami selama hidup.
"Kau ... kau ... kalau memang gagah, tunggu saja ... kami mengundang twa-suheng dan jisuheng ...
" kata si kumis dengan suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya. Kamudian mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya,
"Hui Hong, kenapa engkau bermain-main dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
"Enci, orang-orang sombong itu memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang, akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri.
"Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!"
"Masa bodoh, biar mereka mencari kita kalau memang sudah bosan hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui ayah kandungnya, Hui Hong tidak dapat membantah lagi dan ia pun mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ melanjutkan perjalanan.
Belum jauh mereka pergi, mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Setelah beberapa ekor kuda itu datang dekat, Hui Hong dan Si Ni minggir dan menanti untuk membiarkan mereka lewat. Akan tetapi, segera mereka melihat bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang penunggangnya. Tiga di antara mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong. Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang tinggi besar bermuka hitam dan yang ke dua, tegap dan berwajah tampan yang lelalu tersenyum memikat. Wajah seorang penaluk wanita! Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah sudah Ki ciu Ngo-houw, lima harimau yang mengaku berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan rumput di tepi jalan, lima orang itu menghadapi Hui Hong yang tersenyum mengejek.
"Mau apa kalian datang mengejar kami? Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelehnya sehingga wajahnya yang tidak berkumis itu kini nampak lucu. Akan tetapi yang menjawab pertanyaan Hui Hong bukan dia melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah dua orang wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah menghajar tiga orang suteku? Bagus, ternyata engkau selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan menjadi pasanganku yang cocok sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja. kalau perlu bunuh untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan Hui Hong dan menariknya ke belakang sambil berkata, suaranya lirih mendesis seperti desis seekor ular cobra yang marah.
"Mundurlah, Hui Hong. Sekarang giliranku!"
Hui Hong mundur karena ia sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu. Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Kini, Bwe Si Ni yang berdiri menghadapi lima orang itu. Ia sudah tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu nampak anggun dan dingin angkuh, seperti sikap seorang putri menghadapi para abdi yang siap menaati semua perintahnya. Agaknya wanita ini ingin menyesuaikan sikapnya dengan julukannya. Julukannya adalah Dewi Kwan Im, seorang dewi yang dipuja orang karena terkenal sebagai Dewi Welas Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang gendut dan yang tadi perutnya menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong.
"Sejak semula bertemu di rumah makan, aku sudah jatuh cinta padanya!"
"Singgg ... crattt ...!" Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua alis matanya tertntuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya.
Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut satengah mati. Terutama orang ketiga dan kelima yang selalu bertiga dengan si gendut, merasa terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat kakak pertama dan ke dua mereka, membuat hati mereka bertambah berani. Dengan teriakan-teriakan marah, keduanya sudah mencabut golok masing-masing dan menerjang ke arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis, melainkan nampak tangan kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang menyilaukan mata ke arah dua orang penyerangnya dan merekapun menjerit dan terjengkang roboh dengan golok masih di tangan. Kiranya sebelum golok mereka mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan secepat kilat menyambar dan menusuk dada kedua orang itu tanpa mereka mampu mengelak atau menangkis lagi. Mereka roboh dan berkelojotan di dekat tubuh si gendut yang kini sudah tidak bergerak lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang tampan itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Di samping kemarahan yang hebat, merekapun terkejut dan gentar karena sebagai ahli-ahli silat pandai merekapun dapat mengenal orang yang memiliki kesaktian, yang kiranya tidak mungkin dapat mereka lawan. Cara wanita cantik itu membunuh tiga orang sute mereka sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu, membuat mereka mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Merrka mulai mengamati Si Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan rambut berupa teratai di sanggul rambut yang tinggi itu, mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona ... nona ... Kwan Im Sianli ... ?" tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat dengus lirih dari hidungnya,
"Huh, kalau sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah Kwan-im sianli, datuk besar golongan sesat yeng amal ditakuti, mereka seperti mati kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap kurang hormat." kata si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena belum pernah berjumpa, hari ini kami telah berlaku kurang hormat. Mohon Sian-li sudi memberi ampun kepada kami berdua." kata pula yang tampan dan kini dia sudah kehilangan gayanya sebagai pemikat hati wanita, bersikap sedemikian rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat kalian bunuh diri, atau menanti aku yang membunuh kalian?" suara Si Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejeman orang-orang dunia sesat, merasa ngeri. Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh merupakan Iblis betina yang amat kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-tiba mereka sudah mencabut golok dan menyerang dengan gerakan dahsyat, dengan serangan yang mematikan. Si tinggi besar menyerangkan goloknya ke arah leher Si Ni sedangkan adik seperguruannya membabatkan golok ke arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya berkelebat ke atas kepala mereka. Keduanya cepat membalikkan tubuh karena maklum, bahwa wanita itu tadi meloncati kepala mereka dan berada di belakang. Akan tetapi mereka kalah cepat. Baru saja memutar tubuh, dua kali sinar berkilauan menyambar dan keduanya roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat sebatang pedang yang tadi dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni! Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang biasanya merajalela di daerah itu, mati konyol di tangan seorang datuk wanita tanpa dapat melawan sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa terlalu melelahkan diri. Ketika matahari sudah naik tinggi, udara panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan, mereka berdua menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar dan membiarkan dua ekor kuda itu mengaso dan makan rumput. Dua ekor kuda itu nampak senang sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang tumbuh di tepi sungai. Dun orang wanita itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw? Kesalahan mereka tidak terlalu besar, hanya bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak dibunuh. Semua laki-laki, terutama yang tidak menghargai wanita, harus dibunuh!" jawab Si Ni dan dari suaranya dapat diketahui bahwa ia memang bersungguh-sungguh dan nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat membenci pria!"
"Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!"
"Ehh? Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu ... mereka juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki ...
"
"Aku tidak mempunyai semua itu! Aku selamanya tidak pernah bersuami, dan semua ini kulakukan karena kekejaman pria!"
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali dan hatinya amat tertarik. Agaknya wanita cantik ini pernah mengalami hal-hal yang amat mengecewakan atau mendukakan hatinya, akibat ulah seorang pria, maka sampai sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria, bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda, enci, masih banyak harapan untuk kelak bertemu dengan seorang pria yang cocok untuk menjadi suamimu ...
"
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau terpaksa aku akan menyerangmu!"
Hui Hong menghela napas panjang.
"Enci, aku pernah mendengar namamu disebut oleh ayah ... maksudku, oleh Bueng-kiam Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai, dan menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li adalah seorang wanita tua. Akan tetapi, sekarang aku bertemu engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi engkau masih muda ...
"
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, siapa bilang aku masih muda? Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku sudah mendekati setengah abad, bagaimana bisa dibilang muda?"
Hui Hong terbelalak,
"Setengah abad? Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau nampak berusia tiga puluhan tahun lebih sedikit!"
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang selalu amat memperhatikan riasan dan dandanannya, maka tentu saja ia merasa senang mendengar pujian bahwa ia awet muda, apalagi pujian itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan, Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui Hong berseru, terkejut dan juga kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan sebut enci (kakak) kepadaku, melainkan bibi." Bwe Si Ni tersenyum. Baru sekarang Hui Hong melihat senyum yang bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu. Manis sekali. Ia merasa yakin bahwa ketika mudanya, wanita ini amatlah cantiknya.
"Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan keberanianku bertanya karena aku merasa amat tertarik dan ingin tahu sekali, bibi. Bibi adalah seorang wanita yang selain pandai, juga teramat cantik. Kalau wanita biasa yang bodoh dan tidak cantik saja mendapatkan jodoh, kenapa bibi tidak pernah menikah? Maafkan pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan itu, tentu sudah kubunuh seketika. Akan tetapi engkau justeru merupakan satu-satunya orang yang harus mengetahui riwayatku. Nah, aku menjadi pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu merenung dan beberapa kali menarik napas panjang seolah undangan semua kenangan lama itu mendatangkan pula kedukaan yang mendalam di hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri, pikirnya. Kalau dayang, kenapa sekarang dandanan pakaian dan rambutnya seperti seorang puteri saja? Akan tetapi tentu saja ia diam dan tidak berkata apa-apa, hanya menanti wanita itu melanjutkan ceritanya yang tentu akan menarik sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria dan kami saling mencinta. Akan tetapi, laki-laki itu seorang yang mata keranjang. Bukan aku saja yang menjadi kekasihnya, melainkan banyak! Dan akhirnya dia meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya.
"Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!"
Si Ni menggeleng kepalanya dan wajahnya nampak muram, sedih,
"Ada dua hal yang membuat hal itu tidak mungkin kulakukan, Hui Hong. Pertama, aku ... aku masih mencintanya dan aku mengharapkan dapat menghabiskan sisa hidupku di samping orang yang selamanya kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh ...!" Hui Hong terkejut, dan kagum pula. Ia merasa kasihan kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar engkau menanyakan ayah kandungmu, aku yang mengetahui di mana dia, segera menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat bertemu dengan ayahmu. Akan tetapi, aku mempunyai syarat, yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan ayahmu, aku ingin minta bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi? Kalau memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria yang kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan aku hidup di sampingnya, melayaninya, merawatnya. Kemudian, kalau dia berkeras menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku minta engkau membantuku untuk mengalahkan dan membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar. Permintaan itu cukup pantas dan kalau pria yang tidak setia itu benar-benar menolak dan mengandalkan kepandaiannya untuk merusak kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah selayaknya kalau dibasmi.
"Baik, bibi, aku berjanji untuk membantumu melakukan dua hal itu."
Wajah wanita itu berseri.
"Engkau ... engkau tidak akan melanggar janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut.
"Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil aku dididik oleh Ouwyang Sek, namun Ibuku selalu menanamkan watak bertanggung jawab, adil dan dapat dipercaya. Kalau aku sudah berjanji, pasti akan kupenuhi, dan kalau perlu mempertaruhkan nyawaku. Aku Juga mempunyai kebanggaan dan harga diri, bibi. Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah membuat bibi merana selama puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia memang pantas untuk dihukum!"
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong, membuat gadis ini termangu dan terheran. Sungguh sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya dingin dan kaku, seperti mayat hidup. Dan kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih ...
" bisiknya. Memang wanita ini merasa gembira bukan main. Ia sudah berhasil membuat puteri kekasihnya berjanji untuk membujuk ayah gadis itu sendiri untuk menerimanya, dan kalau perlu membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Akulah yang harus berterima kasih sebelumnya bahwa bibi mau mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu berhasil membujuk pria pujaan hati bibi itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah pegunungan yang memiliki banyak bukit dan puncak yang tinggi. Sikap kedua orang wanita itu memang tidaklah aneh. Setiap orang manusia di dunia ini, seperti juga mereka berdua, selalu bertindak atau berbuat menurut pikiran masing-masing. Dan hati akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri pribadi, mementingkan kesenangan diri sendiri. Memang beginilah ulah nafsu dan dalam hati akal pikiran kita semua sudah bergelimang nafsu yang memang disertakan kepada kita sebagai peserta yang membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan ini. Akan tetapi, karena sejak kecil kita membiarkan nafsu makin lama semakin berkuasa dan merajalela, sehingga akhirnya mencengkeram dan menguasai hati akal pikiran sepenuhnya, maka kehidupan ini sepenuhnya dikemudikan nafsu. Nafsu membentuk aku yang ingin menang, ingin senang sendiri. Karena itu, muncullah segala macam kemunafikan, yaitu yang pada luarnya nampak baik, namun sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu yang berpamrih berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan imbalan yang menyenangkan.
Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik. Kalau sudah terjadi benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan kepentingan, atau lebih tepat lagi benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan, kebencian dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu atau si aku yang ingin menang sendiri.
Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing masing. Mereka seolah saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri, Si Ni hendak mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong menolongnya membujuk ayah gadis itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya mengeroyoknya. Di lain fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya, menemukan dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling mempergunakan dan saling memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau kesenangan kita! Terhadap keluarga, terhadap teman, masyarakat, negara dan bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi merenungkan apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa yang dapat kita lakukan demi kebaikan mereka? Pernahkah? Demi kebaikan mereka, sepenuhnya, bukan hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh perbuatan atau hasil perbuatan itu?
Hujan turun dengan lebatnya, dan air yang segar sejuk itu disambut dengan penuh syukur dan terima kasih oleh pohon-pohon dengan daun-daunnya di pegunungan itu. Tanah yang bercampur batu kapar juga menyambut dengan bahagia. Seluruh permukaan bumi yang disiram air hujan setelah selama beberapa hari kekeringan, berpesta pora dengan bahagianya sehingga membubunglah segala hawa kotor ke angkasa, dan bumi kembali segar dan bersih. Tanah menguap, bau tanah tersebar di mana-mana. Daun-daun menari-nari tertimpa tetesan hujan, nampak berkilauan hijau segar.
Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah permukaan, menyambut air dengan gembira dan sibuk. Namun, dua orang wanita itu bergegas memasuki sebuah guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki guha, Ling Ay cepat membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus pakaian di lantai dan mempersilakan gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai guha bertilamkan kain kuning itu.
Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis! Muridnya, Ling Ay, memandang saja dengan terbelalak. Selama tiga tahun ia menjadi murid wanita cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan penjahat. Juga gurunya telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia menyayang, menghormat dan amat patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau gurunya bertindak keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya. Sudah sering kali ia melihat gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda mereka. Gurunya dapat membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas nampak betapa kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi!"
Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu cepat-cepat menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis?"
Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala.
Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga seorang wanita cantik, akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadijJanda tanpa anak, usianya baru dua puluh empat tahun. Akan tetapi subonya pernah mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah abad. Akan tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun menyangkal bahwa mereka itu seperti enci adik.
Dari senyum, merekahlah tawa kecil.
"Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong, saat ini engkau pasti merana, berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu merasakan hukumanmu, hi-hik."
"Subo. mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudah menderita karena buta itu. Hati teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia, seorang pria setengah tua yang buta, hidup terasing seorang diri di pegunungan sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin membunuhnya. Aih, subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"
"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, tentang hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam hatiku."
"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo. Ingatlah, subo, teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu juga pernah merasakan bagaimana hancurnya hati yang menderita karena kasih tak sampai,"
"Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang bernama ... eh, siapa lagi namanya?"
"Kwa Bun Houw ... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."
Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar.
"Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau dilatih? Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak. Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw itu, apakah engkau tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup di sampingnya?"
"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu bahwa teecu tidak pantas untuk menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah menjadi isteri orang. Teecu hanya seorang janda yang pemah menyakiti hatinya, dan dia seorang pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan dia?" Suara Ling Ay mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda, dan Bun Houw entah berada di mana. Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu dengan Bun Houw, apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya.
Kwan Hwe Li menghela napas panjang.
"Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita memang tidak jauh berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang aku masih mencintanya dan satu-satunya keinginanku adalah sama dengan yang diinginkan Kwan-im sian-li, yaitu ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar sendiri penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. Aku tidak ingin mendengar dia manolak ajakanku, maka akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im Sianli akan mengajaknya mati bersama!"
Ling Ay menggeleng-geleng kepala.
"Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli. Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan kalau dia menolak akan diajak mati bersama? Apakah dua orang tidk bisa hidup dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling mencinta? Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman hidup, dan teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan dapat hidup berbahagia selamanya."
Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli.
"Heh-keh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!"
"Ehhh? Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?"
"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau mendoakan dia hidup berbahagia dengan wanita lain. Bukankah itu munafik?"
"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan terapi, kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan memaksanya atau menyalahkannya, apalagi membencinya. Dia berada di samping teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat dia hidup berbahagia."
"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping wanita lain, engkau akan merasa betapa hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan penuh iba diri. Tidakkah begitu? Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya perasaan hati dengan perbuatan,"
"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup berbabagia dengan wanita lain. melihat dia bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam hati, akan menangis penuh iba diri. Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan? Di samping itu. teecu akan selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak memenuhi keinginan hati. Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang, keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan keinginan yang bagaimana yang harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua dengan teecu, keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-keinginan yang harus teecu kekang."
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 15
"Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah! Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kaualami. Engkau menurut saja dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai, engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang orang tuamu. Kemudian, engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kaucinta. Kalau yang pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian engkau mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau bertemu dengan bekas tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid yang begini lemah!"
Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut.
Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal sekali. Ia belum dapat membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu kepadanya, dan sekarang ia malah membuat gurunya kecewa dan marah. Ia segera berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.
"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan? Teecu tetap mentaati semua perintah subo."
Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak, muridnya. Ia menyayang Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi sahabat baiknya, menjadi pelayannya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang sekali kepada murid yang juga amat berbakat ini.
"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati, bukan? Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus bertindak sesuai dengan perasaan kita. Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan menghancurkannya kalau dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw. Engkau dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya kalau sekarang engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi isterinya. Bukankah itu harapan dan idaman hatimu?"
"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."
"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau belum menjadi muridku. Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus menerimamu kembali dan engkau akan menjadi isterinya, hidup berbahagia, dan akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. Kalau dia menolak dan memilih wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita cinta terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!"
"Tapi, subo ...
" Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal dan tidak berani membantah lagi atau menolak,
"bagaimana teecu akan dapat mencari dan menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king. Sejak terjadinya keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan baru itu menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah pulih kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga bangsawan yang menjadi kerabatku."
Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya mengenai sikapnya terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal ini tidak disangkalnya. Ia memang mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. Akan tetapi andaikata Bun Houw menolak, bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya? Bun Houw telah berbuat banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya itu. Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan menolaknya sekalipun? Akan tetapi ia tidak berani membantah, dan girang mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king. Setidaknya, urusan baru di Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam saja. tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.
Guru dan murid itu berhenti di persimpangan jalan.
"Suhu," kata Bun Houw,
"biarlah teecu mengantar suhu kembali dulu ke Hwa-san, sebelum teecu mulai mencari adik Tiauw Hui Hong sampai dapat. Teecu berjanji akan mengajak puteri suhu itu menghadap suhu."
Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan tahun itu masih nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah, walaupun dia nampak lemah dengan kebutaannya,
"Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san dan sebaiknya kalau engkau sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kauceritakan semuanya tentang dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan. Aih, ulah nafsu selalu mendatangkan akibat yang menyedihkan."
Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil keputusan tidak akan mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada suhunya. Biarpun suhunya tidak mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia tahu benar betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang pernah dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri. Akan tetapi suhunya tidak pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki sejati!
"Baiklab, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."
"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Perubahan ini hanya merupakan perebutan kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap masih keluarga sendiri. Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di Nan-king karena kita di selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba Tartar. Memang tidak perlu engkau memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam bangsat Tartar, sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. Nah, tugas yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di sana. Kuberi waktu dua tahun kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah dua tahun, bertemu Hui Hong atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan tentang semua hasil usahamu."
"Baik, suhu."
Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun On melanjutkan perjalanan dengan langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya terasa ringan.
"Pouw Cu Lan, yang dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar bahwa wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah meninggal dunia. Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari penyiksaan diri berkorban demi puteri mereka. Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong, dalam keadaan selamat dan sehat. Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut keterangan mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk mencarinya bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak masih muda. Kwan Im sianli Bwe Si Ni! Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu? Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli tentu bermaksud untuk membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan telah membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya berada dalam bahaya!
Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati tenang kalau Hui Hong belum ditemukan? Dan biarpun dia yakin akan kemampuan muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak tahu ke mana harus mencari Hui Hong! Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja. Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan arah yang dituju Bun Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.
Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw melanjutkan perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk menyewa perahu. Dengan perahu melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan, karena perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk mendayung, hanya mengemudikannya saja.
Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat menyewakan perahu kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king yang akan makan waktu berhari-hari. Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak mampu. Emas permata yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh Suma Koan dan puteranya. Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk bekal dalam perjalanan. Juga pemberian gurunya.
Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana tujuan perahu itu berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu yang melakukan pelayaran ke timur.
Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang ditumpangi Bun Houw berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di situ merupakan pusat perdagangan yang menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang mendirikan toko, rumah makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah dan kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang dagangan mereka.
Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi pemilik perahu mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari baru dapat berangkat. Karena perahu itu merupakau perahu pertama yang akan berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun mencari kamar di rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.
Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota Kui-cu karena penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang-banya banyak tamu pedagang yang berjual-beli di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu dengan membuka bermacam tempat hiburan. Para pedagang itu mempunyai banyak uang, apalagi di tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan dan mereka itu. segera nencari hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. Tempat-tempat pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.
Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik oleh bau sedap masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang sudah berada di situ dan Bun Houw bingung juga memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar itu. Tidak ada meja kosong, akan tetapi di sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.
"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar," katanya.
Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun memandangnya, lalu pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu.
"Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."
Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi mejanya dengan tamu lain yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu.
"Terima kasih atas kebaikanmu, sobat." katanya.
"Ah, tidak, mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!" kata orang itu dengan ramah. Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja sehingga mau tidak mau mereka saling pandang.
Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu lebih condong tubuh wanita yang termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya cerdik, senyumnya manis. Akan tetapi wajah itu adalah wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan anggun.
Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-raya. Walaupun pakaiannya cukup baik, akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam rumah makan dengan menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia tidak melihat sesuatu yeng mencurigakan pada pemuda ini,
"Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil lalu saja.
"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan dirinya.
Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karera memang dia telah memesan sebelum Bun Houw masuk. Dia memesan nasi dengan dua macam sayur dan daging, juga air teh. Tidak memesan arak. hal ini mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga biasanya orang akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur yang di sukainya.
"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya tanpa menyentuh masakan di depannya. Pemuda itu mengangguk, kemudian makan, cara dia makanpun sopan dan dengan hati-hati menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa mengeluarkan suara, bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan perlahan-lahan, sopan sekali. Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, dengan mata melotot memandang ke arah makanannya, kemudian mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi seperti seekor babi sedang makan.
Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan mengangguk tanpa bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw makan pula dan tentu saja dia makan lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada biasanya!"
Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar. Mula-mula kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di antara mereka berdiri di depan pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu menolak masuknya tamu-tamu baru dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! Adapun tiga orang lainnya, dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang memaksa pemilik rumah makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para tamu untuk menyerahkan uang mereka!
Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah, seorang diantara mereka yang mukanya hitam membentak.
"Hayo serahkan uang kalian kepada kami. Kalau ada yang membantah, kepalanya akan kubikin seperti ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.
"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berentakan. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan mengamangkan golok, mereka menjadi semakin ketakutan. SI pemilik rumah makan terpaksa membiarkan semua uang pendapat di laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua orang lain mulai menguras isi saku para tamu. Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk menolak dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya dan beberapa buah giginya rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah. Ketika si muka hitam menghampiri meja di mana Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda itu sedikitpun tidak nampak khawatir. Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada uang bekalnya sendiri. Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali kepada lima orang yang berani melakukan perampokan di siang hari di tempat umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di rumah makan, tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu mengganti kerugian. Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu mengamuk, dia khawatir ada tamu yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka, dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang bekalnya dan meletakkannya di atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang pemuda itu dari atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang sudah ahli dalam pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ, mereka pergi dan si muka hitam yang menjadi pimpinan meninggalkan ancaman.
"Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!" Goloknya berkelebat dan sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi pucat dan mereka berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw cepat menghampiri pemilik rumah makan.
"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali semua uang yang dirampok!" Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan pengejaran.
Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan bertubuh kuat. Dan mereka itu menyediakan pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima belas orang itu sedang duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!"
"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.
Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi.
"Penuh uang, cukup untuk kita pesta beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak gembira.
Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar dan menghampiri mereka.
Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh orang itu memandang heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw sebagai seorang di antara para korban di rumah makan. Si muka hitam sudah meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang tingginya hanya sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang tinggi besar.
"Mau apa kau? Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi? Sudah kukatakan, siapapun tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani mengejar kami ke sini? Mau apa kau?"
"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang,
"hanya ingin minta kembali semua uang yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan kepada pemilik masing-masing."
Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw dengan mata terbelalak. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang pemuda seperti itu berani bicara demikian kepada mereka! Sungpuh sukar untuk dipercaya. Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua puluh orang itu tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar terpaksa memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat perutnya sakit dan terguncang keras.
"Heii, booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi.
"Kalau sekarang engkau berlaku begini, kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah menyerahkan pula uangmu tanpa melawan sedikitpun?"
"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di sinilah kita membuat perhitungan."
"Ha-ha-ha-ha!" Si muka hitam tertawa bergelak.
"Kalau kami tidak mau mengembalikan uang itu, habis engkau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan uutuk merampasnya kembali dari tangan kalian." kata Bun Houw tenang dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu.
Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu bicara seperti itu. Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang mata mereka mulai marah, tak seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan hanya menanti perintah. Dia ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka hitam itu pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.
Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata,
"Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar kubereskan pemuda nekat ini!"
Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti suara perempuan, akan tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak.
"Tunggu! Pemuda ini sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah bersama menghadapinya!"
Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan, tersenyum masam. Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu, apalagi pemuda itu tidak memegang senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu dapat dikatakan senjata! Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan merasa rendah mengeroyoknya? Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang mentaati perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan menghadapi Bun Houw. Cara mereka menghadapi Bun Houw. semua di depannya dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan bahwa mereka memandang rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. Hal ini diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin gerombolan ini adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasan-kekerasan otot mereka, pemimpin mereka itu juga mengandalkan otak.
Di Undang Pendukung Kerajaan Liu Sung
"BOCAH gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas kembali uang itu?" tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.
"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian." kata Bun Houw dengan sikap tenang.
"Haiiiitt, mampuslah kau!" bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan gaya petinju, agaknya dia ingin memukul roboh Bun Houw dengan sekali tonjok. Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali terkena tonjokan ini pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!
Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat menarik kembali kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.
Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang perampok lain terkejut dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju, bahkan orang yang tadi terkena tendangan, untuk menebus malunya, melupakan perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut mengeroyok! Akan tetapi, semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada sepuluh jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan tendangan, akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. Melihat ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah menyerang Bun Houw dan memang dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia memiliki tenaga sinksng sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor burung menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.
Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan yang memukulnya dan sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan terjengkang. Kasihan dia, karena kurus maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba,
"Bunuh dia! Dia! berbahaya bagi kita!"
Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan mengeroyok dengan senjata tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat. Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang membuat semua pengetoyok terkejut. Segera disusul suara berkerontangan di sana-sini. Ke manapun sinar kilat itu menyambar, tentu terdengar suara berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh orang itu, termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang tangan kanan mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut sedikit sisa potongan senjaia mereka. Dua puluh batang senjata tajam telah terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring,
"Kalian semua mundur !" Dua puluh orang itu terkejut dan nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur. Bentakan itu amat berwibawa dan menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun Houw tercengang yaitu pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan. Pemuda yang duduk semeja dengan dia!
Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang matanya kagum.
"Aih sejak pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan seorang pemuda biasa, sobat! Ternyata engkau hebat, pedangmu bergerak seperti kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!"
Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan pula. Dia sudah menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu sudah dapat memberi nama yang amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)! Akan tetapi Bun Houw mengerutkan alisnya. Pemuda yang ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan perampok ini! Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.
"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik.
"Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan perampok ini? Engkau tadi hanya berpura pura?"
Pemuda itu tersenyum,
"Ha, apa bedanya denganmu, sobat? Engkau tadipun berpura-pura, menyerahkan uangmu kepada mereka. Kiranya engkau membayangi mereka dan menghajar mereka di sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba kau tandingi Si Pedang Kilat ini!"
"Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali. Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.
"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan mentaati perintah kongcu, aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"
Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun ingin tahu sampai di mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati dan disebut tuan muda itu telah mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan memperlihatkan kepandaiannya.
"Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw semakin penasaran, Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan perampok? Ayah kandungnya sendiri, mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.
Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu mengeluarkan suara tertahan dan pandang matanya terbelalak,
"Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.
"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!" kata Bun Houw menyindir.
"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti engkau bicara dengan Kongcu." kata orang itu.
"Lihat serangan!" dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat. Melihat gerakannya, tahulah Bun Houw bahwa lawannya menggunakan ilmu Lo-han kun (Silat Kakek Gagah), satu di antara llmu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini, maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan ilmu yang sama, maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!
"Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-pai, dia masih kalah jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandingi tingkat lawan ini! Kalau dia bertahan dengan jurus-jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari Tiauw Sun Ong!
"Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan dirinya dan terhuyung ke belakang.
"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci ...?" Orang itu berseru kaget dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin memperlihatkan kepandaiannya, maklum bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu mengimbangi it-sin-ci, walaupun agak terhuyung.
"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?" Dan kini Bun Houw memainkan jurus-jurus rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melawan ilmu aneh itu. Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum sampai sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat meloncat bangun dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi? Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda, aku mengaku kalah."
Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan senyumnya cerah, dia nampak girang sekali.
"Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat mengalahkan Paman Pouw. Bukan main! Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari ikut ke tempat kami."
Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa mempunyai anak buah yang melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu. Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu, menuntun tiga ekor kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian dengannya. Dua puluh orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.
Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga tiba di pekarangan sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya, akan tetapi cukup besar dan pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang itu. Mereka memberi hormat kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.
"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."
Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di belakangnya. Mereka memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar nampak bercahaya itu, di sebelah dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! Dan begitu memasuki ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas sampai dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong pemuda itu dengan sikap mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi, kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap yang alim dan pendiam ketika mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain yang asing bagi mereka. Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima untuk masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang untuk dia dan tamunya. Sambil tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki rumah bagian dalam, dan pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu yang berada di bagian kiri.
Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah dan enak diduduki, juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-tulisan dengan huruf indah dan beberapa buah lukisan alam. Jendela-jendelanya terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman sekali.
"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang telah dikatakannya tadi, kami suka sekali berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu merupakan kebahagiaan besar bagi kami. Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa kedudukanmu?"
"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun.
"
Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihaian semakin gembira mendengar keterangan singkat Bun Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai kedudukan dan tidak terikat aliran apapun. Akan tetapi orang yang nama lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya,
"Maaf, Kwa-enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?"
Bun Houw menggelengkan kepalanya,
"Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-pai, dan ketika masih kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu dari mendiang ayahku. Akan tetapi aku bukan murid langsung dari Siauw-li m-pai."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.
"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."
Pouw Cin terbelalak girang.
"Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa, seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah, ... usianya sebaya denganku, belum tua benar."
"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang menbalas dendam kepada ayah." kata Bun Houw singkat.
"Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia menatap wajah Siauw Tek dengan pandang mata tajam.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan perampok. Engkau tadi sudah mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu. Apakah orang seperti dia ini pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala perampok?"
"Akan tetapi di rumah makan tadi ...
"
"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek.
"Sebaiknya aku menyebutmu toako saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan anak buah kami melakukan perampokan secara menyolok."
"Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok, Hemm ... Kongcu, harap jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang biasa.
"Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?"
"Kami adalah pejuang!"
"Ehh? Pejuang? Berjuang untuk apa?"
"Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil mengepal tinju dan tiba-tiba saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.
"Ehh? Aku ... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya perjuangan dengan perampokan? Siapa pula pemberontak dan pengkhianat itu?"
Siauw Tek menghela napas panjang.
"Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh anak buah kami melakukan perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama untuk menarik perhatian para pendekar dan orang gagah agar dapat berhadapan dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk mengenai keamanan terhadap pemerintah pemberontak."
"Pemerintah pemberontak?"
"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah mengkhianati dan menggulingkan kerajaan yang sah? Pemerintah yang sah adalah kerajaan Liu-sung!"
Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung.
"Akan tetapi ... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu ... eh, aku sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu. Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang. anti kerajaan Chi yang baru dan menentangr pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"
"Tentu saja! Kami ...
"
Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu.
"Kwa-enghiong, harap jangan salah paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku akan. mengajakmu untuk melihat-lihat keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan mengumpulkan orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan kami, nanti engkau tentu akan mengerti."
"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami, dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami gerombolan penjahat. Nah, sekarang kupersilakan engkau untuk makan siang bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan bersahabat, harap engkau tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kaulihat apakah sudah siap makan siang di dalam."
Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan tamu itu, membawa suguhan anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan ketika meminum anggur itu, diam-diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap dan halus sekali. Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan siang telah siap.
Biarpun merasa sungkan, Bun Houw tidak menolak. Dia merasa semakin tertarik dan ingin sekali mengenal tuan rumah lebih dekat. Banyak rahasia menyelubungi tuan rumah dan dia tentu selamanya akan merasa menyesal dan penasaran kalau tidak dapat mengetahui dengan benar siapa sebenarnya Siauw Tek ini dan apa maunya.
Ruangan makan itu lebih mewah daripada ruangan tamu. Meja yang terukir indah penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap yang sedap. Kursi-kursinya juga berukir dan Siauw Tek duduk di kepala meja. Pouw Cin duduk di sebelah kanannya, dan Bun Houw dipersilakan duduk di sebelah kirinya. Lima orang wanita muda yang cantik jelita dan yang tadi menyambut kedatangan mereka, juga berada di situ dengan sikap yang genit dan ramah, penuh senyum manis dan kerling memikat. Mereka berlima inilah yang melayani Siauw Tek makan minum, dan atas isarat Siauw Tek dua orang di antara mereka kini melayani Bun Houw, menuangkan arak, mengambilkan dan menambahkan lauk pada mangkok Bun Houw, Pouw Cin tidak dilayani mereka, dan hal ini membuat Bun Houw merasa sungkan bukan main!
Hidangan itu sungguh merupakan hidangan mewah yang lezat, yang belum pernah dimakan oleh Bun Houw, tentu amat mahal harganya. Seperti makanan yang dihidangkan kepada raja-raja. Tiba-tiba Bun Houw tertegun dan jantungnya berdebar. Apa hubungan Siauw Tek ini dengan raja? Dengan kaisar ? Seorang pangerankah dia? Ah, sekarang dia dapat menduga. Siauw Tek tentulah seorang pangeran atau setidaknya seorang bangsawan tinggi dari kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan dia bercita-cita untuk merampas kembali tahta kerajaan dari pemerintah atau kerajaan Chi yang baru. Dan Pouw Cin tentu juga seorang yang setia kepada kerajaan Liu-sung yang telah jatuh.
Selagi mereka makan minum, tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring seorang-wanita dari luar pintu ruangan itu.
"Aihh sedapnya! Ada pesta apa sih? Kenapa koko (kakanda) tidak memberi tahu apa-apa? Kenapa aku ditinggal, tidak diajak ikut pesta? Tidak lucu, ah!" Dan muncullah orangnya di ambang pintu.
Bun Houw yang duduknya tepat menghadap pintu itu, memandang dan terpesona. Gadis itu bukan main! Lima orang wanita yang melayani mereka makan juga cantik jelita, akan tetapi dibandingkan dengan gadis yang kini berdiri di ambang pintu, sungguh nampak sekali perbedaannya. Kalau lima orang wanita itu hanya cantik dan lembut, namun gadis yang kini berdiri di depan pintu itu masih amat muda, dan memiliki kesegaran yang tidak dimiliki wanita lain. Begitu segar, bebas dan gagah perkasa! Pakaiannya ringkas, serba hitam, tidak mewah namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang ramping padat. Wajahnya manis sekali, dengan rambut digelung ke atas, diikat saputangan kuning dan agak awut-awutan. mungkin baru pulang dari perjalanan sehingga pakaian itu agak berdebu dan rambut itu diusik angin. Tangan kirinya masih memegang sebatang cambuk kuda dari kulit, dan sikapnya begitu anggun, begitu gagah berwibawa, bahkan sedikit angkuh. Ia tidak pemalu seperti gadis lain, bahkan pandang matanya langsung menatap wajah Bun Houw dan pemuda inilah yang akhirnya menundukkan pandang matanya, seolah silau oleh sinar mata yang mencorong itu, atau setidaknya khawatir kalau disangka tidak tahu susila.
Sepasang alis Siauw Tek berkerut ketika dia melihat gadis itu, akan tetapi dia tersenyum.
"Aha, kebetulan engkau pulang, siauw-moi! Pesta ini diadakan secara mendadak, jadi tidak keburu memberitahu engkau yang sejak pagi sudah pergi. Hayo, ikutlah makan dan kenalkan, tamu kehormatan kita ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat hebat sekali. Namanya Kwa Bun Houw dan kujuluki dia Si Pedang Kilat!" Siauw Tek bangkit dan menarik tangan adiknya yang sudah mendekat, lalu memperkenalkannya kepada Bun Houw,
"Kwa-toako, ini adalah adikku yang bengal dan manja, namanya Kiok Lan."
Bun Houw cepat bangkit dan memberi hormat kepada gadis yang lincah itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Akan tetapi, gadis itu agaknya tidak perduli akan segala upacara perkenalan itu, lalu bertanya kepada Pouw Cin,
"Paman Pouw, benarkah, kepandaiannya hebat? Bagaimana kalau dibanding dengan kepandaian paman?"
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dam hampir saja dia tersedak. Dia minum araknya, lalu menjawab,
"Kepandaian Kwa-enghiong jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat saya. Siocia (nona)."
"Aih, kalau begitu hebat! Aku harus belajar silat darimu, Kwa-enghiong!" seru gadis itu dan tanpa banyak ribut lagi iapun mengambil tempat duduk di sebelah Bun Houw.
Pemuda ini merasa seperti ada bunga mawar setaman mendekatinya, membuat jantungnya berdebar. Padahal, ketika dua orang pelayan cantik tadi melayaninya, demikian dekat bahkan disengaja atau tidak beberapa kali ujung lengan baju mereka menyentuhnya, dia sama sekali tidak merasa apa-apa, bahkan merasa tidak enak sekali.
Ketika seorang pelayan menghampirinya untuk menuangkan arak, Kiok Lan menolak halus dan berkata, ditujukan kepada Siauw Tek.
"Koko, kurasa Kwa-enghiong dan Paman Pouw tidak perlu dilayani, dapat menuangkan arak dan mengambil lauk sendiri. Kenapa harus dilayani? Sebaiknya koko tidak menyusahkan kelima enci ini. Harap enci sekalian kembali saja ke dalam. Bukankah begitu. Kwa-enghiong dan kau, Paman Pouw?"
Lima orang wanita cantik itu saling pandang dan agak tersipu, akan tetapi Siauw Tek tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau selalu jujur dan kasar, siauw-moi. Baiklah, kalian mengasolah. Nanti saja kalau sudah selesai perintahkan para pelayan membersihkan meja."
Lima orang wanita cantik itu lalu berlari kecil meninggalkan ruangan makan itu.
"Nah, begini lebih leluasa, bukan? Kita dapat bicarakan apa saja, tentu saja kalau Kwa-enghiong ini telah menjadi sahabat yang dapat dipercaya."
Tanpa sungkan lagi Kiok Lan mengambil masakan dengan sumpitnya, dan mulai makan. Sungguh jauh bedanya dalam hal sopan santun antara gadis ini dan kakaknya. Siauw Tek makan dengan sikap yang amat hati-hati dan selalu menjaga kesopananya cara makan seorang bangsawan tinggi yang tidak mau tercela sedikitpun. Sebaliknya, gadis itu makan seperti seorang gadis kang-ouw, makan dengan enaknya tanpa rikuh. Juga ia menuangkan dan minum arak bagaikan minum air saja!
"Apakah engkau membawa kabar penting siauw-moi? Kalau urusan negara, sebaiknya dibicarakan nanti saja denganku. Kalau urusan pribadi, boleh saja dibicarakan sekarang."
"Tidak ada urusan negara. itu kan urusanmu, koko. Dengar baik-baik, bukan hanya engkau yang menemukan Kwa-enghiong ini sebagai seorang pendekar sakti. Akupun membawa seorang tamu, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, koko!"
"Ehh? Siapa dia? Bagaimana engkau bertemu dengan dia dan di mana dia sekarang?" Siauw Tek yang agaknya amat penuh perhatian itu bertanya dan jelaslah bahwa pemuda ini memang ingin sekali berkenalan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Nanti dulu, koko. Biar dia menanti di ruangan tamu. Aku sudah menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Pertemuanku dengan dia menegangkan, koko. Aku dihadang orang-orang jembel menjemukan itu. Akan tetapi ilmu silat para pimpinannya lihai dan aku hampir celaka. Untung tiba-tiba muncul pendekar yang hebat ini sehingga aku tertolong."
Siauw Tek tertarik sekali.
"Siauw-moi. ceritakanlah yang jelas. Apa yang telah terjadi? Jangan sepotong-sepotong membuat kami jadi penasaran sekali." tegur kakaknya.
Gadis itu tertawa, nampaknya puas sekali dapat membuat para pendengarnya tertarik. Kemudian, tanpa menghentikan makan, sambil makan ia bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya pagi hari itu.
Gadis itu memang merupakan adik kandung seayah berlainan ibu dengan Siauw Tek. Sejak kecil, Kiok Lan memang memiliki watak yang lincah jenaka dan pemberani, apalagi karena sejak kecil ia suka berlatih silat sehingga kini, dalam usia tujuh belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang lihai. Banyak sekali gurunya, yaitu para jagoan istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Dan, yang terakhir, Pouw Cin yang lihai juga melatihnya sehingga ia menjadi semakin lihai.
Pagi hari itu, ia berpamit kepada kakaknya untuk pergi berburu ke hutan di Bukit Hijau yang dihuni banyak binatang buruan. Siauw Tek yang mengetahui keberandalan adiknya, tidak dapat melarang, akan tetapi dia percaya penuh akan kelihaian adiknya sehingga berkeliaran seorang diripun takkan ada yang mampu mengganggunya. Adiknya itu tidak akan dapat dikalahkan oleh sepuluh orang pria kasar dan kuat sekalipun!
Dengan bersenjatakan busur kecil dan banyak anak panah, Kiok Lan memasuki hutan di lereng Bukit Hijau. Akan tetapi di tepi hutan itu, ia bertemu dengan tiga orang pengemis yang menghadang perjalanannya. Mereka memandang kepadanya dan ketiganya menyodorkan tangan kanan minta sedekah.
"Nona. tolonglah kami orang-orang miskin dan kelaparan!" kata mereka senada.
Kiok Lan berhenti melangkah dan berdiri di depan mereka, memandang penuh perhatian. Alisnya berkerut dan mulutnya senyum mengejek. Hatinya merasa tak senang sekali. Tiga orang itu adalah laki-laki bertubuh cukup sehat dan kuat, usia mereka antara tiga puluh-sampai empat puluh tahun.
"lhhh, apakah kalian ini tidak malu? Tiga orang laki-laki sehat dan kuat, belum kakek-kakek lagi, menjadi pengemis yang minta-minta? Orang-orang macam kalian ini hanya membikin malu bangsa saja dan tidak layak hidup! Pergilah, aku tidak sudi memberi apapun kepada kalian!"
Berubah sikap tiga orang laki-laki itu. Kalau tadi mereka memasang wajah menyedihkan, dengan suara yang mohon belas kasihan, kini mereka melotot dengan muka berubah kemerahan. Mereka memandang ke kanan kiri, dan kesunyian tempat itu agaknya menambah semangat dan keberanian mereka. Yang termuda di antara mereka, matanya sipit hampir terpejam dan hidungnya pesek, melangkah maju dan tersenyum mengejek.
"Nona manis, kalau engkau tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada kami, berikan saja apa yang kaumiliki. Kecantikanmu, heh-heh-heh, cukup untuk kami bertiga. Bukankah begitu, heh-heh, kawan-kawan?"
"Benar sekali!" kata dua orang kawannya.
Sepasang mata yang indah itu terbelalak, dan muka itu berubah kemerahan.
"Memang kalian tidak patut hidup! Jahanam busuk kalian, anjing kotor!"
"Ha-ha-ha, ia cantik dan galak pula!" kata si mata sipit dan diapun sudah menerjang ke depan untuk meringkus dan memeluk gadis yang dianggapnya amat menggairahkannya itu.
Kiok Lan menyambutnya dengan sebuah tendangan yang ditujukan ke arah perutnya. Orang itu mengenal gerakan silat yang dahsyat, dan agaknya si mata sipit juga ahli silat. maka dia cepat menangkis dengan kedua tangannya yang disabetkan ke bawah, tidak jadi merangkul.
"Dukkk!!" dan akibat tangkisan ini, si mata sipit terjengkang dan terbanting sampai tiga meter jauhnya!
Dua orang temannya menjadi terkejut dan marah. Tahulah mereka mengapa gadis itu berani bersikap kasar dan menghina mereka. Kiranya seorang gadis kang-ouw yang pandai silat! Mereka segera mencabut tongkat besi yang terselip di pinggang, lalu menyerang, sekali ini bukan untuk berbuat mesum, melainkan untuk melukai gadis yang dianggap lawan berbahaya itu, Juga yang terjengkang tadi, setelah mengerang sebentar lalu bangkit, mencabut tongkat besinya dan tiga orang itu kini mengeroyok Kiok Lan! Akan tetapi, segera mereka mendapatkan kenyataan pahit. Mereka telah bertemu batu keras! Biarpun hanya bersenjatakan busurnya, Kiok Lan mampu menghajar tiga orang itu sampai babak belur dan akhirnya mereka bertiga lari tunggang-langgang dengan kepala benjol dan luka-luka kecil yang merobek baju dan kulit.
"Huh, belum bertemu binatang buruan, Bertemu tiga orang yang lebih jahat dari pada binatang!" kata Kiok Lan sambil tersenyum mengejek. Karena mereka merupakan lawan yang lunak saja baginya, Kiok Lan sudah melupakan peristiwa itu dan memasuki hutan. Dalam waktu kurang dari satu jam, ia telah berhasil memanah roboh seekor kijang muda yang gemuk.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 16
"Heh-heh, koko tentu akan senang sekali. Dia paling suka makan daging paha kijang dipanggang!" katanya seorang diri sambil berlari menghampiri kijang yang roboh itu.
Akan tetapi, ia tiba di bawah pohon dekat semak belukar itu, ia mengerutkan alisnya. Kijang itu telah dipanggul seorang yang dikenalnya sebagai si mata sipit tadi, yang tertawa-tawa membawa pergi bangkai kijang itu.
"Hei, berhenti, kau anjing busuk! Kembalikan kijangku!" teriak Kiok Lan dan ia bergerak hendak mengejar. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dari samping. Suara senjata berdesing membuat ia terkejut dan cepat melompat untuk mengelak. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat besi pula. Dan kakek inipun berpakaian pengemis. Selain dia, di situ masih terdapat empat orang pengemis setengah tua lain lagi dan mereka semua memandang kepadanya dengan sikap marah.
"Heii! Kalian ini lima orang pengemis tua, mengapa tiba-tiba saja menyerangku? Aku hendak mengejar pencuri kijangku itu!" bentak Kiok Lan marah.
"Hemm, engkau seorang gadis yang masih, muda sekali, masih remaja akan tetapi sudah memiliki watak yang keras dan kejam. Engkau telah mengandalkan kepandaianmu untuk menghina dan memukuli tiga orang murid kami! Kalau engkau tidak mempunyai apa-apa untuk memberi sedekah kepada mereka sudah saja jangan beri apa-apa. Kenapa engkau tidak mau memberi malah menghina mereka, kemudian memukuli mereka?"
Baru sekarang Kiok Lan tahu bahwa ia berhadapan dengan lima orang jembel-jembel jagoan yang menjadi guru dari para pengemis, kurang ajar tadi dan timbullah kemarahannya.
"Aha, kiranya kalian adalah guru-guru para pengemis busuk yang kurang ajar tadi. Bagus, bagus! Kalau murid-muridnya jahat guru-gurunya tentu lebih jahat lagi! Kalian telah mengajarkan orang-orang yang masih sehat dan kuat untuk mengemis, bahkan untuk bersikap kurang ajar. Kalau kalian mengajar orang-orang untuk mengemis, tentu kalian sendiri juga pengemis-pengemis besar!"
"Hemm, engkau memiliki mata akan tetapi seperti buta. Kami adalah Ngo-liong Sin-kai (Pengemis Sakti Lima Naga), tentu saja pekerjaan kami mengemis. Para murid kami tadi juga adalah anggauta-anggauta Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Besi). Engkau berani mati hendak menentang Tiat-tung Kai-pang?"
"Orang masih sehat dan kuat mengemis, akhirnya tentu menjadi perampok. Kalau tidak diberi sedekah, tentu akan mengandalkan kekuatannya untuk memaksa. Kalian ini orang-orang jahat, pergilah sebelum kuhajar seperti tiga orang pengemis busuk tadi!"
"Bocah ingusan sombong! Makan tongkatku!" bentak pengemis setengah tua yang bertubuh kecil kurus itu. Biarpun dia nampak kecil kurus, akan tetapi ketika tongkat besinya menyambar, terdengar angin pukulan dahsyat sehingga Kiok Lan harus cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Ia tahu bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi Kiok Lan adalah seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Bahkan ia marah sekali dan begitu pukulan tongkat lawan itu luput, iapun langsung membalas dengan serangan pedangnya. Ia telah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri, gadis itu bukan hanya membalas dengan serangan satu kali, melainkan secara bertubi-tubi dan iapun mendesak lawan dengan penuh kemarahan. Akan tetapi pada saat itu, empat-arang pengemis lainnya sudah menerjang dengan tongkat mereka dan ternyata setelah mereka maju berlima, gerakan tongkat mereka menjadi lain. Mereka bergerak bagaikan barisan tongkat saling tunjang dan saling melindungi sehingga dikeroyok barisan tongkat ini, Kiok Lan menjadi bingung dan terdesak. Sebetulnya, tingkat kepandaian lima orang itu, kalau maju seorang demi seorang, masih belum mampu menandingi Kiok Lan. Akan tetapi begitu maju bersama, apalagi mereka memiliki ilmu barisan tongkat yang amat lihai, Kiok Lan menjadi kewalahan dan nyawanya terancam bahaya maut. Ia kini hanya, mampu memutar pedang dan gendewanya untuk melindungi diri, namun kalau hal seperti itu dilanjutkan, akhirnya ia tentu akan terpukul roboh.
Pada saat keadaan Kiok Lan amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking yang semakin lama semakin dekat. Dan tiba-tiba saja, terdengar bentakan setelah suara suling berhenti.
"Lima orang laki-laki mengeroyok seorang, gadis remaja! Sungguh tak tahu malu!"
Lima orang pengemis itu melihat munculnya seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahun, bertubuh sedang dan gerak-geriknya halus dengan pakaian sasterawan yang indah dan mewah, seorang pemuda tampan pesolek yang memegang sebatang suling yang panjangnya seperti pedang, dan suling itu berkilauan putih seperti terbuat dari perak.
"Nona, mundurlah, biar aku yang menghajar orang-orang kotor itu!" kata si pemuda.
Kiok Lan yang sudah kewalahan dan napasnya terengah-engah, menggunakan kesempatan selagi lima orang itu memandang si pemuda, melompat ke belakang dan iapun berdiri memandang dengan kagum. Sikap pemuda itu yang mengagumkan hatinya, begitu tenang begitu penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan berani memandang rendah lima orang jagoan pengemis yang lihai itu.
"Keparat, jangan mencampuri urusan Tiat-tung Kai-pang!" bentak seorang pengemis, dan empat orang kawannya sudah bergerak mengepung pemuda yang memegang suling itu. Melihat ini, diam-diam Kiok Lan merasa khawatir. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi korban, pikirnya, ia merasa tidak enak. Pemuda ini hendak menolongnya, akan tetapi ia meragukan apakah pemuda yang tampan halus ini akan mampu mengalahkan Ngo-liong Sin-kai yang demikian lihai. Akan tetapi, kalau ia turun tangan membantu, ia merasa tidak enak pula kepada penolongnya, seolah ia memandang rendah. Biarlah, pikirnya, ia akan melihat perkembangannya dan kalau penolongnya itu terdesak dan terancam, baru ia akan turun tangan membantunya.
Kini lima orang pengepung itu mulai menggerakkan tongkat besi mereka, mengeroyok dan menyerang secara bertubi, Pemuda itu masih nampak tenang saja, dan tiba-tiba nampak gulungan sinar perak berkilauan ketika dia menggerakkan sulingnya. Lenyaplah tubuh pemuda itu terbungkus gulungan sinar senjatanya dan terdengar bunyi berdencingan ketika lima batang tongkat besi itu disambar sinar suling, disusul serangan aneh yang membuat lima orang pengeroyok itu berturut-turut terjengkang ke belakang! Kiok Lan sampai terbelalak saking heran dan kagumnya. Ternyata pemuda itu seorang pendekar sakti yang amat hebat ilmu kepandaiannya!
Ketika lima orang tokoh pengemis itu merangkak bangun, seorang di antara mereka berseru cemas,
"Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun)!"
Pemuda itu tersenyum mengejek,
"Untuk membuktikan bahwa dugaan kalian itu benar, dalam waktu setengah hari, kalian akan mati keracunan."
Lima orang itu terkejut dan memeriksa tubuh masing-masing! Ada yang tadi terkena pukulan suling pada lengannya dan di situ nampak noda menghitam sebesar ibu jari tangan, kalau disentuh nyeri bukan main dan terasa panas di bagian dalamnya. Demikian pula dengan yang lain. Di bagian yang tadi terpukul ujung suling, terdapat tanda menghitam itu. Keracunan! Tanpa mengenal malu lagi, mereka lalu melempar tongkat besi dan menjatuhkan diri berlutut, berjajar menghadap pemuda itu.
"Kongcu, kami mohon kongcu sudi mengampuni nyawa kami ...
" mereka meratap ketakutan.
Pemuda itu bukan lain adalah Suma Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setelah menyanggupi syarat yang diajukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ketika dia dan ayahnya datang melamar Hui Hong, dia lalu pergi untuk mencari gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Juga dia akan menyelidiki tentang Akar Bunga Gurun Pasir yang menjadi satu di antara syarat yang diajukan Ouwyang Sek. Ketika dia kebetulan lewat di tempat itu, dia melihat Kiok Lan yang dikeroyok lima orang tokoh kai-pang itu.
Melihat betapa lima orang itu berlutut dan meratap minta ampun, Suma Hok tersenyum mengejek,
"Yang kajian ganggu adalah nona ini, maka kepadanyalah kalian harus mohon ampun." Suma Hok adalah seorang mata keranjang yang selalu haus akan wanita cantik. Begitu melihat Kiok Lan dikeroyok tadi, yang mendorong dia turun tangan menolong dan menentang lima orang pengemis adalah karena dia melihat betapa cantik manisnya gadis yang dikeroyok itu. Andaikata gadis itu berwajah buruk, belum tentu dia akan suka membantu perkelahian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Kini lima orang pengemis itu memberi hormat dan berlutut menghadap Kiok Lan.
"Nona, ampunkanlah kami ... ampunkanlah kami ...
" mereka meratap.
Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah dan galak, juga keras, akan tetapi dara ini sama sekali tidak memiliki hati yang kejam. Memang lima orang ini bersalah karena membela murid-murid mereka yang kurang ajar terhadap dirinya. Akan tetapi kesalahan itu tidaklah sedemikian besarnya sehingga mereka perlu dihukum mati! Maka, iapun berkata kepada Suma Hok.
"Tai-hiap (pendekar besar), ampunilah mereka, tidak perlu dibunuh. Mereka tentu sudah bertaubat dan tidak akan berani sewenang-wenang lagi. Harap kau suka memberi obat penawarnya."
Suma Hok tersenyum, lalu merogoh saku bajunya, mengambil lima butir pel dari bungkusan.
"Angkat muka kalian dan buka mulut kalian!" katanya kepada lima orang pimpinan pengemis itu.
Lima orang itu mentaati perintah ini dan lima kali Suma Hok menggerakkan tangan dan setiap orang menerima sebutir pel yang meluncur masuk ke dalam mulut. Mereka menelan pil itu dengan hati merasa lega dan girang sekali. Suma Hok lalu menggerakkan kakinya, menendangi mereka berlima, tepat di tempat yang terluka sambil berkata,
"Sekarang, pergilah kalian!"
Lima orang itu terguling-guling, akan tetapi mereka merasa girang sekali karena tendangan itu agaknya merupakan cara pengobatan pula. Mereka menjura dengan hormat ke arah Suma Hok, kemudian pergi melarikan diri dari tempat itu, diiringi suara tawa Suma Hok.
Dengan girang dan kagum sekali Kiok Lan kini berhadapan dengan Suma Hok. Sejenak mereka saling pandang dan saling mengamati, kemudian Kiok Lan bertanya,
"Siapakah engkau yang begini lihai? Benarkah bahwa julukanmu adalah Tok-siauw-kwi?"
Suma Hok mengangguk dan tersenyum,
"Saya yang bodoh bernama Suma Hok dan memang orang di dunia kang-ouw memberi julukan Tok-siauw kwi kepadaku. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama nona yang mulia?"
Sikap dan ucapan Suma Hok amat manis dan merendah-Memang pemuda ini terkenal sebagai seorang pemuda yang pandai merayu dan mengambil hati wanita cantik, sikapnya lemah lembut.
Kiok Lan terbelalak kagum.
"Aihh. kalau begitu, tentu engkau putera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, bukan?"
Diam-diam Suma Hok heran. Gadis ini mengenal nama besar ayahnya! Kalau begitu bukan gadis semharangan pula.
"Bagaimana engkau dapat menduga sedemikian tepat, nona? Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan mengapa pula nona berada di sini dikeroyok lima orang jembel busuk tadi?"
"Namaku Kiok Lan, dan kakakku pernah menerima ayahmu sebagai tamunya! Pernah kakakku menceritakan hal itu kepadaku dan mengatakan bahwa ayahmu adalah seorang di antara para datuk persilatan yang amat sakti. Siapa kira, hari ini aku bertemu dengan puteranya. Suma Taihiap, kalau begitu, marilah ikut denganku agar engkau dapat bertemu dengan kakakku. Dia tentu akan senang sekali bertemu putera Suma lo-cian pwe (orang tua gagah Suma)! Marilah, taihiap!"
"Siapakah kakakmu itu, nona!"
Akan tetapi gadis itu sudah memegang tangannya dan menariknya pergi dari situ.
"Kuberitahu juga engkau tidak akan tahu. Namanya Siauw Tek. Nah, engkau tidak mengenal nama itu, bukan? Marilah. Kakakku adalah seorang yang suka sekali berkenalan dengan orang pandai, dan dapat menghargainya. Mari kita menghadap kakakku!"
Suma Hok tersenyum dan timbul keinginan tahunya, siapa dan orang macam apa adanya kakak dari gadis cantik jelita ini. Dia pun lalu mengikuti saja ketika gadis itu mengajaknya keluar dari dalam hutan dan mendaki sebuah bukit yang subur dan kehijauan. Akhirnya, gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah terpencil yang berada di lereng bukit itu. Rumah besar yang sederhana, akan tetapi ketika gadis itu mengajaknya masuk ke dalam ruangan tamu, dia tercengang keheranan. perabot ruangan itu seperti peabot ruangan rumah seorang bangsawan tinggi! Kiok lan menyuruh dia menunggu di situ.
"Aku akan memberitahu kakakku. Akan tetapi mungkin sekarang dia sedang makan siang. Kau tunggulah di sini, taihiap, dan nikmatilah sekedar hidangan yarg, akan dikeluarkan pelayan nanti." Iapun memasuki rumah itu dan Suma Hok menjadi semakin heran dan ingin tahu sekali. Dia menanti dengan sabar sambil minum anggur sedap yang disuguhkan seorang pelayan.
Demikianlah. Kiok Lan menceritakan pengalamannya kepada Siauw Tek. Pouw Cin dan Bun Houw juga ikut mendengarkan kisah yang diceritakan secara menarik sekali oleh gadis yang pandai bicara dan lincah itu. Di dalam hatinya Bun Houw tentu saja kaget bukan main mendengar nama Suma Hok, akan tetapi dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya.
"Tok-siauw-kui Suma Hok?" kata Pouw Cin setelah mendengar penuturan Kiok Lan. Ketika terjadi perebutan Akar Bunga Gurun Pasir dan saya memimpin rombongan untuk merampasnya, saya melihat pula ayah dan putera Suma itu ikut pula berlumba untuk mendapatkan mustika itu. Kongcu."
Siauw Tek mengangguk-angguk,
"Akupun masih ingat kepada datuk besar Suma Koan dan puteranya itu. Sekarang puteranya telah berada di sini, kalau dia dapat bekerja sama dengan kita, alangkah baiknya, Paman Pouw. Mari kita ke ruangan tamu menyambutnya, dan sebaiknya engkau ikut pula, Kwa-toako. Ketahuilah bahwa keluarga Suma merupakan keluarga datuk besar yang lihai sekali ilmunya."
"Koko, kalau Kwa-enghiong ini demikian hebat kepandaiannya dan merupakan ahli silat yang dapat menandingi Paman Pouw, tentu akan menarik sekali kalau dia bertemu dengan pendekar Suma Hok!"
Mendengar ini, Bun Houw tersenyum saja dan diapun merasa tegang hatinya karena tidak dapat membayangkan bagaimana nanti sikap Suma Hok kalau berhadapan muka dengan dia! Baru beberapa bulan yang lalu dia bertemu dengan Suma Hok di rumah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. ketika mereka berdua mempunyai maksud yang sama, yaitu meminang Hui Hong! Dalam pertemuan itu, dia bahkan sempat bertanding dan mematahkan suling Suma Hok.
Suma Hok yang duduk seorang diri minum arak di ruangan tamu yang indah itu, segera bangkit berdiri ketika mendengar langkah kaki beberapa orang menuju ke ruangan itu. Dia tersenyum ketika melihat Kiok Lan menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, tampan anggun dan berwibawa. Kemudian dia melihat Pouw Cin dan terkejut karena mengenal laki-laki setengah tua itu sebagai seorang bekas panglima kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, panglima yang terkenal karena dahulu pernah memimpin rombongan utusun kerajaan Liu-sung untuk ikut berlumba memperebutkan mustika Akar Bunga Gurun Pasir! Kemudian, wajahnya berobah kemerahan dan matanya terbelalak ketika dia melihat orang yang muncul paling akhir. Hatinya saja yang berteriak kaget.
"Kwa Bun Houw ...!" akan tetapi mulutnya diam saja dan diapun kembali memandang kepada pemuda yang digandeng Kiok Lan itu.
"Suma-taihiap, inilah kakakku," kata gadis itu.
Andaikata di situ tidak hadir Pouw Cin agaknya Suma Hok tidak akan mengenal pemuda kakak Kiok Lan itu. Akan tetapi, kehadiran Pouw Cin mengingatkan dia akan sesuatu dan ketika dia memandang wajah pemuda itu penuh perhatian, tiba-tiba dia teringat dan diapun segera menjatuhkan diri berlutut menghadap pemuda itu.
"Sribaginda, mohon ampun karena hamba tidak tahu bahwa hamba akan menghadap paduka di sini ...
"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Suma Hok, Bun Houw sendiripun terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dengan Kaisar Cang Bu yang nama kecilnya Liu Tek dari kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, maka dia sama sekali tidak mengenalnya. Tentu saja dia terkejut ketika melihat sikap Suma Hok, dan baru sekarang dia mengerti akan sikap pemuda yang mengaku bernama Siauw Tek itu.
Melihat sikap Suma Hok, wajah pemuda itu berseri akan tetapi hanya sebentar saja. Dia menghela napas, melangkah maju dan memegang kedua pundak Suma Hok, menariknya agar bangun berdiri.
"Cukup, Suma-toako, jangan bersikap begitu. Saat ini, aku bukanlah kaisar dan tidak perlu engkau bersikap begitu. Aku adalah seorang pemuda bernama Siauw Tek, dan engkau boleh menyebutku Kongcu saja. Nah, duduklah, dan engkau juga, Kwa-toako!"
Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan sesaat pandang mata Bun Houw bertemu dengan pandang mata Suma Hok. Kalau pandang mata Suma Hok nampak gelisah, Bun Houw bersikap tenang saja. Tentu saja hati Suma Hok merasa gelisah. Pertama karena dia tahu benar betapa Bun Houw kini telah menjadi seorang yang amat lihai, bahkan sedemikian lihainya sehingga pemuda itu mampu mengalahkan Ouwyang Sek, juga mampu menandiugi ayahnya! Dan yang lebih menggelisahkan adalah bahwa pemuda saingannya itu adalah murid Tiauw Sun Ong, seorang bekas pangeran yang tentu saja masih ada hubungan keluarga dengan bekas Kaisar Cang Bu yang kini menjadi pemuda bernama Siauw Tek itu. Tentu saja Suma Hok sama sekali tidak menduga bahwa saingannya itu bahkan sama sekali belum tahu bahwa Siauw Tek adalah bekas Kaisar Cang Bu! Dan baru sekarang Bun Houw mengetahuinya.
"Kwa-toako, engkau tidak kelihatan heran mendengar bahwa aku adalah bekas Kaisar kerajaan Liu-sung. Apakah engkau sudah dapat menduga sebelumnya?" bekas kaisar itu bertanya kepada Bun Houw.
Bun Houw menggeleng kepala.
"Tidak sama sekali, Kongcu. Baru sekarang aku mengetahui. Baru sekarang aku tahu bahwa Kongcu adalah seorang bekas kaisar, dan tentu nona ini seorang puteri dan Paman Pouw seorang bekas panglima."
Kini Suma Hok juga kelihatan heran, juga dia merasa lega. Setidaknya, kini dia menjadi jelas bahwa tidak terdapat hubungan yang erat antara Bun Houw dan bekas kaisar itu yang dapat membahayakan dia. Kembali dua orang pemuda yang bersaingan itu saling pandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Apakah kalian berdua sudah saling mengenai?" tiba-tiba Kiok Lan bertanya dengan suara riang.
Bun Houw mengangguk.
"Saya sudah mendapat kehormatan beberapa kali bertemu dengan saudara Suma Hok," dalam suaranya, tidak terkandung sesuatu.
Suma Hok adalah seorang pemuda yang cerdik. Kalau tadi dia banyak berdiam diri adalah karena dia khawatir kalau-kalau Bun Houw mempunyai hubungan dekat dengan tuan rumah. Sekarang, setelah dia mengerti bahwa Bun Houw agaknya juga hanya seorang tamu baru, bahkan agaknya baru mengenal Kiok Lan sekarang, hatinya merasa lega dan dia cepat dapat membawa diri. Dia bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Bun Houw.
"Ah, sungguh merupakan kejutan yang menggembirakan bahwa di sini aku dapat bertemu denganmu, saudara Kwa Bun Houw! Saking kagetku, sampai beberapa lamanya aku kehilangan suara! Memang benar apa yang telah dikatakan saudara Kwa Bun Houw tadi, kami memang pernah beberapa kali bertemu, akan tetapi kami mempunyai jalan masing-masing. Eh, hampir aku lupa, Saudara Kwa Bun Houw, sudah terlalu lama aku menyimpan benda yang pernah kautitipkan kepadaku harap kau suka menerimanya kembali sekarang!" Dia mengambil sesuatu dari balik jubahnya dan ketika dia menyerahkan benda itu kepada Bun Houw, diam-diam Bun Houw tersenyum geli dan juga kagum akan kecerdikan orang ini. Yang dikeluarkan dan diserahkan kepadanya adalah pundi-pundi uang, bekalnya dalam kantung pemberian gurunya tempo hari yang pernah dirampas oleh Suma Hok! Ternyata pundi-pundi itu masih utuh!
Karena diapun tidak ingin melibatkan urusan pribadinya dengan keluarga bekas kaisar ini, maka diapun menerima pundi-pundi itu dan berkata,
"Terima kasih, saudara Suma Hok." dan menyimpan pundi-pundi itu ke balik bajunya.
Biarpun kedua orang pemuda itu bersikap ramah dan saling merendah, namun sesuatu yang dirasakan tidak wajar tertangkap oleh Kiok Lan yang memang amat cerdik dan berpemandangan tajam. Ia memandang berganti-ganti kepada dua orang pemuda itu seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati mereka dengan mulut tersenyum penuh arti sehingga Suma Hok dan Bun Houw yang bertemu pandang dengannya, terpaksa menundukkan mata. Tiba-tiba gadis itu berkata dengan suara nyaring, mengejutkan hati kedua orang pemuda itu.
"Koko, bagaimana kalau kedua orang jago kita ini kita adukan? Aku berani bertaruh bahwa jagoku, Suma-taihiap, akan menang melawan jagomu, yaitu Kwa-enghiong itu."
"Ah. jangan bicara yang bukan-bukan, siauw moi!" Siauw Tek berseru, kaget juga dengan gagasan adiknya ini, walaupun hal itu sebenarnya menarik baginya. Akan tetap, dia tidak, ingin kehilangan kedua orang ini ingin menarik mereka untuk bekerja dengan dia, memperkuat posisinya. Sebaiknya, bersama Paman Pouw, engkau mengantarkan dua orang tamu kita untuk melihat-lihat kekuatan kita. Malam nanti baru aku ingin bicara dan berbincang-bincang dengan mereka."
Bun Houw merasa tidak enak.
"Maaf Kongcu. Aku tidak dapat tinggal lebih lama."
"Kwa-twako! Kami mengharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka tinggal beberapa hari di sini, setidaknya malam ini engkau bermalam di rumah kami!" kata Siauw Tek dengan suara mengharap.
"Aih, kenapa Kwa-enghiong mau tergesa-gesa pergi saja setelah aku pulang? Apakah engkau tidak suka dengan kehadiranku? Kalai begitu, aku akan menjauhkan diri darirnu ...
"Ah, sama sekali tidak, nona." Bun Houy cepat-cepat berseru, tidak tahu bahwa dia kena diakali oleh gadis itu yang sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk membuat dia menjadi serba salah dan tidak dapat menolak lagi.
"Kalau begitu, tidak ada halangannya bagimu untuk bermalam di sini, toako." Siauw Tek mendesak pula.
"Kami ingin memperlihatkan keadaan kami padamu."
"Tapi, aku sudah memesan sebuah kamar di penginapan, di sudut kota, pakaianku juga masih kutinggalkan di sana dan ...
"
"Ah. jangan khawatir Kwa-enghiong. Kami akan menyuruh orang mengambilnya dan semua akan beres!" kata Pouw Cin.
"Marilah, Siocia, kita mengajak kedua orang tamu dan sahabat kita untuk melihat-lihat keadaan dan kedudukan kita."
Terpaksa Bun Houw tak dapat menolak lagi. Bagaimanapun juga. dia memang ingin mengetahui apa yarg sedang dilakukan oleb bekas kaisar itu, dan apa pula niatnya maka berkeras menahannya. Dan gadis bekas puteri itu demikian cantik dan lincah, mengingatkan dia kepada Hui Hong! Banyak persamaan antara kedua orang radis itu, keduanya berdarah bangsawan pula dan mengingat bahwa Hui Hong adalah puteri kandung gurunya, seorang bekas pangeran kerajaan Liu-sung pula, maka tidak akan mengherankan kalau di antara kedua orang gadis itu masih ada hubungan darah atau keluarga. Selain itu, keadaan bekas kaisar ini amat menarik dan tentu akan merupakan, berita yang amat penting bagi gurunya.
Mereka berempat menunggang kuda mendaki bukit-bukit di sepanjang Sungai Yang-ce dan dari puncak bukit, Pouw Cin menunjuk ke arah bangunan seperti benteng. Ada empat tempat seperti itu dan Pouw Cin menerangkan bahwa di setiap benteng terdapat pasukan yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya! Pimpinan pasukan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat dan ilmu perang. Kongcu masih terus menarik dan mengumpulkan orang-orang gagah untuk memperkuat pasukan kami itu." demikian Pouw Cin memberi keterangan. Dua orang pemuda itu diam-diam terkejut. Tak mereka sangka bahwa bekas kaisar yang muda itu dapat menyusun kekuatan seperti itu.
"Akan tetapi, untuk apa menyusun pasukan di perbentengan itu?" Bun Houw bertanya, walaupun di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa bekas kaisar itu tentu mengusahakan pemberontakan untuk merampas kembali tahta kerajaan yang sudah lepas dari tangannya. Dia hendak membangun kembali kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, untuk menundukkan kerajaan baru Chi yang berkuasa.
"Nanti Kongcu akan memberi penjelasan serdiri kepada ji wi (kalian berdua) kalau kita sudah kembali ke sana," Pouw Cin menjawab dengan singkat. Jelas bahwa dia tidak berani dan merasa tidak berwenang untuk bicara tentang cita-cita bekas kaisar kerajaan Liu-sung itu.
Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal Siauw Tek, Suma Hok telah mengambil keputusan. Inilah jalan yang amat luas baginya, kesempatan untuk mencapai apa yang dia inginkan. Kalau dia dapat menjadi pembantu yang dipercaya oleh bekas kaisar itu, banyak sekali keuntungan yang akan diperolehnya. Sebelum bekas kaisar itu berhasil dengan cita-citanya, dia tentu telah mendapatkan kekuasaan atas pasukan, kalau dia menjadi pembantu utama. Apalagi kalau sampai bekas kaisar itu berhasil dalam perjuangannya merampas kembali singgasana. Tentu dia akan menjadi seorang pejabat tinggi, mungkin menteri, atau setidaknya panglima besar. Dia akan memegang, kekuasaan begitu diterima menjadi pembantu bekas kaisar itu. Keuntungan ke dua, dia dapat berdekatan dengan Pouw Kiok Lan, gadis bekas puteri istana yang cantik jelita itu. Kalau dia dapat memperisterinya, berarti dia menjadi adik ipar bekas kaisar, ataukah calon kaisar baru? Puteri ini akan dikawini demi memperoleh pangkat dan kekuasaan, sedangkan cintanya terhadap Hui Hong tidak akan berubah, bahkan pernikahannya dengan Hui Hong semakin banyak harapan terlaksana. Dengan adanya pasukan, tentu tidak sukar untuk mendapatkan Akar Bunga Gurun Pasir, dan dia-pun nanti dapat minta keterangan Pouw Cin di mana akar itu sekarang. Diapun dapat menyebar anak buah pasukan itu untuk mencari Hui Hong sampai dapat!
Sungguh berbeda sekali isi hati Suma Hok dengan isi hati Bun Houw. Dia tahu bahwa jatuhnya kerajaan Liu-sung yang kemudian diganti kerajaan Chi merupakan perang saudara. Kini, bekas kaisar Liu-sung yang kalah itu menyusun kekuatan. Perang saudara akan berlarut-larut, menimbulkan banyak korban di antara anak buah pasukan dan rakyat. Dia tidak mau terlibat perang saudara, tidak ingin menjadi satu di antara boneka-boneka yang disuruh saling bunuh demi kepentingan anggauta keluarga yang saling berebutan kekuasaan itu. Apalagi, gurunya berkata bahwa penggantian kaisar yang terjadi itu bahkan baik, karena menurut gurunya. Kaisar Cang Bu yang telah jatuh itu bukanlah kaisar yang cakap dan bijaksana, terlalu muda dan mudah terpengaruh oleh menteri-menteri yang palsu dan korup. Juga gurunya berkata bahwa penggantian kaisar itu bahkan lebih baik. Kalau kini dia melibatkan diri dalam usaha perjuangan atau pemberontakan bekas kaisar itu, berarti dia ikut saling bunuh dengan saudara sebangsa, demi kepentingan kaisar yang udah jatuh itu. Selain itu, menurut pendapatnya, usaha yang lebih merupakan pembatasan atau perebutan kekuasaan yang diadakan bekas kaisar ini, tidak akan berhasil. Apa artinya beberapa ribu orang pasukan dibandingkan dengan balatentara kerajaan Chi yang tentu amat besar jumlahnya? Selain itu, perjuangan menentang kekuasaan yang ada baru akan berhasil kalau dibantu oleh rakyat, dan rakyat baru akan mau membantu kalau kekuasaan itu dirasakan menindas dan jahat bagi rakyat. Tanpa bantuan rakyat, usaha perjuangan tak mungkin berhasil. Dan Bun Houw tidak melihat adanya dukungan rakyat jelata terhadap gerakan Siauw Tek ini, bahkan rakyat tidak mengetahuinya karena gerakan itu dilakukan secara rahasia.
Perjalanan meninjau perbentengan itu cukup jauh sehingga ketika mereka kembali ke rumah besar itu, matahari telah tenggelam ke barat dan cuaca sudah remang-remang, malam menjelang tiba. Rumah itu telah diterangi banyak lampu, seolah dalam keadaan pesta menyambut dua orang tamu agung itu. Suma Hok dan Bun Houw dipersilakan ke kamar masing-masing, dua buah kamar yang terpisah dan Bun Houw mendapatkan bahwa buntalan pakaian yang tadinya dia tinggalkan di rumah penginapan itu telah berada di dalam kamar itu. Seorang pelayan pria melayani keperluan Bun Houw, mempersiapkan air untuk mandi dan setelah mandi dan berganti pakaian, Bun Houw menerima undangan tuan rumah untuk makan malam di ruangan makan. Bun Houw memasuki ruangan itu dan ternyata Suma Hok telah berada di situ. Seperti siang tadi, Pouw Cin menemani mereka yang dijamu oleh Siauw Tek dan Kiok Lan. Wanita-wanita muda yang cantik kini diperkenankan melayani mereka makan minum dan suasana makan malam itu cukup gembira. Apalagi karena Suma Hok sudah kelihatan akrab dengan Siauw Tek dan terutama sekali dengan Kiok Lan. Pemuda, putera majikan Bukit Bayangan Iblis ini memang pandai merayu, halus tutur sapanya, dan selain ilmu silat tinggi, juga dia mengenal baik kesusasteraan dan pandai bermain suling dengan lagu-lagu merdu. Maka dengan mudah dia dapat menarik perhatian kakak beradik bangsawan itu dan menjadi akrab dengan mereka.
Dengan caranya yang halus dan cerdik, tadi Suma Hok dapat mendahului Bun Houw menemui Siauw Tek dan Kiok Lan, dan dengan pandai sekali dia memancing mereka untuk mendengar pendapat mereka tentang aib yang terjadi di istana ketika Pangeran Tiauw Sun Ong berjina dengan seorang selir kaisar. Dia mengatakan bahwa dia pernah mendengar peristiwa itu di luaran, dan apakah bekas kaisar itu tahu akan hal itu?
Mendengar ini, kakak beradik itu saling pandang, kemudian Siauw Tek mengerutkan alis dan berseru,
"Ahh, jadi peristiwa itu sudah pula tersiar di luar istana? Memang aib yang amat memalukan. Terjadi ketika aku masih kecil, berusia tiga tahun kurang lebih. Aku mendengar peristiwa aib itu dari cerita para orang tua di istana."
"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu? Tadinya saya kira hanya berita bohong belaka, karena di dunia kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai.
Akan tetapi dia buta, bagaimana mungkin seorang selir kaisar ... maaf, dapat tertarik kepada seorang pangeran buta?" Sebetulnya Suma Hok sudah tahu akan persoalannya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk memancing dan melihat bagaimana sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.
"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir ... eh, selir mendiang ayahku itu tergila-gila kepadanya. Setelah perbuatan mereka ketahuan, Paman Tiauw Sun Ong membutakan mata sendiri dan meninggalkan istana. Adapun selir ayah itu dihukum buang, Ah, tidak perlu kita bicara tentang aib yang menjengkelkan itu!"
"Akan tetapi, kenapa yang melakukan aib menodai nama yang mulia dari Kaisar, tidak dihukum mati?" Suma Hok memancing.
Siauw Tek mengepal tinju.
"Sepatutnya memang dia dihukum mati! Akan tetapi dia adalah adik mendiang ayah, dan dia sudah membutakan kedua matanya, ayah mengampuninya."
"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan.
"Dosa itu teramat besar, menodai nama dan kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka sampai sekarang dia masih hidup dan tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng dan diketahui banyak orang. Coba andaikata ketika itu dia dan perempuan itu dihukum mati, mungkin berita itu tidak sampai tersebar."
"Engkau benar, adikku. Memang mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang menyeleweng itupun tidak sampai mati. di dalam perjalanan, para pengawalnya dibunuh orang dan ia lenyap entah ke mana."
Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka kepada Tiauw Sun Ong dan hal ini menyenangkan hatinya. Setidaknya dia memiliki senjata ampuh untuk menarik kedua orang ini berpihak kepadanya kalau dia bentrok dengan Bun Houw. Pada saat itulah, Bun Houw memasuki ruangan makan dan tentu saja percakapan itu terhenti.
Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua orang tamunya.
Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw Tek bertanya kepada kedua orang tamunya.
"Bagaimana, apakah kalian berdua sudah menyaksikan keadaan kami dan apa pendapat kalian?"
Suma Hok cepat menjawab.
"Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-pasukan dengan empat benteng itu amat kuat, dan kalau mendapat pimpinan seorang ahli, tentu dapat menjadi kekuatan yang dahsyat!"
Siauw Tek senang dengan pendapat ini dan dia tersenyum bangga, akan tetapi melihat Bun Houw diam saja, dia bertanya. Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako? Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami himpun?"
Bun Houw menjawab dengan tenang,
"Saya kira, tergantung dari penggunaannya, Kongcu."
"Apa maksudmu, toako?"
"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur di medan perang."
Siauw Tek mengangguk dan tersenyum.
"Jawabanmu memang tepat akan tetapi terlalu berhati-hati, Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian berdua dengarkan dulu tentang keadaan diriku semenjak kerajaan Liu-sung dikhianati para pemberontak yang kini membangun kerajaan Chi itu."
Bekas kaisar itu lalu bercerita. Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawan-kawannya, yaitu juga anggauta keluarga kaisar dari pihak wanita, menimbulkan perang saudara selama tiga tahun, dimulai dari tahun 476 dan berakhir tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 479 dengan jatuhnya kerajaan Liu-sung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang mendirikan dinasti atau kerajaan Chi. Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui Kong dan sekutunya masih memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka yang melakukan perlawanan, semua tertumpas dan binasa. Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. Dalam pelarian ini terbawa pula beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas tahun ikut pula lari mengungsi bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan ibu, karena Kiok Lan beribu dari seorang selir. Sesungguhnya, kalau pihak lawan, yaitu pihak keluarga Siauw yang memberontak, menghendaki pelarian bekas kaisar itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya rombongan pengungsi ini. Akan tetapi karena memang masih ada hubungan keluarga, agaknya pihak yang menang memang sengaja bersikap longgar, membiarkan pihak yang kalah untuk mengungsi.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Demikianlah, ji-wi tahu bahwa setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku menyamar sebagai orang biasa, menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak dikenal orang, juga aku sengaja menggunakan nama keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, setema lima tahun ini, sejak keluar dari istana, aku tidak pernah melupakan kekalahan ini. Aku, dibantu oleh Paman Pouw, mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk merampas kembali singgasana dan mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dikhianati oleh keluarga Siauw yang kini mendirikan dinasti Chi. Kami mengundang sebanyaknya orang-orang pandai seluruh negeri untuk membantu kami. Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar suka membantu kami. Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat mendirikan lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima anugerah kedudukan yang tinggi dalam kerajaan kami. Kami tidak minta jawaban sekarang. Sebaiknya, ji-wi (kalian) mempertimbangkan permintaan kami itu semalam ini sambil beristirahat dalam kamar ji-wi masing-masing. Besok pagi kami mengharapkan jawaban dan keputusan yang pasti."
Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu menolak tawaran bekas kaisar itu untuk membantu gerakannya hendak memberontak. Akan tetapi karena Siauw Tek memberi waktu semalam untuk mengambil keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa dipertimbangkan dulu.
Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, termenung. Dia dapat menduga bahwa orang yang berjiwa petualang seperti Suma Hok, yang hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran bekas kaisar itu. Apalagi dia melihat sinar mata pemuda pesolek itu ketika memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan menerima penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia akan menolak dengan halus. Dia masih mempunyai tugas, yaitu mencari Hui Hong. Dan pengalamannya dengan bekas kaisar ini sudah merupakan suatu berita yang amat menarik bagi gurunya, selain itu, diapun akan melaksanakan pesan gurunya menyelidiki keadaan pemerintahan Kerajaan Chi yang baru itu.
Daun pintu terketuk. Bun Houw merasa heran. Malam telah larut, mungkin sudah hampir tengah malam. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Ketukan itu lirih dan pendengarannya yang tajam menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. Seorang wanita di depan pintu kamarnya! Siapa? Mau apa? Dia memang mengunci daun pintu dari dalam. Dia berada di bawah satu atap dengan seorang seperti Suma Hok, maka dia harus berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda yang kejam dan licik bagaikan iblis itu.
"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya sambil menghampiri pintu.
"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka membuka pintu, saya mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganmu." terdengar suara wanita yang merdu. Bukan suara Kiok Lan, pikir Bun Houw yang menjadi semakin heran. Dia membuka kunci daun pintu dan masuklah seorang wanita muda yang cantik manis. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum dari pakaiannya. Bun Houw mengenal wanita ini sebagai seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah makan, lalu muncul Kiok Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak melayani mereka lagi. Wanita ini usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, cantik manis dan di balik kerling mata dan senyumnya tersembunyi kegenitan dan gairah.
"Eh, kenapa nona masuk ke sini? Ada urusan penting apa yang akan dibicarakan?" tanya Bun Houw, alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita muda memasuki kamarnya. Kalau kelihatan tuan rumah, tentu akan menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya untuk mengusir begitu saja.
Gadis itu menundukkan mukanya, akan tetapi matanya mengerling ke samping atas, ke arah wajah Bun Houw dan senyumnya dikulum. Memang gaya ini membuat ia nampak manis dan menarik sekali, sikap jinak-jinak merpati! "Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, berusia sembilan belas tahun ...
"
"Ya, ya ... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini? Ada kepentingan apa ... ?" Bun Houw memotong tak sabar.
Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal rambut jatuh berderai di leher yang panjang dan berkulit putih mulus itu.
"Kongcu, malam begini dingin dan sunyi dan kongcu berada seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya ... saya dapat menemani kongcu, menghibur kongcu dan melakukan apa saja untuk melayani kongcu." katanya dengan suara setengah berbisik, dan kata-katanya berlagu seperti orang bersenandung.
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan wanita ini. Wanita muda cantik genit ini merayunya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan tidak menghardiknya karena tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hatinya. Dia baru pertama kali bertemu wanita ini, di antara empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak mungkin kalau dalam pertemuan singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! Dan kiranya, tidak akan mungkin wanita ini berani begitu merayunya. Bukankah dia seorang tamu dihormati? Dan gadis ini juga bukan pelayan? Ada pelayan lain dan agaknya orang itu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di rumah itu. Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka berlima itu dengan sebutan enci? Dia menduga bahwa gadis ini, seperti empat yang lain tentulah semacam dayang atau lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. Dan kini, kalau ia berani memasuki kamarnya, menawarkan diri untuk melayani dan menghiburnya, jelas bahwa hal ini tentu merupakan tugas baginya. Tentu ada yang memerintahnya?
Suma Hok Memfitnah Pouw Cin
TIBA-TIBA sinar matanya mencorong ketika dia berkata,
"Nona, coba angkat mukamu dan kau pandang aku!!"
Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri memandang. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang mencorong penuh kekuatan itu. Ia ingin menundukkan kembali mukanya, akan tetapi tidak mampu, serasa ada kekuatan dari sepasang mata yang mencorong itu yang mengikat dan menahan pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.
"Nona, engkau tentulah seorang selir dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?" tanya Bun Houw.
"Benar, kongcu," jawab Leng Leng dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi khawatir.
"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini berusaha menggodaku? Apakah engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain?"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba berubah merah dan mata itu mengeluarkan sinar merah.
"Kwa-kongcu, jangan menuduh sembarangan! Aku adalah seorang isteri yang setia dan taat kepada suami. Andaikata suamiku menyuruh aku menyerahkan nyawa sekalipun akan kutaati, apalagi hanya menyerahkan badan. Aku hanya meliksanakan tugas, mentaati perintah."
Diam-diam Bun Houw merasa iba kepada gadis ini. Tahulah dia bahwa ini merupakan satu di antara cara dan akal bekas kaisar itu untuk membujuk dan menarik seseorang menjadi pembantunya. Agaknya bekas kaisar itu tahu bahwa dia tidak akan tergiur kedudukan atau harta, maka dipergunakanlah seorang di antara selirnya untuk membujuk rayu. Dan dia percaya bahwa tentu banyak pria perkasa yang jatuh oleh kecantikan selir-selir itu.
"Kalau begitu, kembalilah engkau kepada suamimu dan katakan kepadanya bahwa engkau adalah seorang isteri yang baik dan mencinta suami, bahwa dia tidak sepatutnya menyuruh engkau membujuk rayu seorang tamu. Katakan bahwa aku berterima kasih, akan tetapi aku tidak suka menghancurkan martabat dan perasaan hati seorang wanita yang terpaksa demi cinta dan kesetiaannya kepada suami, mau melakukan apa saja yang diperintahkan suami, bahkan menyerahkan diri dan kehormatannya kepada laki-laki lain. Pergilah, nona."
Selir yang cantik itu menatapnya dengan sepasang matanya yang indah, kemudian kedua mata yang tadinya bengong memandang heran, perlahan-lahan menjadi basah air mata.
"Baik. dan maafkan saya, kongcu." katanya dengan suara gemetar mengandung isak, lalu wanita itupun keluar dari kamar dengan langkah-langkah gontai.
Seorang wanita yang memiliki daya tarik kuat sekali pada wajah dan bentuk tubuhnya, Bun Houw menggumam sambil menutupkan daun pintu dan menguncinya kembali. Dia duduk bersila kembali ke atas pembaringan dan tersenyum. Yang jelas, kalau tidak ada dua hal yang menolongnya, yang mendatangkan kekuatan di batinnya, bukan hal aneh kalau tadi diapun bertekuk lutut dan terlena dalam pelukan wanita cantik tadi. Dua hal itu pertama-tama adalah pengalaman gurunya yang pernah berjina dengan seorang selir kakaknya dan yang kemudian mendatangkan akibat yang amat hebat dan pahit dalam kehidupan gurunya. Selain itu juga pengalamannya sendiri dengan Cia Ling Ay yang mendatangkan akibat pahit pula. Adapun hal kedua adalah cintanya terhadap Hui Hong membuat dia tidak ingin dimiliki dan memiliki wanita lain.
Perasaan tidak enak dalam hati Bun Houw bahwa dia berada di bawah satu atap dengan Suma Hok, ternyata bukan perasaan kosong belaka. Dia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda licik itu. Di luar tahunya, setelah mereka tadi saling berpisah dari ruangan dalam, Suma Hok juga menerima kunjungan seorang selir bekas kaisar itu yang datang hendak membujuknya. Dan pemuda yang amat cerdik ini, walaupun melihat selir itu seperti seekor kucing melihat dendeng yang membuatnya mengilar, namun demi pengejaran yang lebih tinggi, dia bersikap sopan dan menolak wanita yang disuguhkan kepadanya itu! Dan dia bahkan mengikuti wanita itu kembali ke kamar Siauw Tek kemudian dia membisikkan hal yang penting bagi bekas kaisar itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Kongcu," katanya sambil mengantarkan kembali selir itu.
"Akan tetapi harap Kongcu maafkan, saya tidak suka berganti dengan wanita yang bukan milik saya. Selain itu, saya ingin menyampaikan hal yang saya kira amat penting bagi kongcu, mengenai diri Kwa Bun Houw."
Diam-diam Siauw Tek memuji pemuda ini. Seorang pemuda yang tidak lemah terhadap godaan wanita.
"Suma toako, ada urusan apakah? Apa yang hendak kau sampaikan mengenai diri Kwa-toako?"
"Hendaknya kongcu bersikap waspada karena Kwa Bun Houw itu adalah seorang yang berbahaya sekali."
"Kaumaksudkan dia lihai? Hal itu kami sudah tahu, toako. Kami sudah menguji kepandaiannya dan dia mampu mengalahkan Paman Pouw dengan mudah."
"Bukan itu saja, Kongcu. Akan tetapi ada satu hal yang Kongcu belum ketahui sehingga tidak melihat bahaya yang mengancam diri kongcu sekarang. Ketahuilah bahwa Kwa Bun Houw adalah murid bekas Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh ...?!?" bekas kaisar itu berseru kaget dan mukanya berubah agak pucat.
"Kalau begitu ... apa maunya dia mau menerima undanganku?"
"Hemm, tidak sukar diduga, Kongcu. Sepanjang pengetahuanku, bekas pangeran Tiauw Sun Ong sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika kerajaan Kongcu dijatuhkan oleh keluarga Siauw. Itu saja menjadi bukti bahwa diam-diam Tiauw Sun Ong tentu mendendam kepada mendiang ayah Kongcu! Dan sekarang muridnya berada di sini aku tidak akan heran kalau dia mewakili gurunya, melakukan tugas mata-mata demi kepentingan kerajaan Chi."
"Ahh! Kalau begitu, kita hatus cepat turun tangan! Kita harus membunuhnya sekarang juga!" kata bekas kaisar itu dan Suma Hok tersenyum. Bekas kaisar ini demikian lemah dan bodoh, pikirnya. Pantas saja kerajaannya jatuh. Kalau orang ini berhasil menjadi kaisar kembali dan dia dapat menjadi perdana menterinya, tentu dia akan mudah dapat menguasainya!
"Harap paduka tenang dulu. Kita harus berhati-hati dan jangan mengagetkan ular dalam semak. Kita pura-pura tidak tahu lebih dulu agar dia tidak curiga dan tidak melarikan diri. Ilmu silatnya lihai bukan main. Kita harus mengatur siasat untuk dapat menangkap atau membunuhnya." Suma Hok berbisik-bisik dan malam itu juga Pouw Cin di panggil untuk mengatur siasat. Siauw Tek merahasiakan siasat itu dari adiknya karena dia maklum betapa aneh watak adiknya itu, kadang berani menentangnya.
Ketika selirnya yang tadinya diutus untuk membujuk-rayu Bun Houw kembali kepadanya dan melapor bahwa Bun Houw menolak halus, makin besar kecurigaan Siauw Tek yang sudah dapat dibakar oleh Suma Hok. Kini Suma Hok menambahkan,
"Nah, jelas bahwa dia berniat buruk. Aku, pernah mendengar bahwa Bun Houw seorang laki-laki mata keranjang, seperti juga gurunya. Kalau sekarang dia menolak pelayanan seorang wanita cantik, hal ini patut dicurigai. Pasti dia tidak ingin terbujuk agar dapat melakukan tugasnya memata-matai keadaan kongcu dengan baik."
Siauw Tek mengangguk-angguk, menyetujui pendapat pembantu barunya itu. Dia teringat akan bekas pamannya, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran itu dahulu terkenal sebagai seorang pria yang menaklukkan hati banyak wanita, bahkan tidak segan berjina dengan selir ayahnya. Kini bekas pangeran itu menjadi guru Kwa Bun Houw. Kalau gurunya seperti itu, muridnya dapat dibayangkan wataknya.
Akan tetapi, Pouw Cin masih ragu-ragu. Bekas panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Setelah bertemu dengan Bun Houw dan menguji kepandaiannya, dia sudah dapat menilai pemuda itu sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan halus budi pekertinya. Sama sekali tidak kejam. Hal ini terbukti ketika dia dikalahkan pemuda itu. tanpa sedikitpun menderita luka. Di samping ini, diapun seorang yang amat setia kepada bekas kaisar itu, maka tentu saja dia tidak pernah membantah perintah Siauw Tek, selalu mentaatinya dengan membuta. Dan diapun pernah mendengar nama ayah dan anak Suma yang menjadi majikan Bukit Bayangan Iblis sebagai datuk sesat yang amat kejam dan curang. Maka, diam-diam diapun mencurigai Suma Hok, bahkan hatinya merasa tidak enak melihat keakraban hubungan antara Suma Hok dan nona majikannya, Kiok Lan. Diam-diam dia bersikap waspada.
"Paman Pouw, kenapa engkau diam saja? Bagaimana pendapatmu tentang Kwa Bun Houw itu? Amat mencurigakan, bukan? Aku sungguh khawatir dia benar-benar mewakili gurunya, memata-matai kita demi kepentingan kerajaan Chi."
"Jalan satu-satunya adalah besok pagi-pagi, di luar sangkaannya, kita mengepung dan membunuhnya. Kita sudah mengatur barisan pendam, dan dia tidak akan mampu melarikan diri lagi. Bukanlah siasat kita ini baik sekali, Paman Pouw?" kata Suma Hok dengan nada suara gembira. Kematian Bun Houw merupakan hal yang amat menguntungkan dia. Pertama, dia dapat membalas kekalahannya tempo hari, kedua dia akan kehilangan saingan dan lawan yang amat lihai dalam memperebutkan Hui Hong dan akhirnya, dia tidak akan menghadapi rintangan dalam kerja samanya yang menguntungkan dengan para pemberontak yang dipimpin oleh bekas kaisar Cang Bu.
Pouw Cin tidak menjawab pertanyaan Suma Hok, melainkan memandang majikannya dan berkata dengan hati-hati,
"Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, belum tentu dia memata-matai kita. Hal itu harus dibuktikan dulu. Ilmu kepandaiannya hebat, Kongcu, kalau kita dapat menariknya sebagai pembantu, tentu keadaan Kongcu menjadi semakin kuat. Sebaiknya kita melihat sikapnya besok pagi. Tanpa bukti lalu menyerangnya begitu saja amatlah tidak bijaksana. Bagaimana kalau kemudian terbukti dia bukan mata-mata dan kita sudah terlanjur mencelakainya? Tentu orang-orang di dunia persilatan akan menentang kita!"
Siauw Tek mengangguk-angguk.
"Hemm, kami rasa pendapatmu ini memang tepat. Bagaimana pikiranmu, Suma-toako? Memang kita harus berhati-hati agar jangan salah sangka, kita harus dapat membuktikan dulu kalau benar dia memata-matai kami."
"Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong belum tentu dia memata-matai kita."
Suma Hok juga bukan orang bodoh. Sebaliknya malah, dia cerdik dan licin bagaikan belut. Dia tidak mau berkeras mempertahankan pendapatnya dan menentang pendapat Pouw Cin yang dia tahu merupakan orang yang paling dipercaya oleh bekas kaisar itu! "Hebat! Pendapat Pouw-lo-enghiong memang hebat, tanda bahwa Paman Pouw seorang yang bijaksana. Sesungguhnya, sayapun tidak hanya menuduh sembarangan. Walaupun belum terbukti Kwa Bun Houw menjadi mata-mata kerajaan Chi, akan tetapi prasangka buruk saya ini bukan tidak berdasar. Dasarnya kuat sekali, karena selain menjadi murid tersayang bekas pangeran yang kini menjadi datuk lihai yang matanya buta itu, juga dia ingin menjadi mantu bekas Pangeran Tiauw Sun Ong."
"Ahhhh ...
" Siauw Tek berseru kaget.
Pouw Cin mengerutkan alisnya.
"Bagaimana mungkin itu? Setahuku, Pangeran Tiauw Sun Ong tidak mempunyai isteri dan tidak mempunyai anak !"
Suma Hok membungkuk sambil tersenyum.
"Paman Pouw, saya juga bukan seorang yang suka berbohong. Akan tetapi, keterangan sepihak saja dari saya tentu tidak meyakinkan. Baiklah, besok di waktu makan pagi saya akan bertanya kepada Kwa Bun Houw, dan biarlah dia sendiri yang akan mengakui kebenaran apa yang saya kemukakan tadi." Dengan sikap hormat dan ramah, Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu bertanya dengan halus.
"Kalau Bun Houw sudah mengaku dengan mulut sendiri bahwa dia ingin menjadi mantu gurunya, apakah Kongcu akan yakin dan percaya kepada saya?"
Bekas kaisar itu mengangguk-angguk.
"Kalau benar dia murid dan bahkan calon mantu Tiauw Sun Ong, keadaannya sungguh amat mencurigakan!"
"Kalau dia sudah mengaku dengan mulut sendiri dan Kongcu sudah yakin bahwa dia tentu memata-matai Kongcu, kita harus sudah siap." kata Suma Hok penuh kegembiraan karena merasa berhasil.
"Dia amat berbahaya dan lihai sekali, karena itu, jangan sampai kita kedahuluan olehnya. Siapa tahu, dia bertugas untuk membunuh Kongcu! Karena itu, besok ketika kita makan pagi dan saya memancingnya agar mengaku, di luar ruangan makan sebaiknya dilakukan penjagaan yang kokoh kuat dan begitu dia mengaku bahwa memang calon mantu Tiauw Sun Ong, kita mengepung dan mengeroyoknya!"
Kembali Siauw Tek mengangguk dan memandang kepada Pouw Cin. Sejak dia dipaksa melarikan diri karena singgasana dirampas oleh Souw Hui Kong lima tahun yang lalu, semangat dan harapannya tergantung kepada bekas jenderal yang dahulu menjadi panglimanya yang setia itu. Maka, kinipun segala keputusannya selalu ditanyakan dulu kepada pembantu setia ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Pouw?"
Pouw Cin adalah seorang yang berpengalaman dan selalu bertindak dengan hati-hati, tidak mudah dia mencurigai orang, juga tidak mudah percaya begitu saja.
"Kongcu, sebaiknya kalau kita berhati-hati dalam hal ini. Andaikata benar demikian, sedapat mungkin kita harus membujuk agar Kwa Bun Houw suka membantu kita. Kalau dia mau bekerja sama, kita dapat memanfaatkan tenaganya karena pemuda itu memang seorang ahli silat yang amat tangguh. Kalau dia menolak, barulah terpaksa kita melenyapkannya, apalagi kalau dia benar-benar seorang mata-mata dari Chi. Akan tetapi, Kongcu, yang membuat saya merasa ragu dan penasaran adalah keterangan dari Suma Kongcu tadi. Setahu kita. Pangeran Tiauw Sun Ong tidak beristeri dan tidak mempunyai anak ketika meninggalkan istana, bagaimana sekarang dia dapat mempunyai puteri yang akan dijodohkan dengan Kwa Bun Houw?" Dia berhenti sebentar mengingat-ingat,
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 17
"Dan selama ini, saya hanya mendengar bahwa bekas pangeran itu menjadi seorang tokoh persilatan yang tidak pernah, mempunyai isteri."
Siauw Tek menoleh kepada Suma Hok.
"Bagaimana jawabanmu dengan pertanyaan itu, toako? Berilah keterangan agar hati Kami tidak menjadi bimbang, dan meragukan keterangan itu."
Suma Hok tersenyum.
"Pertanyaan Pouw-lo-enghiong memang tepat sekali, dan sudah sepatutnya kalau kongcu dan lo-enghiong mengetahuinya. Ketahuilah. Kongcu bahwa selir yang menjadi kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong itu, ketika melaksanakan hukuman buang, dalam perjalanan ia dibebaskan oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, kemudian menjadi isterinya. Ketika menjadi isteri datuk itu, selir itu telah mengandung yang kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Nah, anak perempuan itu adalah anak kandung Pangeran Tiauw Sun Ong! Anak perempuan itulah yang akan menjadi isteri Kwa Bun Houw, Kongcu."
Kalau bekas kaisar itu mengangguk-angguk, sebaliknya bekas panglima Pouw Cin mengerutkan alisnya,
"Kalau demikian, maka gadis itu bukan lagi puteri Pangeran Tiauw Sun Ong! Ia adalah puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek!"
"Memang tadinyapun begitu, Pouw-lo-enghiong. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu bahwa ayah kandungnya adalah Tiauw Sun Ong. Akan tetapi akhir-akhir ini rahasia itu terbuka dan Tiauw Sun Ong mendatangi keluarga Ouwyang, dan menuntut agar puteri kandungnya itu dijodohkan dengan muridnya, yaitu Kwa Bun Houw itulah!"
"Nah, bagaimana, Paman, Pouw?" tanya Siauw Tek.
"Kurasa memang pemuda itu berbahaya sekali, apalagi mengingat bahwa dia amat lihai. Siapa tahu dia memang, ditugaskan oleh gurunya untuk menyelidiki, atau mungkin untuk memata-matai kita."
"Bukan mustahil tugasnya lebih jahat lagi, yaitu membunuh Kongcu." kata Suma Hok. Mendengar ini, Siauw Tek terkejut dan wajahnya berubah agak pucat.
"Kita tidak boleh terburu-buru menuduh orang, akan tetapi juga sebaiknya siap menjaga segala kemungkinan. Biarlah kita melihat perkembangannya besok pagi di waktu makan pagi. Kalau dia sudah mengaku sendiri bahwa dia akan berjodoh dengan puteri gurunya, kemudian kita bujuk agar dia suka bekerja sama membantu kita. Kalau dia menolak, baru kita turun tangan menangkapnya. Saya akan mempersiapkan pasukan untuk mengepung tempat di mana kita menjamunya makan pagi, Kongcu."
"Akan tetapi dia lihai bukan main, kalau hanya dikeroyok pasukan saja, mungkin dia akan dapat lolos." kata Suma Hok.
"Aku masih meragukan apakah Pouw-lo-enghiong akan mampu menangkapnya." Suma Hok sengaja berkata demikian untuk membakar perasaan bekas panglima itu dan dia berhasil.
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dan dia mengepal tinju.
"Boleh jadi dia lihai dan aku tidak dapat menandinginya, akan tetapi kalau aku mempergunakan pasukan, jangan harap dia akan mampu meloloskan diri, kecuali kalau dia membunuh diri terjun dari atas tebing!"
Mereka bertiga lalu mengatur siasat dan tentu saja diam-diam Suma Hok gembira bukan main. Orang yang dibencinya, yang juga menjadi saingannya dalam memperebutkan Hui Hong, besok pagi-pagi akan terbunuh atau tertawan! Diapun kembali ke kamarnya dan tidur dengan pulas karena kelegaan hatinya.
Kiok Lan cepat menyelinap di balik sudut tembok, mengintai ke depan, ke arah kamar seorang di antara dua orang tamunya, yaitu Kwa Bun Houw. Ia merasa heran sekali melihat Yo Leng Hwa, seorang di antara selir-selir kakaknya yang cantik, dengan langkah ringan seperti seekor kucing, menghampiri pintu kamar Kwa Bun Houw. Kiok Lan merasa heran bukan main. Mau apa malam-malam begini selir kakaknya itu menghampiri lalu mengetuk daun pintu kamar tamu mereka? Padahal, Kwa Bun Houw adalah seorang tamu, seorang pemuda pula. Sungguh tidak pantas kalau selir kakaknya itu mengetuk pintu pemuda itu malam-malam. Andaikata kakaknya mempunyai keperluan kepada tamunya, masih ada pelayan lain yang dapat diutusnya untuk memberitahu pemuda itu, bukan selirnya. Kiok Lan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan ia mengintai terus.
Wajah gadis bekas puteri istana ini menjadi kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan ketika ia melihat betapa daun pintu dibuka dan selir kakaknya itu memasuki kamar! Akan tetapi, daun pintu itu tetap terbuka sehingga Kiok Lan masih dapat mengintai dan mendengarkan percakapan antara Bun Houw dan Leng Leng. Mendengar betapa Leng Leng disuruh kakaknya untuk membujuk rayu Bun Houw, bukau main marahnya hati gadis itu. Kakaknya sungguh keji dan, tidak tahu malu! Dan-melihat Bun Houw menolak dengan sikap yang tegas, iapun merasa kagum sekali. Seorang pendekar muda yang hebat, pikirnya, ia melihat betapa Leng Leng meninggalkan kamar Bun Houw, dengan air mata berlinang sehingga ia diam-diam merasa kasihan kepada selir kakaknya itu yang dipaksa oleh kakaknya untuk menyeleweng dengan tamu, dan kemarahannya tertuju kepada kakaknya. Daun pintu kamar Bun Houw, ditutup kembali dan kini Kiok Lan membayangi Leng Leng yang meningalkan kamar Bun Houw ...!"
Kiok Lan, melihat selir itu memasuki ruangan dalam. Ia mengintai dari balik pintu dan melihat Leng Leng melapor kepada Siauw Tek bahwa tugasnya telah dilaksanakan, akan tetapi gagal karena Bun Houw menolaknya. Siauw Tek dengan sikap kecewa menyuruh Leng Leng keluar dari ruangan itu di mana dia sedang bercakap-cakap dengan Pouw Cin dan Suma Hok. Dan iapun mengintai dan mendengarkan. Gadis ini terkejut mendengar rencana kakaknya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi akan menangkap Bun Houw kalau pemuda itu tidak mau diajak bekerja sama, karena Bun Houw dicurigai sebagai mata-mata setelah Suma Hok menceritakan siapa adanya pemuda itu. Murid Pangeran Tiauw Sun Ong, bahkan calon mantunya! Cepat-cepat Kiok lan kembali ke kamarnya sendiri setelah mendengar semua rencana itu.
Liu Kiok Lan duduk melamun. Ia tahu bahwa kakaknya menghimpun pasukan untuk dapat merebut kembali tahta kerajaannya yang dirampas oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan baru Chi. Sebagai seorang bekas puteri istana, tentu saja ia menyetujui rencana kakaknya ini dan dengan sepenuh hati ingin membantunya. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya pula. Akan tetapi, kalaupun mereka harus merebut kembali kerajaan dan membangun kembali dinasti Liu-sung yang sudah jatuh, harus dilakukan dengan cara yang gagah dan wajar. Ia selalu cocok dengan sikap yang diambil oleh bekas Panglima Pouw yang selalu bertindak dengan gagah perkasa. Ia pulang tidak suka dengan cara yang curang dan licik. Kini, melihat betapa kakaknya hendak menyuguhkan selirnya sendiri kepada Kwa Bun Houw untuk menjatuhkan hati pendekar itu dari menariknya sebagai pembantu, tentu saja ia merasa amat tidak senang. Apalagi mendengar rencana kakaknya yang agaknya terbujuk oleh Suma Hok untuk menangkap atau membunuh, Kwa Bun Houw dengan pengeroyokan kalau pendekar itu tidak mau membantu, sungguh amat mengganggu hatinya dan menekan perasaannya.
Akhirnya ia meneambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw. Bukan karena ia merasa berat kepada pemuda yang baru saja dikenalnya itu, melainkan ia hendak mencegah kakaknya bertindak curang. Cepat ia bertukar pakaian yang ringkas dan membawa pedang. Ia harus dapat memabuki kamar Bun Houw sebagai pencuri agar tidak sampai terlihat kakaknya, Kalau ia masuk sebagai pencuri, andaikata ia ketahuan kakaknya, ia dapat mengambil alasan bahwa ia berniat untuk menyerang tamu itu, karena ia sudah tahu bahwa tamu itu adalah murid Paigeran Tiauw Sun Ong dan ia mencurigainya.
Dengan ilmu kepandaiannya, tidak sukar bagi Kiok Lan untuk meloncat ke atas genteng dan berada di atas kamar Bun Houw. Setelah membiarkan peronda lewat, ia melayang turun dan mencokel jendela kamar dengan pedangnya. Ia tahu bagaimana bentuk jendela itu. maka tanpa banyak kesukaran ia dapat mencokel jendela sehingga terbuka dan cepat ia meloncat ke dalam kamar, lalu menutupkan lagi daun jendela dari dalam, ia merasa lapang dada karena agaknya tidak ada orang mengetahui perbuatannya, dan agaknya tamu itupun sudah tidur. Ia menghampiri pembaringan yang kelambunya tertutup. Cuaca dalam kamar itu remang-remang karena lilin di atas meja sudah dipadamkan, akan tetapi ada sinar masuk dari luar melalui lubang-lubang angin di atas jendela, yaitu sinar lampu gantung di luar kamar!"
Tiba-tiba kelambu tersingkap dan sesosok tubuh meloncat keluar. Karena Kiok Lan tidak nenyerang, maka Bun Houw juga hanya meloncat dan berdiri di tengah kamar, memandang kepada gadis yang membawa pedang di tangan kanan itu.
"Kwa-twako ...!" bisik Kiok Lan yang mencontoh kakaknya, menyebut twako (kakak) kepada pemuda itu. Baru sekarang Bun Houw tahu bahwa bayangan hitam membawa pedang yang mencokel daun jendela dan memasuki kamarnya itu adalah Liu Kiok Lan, bekas puteri istana, adik bekas kaisar! Kalau tadinya dia terkejut karena sudah tahu ada orang mencokel jendela kamarnya, kini kekagetan itu bertambah dengan keheranan setelah mengetahui bahwa yang masuk seperti pencuri ke dalam kamarnya adalah bekas puteri itu.
"Nona itu ... apa ... apa artinya ini ...?"
"Dia bertanya gagap, namun menahan suaranya sehingga berbisik karena dia sama sekali tidak ingin ada orang lain melihat gadis, bangsawan ini memasuki kamarnya seperti itu. Sekilas lantas dia mengira bahwa jangan-jangan bekas kaisar itu, setelah tadi usaha selirnya gagal, kini begitu tega mengutus adiknya sendiri untuk merayunya! Akan tetapi segera dia mengusir prasangka ini karena biarpun dia baru saja mengenal Kiok Lan ketika sama-sama makan di meja makan, dan ketika gadis itu bersama Pouw Cin mengantar dia dan Suma Hok berkeliling melihat benteng yang disusun, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis bangsawan ini memiliki kegagahan dan keangkuhan, memiliki harga diri yang tinggi. Tidak mungkin gadis seperti itu sudi melaksanakan tugas yang sehina itu.
"Maafkan kalau aku mengejutkanmu, twako. Akan tetapi jawab dulu pertanyaanku. Benarkah engkau murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, dan benar pulakah bahwa engkau akan menjadi mantu Tiauw Sun Ong? Jawab sejujurnya, ini mengenai mati-hidupmu!"
Tentu saja Bun Houw terbelalak. Mengenai mati hidupnya? Biarpun dia tidak ingin bercerita tentang gurunya dan apalagi tentang Hui Hong, namun melihat betapa gawatnya keadaan dari sikap aneh bekas puteri istana ini, diapun mengaku terus terang seperti yang dikehendaki gadis itu.
"Benar, nona. Aku murid suhu Tiauw Sun Ong dan dicalonkan menjadi mantunya. Lalu, kenapa?"
"Jawab lagi sejujurnya, demi iktikad baikku terhadap dirimu! Apakah engkau datang ke sini sebagai mata-mata. diutus oleh suhumu atau oleh kerajaan Chi?"
Sekarang mengertilah Bun Houw. Dia dicurigai! Akan tetapi kalau gadis ini mencurigainya, kenapa malam-malam datang mengajukan pertanyaan itu? Kalau benar dia mata-mata, sungguh tindakan gadis ini bodoh sekali.
"Tidak sama sekali, nona! Secara kebetulan saja aku bertemu dengan kakakmu, lalu aku diundang ke sini. Sebetulnya, aku tidak ingin berdiam di sini, akan tetapi kakakmu yang mendesakku sehingga aku merasa sungkan, melihat sikapnya yang ramah. Kenapa nona menyangka yang bukan-bukan?"
"Nah, ada satu pertanyaan yang harus kaujawab sejujurnya. Kakakku menghendaki agar engkau suka membantunya dalam perjuangannya merebut kembali tahta kerajaan. Bersediakah engkau membantunya?"
Tanpa ragu lagi Bun Houw menggeleng kepala dan menjawab,
"Tidak, nona. Aku tidak mau melibatkan diriku dalam perang saudara memperebutkan kekuasaan."
"Nah, inilah sebabnya aku malam-malam-memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Besok pagi-pagi, kakakku dalam perjamuan makan pagi akan meminta keputusanmu. Kalau engkau suka membantunya, tentu tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi sebaliknya, kalau engkau menolak, engkau akan ditangkap, mungkin dibunuh karena mereka sudah tahu bahwa engkau murid Tiauw Sun Ong."
Bun Houw terkejut, akan tetapi tidak merasa heran. Tentu Suma Hok yang membuka rahasia dirinya dan diapun tahu mengapa. Suma Hok membencinya, dan agaknya hendak mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakakannya.
"Hemm, lalu apa maksudnya nona datang memberitahukan semua ini kepadaku?"
"Aku tidak suka dengan cara yang diambil kakakku kepadamu. Enci Leng disuruh merayumu. Sungguh tak tahu malu! Dan kalau engkau tidak mau membantunya, besok engkau akan dikepung pasukan dan dikeroyok, inipun tindakan curang dan licik yang tidak kusukai. Karena itu, aku datang memberitahu kepadamu agar malam ini juga engkau cepat melarikan diri dari tempat ini. Cepat!"
Pada saat itu, terdengar suara kaki orang di luar kamar dan melalui sinar lampu, nampak bayangan beberapa orang seperti mendekati jendela.
"Cepat, akan kuserang kau!" bisik Kiok Lan dan gadis ini segera menendang daun jendela terbuka dan berseru,
"Mata-mata laknat, engkau akan mati di tanganku!"
Bun Houw sudah menyambar buntalan pakaiannya dan ketika diserang oleh Kiok Lan, tubuhnya sudah mencelat ke belakang. Kemudian, dia membalik dan mengerahkan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek cin-kang, mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah daun pintu.
"Braaaakkk ...!!" Daun pintu jebol dan dia lalu meloncat ke luar, dan sebelum para peronda yang terkejut dan tercengang itu dapat bergerak, Bun Houw sudah meloncat naik ke atas genteng.
"Mata-mata jahat, akan lari ke mana kau!" bentak Kiok Lan yang sudah meloncat keluar pula melalui pintu yang jebol, dengan pedang di tangan dan iapun melayang naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Namun, Bun Houw sudah menghilang dalam kegelapan malam. Kiok Lan merasa lega dan ia berpura-pura masih mencari-cari sambil berteriak-teriak, menyuruh para penjaga melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tiba-tiba nampak Pouw Cin, Suma Hok dan tiga orang perwira dari pasukan yang dihimpun Siauw Kongcu, berloncatan ke atas genteng.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Suma Hok dan Pouw Cin yang terkejut mendengar ribut-ribut itu. Mereka keluar dari kamar dan mendengar ada mata-mata dari para penjaga yang berada dalam keadaan panik.
Kiok Lan mengerutkan alisnya.
"Sialan! Aku gagal menangkapnya! Dia telah berhasil melarikan diri. Cepat kita kejar dan cari dia, tangkap! Bunuh!" Tanpa memberi kesempatan kepada lima orang itu untuk bicara, Kiok Lan sudah meloncat jauh ke depan, lalu melakukan pengajaran ke sana sini. Tentu saja lima orang itupun bingung. Mereka kini tahu bahwa yang melarikan diri adalah Kwa Bun Houw, akan tetapi ke mana mereka harus mengejar?
Pengejaran dan pencarian itu gagal dan kini mereka semua sudah berada di ruangan depan menghadap Siauw Tek yang sudah terbangun dan siap untuk mendengar laporan mereka.
"Paman Pouw, apa yang telah terjadi, kenapa ribut-ribut ini dan aku mendengar keterangan yang tidak jelas dari para pengawal. Kwa Bun Houw melarikan diri? Bagaimana pula ini."
Pouw Cin memberi hormat dan nampak gelisah.
"Maaf, Kongcu. Saya sendiri juga tidak mengetahui dengan tepat apa yang telah terjadi. Ketika terdengar suara ribut-ribut, saya terbangun dan lari keluar dari kamar bertemu dengan Suma-taihiap dan tiga orang perwira. Melihat Siocia berada di atas genteng, kami berlompatan naik dan membantu Siocia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Kwa Bun Houw, akan tetapi sia-sia. Dia telah lenyap."
"Siauw-moi, apa yang telah terjadi?"
"Begini, koko. Tadi ketika aku kebetulan lewat didepan kamar di mana koko bersama Paman Pouw dan Suma-toako ini bicara, aku mendengar bahwa Kwa Bun Houw adalah murid dan calon mantu Pangeran Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita. Aku menjadi marah dan setelah kuanggap dia tidur pulas, aku memasuki kamarnya untuk membunuhnya. Aku berhasil masuk, aku melihat dia sudah siap dengan buntalannya untuk melarikan diri. Aku menyerangnya, kami berkelahi dalam kamar akan tetapi dia terlalu lihai, koko. Dia menjebol pintu dan melarikan diri. Aku berusaha mengejarnya namun tidak berhasil."
"Ahh, Siauw-moi, kenapa engkau begitu lancang? Kami sudah mengatur rencana untuk menangkapnya besok pagi-pagi. Kenapa engkau telah mendahului kami sehingga dia berhasil melarikan diri?" tegur bekas kaisar itu.
Adiknya memandang dengan alis berkerut dan bibir cemberut.
"Aku tidak tahu akan rencana itu, koko. Salahmu sendiri kenapa aku tidak diajak berunding? Begitu mendegar dia murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita, aku sudah tidak sabar lagi dan aku ingin membunuhnya.
"Hemm, engkau lancang, siauw-moi. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menandingi seorang diri saja? Kalau kau memberitahukan kami, tentu kita tidak akan gagal untuk menangkapnya," kembali bekas kaisar itu mengomeli adiknya.
"Saya kira, belum tentu Kwa Bun Houw itu memata-matai kita, Kongcu. Siapa tahu, dia malah dapat kita bujuk untuk membantu perjuangan kita," kata Pouw Cin.
"Itulah yang mengesalkan hatiku, paman! Kalau dia tidak melarikan diri karena diserang Kiok Lan, besok kita dapat membujuknya dan kalau dia mau membantu, berarti kita mendapatkan tenaga yang boleh diandalkan. Sekarang dia telah pergi, kita kehilangan seorang pembantu tangguh."
"Harap Kongcu tidak terlalu kecewa. Andaikata Bun Houw mau menjadi pembantu Kongcu, tetap saja hal itu amat berbahaya. Sebagai murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong, bagaimana dia dapat dipercaya? Sekali waktu tentu akan menjadi pengkhianat. Sudahlah, ada baiknya dia pergi dan tidak membahayakan kita lagi. Tentang tenaga bantuan, harap Kongcu tidak khawatir, Aku akan membujuk agar ayahku bersama semua anak buah kami suka membantu Kongcu. dan tenaga bantuan ayahku dan anak, buah kami tentu jauh lebih kuat dan boleh diandalkan dari pada tenaga Bun Houw."
Mendengar ucapan ini, wajah bekas kaisar itu berseri gembira dan dia memandang kepada Suma Hok dengan mata bersinar-sinar.
"Ah, benarkah itu, Suma toako? Alangkah baiknya kalau ayahmu suka membantu kami. Aku sudah mengenal baik Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan sudah tahu akan kehebatannya. Kami akan merasa gembira dan beruntung sekali kalau dia suka membantu kami!"
Suma Hok tersenyum.
"Aku akan berusaha sedapatku Kongcu. Akan tetapi harus kuakui bahwa memang tidak mudah membujuk ayah. Ayah memiliki watak yang keras dan kalau bukan keluarga sendiri, atau orang yang memiliki hubungan erat atau hubungan keluarga dengan dia, agak sukar dia mau membantu."'
"Hemm, kami mengenal siapa ayahmu. Kalau datuk besar itu mau membantu perjuangan kami, kelak kalau kami berhasil tentu tidak akan melupakan jasanya dan kami akan memberi kedudukan yang tinggi."
"Sebagai panglima besar, Kongcu?" cepat Suma Hok mendesak.
Siauw Tek tersenyum, akan tetapi senyumnya agak dingin dan dia menoleh kepada Pouw Cin.
"Kedudukan yang tinggi, akan tetapi tentu saja bukan panglima besar karena kami sudah memiliki seorang panglima besar, yaitu Paman Pouw Cin."
"Hemm, saudara muda Suma Hok, belum juga jasa dibuat, bagaimana hendak bicara tentang pahala? Harap jangan khawatir! Kongcu tidak akan melupakan jasa para pembantunya, dan aku sendiri yang akan mencatat semua jasa agar kelak dapat dipertimbangkan, pahala apa yang patut diterima?" kata Pouw Cin dengan nada suara menegur.
Tadi mendengar ucapan bekas kaisar yang sudah menentukan bahwa panglima besarnya adalah Pouw Cin, hati Suma Hok sudah merasa iri dan tidak senang kepada bekas jenderal itu. Kini ditambah lagi dengan ucapan Pouw Cin sendiri, dia merasa direndahkan, akan tetapi dia berpura-pura tidak merasa tersinggung dan tersenyum saja. Pada saat itupun dia sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan lain agar derajatnya naik dalam pandangan bekas kaisar itu. Jalan itu adalah melalui Liu Kiok Lan! Kalau saja dia dapat merayu gadis bekas puteri yang cantik jelita itu, dan dapat menarik gadis itu menjadi isterinya, sudah pasti bekas kaisar yang menjadi kakak ipar itu akan lebih mementingkan dia dari pada Pouw Cin!
Pagi yang cerah dan indah sekali, apalagi di dalam taman yang terpelihara baik-baik dan penuh dengan bermacam bunga itu. Musim semi telah berumur sebulan lebih, telah memberi waktu cukup bagi para tanaman untuk mengembangkan bunga-bunga yang indah dan harum. Kupu-kupu ikut bergembira ria, beterbangan di antara bunga-bunga indah. Mereka hinggap dari satu ke lain bunga, dengan rajin mencari dan menghisap madu yang manis dan wangi.
Kiok Lan duduk termenung seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku panjang dekat kolam ikan emas. Ia baru saja memberi makan ikan emas dan kini ia melihat ikan yang berenang memperebutkan makanan, kemudian termenung, tenggelam dalam lamunan.
Ia telah mengkhianati kakaknya sendiri! Ia telah membebaskan orang yang akan ditawan oleh kakaknya. Lamunan membawanya kepada masa lampau, sejak lima tahun yang lalu ia ikut kakaknya melarikan diri dari kota raja Nan-king karena kerajaan kakaknya, yaitu dinasti Liu-sung, diserbu dan dikalahkan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dan mendirikan kerajaan baru, yaitu dinasti Chi. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun. Kehancuran kekuasaan kakaknya yang membuat kakaknya menjadi pengembara ini membuat ia bertekad untuk menjadi seorang wanita tangguh dengan mempelajari banyak macam ilmu silat, bahkan gurunya yang terakhir adalah Paman Pouw, pembantu setia kakaknya. Keluarga kerajaan Liu-sung cerai berai dan iapun selalu mengikuti kakaknya merantau dan akhirnya menetap di daerah Kui-cu, di mana kakaknya mencoba untuk menghimpun kekuatan dan membangun pasukan dengan bantuan Pouw Cin. Iapun dengan penuh semangat hendak membantu kakaknya dan bertekad bahwa kalau kelak terjadi perang dalam usaha kakaknya merebut kembali tahta kerajaan, ia akan membantu dan kalau perlu siap mengorbankan nyawa untuk kebangkitan kerajaan Liu-sung.
Akan tetapi, apa yang dilakukan kakaknya terhadap Kwa Bun Hou merupakan tamparan besar baginya, tamparan yang membuat hatinya terasa sakit, yang menghimpit perasaannya dan menghancurkan semua kebanggaan hatinya terhadap kakaknya, bekas kaisar yang sedang berusaha untuk merampas kembali tahta kerajaan yang sudah hilang itu. Kakaknya melakukan hal-hal yang amat rendah, yang tidak pantas dilakukan searang raja yang besar! Menyuguhkan selir sendiri kepada tamu! Hanya untuk merayu dan membujuk tamu agar suka membantunya. Bahkan, kalau yang dibujuk menolak untuk membantu, akan ditangkap, dibunuh! Betapa keji dan curangnya. Ia sama sekali tidak setuju, dan kenyataan itu membuat ia merasa berduka sekali. Kakaknya telah berubah. Dalam usahanya mengejar cita-cita, kakaknya telah tidak segan mempergunakan segala macam cara, yang kotor dan hina sekalipun. Dan ia tahu bahwa Pouw Cin sudah pasti tidak menyetujui tindakan kakaknya itu. Ia tahu benar betapa gagah dan jantan pembantu utama kakaknya yang juga menjadi gurunya itu. Ia merasa bersedih sekali, dan juga khawatir.
Duka dan takut timbul dari pikiran yang mengenang masa lalu dan membayangkan masa depan. Kalau kita membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah lewat atau peristiwa masa lalu, membanding-bandingkan dan merasa betapa kita kehilangan, bahwa kita dirugikan, akan timbul duka, baik dari iba diri, kecewa atau kesepian. Demikian pula dengan rasa khawatir atau takut, selalu timbul kalau kita membayangkan masa depan, yang dihubungkan dengan saat ini, lalu kita merasa bahwa keadaan kita akan tidak enak, tidak baik atau merugikan dan membahayakan kita. Tidak akan timbul duka dan takut kalau kita hidup saat demi saat, menganggap yang sudah terjadi itu wajar saja dan sesuatu yang sudah dikehendaki Tuhan, membiarkannya lalu seperti hembusan angin tanpa bekas, sebagai sesuatu yang sudah lewat dan sudah mati, kalau kita tidak membayangkan hal yang belum terjadi, menganggap bahwa masa depan hanya kelanjutan dari saat ini, masa depan adalah saat ini juga kalau saatnya tiba, maka tidak perlu dibayangkan. Yang ada hanya berikhtiar sebaik mungkin dalam kehidupan ini, dalam bekerja, dalam berhubungan dengan manusia lain, hubungan dengan masyarakat, dengan pemerintah. Berikhtiar sebaik mungkin berarti bekerja sebaik mungkin, dengan didasari penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Tugas kita hanyalah mengerjakan segala pemberian Tuhan berupa seluruh anggauta badan termasuk hati akal pikiran, memanfaatkannya untuk hidup sebaik mungkin, dan dengan dasar penyerahan kepada Tuhan berarti bahwa apapun yang kita lakukan adalah suatu persembahan kepadaNya. Kalau sudah begini, penyerahan itu seperti menggerakkan kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita sehingga nafsu kita sendiri tidak akan merajalela memperhamba kita, sehingga apapun yang kita lakukan tentu baik dan benar, tidak menyeleweng!
"Nona Liu, selamat pagi." Kiok Lan terkejut, sadar dari lamunannya, dan menoleh. Dilihatnya Suma Hok sudah nampak rapi sekali pagi itu, wajahnya yang tampan segar karena habis mandi, pakaiannya juga indah dan rambutnya disisir mengkilap dan digelung ke atas dengan rapi, diikat kain sutera biru. Pemuda ini memang tampan dan pesolek, dan wajahnya kini nampak berseri dengan senyum yang memikat.
"Ah, Suma-toako, selamat pagi. Pagi-pagi engkau sudah nampak rapi, hendak ke manakah?" tanya Kiok Lan yang juga dapat bersikap lincah dan gembira.
"Ah, tidak kemana-mana, nona. Sehabis mandi, aku melihat betapa indahnya taman ini di pagi yang cerah, maka aku memasukinya, dengan maksud mencari tempat sunyi untuk berlatih silat. Tidak tahu bahwa engkau berada di sini, nona. Maafkanlah kalau aku mengganggu."
"Pemuda yang mengagumkan ini selalu bersikap sopan," pikir Kiok Lan. Dan mendengar bahwa Suma Hok hendak berlatih silat. Kiok Lan segera menjadi tertarik sekali.
"Toako, kebetulan sekali kalau engkau hendak berlatih silat. Aku ingin sekali belajar silat darimu toako!"
"Aih, nona. Engkau sudah cukup lihai dengan ilmu silat yang kau kuasai, bagaimana aku berani mengajarmu?"
Kiok Lan cemberut, mengambil sikap seperti orang kecewa.
"Hemm, engkau tidak mau mengajarkan silat padaku, toako? Agaknya engkau menganggap aku terlalu bodoh dan tidak berharga untuk menerima pelajaran silat darimu, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, nona!" kata Suma Hok dengan melebarkan matanya,
"Bukan begitu maksudku. Aku hanya khawatir bahwa engkau akan kecewa, karena ilmu kepandaianku masih rendah ...
"
"Nah-nah. ... sekarang engkau merendahkan diri. Kaukira aku belum tahu? Ketika engkau mengalahkan Ngo-liong Sin-kai, aku sudah melihat betapa lihainya engkau! Bahkan aku merasa yakin bahwa guruku terakhir, yaitu Paman Pouw seniiri tidak akan menang melawanmu. Bagaimana, toako, engkau, masih tidak mau mengajarkan silat kepadaku?"
"Baiklah, nona. Aku akan mengajarkan apa yang aku bisa, akan tetapi dengan satu syarat bahwa aku tidak mau kauanggap sebagai guru, apalagi kalau engkau menyebut suhu kepadaku, aku tidak mau menerimanya!"
Kiok Lan tertawa dan Suma Hok terpesona. Dia seorang pemuda yang memiliki watak mata keranjang dan gila kecantikan wanita, maka tentu saja Kiok Lan yang lincah dan cantik jelita, juga memiliki pembawaan agung ini membuat dia mengilar. Akan tetapi dia memang pandai membawa diri dan berpura-pura alim.
"Hi-hik, engkau lucu, toako! Bagaimana mungkin aku menyebut suhu kepadamu? Usiamu hanya beberapa tahun saja lebih tua dariku. Bahkan kepada guruku terakhir, yaitu Paman Pouw Cin, aku menyebut paman, tidak memanggilnya suhu. Akupun enggan kalau harus menyebut suhu kepadamu!"
Suma Hok tertawa pula, memperlihatkan giginya yang dia tahu berbaris rapi dan putih terpelihara.
"Sungguh aku merasa berbahagia sekali memperoleh seorang murid yang pandai, cerdik, dan cantik jelita seperimu nona." Sebelum gadis itu terkesan oleh pujaan atau rayuannya, dia cepat menyambung.
"Nah, sebaiknya kita mulai sekarang, nona. Pagi ini cuaca baik sekali untuk berlatih."
Kegembiraan karena akan dilatih silat oleh pemuda itu membuat Kiok Lan tidak begitu memperhatikan lagi rayuan tadi, dan iapun cepat mengajak Suma Hok ke belakang pondok di taman. Belakang pondok itu, di tempat terbuka memang disediakan untuk berlatih silat. Lantainya dari ubin batu lebar yang rata dan cukup luas.
Suma Hok yang cerdik ingin mengambil keuntungan sebanyaknya dari kesempatan ini. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk merayu gadis bekas puteri ini. Kalau gadis ini sudah jatuh ke tangannya dan menjadi isterinya atau setidaknya menjadi tunangannya, maka barulah dia akan membantu perjuangan bekas kaisar kerajaan Liu-sung dengan sepenuh tenaga, bahkan akan membujuk ayahnya untuk membantu pula. Dan untuk dapat mencapai cita-citanya memperisteri bekas puteri ini, terlebih dahulu dia harus dapat menjatuhkan hati Kiok Lan! Oleh karena dia telah memperhitungkan segalanya dengan cepat, pemuda yang cerdik dan licik ini lalu berkata sambil tersenyum.
"Nona, karena engkau telah mempelajari banyak ilmu yang cukup tinggi, maka kiranya tidak perlu mempelajari ilmu silat baru dariku. Sebaiknya kalau aku mencoba memberi petunjuk kepadamu dalam ilmu silat yang sudah kaukuasai, menunjukkan kelemahan dan kekurangannya, dan menambah daya serangannya sehingga engkau akan memperoleh kemajuan cepat. Caranya adalah engkau berlatih silat denganku, engkau keluarkan jurus-jurus ilmu silatmu dan kalau aku melihat jurus yang lemah, akan kuberi petunjuk. Dengan demikian maka engkau akan cepat maju."
Kiok Lan mengangguk.
"Rencanamu itu baik sekali, toako. Nah, mari kita mulai. Aku akan menyerangmu dengan ilmu silat yang paling kuandalkan."
"Baik, aku sudah siap. nona." kata pemuda itu. Dengan cara yang diambilnya itu, selain dia tidak perlu mengajarkan ilmu-ilmunya kepada gadis ini, juga dalam latihan bersama, dia akan mendapat, kesempatan lebih banyak untuk beradu lengan, untuk menyentuh gadis itu, dan berdekatan, juga untuk memamerkan kepandaiannya membuat gadis itu tidak berdaya. Diapun memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kaki kiri ditekuk di depan, kaki kanan di belakang, tangan kiri diangkat ke atas dan tangan kanan ditekuk di pinggang, mukanya menoleh ke kanan menghadap ke arah Kiok Lan.
"Toako, lihat seranganku! Haiiittt ...!!"
Kiok Lan yang kini merasa gembira karena mendapat kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang ia tahu amat lihai itu segera mengerahkan tenaganya. Cepat sekali tubuhnya bergerak ke depan dan ia sudah menyerang dengan totokan-totokan kilat yang bertubi-tubi ke arah berbagai jalan darah di bagian depan tubuh lawan.
"Bagus!" Suma Hok mengelak ke sana-sini, berloncatan dan kadang menangkis sambil mengamati gerakan gadis itu. Ketika melihat kesempatan, pada saat jari tangan kanan gadis itu menotok ke arah pundaknya, dia memutar tubuh ke kiri dan menangkap dengan tangan kanan pada pergelangan tangan Kiok Lan yang kanan, lalu tangan kirinya menotok pundak kiri gadis itu sambil memuntir lengan kanan Kiok Lan ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya, lengan kanannya terbekuk ke belakang dan kini lengan kiri Suma Hok melingkari lehernya dengan jari-jari tangan mengancam tenggorokannya! Tentu saja hanya sebentar Suma Hok menelikung gadis itu, lalu melepaskannya lagi.
"Nah, di sini engkau melakukan gerakan yang lemah, nona, sehingga engkau mudah dapat tertekan," kata Suma Hok, dengan lembut dan sopan dia memberi penjelasan, minta kepada gadis itu mengulang lagi serangannya yang tadi dan menjelaskan bagian mana yang lemah dan harus diadakan perbaikan. Demikianlah, dengan cerdiknya Suma Hok memberi petunjuk dan dia mendapat banyak kesempatan untuk meringkus, merangkul dan memeluk tubuh gadis itu ketika menundukkannya, namun tidak membuat Kiok Lan merasa rikuh karena semua itu dilakukan Suma Hok untuk memberi petunjuk kepadanya.
Kedua orang muda ini sama sekali tidak tahu betapa sepasang mata mengamati mereka dari jauh, sepasang mata yang berkilat dan sepasang alis yang berkerut tanda bahwa si pemilik mata tidak berkenan hatinya melihat apa yang mereka lakukan itu.
Sejak pagi hari itu, hubungan antara Suma Hok dan Liu Kiok Lan menjadi semakin akrab. Kiok Lan merasa senang dan puas karena harus ia akui bahwa sejak ia diberi petunjuk oleh Suma Hok, ia memperoleh kemajuan pesat sekali. Iapun menjadi semakin tertarik dan kagum saja kepada pemuda itu. Suma Hok nampaknya memberi petunjuk dengan sungguh hati dan sikap pemuda itupun selalu sopan dan ramah, membuat gadis itu terpikat dan senang sekali. Apalagi ketika Suma Hok berjanji akan mengajarkan suatu cara menghimpun tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang istimewa untuk memperkuat tubuh, Kiok Lan menjadi semakin bersemangat.
"Latihan itu merupakan cara bersamadhi yang harus dilakukan dalam tempat tertutup dan tidak boleh kelihatan orang lain! Kurasa latihan itu dapat dilakukan di dalam pondok taman, nona. Dan untuk dapat melakukan latihan itu dengan baik, engkau harus minum ramuan obat dari keluarga Suma yang sengaja dibuat untuk melengkapi latihan itu."
"Ah, aku senang sekali, toako. Mari kita lakukan latihan itu, aku telah siap. Kapan kita melakukannya, Suma-toako?" tanya Kiok Lan penuh semangat.
Mereka baru habis berlatih dan beristirahat di belakang pondok. Kiok Lan menghapus keringatnya dengan saputangan, wajahnya yang berkeringat nampak kemerahan dan segar seperti buah tomat yang sedang ranum, matanya bersinar-sinar dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum manis.
Suma Hok menelan ludah.
"Secepatnya lebih baik, nona, akan tetapi aku khawatir kalau-kalau engkau akan berkeberatan dan terutama kalau-kalau Kongcu akan tidak mengijinkan latihan itu kaulakukan ..."
"Eh, kenapa, toako? Koko sudah tahu, bahwa engkau memberi petunjuk ilmu silat kepadaku dan dia sama sekali tidak berkeberatan, bahkan ikut bergembira melihat kemajuanku. Kalau latihan itu untuk memperkuat sin-kang dalam tubuhku, kenapa dia tidak akan mengijinkan?" Sepasang mata yang bening itu mengamati wajah Suma Hok dengan penuh selidik.
"Begini, nona. Latihan sin-kang dari keluarga kami itu merupakan latihan rahasia yang tidak boleh dilihat atau diketahui orang lain. Dan si pelatih tidak akan berhasil tanpa bantuan seorang di antara kami yang telah ahli, dan dalam hal ini, nona harus kubantu kalau ingin berhasil. Dan latihan ini baru dapat dilakukan kalau matahari sudah tenggelam, yaitu pada malam hari, semalam suntuk. Inilah yang membuat aku ragu apakah nona tidak akan berkeberatan, dan apakah Kongcu akan memberi ijin kalau nona berlatih sin-kang dalam pondok dengan kutemani selama semalam suntuk. Karena itu, lebih baik kalau engkau tidak berlatih sin-kang keluarga kami itu, nona."
Sepasang alis itu berkerut. Memang agak aneh cara latihan itu, pikirnya. Memang tentu saja kakaknya tidak akan mengijinkan kalau ia berlatih sin-kang berdua saja semalam suntuk dengan Suma Hok dalam tempat tertutup. Hal itu memang tidak semestinya dan tidak pantas. Akan tetapi, ia melihat kesungguhan dalam cara Suma Hok mengajarkan ilmu kepadanya. Selama ini, Suma Hok mengajar dengan sungguh hati dan tidak pernah pemuda itu memperlihatkan sikap atau melakukan perbuatan yang tidak sopan kepadanya. Ia percaya sepenuhnya kepada Suma Hok dan ia merasa yakin bahwa biarpun mereka berdua akan berlatih dalam pordok tertutup selama semalam suntuk, pasti pemuda itu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Ia melihat betapa lihainya Suma Hok dan ia ingin sekali mendapatkan kekuatan sin-kang yang hebat.
"Jangan khawatir, toako. Kalau latihan itu hanya dilakukan dalam waktu semalam suntuk, aku akan dapat mengaturnya agar kita melakukan latihan itu tanpa diketahui oleh kakakku atau oleh siapapun juga."
Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda bahwa gadis itu mulai tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan bahwa mau atau tidak mau, bekas puteri istana ini akan menjadi isterinya! Bagaikan seekor laba-laba yang memasang jerat, dia telah melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!
"Akan tetapi, bagaimana caranya, nona? Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat marah dari Kongcu."
"Jangan takut, aku yang tanggung kalau sampai koko mengetahui dan memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah saja. Kita tentukan waktunya, kemudian setelah semua orang tidur dan keadaan sunyi, kita ketemu di pondok dan melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"
"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang akan bertanggung jawab kalau sampai kakakmu mengetahui dan marah?"
"Tentu saja. Dan pula, kita berdua hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih sukar ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain, tentu tidak sesukar itu dia menundukkannya, Liu Kiok Lan ini seorang gadis yang tegas, berani, memiliki harga diri yang tinggi. Seorang gadis seperti ini, walau misalnya sudah tertarik dan jatuh cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan, amat menghargai kehormatannya sebagai seorang bekas puteri istana. Buktinya, gadis itu begitu benci kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong adalah pamannya sendiri. Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin agar tidak sampai gagal. Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu untuk melaksanakan latihan itu. Suma Hok memilih waktu tiga malam lagi. Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya bulan sedikitpun sehingga tentu malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan akan dibiarkan tidak terkunci daun pintunya.
Tiga malam kemudian. Malam itu memang gelap seperti sudah diperhitungkan Suma Hok. Agaknya keadaan malam itu membantu rencana siasatnya. Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam gelap pekat dan udara dingin, membuat orang segan untuk keluar pintu. Taman rumah besar bekas kaisar itupun sunyi sekali. Yang terdengar hanya bunyi kerik jangkerik dan belalang malam.
Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat terhenti sejenak dua kali karena adanya orang yang lewat memasuki taman menuju ke pondok dalam waktu yang sebentar saja selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik terganggu dan terhenti.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu pondok. Dia sudah berada di situ lebih dahulu. Ruangan pondok itu cukup luas, dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di ruangan itu karena memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.
Melihat pemuda yang menjadi guru tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia mereka malam itu!
"Selamat malam, toako. Sukurlah, engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako." Bagaimanapun juga, berada berdua saja dengan pemuda itu di dalam pondok yang hanya diterangi lampu gantung dari luar sehingga keadaan ruangan itu remang-remang, pada malam hari pula, mendatangkan perasaan rikuh di hatinya, maka ia pun hendak menutupi perasaan itu dengan cepat-cepat melaksanakan latihan yang dijanjikan Suma Hok kepadanya.
"Nanti dulu, nona. Seperti telah kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau simpanan yang biasanya hanya diajarkan kepada anggauta keluarga turun temurun, dan yang melatih ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti lajimnya, lalu minum ramuan obat yang sudah kupersiapkan."
"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah cawan dan sebungkus obat bubuk. Dia menuangkan isi guci yang menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian memasukkan bubuk putih dari bungkusan.
"Nona, mari kita berlutut untuk mengucapkan janji seperti yang diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.
"Nah, peganglah cawan ini dan tirukan ucapanku, nona." katanya. Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.
"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji akan merahasiakan ilmu Lui-kong ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain kecuali anggauta keluarga Suma. Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga Suma!" Lalu Suma Hok memberi isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.
Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan keras, membuat ia tersedak, akan tetapi isi cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima kembali cawan kosong dan berkata lembut.
"Engkau akan merasa pening sedikit, akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam samadhi harus seperti ini, dan pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening maka cepat ia bangkit dan menghampiri dipan, lalu duduk bersila di atas dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok juga bangkit dan pemuda itu agaknya duduk di kursi.
Tak lama kemudian, pemuda itu bertanya,
"Apakah peningnya sudah hilang, nona?"
"Susudah ... toako ...
" kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya! Dia tahu benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah mempengaruhi seluruh tubuh dan juga hati dan pikiran gadis itu, membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat tanpa penolakan sedikitpun!
"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya, dan kedua telapak tangannya dia tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata,
"Sekarang, tariklah napas perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran hawa dari kedua tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah menghimpun tenaga sakti Lui-kong-ciang!"
Kiok Lan yang sudah tidak merasa pening kini merasa seperti dalam mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main, seperti diayun-ayun, kemudian ia merasa betapa dua telapak tangan yang menempel di punggungnya, mengeluarkan hawa yang hangat dan mendatangkan getaran yang menggetarkan seluruh tubuhnya, membuat ia merasa seperti digelitik dan mula-mula bulu tengkuknya meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan. Sedikit demi sedikit, bagaikan api yang mulai membakar, ia merasakan suatu rangsmgan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya panas, makin lama semakin panas seperti dibakar.
"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ...
" ia mulai mengeluh, napasnya memburu dan suaranya seperti merintih.
Dan suara yang halus lembut itu terdengar dekat sekali dengan telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus,
"Kalau panas dan gerah mengganggumu engkau boleh membuka pakaianmu, agar terasa nyaman, agar tidak mengganggu latihanmu ...
"
Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi keinginan hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang membuat ia berkeringat. Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan melepaskan pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam pondok itu terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar teriakan,
"Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin. Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir balik. Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-goyang dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga. Gadis itu terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan. gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan. Kemudian Pouw Cin membalikkan tubuh karena dia mendengar angin menyambar dahsyat. Dia cepat membuat gerakan menangkis, namun terlambat. Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari belakang terbuka dan perhatiannya masih tercurah kepada Kiok Lan sehingga tangkisannya agak terlambat.
"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.
"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat. Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri, matanya terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.
"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali, perlawanannya tidak berarti bagi Suma Hok. Berulang kali ujung sulingnya menemui sasaran dan tubuh Pouw Cin kembali terjengkang atau terpelanting beberapa kali. Akhirnya, sebuah hantaman suling yang mengenai kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Mukanya berubah kehitaman karena keracunan, dari mata, telinga, mulut dan hidungnya keluar darah. Akan tetapi matanya masih melotot memandang kepada Suma Hok, dan bibirnya masih bergerak-gerak,
"kau ... kau ... terkutuk kau ...
" dan diapun terkulai, seorang jenderal atau panglima besar yang amat setia kepada rajanya, menemui kematian secara menyedihkan sekali.
Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis! Dia masih tersenyum ketika menghampiri dipan sambil kedua tangannya membuka kancing bajunya, matanya berkilat dan senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok berteriak-teriak,
"Ada pembunuh ...! Ada penjahat keji ...!!"
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang yang bertugas menjadi pengawalnya. Mereka melihat Suma Hok berdiri di depan pondok dengan suling di tangan dan muka babak belur, pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan. Begitu melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.
"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"
Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi mereka.
"Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!"
Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur tangis dia berkata,
"Kongcu malapetaka telah menimpa orang yang paling Kongcu percaya ...
"
"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan mengguncangnya tidak sabar. Guncangan ini agaknya membuat Suma Hok menjadi tenang.
"Kongcu, harap perintahkan semua orang mundur, dan marilah kongcu bersama saya saja yang masuk melihat ...
"
Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua pembantunya untuk menjauh, kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.
Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu penerangan dari luar masuk, membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh. Suma Hok cepat memegang lengannya.
"Kuatkan hati paduka, Kongcu ...
" katanya hormat,
"dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang mengetahuinya ...
"
Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh. Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan pakaian setengah telanjang pula, telentang di atas dipan dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan atau tidur.
"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.
"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan orang lain sebelum ia sadar dari pingsannya."
"Ia ... ia tidak mati ... ?"
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.
Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggil-manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.
Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut, memandang kepada Suma Hok.
"Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.
"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi. Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan yang masih agak nanar itu memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok.
"Toako, apa yang telah terjadi? Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?"
Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan. Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!
"Ihhh ... aku ... kenapa ...? Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.
"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw mempunyai ilmu silat tinggi dan bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan percaya kalau dikabarkan bahwa yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi. Dengan demikian, tidak akan terjadi banyak dugaan dan kecurigaan."
Kakak beradik itu hanya dapat mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal mengerikan pada dirinya!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik. Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam rumah. Di dalam ruangan sebelah dalam yang tertutup, di mana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak beradik itu mendesak agar Suma Hok menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara tenang.
"Kongcu, sebelumnya saya harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi. Nona Liu sedang berlatih semacam ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui jendela. Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak dapat 1menjaga diri dan sayapun roboh tertotok dan tidak mampu bergerak sama sekali." Dia memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 18
"Ketika itu, saya sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan merobohkan saya dengan totokan."
Hui Hong Bertemu Sang Ayah
MELIHAT Suma Hok berhenti bercerita dan kelihatan sedih dan bingung Kiok Lan yang sudah menduga hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya,
"Lalu bagaimana, toako? Teruskan ...!!"
Kembali Suma Hok nampak kebingungan, sebentar memandang kepada gadis itu, lalu kepada Siauw Tek, dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.
"Toako, ceritakan, apa yang selanjutnya terjadi?" Siauw Tek mendesak pula.
"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak berhasil karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur. Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ... saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya memejamkan mata ...
"
"Apa yang dia lakukan? Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Kiok Lan membentak, mukanya sebentar merah, sebentar pucat,
"Dia menggunakan kesempatan selagi saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ... dia ... binatang itu telah melakukan hal keji terhadap dirimu nona ...
"
Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis.
" ... jahanam busuk, keparat terkutuk ...?" ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.
Kakaknya cepat bangkit dan merangkulnya, mencoba untuk menghiburnya. Namun sia-sia, Kiok Lan terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu membiarkannya melepas kedukaannya melalui tangisnya dan setelah agak mereda. Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya menundukkan mukanya.
"Suma-toako, lalu apa yang terjadi? Bagaimana jahanam terkutuk itu dapat mampus?" Mendengar pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok Lan ikut mendengarkan.
"Saya berusaha keras untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, Kongcu. Akan tetapi memang totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong Nona Liu. Kemudian, jahanam busuk itu mengakhiri perbuatannya yang terkutuk dan agaknya hendak membunuh saya agar rahasianya tidak sampai bocor. Akan tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh saya dengan totokan maut, saya dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan menyerangnya. Kami berkelahi dan akhirnya saya dapat merobohkan dan menewaskan manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, iapun berlari keluar dari ruangan itu.
"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu, memalangnya dari dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.
"Kongcu, saya kira lebih baik kalau sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini menyentuh lengan bekas kaisar itu.
Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh.
"Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami sekeluarga? Aih, aku dapat membayangkan betapa hancurnya hati adikku. Kini ia ternoda, lalu bagaimana nanti masa depannya? Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya nampak bersedih sekali.
"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur. Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek menutupkan daun pintu dan kini mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui orang lain.
"Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih? Tanpa kusangka, malapetaka hebat menimpa diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa orang, dan pembantuku yang paling baik, ternyata seorang jahanam dan kini telah tewas! Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang setia."
"Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri. Kongcu kehilangan pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah besar, dan saya rela mengorbankan jiwa raga untuk membantu Kongcu sampai tercapai cita-cita Kongcu menumbangkan kerajaan Chi dan membangun kembali kerajaan Liu-sung!"
Wajah Siauw Tek yang tadinya muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam wajah Suma Hok.
"Terima kasih, Suma-toako. Agak terhibur hatiku dengan kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu suka pula untuk bekerja sama. Akan tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang menimpa adikku! Bagaimana aku tidak akan bersedih?"
"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari jalan keluarnya, memang sudah menjadi kenyataan, walaupun hanya kita bertiga yang mengetahuinya, bahwa Nona Liu tertimpa aib yang akan menghancurkan masa depannya, akan tetapi hal itupun kiranya masih dapat ditemukan jalan keluarnya."
Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan.
"Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"
"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
"Menikah? Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian? Justeru di situlah letak persoalannya. Adikku, juga aku, tentu akan menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ...
"
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada,"
"Hemm, siapa yang akan mau? pria mana. yang akan suka berkorban seperti itu, menikahi seorang gaiis yang sudah ...
"
"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ...?! !" Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam pandang matanya.
"Engkau, toako? Tapi ... engkau sendiri tahu. bahkan menjadi saksi tunggal ...
"
"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia untuk menutupi aib itu, dengan segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi menerima saya dan kalau paduka menyetujui. ...
"
"Aku? Tentu saja aku setuju sepenuhnya, bahkan aku akan berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan tentang adikku, bagaimana mungkin ia akan menolak? Pengorbananmu ini akan menolongnya, melepaskannya dari aib dan mendatangkan sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan segera menyampaikan kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui adiknya di dalam kamar adiknya. Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya memasuki kamar. ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas kaisar itu dan menangis.
Siauw Tek mengangkat bangun adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan dan dia duduk di tepi pembaringan.
"Tenangkan hatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan menchindarkan engkau dari aib ini."
Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah, memandang kakaknya. Ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata akan tetapi pandang matanya sudah mengajukan pertanyaan apa yang dimaksudkan kakaknya dengan ucapan itu.
"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah mendapatkan bintang penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia untuk menikah denganmu, menjadi suamimu yang sah."
"Koko! Bagaimana mungkin aku ...
"
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan semua itu. Dia adalah Suma Hok ...
"
"Ahh ...!" Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya ketika, ia dalam keadaan pingsan, diperkosa oleh Pouw Cin!"
"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu, bukankah dia pula yang telah membalaskan sakit hatimu, telah membunuh jahanam yang berbuat keji terhadap dirimu?"
"Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk menolongku?" Ia meragu karena masih bimbang, tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana semua peristiwa ini terjadi demikian tiba-tiba dan mengejutkan. Tadinya, ia sebagai seorang gadis yang lincah gembira, yang masih remaja karena usianya baru tujuh belas tahun, tiba-tiba saja telah dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa yang dihadapkan pada pernikahan!
"Dia merasa iba kepadaku, dan kepadamu, siauw-moi, dan dia menawarkan diri selain untuk menggantikan Pouw Cin menjadi, pembantuku yang setia, dia juga bersedia untuk menutupi aibmu dan menjadi suamimu. Bukankah itu hebat sekali, siauw-moi? Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua menjadi beres, melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang amat baik. dan engkau mendapatkan seorang suami yang baik pula."
"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga, koko, usiaku juga baru tujuh belas tahun ...
"
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...! Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan? Aku harus memberi keputusan kepada Suma-toako sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam membantuku."
"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."
"Baiklah, adikku. Aku menunggu dengan sabar, dan engkau harus ingat juga keadaanku, karena aku amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau menolak, mungkin dia akan merasa tersinggung. Dia menawarkan diri untuk menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah kepadanya."
"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."
Demikianlah, baru dua hari kemudian, setelah mata gadis itu tidak lagi membengkak dan merah, setelah lenyap bekas-bekas tangis dukanya, ia memberi kesempatan kepada Suma Hok untuk bertemu dengannya di ruangan tamu. Ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman. Semenjak terjadinya peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi Kiok Lan.
Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega dan juga kagum melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka. Namun ada suatu perubahan terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira, bahkan masih agak kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang pendiam dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.
"Nona Liu ...
" kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Kiok Lan lebih dahulu menundukkan mukanya, kedua pipinya agak kemerahan karena kembali ia teringat akan peristiwa, yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda di depannya ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika dengan suara lirih.
"Suma-toako, aku telah mendengar dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ...
" Ia berhenti, sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau menganggap aku lancang. Sesungguhnya, aku memang tidak cukup berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ...
" Suma Hok dengan cerdik mengambil sikap rendah hati.
"Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan itu karena engkau merasa iba kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib. Benarkah itu?"
"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok cepat.
"Aku merasa amat iba kepadamu, aku ingin membebaskan engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin melenyapkan aib yang kauderita."
Hening sebentar dan setelah menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan mengangkat muka menatap wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik.
"Hanya itu saja alasannya? Engkau hendak menikahiku hanya karena ingin menolongku, hanya karena engkau merasa iba kepadaku?" Sepasang mata itu memandang tanpa berkedip.
"Tidak ada alasan lain?"
Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan utamanya bukan menutup aib, bukan pula iba, melainkan sama sekali berlainan. Dia ingin memperisteri gadis itu selain untuk mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat derajatnya dan akan memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi! Sama sekali dia tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau gadis yang manapun juga di dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun pertanyaan itu diam-diam mengejutkan hatinya, hanya sebentar saja dia tertegun. Segera dia tersenyum malu-malu dan berkata dengan suara lirih menggetar.
"Nona. sebetulnya aku tidak berani mengatakan hal yang sejak dulu menjadi bisikan hatiku ini, akan tetapi ... karena sekarang engkau bertanya, terpaksa aku memberanikan diri untuk mengaku terus terang. Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya maafkan aku, akan tetapi ... sejak pertama kali kita berjumpa, sejak aku membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu! Nah, lega hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini? Nona adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas, kaisar, seorang puteri bangsawan, dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai matipun aku tidak akan berani menyatakan cintaku kepadamu. Kemudian, sungguh jahanam Pouw Cin itu! Kemudian terjadilah malapetaka itu menimpa dirimu, nona. Karena tidak melihat jalan keluar lain untuk menolongmu, maka aku memberanikan diri untuk menyatakan kesediaanku menikahimu tentu saja kalau nona sudi menerimaku."
Terjadi perubahan sedikit demi sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan, mata itu bersinar dan wajahnya berseri, mulutnya dihias senyum yang ditahan-tahan. Pengakuan cinta Suma Hok sungguh merupakan obat amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih di hati gadis itu. Kalau pemuda itu hendak menikahinya hanya karena iba, hanya untuk menolongnya, maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar dan seperti permainan sandiwara belaka. Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi! Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda itu, yang memang sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan adanya kasih sayang itu. Melihat gadis itu hanya menundukkan mukanya yang kini kemerahan, mata itu tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga tersenyum senang dan bangga, penuh kemenangan. Dia menanti sampai beberapa saat lamanya, dan melihat gadis itu agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona? Percayalah andaikata nona merasa terlalu tinggi untuk menjadi jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah selamanya tidak akan menikah dengan wanita lain. Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan membahagiakanmu, nona, dan aku akan membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama, yaitu membangun kembali kerajaan Liu-sung.'
Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan memejamkan mata sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat betapa pandang mata kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!
"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, aku minta agar urusan perjodohan ini ditunda sampai setahun lagi. Setahun kemudian, barulah aku bersedia untuk melangsungkan pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan kecewa.
"Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti sampai satu tahun lagi? Apa yang menjadi halangannya?"
"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu, walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau aku sekarang menerima, hal itu kulakukan penuh kesadaran dan keikhlasan. Akan tetapi, aku pernah mengambil keputusan bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam waktu itu, aku juga ingin dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun, karena bukan gairah berahi yang mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah, kalau dia sudah menjadi tunangan gadis ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat. Apalagi kalau dia menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu baginya!
"Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda?) Lan-moi?" Dia tersenyum.
Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan kegembiraan hati.
"Tentu saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko. Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu silat, ya, koko?"
"Tentu saja. Lan-moi. Aku akan mengajarkan seluruh apa saja yang kumiliki kepadamu. Bukankah engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek, menggantikan kedudukan Pouw Cin. Semua perwira diperkenalkan kepadanya, bahkan seluruh pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari lima ribu orang besarnya itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin telah tewas oleh mata-mata musuh, dan kini yang menjadi panglima adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang terkenal sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan). Para perwia juga sudah diberitahu bahwa panglima atau komandan mereka adalah calon suami nona Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini membuat mereka lebih tunduk dan hormat kepada Suma Hok. Pemuda yang amat cerdik inipun dapat bertahan, mengekang gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi. Dia tidak berani main-main dan tidak pernah dia mencoba untuk membujuk calon isterinya itu menyerahkan diri kepadanya. Dia akan bersabar sampai waktu setahun lewat, sampai mereka dinikahkan secara resmi.
Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia bahkan mengajarkan ilmu silat tambahan kepada para perwira dan memerintahkan agar semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga setiap orang perajurit merupakan tenaga yang tangguh. Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar kepada ayahnya yang menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh lima tahun yang lalu. Dengan senang hati diapun menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek semakin gembira dan bersemangat.
Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja dari kerajaan baru, yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong. Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong memihak Agama To dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan dari Agama Buddha yang memiliki banyak pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong membuka pintu lebar-lebar bagi kedua agama itu. Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap memusuhi para hwesio (pendeta Buddha) yang dianggap sebagai orang-oran gasing. Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke selatan, menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi. Di selatan ini. Agama Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar Siauw Bian Ong membuat permusuhan yang terjadi antara para pengikut Agama To dan pengikut Agama Buddha tidak terbawa ke selatan. DI kerajaan ini, kedua pengikut agama itu dihargai dan dihormati, penyebaran agama mereka diterima secara bebas oleh rakyat.
Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai. Keamanan jauh lebih baik dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja menumbuhkan perdagangan. Pedagang keluar masuk kota raja Nan-king. dan tentu saja akibatnya banyak dibangun rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu. Pasukan keamanan kota raja Nan-king juga. terkenal dengan jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di kota raja itu. Tidak ada penjahat berani banyak lagak di kota raja ini, dan suasana yang terjamin keamanannya itulah yang membuat para pedagang menjadi semakin bersemangat melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan gembira. Apalagi golongan penjahat kecil, bahkan para tokoh kang-ouw, baik golongan hitam atau putih, baik para penjahat maupun pendekar, tidak ada yang berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja Nanking. Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, tidak seperti bekas Kaisar Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi belaka, kurang memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga pemerintahannya dicengkeram oleh para pembesar yang korup. Para pembesar seperti itu, bukan hanya tidak memperhatikan nasib rakyat, bahkan lebih celaka lagi, sebaliknya dari pada mengayomi rakyat, mereka bahkan menekan rakyat dengan berbagai cara untuk memenuhi gudang harta mereka sendiri.
Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi baik? Kalau para penjahat tinggi korup, bagaimana mungkin mengharapkan para penjahat rendahan akan bersikap jujur? Dan pembesar tinggi yang menjadi pengawas sendiri bertindak korup, bagaimana mungkin dia berani meindak hawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil? Kalau yang di atasan jujur, sudah, pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya tentu akan menghantamnya. Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai keturunan keluarga Siauw yang besar yang terkenal sejak nenek moyang mereka yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan Han (tahun 206 S.M. - 8 A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan kokoh kuat kalau mendapatkan dukungan rakyat jelata. Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat. kalau tidak mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat, maka kekuatan pasukan itu tidak akan banyak manfaatnya. Dan satu-satunya cara untuk memperoleh dukungan rakyat hanyalah kalau pemerintah dapat mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata. Kalau rakyat merasa puas. dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari pohon tanaman pemerintah, kalau rakyat dapat ditingkatkan taraf hidupnya, maka rakyat tentu akan mencintai pemerintah dan akan membela mati-matian kalau pemerintah yang mendatangkan kebahagiaan itu sampai terancam oleh kekuasaan lain. Dan satu-satunya cara untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata hanyalah dengan pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan pekerjaan, menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja dengan gembira karena merasa aman dan tenteram, mengatur sedemikian rupa dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat jelata terpenuhi semua kebutuhan pokok hidup mereka. Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang memegang kemudi pemerintahan, terdiri dari orang-orang bijaksana yang tidak memetingkan diri sendiri, tidak melakukan korupsi, tidak menekan rakyat, maka cita-cita untuk memakmurkan kehidupan rakyat bukan sekedar menjadi slogan dan mimpi kosong belaka.
Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke arah itu. Maka, tidaklah mengherankan apabila kini, setelah lima tahun dia mendirikan dinasti Chi, kota raja Nan-king menjadi sebuah kota kerajaan yang besar, ramai dan perdagangan maju dalam segala bidang.
Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para bangsawan, bahkan keluarga dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang sering kali melakukan pembersihan, membunuhi seluruh keluarga raja yang ditaklukkan, bahkan membunuhi para pejabat tinggi kerajaan yang kalah karena takut kalau-kalau mereka akan mengadakan pembalasan dan pemberontakan.
Hal ini mungkin karena memang masih ada hubungan keluarga antara keluarga Siauw dan keluarga Liu, yaitu keturunan raja-raja yang memerintah kerajaan Liu-sung. Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar Siauw Bian Ong ingin agar para cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu pemerintahannya, dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah kerajaan yang telah jatuh itu.
Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang baru adalah keluarga bangsawan Kwan yang telah turun temurun menjadi bangsawan yang memegang jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah seorang sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut. Karena dia seorang yang mencintai pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak pernah menjadi seorang pembesar yang korup dan sewenang-wenang seperti banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan kekuasaannya, apalagi karena jabatannya mengurus kebudayaan, maka jabatannya sendiri tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan penyelewengan.
Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya melarikan diri seperti banyak pembesar lainnya. Akan tetapi, diapun tidak lalu menyerah kepada penguasa baru. Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula penakut. Kalau dia tidak mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi, hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bj, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi yang hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa memperdulikan keadaan rakyat, bahkan lengah terhadap gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan tetapi protes ini bahkan membuat kaisar marah-marah kepadanya. Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah bersama keluarganya. Dia sama sekali tidak merasa takut, karena dia tidak pernah merasa bersalah. Kalau penguasa baru akan membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin Kun mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri bernama Kwan Hwe Li, akan tetapi keluarga itu telah kehilangan puteri ini sejak kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu! Sampai sekarang, keluarga itu belum pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah. Kwan-taijin dan isterinya merasa prihatin bukan main, apalagi ketika mereka mendengar bahwa puteri mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!
Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan tahun dan telah menjadi seorang hakim di kota Bi-ciu, dan setelah pergantian pemerintahan, di kerajaan Chi diapun masih tetap menjadi hakim, karena dia terkenal sebagai seorang hakim yang bijaksana dan adil sehingga pemerintah yang baru tetap mengangkat Kwan Hwe TJn ini menjadi hakim di Bi-ciu.
Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita inipun jatuh sakit karena kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua kekhawatirannya bahwa keluarganya akan tertimpa malapetaka sebetulnya tidak terjadi. Suaminya tidak diganggu oleh penguasa baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan untuk tetap memegang jabatan lamanya. Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu tua untuk bekerja, apalagi semenjak ematian isterinya, dia sudah tidak mempunyai semangat lagi, dan hanya ingin menghabiskan sisa usianya untuk bersamadhi dan melepaskan diri dari semua ikatan keduniawian.
Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia kepadanya, dan empat orang pembantu rumah tangga. Hanya kadang saja, beberapa bulan atau setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang berkunjung, rumah gedung itu menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang terdengar bunyi yang-kim (kecapi) yang dimainkan oleh seorang di antara selirnya.
Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung tua yang sunyi itu. Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut. Adapun wanita yang ke dua nampaknya berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya juga cantik, pesolek dengan pakaian indah, mulutnya selalu tersenyum mengejek dan sikapnya anggun dan angkuh. Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang cantik itu bersama gurunya. Bi Moli Kwan Hwe Li yang usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan cantik.
Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana dalam rumah itu sudah jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di situ sebagai seorang gadis. Tidak lagi seperti rumah bangsawan dengan pengawal dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat suasana rumah itu, melihat pakaian pelayan wanita yang keluar menyambut, tiada bedanya dengan ramah orang biasa. Pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk menanyakan keperluan kedua orang wanita cantik itu datang berkunjung.
"Ji-wi sio-cia (Nona berdua) hendak mencari siapakah?" tanyanya dengan sikap hormat.
Kwan Hwe Li tidak mengenal pelayan itu, tentu seorang pelayan baru. Dan memang, ketika ia meninggalkan rumah ini, hal itu telah lewat kurang lebih tiga puluh tahun, dan ketika kerajaan Liu-sung jatuh, semua pelayan dari keluarga Kwan ikut pula lari mengungsi bersama banyak penduduk Nan-king yang lain, meninggalkan keluarga majikan mereka.
"Aku ingin bertemu dengan Kwan-loya (tuan tua Kwan)," kata Hwe Li, menahan getaran hatinya. Biarpun selama ini ia telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan telah menjadi datuk kang-ouw yang terkenal sekali, keras hati dan berwibawa, tidak urung hatinya tergetar ketika ia berada di rumah keluarga orang tuanya di mana ia dibesarkan, dan akan bertemu dengan ayah kandungnya. Ia sudah mendengar bahwa ibu kandungnya meninggal dunia ketika terjadi perang saudara dan bahwa kini yang tinggal di rumah itu tinggal ayahnya seorang diri. Ia tahu pula dari keterangan anak buahnya bahwa kakak tunggalnya kini masih menjadi hakim di Bi-ciu.
"Maaf, nona. Saya tidak berani menggangu lo-ya, karena pada saat sepagi ini, lo-ya masih duduk bersamadhi dalam kamarnya dan tak seorangpun dari kami diperbolehkan mengganggunya."
Hwe Li teringat bahwa menurut keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus melakukan penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi seingatnya, ayahnya dahulu mempunyai empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang sekarang masih menemani ayahnya tinggal di situ.
"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin bicara." katanya tak sabar.
"Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian) menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang tamunya duduk di ruangan tamu yang berada di samping kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang bentuknya kran. Diam-diam Kwan Hwe Li terharu melihat keadaan kamar itu. Semua perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai nampak tua dan butut. Ruangan itu, yang dahulu nampak mewah, kini kehilangan kemewahannya dan bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang semestinya minta ganti yang baru dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang tua dan buruk.
Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu menengok, memandang ke arah pintu sebelah dalam yang terbuka. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun muncul di ambang pintu dan biarpun wanita itu sudah kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengepalnya. Inilah ibu tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit! Namun, di antara para ibu tirinya, wanita inilah yang sikapnya paling ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.
"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh keraguan.
Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun yang lalu!
"Kau ... kau ... Hwe Li ...!? Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak dari Hwe Li! Bagaimana ibumu sekarang, nak? Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan ramahnya menghampiri dan merangkul pundak Hwe Li. Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa terharu. Wanita ini, biarpun sekarang sudah tua dan keluarganya jatuh miskin, masih tetap ramah dan periang seperti dahulu. Pantas saja ayahnya masih mempertahankannya untuk menemanimu di situ.
"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.
"Ehh ...??" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin! Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana mungkin engkau Hwe Li?"
"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah. Bagaimana dengan ayah? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li? Kami sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang wanita sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi tua?"
Hwe Li tersenyum, merangkul pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab seperti sahabat baik dengannya.
"Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan? Oh, aku sampai lupa, Ibu, ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke Tiga."
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ling Ay cepat membungkuk dan memberi hormat. Wanita tua itu memandang, terheran-heran.
"Kalau engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali! Engkau masih secantik dan semuda dahulu, dan engkau bahkan seperti kakak beradik saja dengan muridmu ini."
"Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak jauh dari ruangan tengah. Setelah mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik,
"Hwe Li, biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani mengganggunya."
"Ibu, biarlah aku yang memangil ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk daun pintu, lalu mengerahkan khi kang sehingga biar suaranya hanya lirih, namun suara itu menembus ke dalam kamar dan akan terdengar dengan jelas sekali oleh orang yang berada di dalam kamar.
"Ayah, aku Kwan Hwe Li datang untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan terdengar suara kaget dari dalam. Suara Hwe Li yang didorong kekuatan khi-kang itu terdengar jelas sekali oleh kakek Kwan yang bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ...
" Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas karena terharu melihat ayahnya kini telah menjadi seorang kakek tua renta! Biarpun dahulu, tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya seorang laki-laki yang lemah dan tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun ayahnya yang lemah lembut itu memiliki gairah hidup yang timbul karena jiwa seninya. Kini, hanya sepasang mata itu yang masih nampak hidup bersemangat, akan tetapi tubuhnya sudah lemah dan gemetaran!
"Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua lengannya merangkul, ia merasakan betapa kedua lengannya memeluk kerangka, seolah tubuh itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.
"Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya yang ke tiga tadi, dia mendorong tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan penuh keheranan.
"Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"
Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan kebiasaan kaum wanita. Biasanya, perasaan wanita amatlah halus dan peka, dan hal ini membuat mereka emosionil dan air mata mereka selalu siap untuk dicucurkan dalam tangis. Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li bukan wanita biasa lagi. Hatinya sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit. Hatinya tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi tangis. Namun kini, hampir ia tidak dapat menahan untuk tidak terisak menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada sebutir dua air mata yang sempat meloncat keluar.
"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."
"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke ruangan tengah di mana mereka duduk dengan penuh kegembiraan. Kakek Kwan meneriaki para pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu menyuruh mereka mempersiapkan pesta seadanya untuk merayakan pulangnya puteri itu.
"Ayah, ini adalah Cia Ling Ay, muridku. Ling Ay, inilah ayahku, sekarang telah tua sekali." Ling Ay cepat memberi hormat kepada orang tua itu.
Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia berkata,
"Hwe Li, ketika kami mendengar berita bahwa engkau telah menjadi seorang tokoh dunia persilatan, dan kabar itu amat menggelisahkan hatiku karena engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang berwatak iblis. Aku membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita setengah tua yang menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang membenci keluarga kita. Engkau ternyata masih tetap Hwe Li yang dahulu, dan engkau tidak seperti iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi meninggalkan rumah itu.
"Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, balikan aku harus mengakui dia lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu. Beliau juga menawarkan kedudukan lama kepadaku, akan tetapi aku sudah merasa terlalu tua untuk bekerja, Hwe Li. Aku lebih suka menghabiskan sisa hidupku dengan mempelajari kitab-kitab agama dan bersamadhi. Aku tidak bersemangat lagi untuk mencampuri urusan dunia yang penuh dengan pertentangan. Lalu sekarang ceritakan semua pengalamanmu setelah engkau pergi meninggalkan rumah ini, anakku."
Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay juga ingin sekali mendengarkan karena selama ini, gurunya belum pernah menceritakan dengan jelas tentang latar belakang kehidupannya. Pada saat itu, selir ke dua dari kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia segera mengenali Hwe Li. Segera iapun ikut pula duduk di ruangan itu dan mereka semua kini menanti Hwe Li menceritakan pengalamannya yang tentu akan menarik sekali.
"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?" Setelah menghela napas panjang Hwe Li bertanya dan memandang kepada ayahnya dan kedua orang ibu tirinya.
Ayahnya mengangguk dan diapun menarik napas panjang.
"Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa itu? Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong, melakukan perbuatan yang memalukan itu, engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi meninggalkan keluargamu tanpa pamit!"
"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang sudah lolos dari sebagai seorang buta. Tekadku untuk membunuhnya karena ia telah menghancurkan kebahagiaan hatiku, telah mengkhianatiku, dan kami saling mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak senonoh dengan selir kaisar. Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw, aku mempelajari ilmu silat dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Eehhh, kenapa engkau menuruti nafsu amarah? Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan dendam sakit hati, anakku? Sekali kita membiarkan nafsu merajalela di hati, nama kita akan diperhamba dan nafsu akan menjadi pembimbing kita yang akan menyelewengkan jalan hidup kita."
Kwan Hwe Li tersenyum simpul mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang dengan segala macam petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara macam pelajaran tentang kebatinan dan agama. Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya hancur oleh perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia kang-ouw. ia makin jauh meninggalkan segala yang berbau pelajaran kebatinan itu. Kini ia mendengas lagi petuah ayahnya, dan betapa hambarnya semua itu. ia maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu banyak perbuatan dilakukan tanpa memperhitungkan baik buruknya. Kalau perbuatannya dianggap kotor, maka kotoran itu telah sedemikian tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan pengetahuan kebatinan, tidak akan dapat membersihkannya! Bukannya ia tidak tahu bahwa ia telah menjadi seorang datuk sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua perbuatannya selama ini oleh umum dianggap jahat, berdosa dan sebagainya. Akan tetapi ia tidak mampu meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.
"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu kepada Pangeran Tiauw Sun Ong?" tanya ibu tirinya yang ke dua.
Wajah Hwe Li berubah muram dan iar menggeleng kepala.
"Berkali-kali aku mencobanya, akan tetapi jahanam itu ternyata setelah menjadi buta, memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga semua percobaanku gagal. Aku tidak pernah dapat menang dalam pertandingan melawannya. Dia memang lihai bukan main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan bahwa kalau aku menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia yang selalu mengalahkan aku, tidak pernah mencoba untuk membunuhku, bahkan melukaikupun belum pernah!"
"Siancai ...!" Kakek Kwan berseru dengan suara pujian.
"Itu menandakan bahwa dia masih sayang kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya sehingga tidak mau melukaimu, anakku. Engkau seharusnya berterima kasih karena ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan telah menjadi buta matanya itu ternyata tidak buta hatinya."
"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia mencintaku, karena aku telah membujuknya untuk hidup bersama akan tetapi dia selalu menolak. Tidak, dia sengaja memamerkan kepandaiannya untuk mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi. Akan tetapi sekarang aku merasa puas, ayah. Aku telah menemukan jalan untuk membuat dia menderita seperti aku, tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara tawanya merdu, namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik karena dalam suara tawa itu terkandung sesuatu yang mengerikan.
"Siancai ... semoga Tuhan akan menyadarkanmu, anakku. Dan setelah engkau pulang, kami harap engkau dan muridmu akan terus tinggal di sini. Engkau mau menemaniku ayahmu yang tidak akan lama lagi berada di dunia ini, bukan?" Dalam suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan mengeluarkan ucapan itu karena rasa iba diri, melainkan mempunyai maksud lain. Dia menghendaki agar puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga lambat laun dia akan mampu membersihkan hati puterinya dan menyadarkannya bahwa cara hidupnya yang lalu adalah suatu penyelewengan dari pada kebenaran.
"Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan terutama sekali aku ingin mencoba mengisi hidupku dengan keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan lagi dengan istana. Mungkinkah itu, ayah? Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan keluarga kaisar yang baru dan dapatkah ayah membantuku, seperti dahulu ketika aku masih gadis muda?"
"Aih, mana mungkin itu, anakku? Dahulu, ayahmu ini masih mempunyai kedudukan, apalagi ayahmu ini yang mengajarkan sastra kepada para pangeran dan putri istana. Sekarang aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan pejabat di istana yang dapat membantu kami. Aku dan Ling Ay ingin bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."
"Akan tetapi, apa yang dapat kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya.
"Ayah, dengan kepandaianku sekarang, aku dapat menjadi pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, arau dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri, sedangkan Ling Ay dapat menjadi dayang atau pelindung para puteri. Kalau perlu, kami bersedia diuji kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia memang mempunyai banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang membutuhkan nasihatnya sebagai seorang sasterawan yang berpengalaman dengan urusan istana, maka diapun berhasil. Kwan Hwe Li yang biarpun usianya sudah lima puluh tahun masih nampak cantik itu diterima sebagai pelatih silat dan tugasnya melatih para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai seorang pengawal permaisuri dan para puteri. Guru dan murid ini dengan mudah lulus dalam ujiaa yang dilakukan komandan pasukan pengawal istana.
Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih tegap dan tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua matanya tidak buta, tentu dia akan mampu melakukan perjalanan cepat sekali. Bekas pangeran ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, sepandai-pandainya dia, karena kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan perjalanan sambil meraba-raba dengan tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...
Belum lama dia berpisah dari muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk mencari puterinya, Tiauw Hui Hong, dan melihat keadaan kerajaan Chi di Nan-king, baru kurang lebih dua li saja dia melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan mereka lewat dengan cepat seperti tidak memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat meraba-raba jalan itu.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong terkejut karena dari gerakan lari dua orang itu, dia dapat mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi karena mereka hanya berpapasan di jalan, diapun tidak memperdulikan lagi, tidak tahu bahwa dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari belakang.
Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong.
"Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia? Itulah laki-laki yang kumaksudkan."
Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika berpapasan, ia tidak memperhatikan dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan selangkah demi selangkah mempergunakan tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"
"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan aku tahu bahwa aku bukan tandingannya. Kau bantu aku membunuh keparat jahanam itu seperti yang telah kaujanjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi dari sini."
Biarpun masih ragu karena harus mengeroyok seorang laki-laki tua yang buta, namun karena dijanjikan akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah benar-benar Kwan Im Sianli tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu. Kalau ternyata wanita cantik itu mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil mencabut pedangnya.
"Laki-laki yang buta mata dan hatinya, saat ini engkau akan mati di tanganku!" bentak Kwan Im Sianli dan ia segera menyerang dengan pedangnya, menusuk dada pria itu dengan kuat dan cepat.
"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong menggerakkan tongkatnya dan tusukan pedang itu tertangkis.
"Kwan Im Sianli ...? Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"
"Tidak perlu bicara lagi, mampuslah!"" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong melayaninya, karena dia maklum bahwa wanita bekas kekasihnya ketika masih menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat hebat. Dan dia tidak mungkin hanya menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi seorang lawan sehebat Kwan Im Sianli yang menjadi seorang datuk persilatan harus balas menyerang, kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas. Tongkatnya bergerak cepat dan kini Kwan Im Sianli mulai terdesak. Dia ingin mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat, karena kalau dia melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi semakin sakit hati kepadanya. Maka, Tiauw Sun Ong juga mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit lawan, sinar tongkatnya bergulung-gulung dan tongkat itu bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, membuat sinar pedang Kwan Im Sianli semakin menyempit. Melihat betapa wanita cantik itu benar-benar terdesak oleh si buta, barulah Hui Hong percaya betapa lihainya orang buta itu. Melihat jalannya pertandingan, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah. Ia pun mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan meloncat, terjun ke dalam medan perkelahian. Sepasang pedang menyambar-nyambar ganas.
"Trang-tranggg ...!!" Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia terkejut sekali karena maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga yang cukup kuat.
"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang wanita itu menyerangnya dengan hebat. Akan tetapi karena tenaga kedua orang itu disatukan dalam suatu serangan yang berbareng, tangkisannya membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah mengambil keputusan untuk membunuh pria yang pernah membuatnya tergila-gila ini. Lebih baik bekas pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu merindukannya tanpa ada harapan sedikitpun. pria yang dicintanya ini tidak mau menjadi teman hidupnya, maka lebih baik melihat dia mati! Kwan Im Sianli memperhebat serangannya dan Hui Hong juga mengerahkan tenaga karena ia tadi merasakan betapa kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang pedangnya terpental.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 19
Maklum bahwa bicara tidak ada gunanya terhadap Kwan Im Sianli yang berhati keras, terpaksa Tiauw Sun Ong memutar tongkat membela diri. Dia maklum bahwa orang yang membantu Bwe Si Ni itu bukan Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti tidak mau bekerja sama dengan saingannya itu. Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya, Kwan Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.
Hui Hong bersungguh-sungguh membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya. Bajunya robek dan pundak itu berdarah. Maklum bahwa akhirnya dia akan roboh dan tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan untuk melarikan diri melainkan mencari kesempatan untuk bicara.
"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku, akan tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!
Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan memutar pedangnya menyerang dahsyat! Thiauw Sun Ong menangkis, akan tetapi tangan kiri wanita itu menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia bergulingan menjauh, dikejar oleh Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini menggerakkan pedangnya untuk mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat menangkis dari samping.
"Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku sendiri!" bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.
Kwam Im Sianli menangkis dan melompat ke belakang, tertawa nyaring.
"Heh-heh-heh, aku memang amat membencinya. Aku ingin anaknya sendiri yang membunuhnya, hi-hik!"
"Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im Sianli dan begitu pedang mereka bertemu Hui Hong terhuyung ke belakang.
"Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu anakku, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Tiauw Sun Ong kini menerjang dengan tongkatnya!" dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan mengerahkan tenaganya, Kwan Im Sianli terpental ke belakang! Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga terjadi perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Perasaan girang karena ia bertemu ayahnya, juga rasa haru melihat ayahnya buta, dan bangga karena ternyata ayahnya seorang yang berilmu tinggi. Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli sudah repot dan terdesak, apalagi setelah Hui Hong mengeroyoknya.
Kwan Im Sianli sudah mencari kesempatan untuk melarikan diri ketika tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal budi orang, engkau patut dibunuh. Sejak kecil aku merawatmu, mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo cepat berlutut!"
Akan tetapi sebelum Hui Hong menjawab. Tiauw Sun Ong yang menegur orang itu,
"Ouwyang Sek. engkau manusia busuk. Hui Hong adalah anakku, anak kandung, engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang mencarimu untuk membalas atas kematian isteriku! Kwan Im Sianli, mari kita bunuh ayah dan anak keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya. Nampak pedang berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Memang datuk ini, lihai ilmu pedangnya sehingga dia memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu dikeroyok dua. Sejenak Hui Hong terbelalak dengan muka pucat, Ibunya telah mati! Tadi Ouwyang Sek mengatakan bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong untuk membalas atas kematian isterinya. Mungkin Tiauw Sun Ong yang membunuh ibunya?
"Tahan ... !!" Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk melerai perkelahian itu dengan menerjang ditengah antara mereka.
"Ayah ...
" Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya,
"apa maksudmu dengan mengatakan kematian ibu?"
Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu pedangnya ditudingkan ke arah si buta itu.
"Dia datang dan dia yang menyebabkan ibumu mati!"
Hui Hong memutar tubuh menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika ia bertanya,
"Benarkah itu? Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"
Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu menunjukkan pertanyaannya kepadanya. Dia menghela napas panjang,
"Hui Hong, ibumu memang tewas, ia membunuh diri setelah bertemu denganku, karena kini ia tidak lagi perlu menyiksa batin menjadi isteri iblis ini. Dahulu ibumu terpaksa menjadi isterinya karena hendak menyelamatkan engkau."
"Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus di tanganku, dan kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak mengenal budi, hendak membelamu. iapun akan kubunuh!"
Ouwyang Sek menerjang lagi, menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan meluap, dan Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedang membantunya mengeroyok.
Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar tongkat menangkis dan membuat pedang kedua orang datuk itu terpental.
"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu anakku, demi Tuhan, aku tidak akan pantang membunuh kalian!"
Dua orang datuk itu kembali mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah terluka, Tiauw Sun Ong mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih. Sejenak Hui Hong bimbang, akan tetapi entah mengapa, ia merasa kagum dan percaya kepada orang buta yang ia tahu adalah ayah kandungnya itu, maka tanpa banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu ayahnya!
Kekurangan tingkat kepandaian Hui Hong dibandingkan kedua orang lawannya ditutup oleh kelebihan tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu melindungi dan membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi amat serunya. Namun, tanpa diketahui orang lain karena dia tidak pernah mengendurkan semangatnya dan tidak pernah mengeluarkan keluhan, diam-diam Tiauw Sun Ong merasa khawatir karena luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi kekuatannya. Oleh karena itu, dia mengeluarkan suara melengking panjang ketika membentak dan tiba-tiba saja gerakannya amat dahsyat menerjang ke arah Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, mencoba untuk mengelak, namun tetap saja ujung tongkat Tiauw Sun Ong berhasil menotok dada kanannya dan datuk itupun terpelanting roboh dan mengerang kesakitan. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi terkulai kembali.
Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong membuat ia terhuyung ke belakang. Kini, ayah dan anak itu berdiri berdampingan dan menghadap ke arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek, sudah menggeletak dan tidak mampu bangkit berdiri lagi.
"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apalagi. Pergilah!"
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang penuh kebencian.
"Tiauw Sun Ong, engkau boleh menganggap tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi dendam ini akan kubawa sampai mati." Setelah berkata demikian, ia membantu Ouwyang Sek bangun berdiri, lalu menggandeng dan memapah datuk yang sudah dikenalnya dengan baik itu pergi dari situ, diikuti pandang mata ayah dan anak itu. Setelah mereka pergi jauh. barulah Tiauw Sun Ong menghela napas, kemudian dia duduk bersila dan mengatur pernapasan dan nampak terengah lemah.
"Kau ... terluka ...
" Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan merasa kikuk untuk menyebut ayah. Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia menghampiri orang tua buta itu, merobek baju di dadanya dan memeriksa pundak yang terluka. Hanya luka daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Hui Hong menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah, lalu mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di pundak ayahnya itu. Kemudian ia mengeluarkan sehelai kain ikat pinggang dari buntalan pakaian dan membalut pundak ayahnya. Setelah itu, ia duduk bersila di dekat ayahnya. Semua itu dilakukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di atas tanah, merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.
"Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu.
"Engkau ... mau memaafkan aku?"
Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya mencinta orang ini. Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa walaupun kedua matanya buta.
"Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami berdua?"
Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak bicara itu buta, iapun berkata,
"Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku, bahwa aku bukan anak Ouwyang Sek, dan ibu hanya mengatakan bahwa ayah kandungku bernama Tiauw Sun Ong. Ibu tidak tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli mengajakku untuk menunjukkan di mana Tiauw Sun Ong, aku ikut dengannya, dengan janji bahwa aku akan membantunya membunuh laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa yang hendak dibunuh itu adalah ... Tiauw Sun Ong yang oleh ibu dikatakan ayah kandungku itu. Apakah engkau ini yang bernama Tiauw Sun Ong? Apakah engkau ini suami ibuku, dan engkau ini sebenarnya ayah kandungku?"
Sebetulnya Hui Hong sudah mendengar cerita ibunya mengenai hubungan ibunya dengan Tiauw Sun Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini untuk meyakinkan hatinya bahwa orang ini benar ayah kandungnya.
"Aku Tiauw Sun Ong. dahulu pangeran kerajaan Liu-sung, dan ibumu Pouw Cu Lan, selir kakakku yang menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta. Namun, hubungan antara kami diketahui, dan Kaisar memarahi kami. Aku merasa berdosa dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua mataku, diampuni dan aku lolos dari istana, menuntut ilmu. Aku mendengar bahwa ibumu dihukum buang oleh Kaisar, sama sekali aku tidak tahu bahwa ia ditolong oleh Ouwyang Sek dan diperisteri. Ia mau menjadi isteri Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah mengandung engkau, Hui Hong. Ia ingin menyelamatkanmu. Ah, betapa aku telah membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya, dan ketika aku datang kesana untuk meminangmu, setelah aku mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe Li, aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan Im Sianli untuk mencari aku. Ibumu begitu bertemu dengan aku, merasa malu dan menyesal, dan ia membunuh diri."
Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun meraba-raba ke arah puterinya dan di lain saat mereka telah saling rangkul dan bertangisan.
"Ayah ...
" Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah anak dari hubungan gelap antara pangeran Tiauw Sun Ong dan selir kaisar, dan hubungan itu mengakibatkan ayah kandungnya membutakan mata sendiri, dan kini mengakibalkan ibunya membunuh diri! "Ayah, kasihan sekali ibu ...
" ia meratap.
Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya.
"Sudah takdir demikikian, anakku. Aku membutakan mata, ibumu membunuh diri, dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kami. Marilah, anakku, kita kembali ke Hoa-san dan kita bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki Hoa-san. Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat luka ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah kandungnya, dan ketika ayah kandungnya menyatakan bahwa dia setuju menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui Hong yang mencinta Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.
Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai, bagaikan tanaman yang digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai, sebuah negara akan menjadi aman tenteram dan subur makmur seperti jalannya kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh penguasa yang bijaksana dan pandai pula.
Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia mencintai negara dan bangsanya, mementingkan kebutuhan rakyat di atas kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan pembangunan dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan papa, menuntun dan membimbing, memberi modal kepada yang miskin, memberi penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan mendidik kepada yang jahat. Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada umumnya adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman dari alat negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi semua ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang pandai merangkul orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang, akan tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang menjegal kebijaksanaannya, menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan kekuasaannya.
Cia Ling Ay Diperalat Bi Moli
TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya, Kerajaan Chi telah mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaannya ketika kerajaan Liu-sung masih berdiri. Rakyat, seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka, membutuhkan contoh dari para pemimpin para pejabat pemerintah. Orang tua yang cerewet, hanya memberi teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak kalau hanya dijejali slogan-slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato berapi-api memberi nasihat itu sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.
Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana. Pengeluaran untuk kepentingan pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk lagi, dengan sendirinya rakyat mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu. Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.
Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-ngejar sisa keluarga kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau bekerja membantu kerajaan baru untuk memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai orang-orang berilmu, maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk membantu pemerintah.
Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja tidak lepas dari pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah utara yang didirikan oleh bangsa Toba atau Tartar yang menguasai wilayah utara dari lembah Sungai Kuning ke utara. Adapun kerajaan Chi mempunyai wilayah dari utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan Wei di antara dan kerajaan di Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya menjadi daerah penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw. Pemerintah daerah di wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan berkuasa.
Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu sebagai pengganti Kaisar Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan makmur dan didukung rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu mengumpulkan para pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil keputusan untuk mengirim orang-orang pandai untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu dengan menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.
Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam istananya. Kaisar Thai Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah kanannya duduk seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah yang merupakan Kok-su (Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri. Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman. Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi saudara-saudara seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan penuh membantu kaisar dalam pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian sombongnya sehingga berani menggunakan julukan Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara) bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk Huang-ho-kwi (Setan Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit, adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)!
Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan dalam rapat ini, Kaisar memberi tugas kepada mereka bertiga untuk melawat ke selatan dan membawa anak buah pilihan mereka untuk mengguncang kerajaan Chi tanpa melalui perang, melainkan melalui pengrusakan dan pengacauan.
Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang yang tangguh, mengumpulkan seratus orang dan membentuk kesatuan baru yang mereka namakan Thian-te-kwi pang (Perkumpulan Setan Bumi Langit), nama yang dipakai untuk menghormati guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin. Bagaikan segerombolan iblis yang menyeramkan, seratus orang ini bersama tiga orang pemimpin mereka, melakukan perjalanan, menyusup ke selatan secara berpencar.
Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan penyusupan itupun dilakukan secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota raja Nan-king tenang-tenang dan tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan manusia iblis menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau setidaknya mengacaukan ketenangan hidup mereka.
Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan tumbuh-tumbuhan sedang segar segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil menikmati keindahan bumi yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang segar. Di dalam sebuah hutan, di luar kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu binatang dengan anak panah mereka. Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya nampak cantik sekali. Dari pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua adalah wanita-wanita bangsawan, akan tetapi bukan puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh para pengawal wanita dari istana kaisar. Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia lima puluhan tahun yang masih cantik manis seperti berusia tiga puluh tahun saja itu adalah Bi Moli Kwan Hwe Li yang kini menjadi guru yang mengajarkan silat kepada para perwira pasukan kerajaan, sedangkan yang muda, berusia dua puluh tiga tahun dan cantik manis, adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli, yang kini bekerja di istana sebagai pengawal pribadi permaisuri dan juga mengajarkan silat kepada para puteri istana dan para pengawal wanita.
Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan memburu binatang. Guru dan murid ini, yang telah memperoleh kedudukan lumayan, merasa gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li telah merobohkan seekor kijang dengan panahnya, sedangkan muridnya, Cia Ling Ay, telah merobohkan dua ekor kelinci. Mereka manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di tepi hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.
Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan kuda mereka, mereka tidak lagi milihat binatang buruan. Ling Ay yang merasa perutnya lapar karena mereka tadi berangkat pagi sekali dan ia belum makan apa-apa, teringat akan dua ekor kelinci hasil buruannya dan seekor kijang hasil buruan gurunya.
"Subo, sebaiknya kita sudahi saja perburuan ini. Perut teecu (murid) lapar sekali dan sebaiknya daging kelinci dan kijang itu dipanggang selagi masih segar."
Bi Moli tersenyum.
"Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam hutan, menuju ke pohon besar di mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak dimakan binatang hutan yang lain.
Ketika mereka tiba di tempat itu, mereka melihat ada tiga orang laki-laki sedang berdiri dan mengangkat muka, memandang ke arah dua ekor kelinci dan seekor kijang yang tergantung di antara ranting pohon, menuding-nuding dan membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka terbelalak heran melihat bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang wanita cantik. Di lain pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa tentu mereka itu juga pemburu-pemburu yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun terdapat gendewa dan anak panah.
Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput, dua orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya.
"Sobat-sobat, apa yang kalian tonton?"
Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio. Kami adalah tiga orang pemburu yang hendak mencoba peruntungan berburu di hutan ini. Kami biasanya berburu di sebelah selatan, akan tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak pemburu sehingga hasil buruan hutan amatlah kurangnya. Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini dan kami merasa heran melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu. Siapakah yang menyimpan buruan itu di sana," tanya di antara mereka yang mukanya brewokan, suaranya lantang namun sikapnya tegas dan sopan. Mereka memandang ke arah gendewa dan anak panah Bi Moli.
"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli.
"Kami akan mengambilnya sekarang dan akan memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali. Ling Ay, ambillah kelinci dan kijang itu!"
"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis itu sudah melayang naik ke atas dan hinggap di cabang pohon, lalu mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat turun dengan gerakan yang ringan dan gesit.
Tiga orang itu saling pandang dan seorang di antara mereka yang mukanya licin halus seperti wajah perempuan, memuji,
"Kepandaian nona sungguh hebat sekali. Kami kagum dan taluk."
Orang ke tiga, yang pendek gemuk, tersenyum.
"Pantas saja ji-wi sepagi ini telah merobohkan tiga ekor binatang buruan yang gemuk dan lezat dagingnya, sedangkan kami bertiga belum mendapatkan apa-apa sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"
"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu yang luar biasa!" kata pula si brewok. Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay mengerutkan alisnya. Ia tidak senang mendengar rayuan pria, hal yang dianggapnya palsu, maka ia ingin menghentikan rayuan mereka dan berkata dengan suara yang agak ketus.
"Kami bukanlah wanita pemburu! Kami hanya iseng-iseng dan kami tidak ingin berkenalan dengan para pemburu."
Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si muka halus berseru heran,
"Aih, bukan pemburu? Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi tentulah wanita-wanita kang-ouw yang bernama besar dan berilmu tinggi!"
Ling Ay semakin tak senang. Diberi tanda untuk menghentikan percakapan, malah menjadi-jadi! Untuk membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata,
"Kami adalah perwira-perwira pengawal istana! Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"
Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan iapun memilih batu yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perwira wanita dari pasukan pengawal istana!
Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi pimpinan dari tiga orang itu, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, diikuti dua orang kawannya.
"Ah, mohon ji-wi sudi memberi maaf kepada kami yang lancang berani mengganggu ji-wi. Akan tetapi, karena jiwi bukanlah pemburu, tentu kurang pengalaman, dan kurang perlengkapan untuk memanggang daging binatang buruan. Kami membawa bekal bumbu yang lengkap dan kami sudah terbiasa membuat daging binatang hutan menjadi hidangan lezat. Kalau ji-wi suka kami akan membantu ji-wi, menguliti hasil buruan itu, memberi bumbu dan memanggang dagingnya, dan ji-wi tinggal menikmatinya saja."
Bi Moli sekarang memandang kepada si brewok dan bibir yang selalu dihias senyum itu kini melebar, matanya mencorong.
"Kalian bertiga adalah pemburu-pemburu yang sama sekali tidak kami kenal. Mengapa kalian bersikap baik dan manis kepada kami?"
Si brewok itu juga tersenyum.
"Toanio tentu mencurigai kami dan ingin mengetahui pamrih dari kami? Memang ada pamrihnya. Pertama, kami juga sudah lapar, sejak malam tadi tidak makan apapun, dan kedua, tidak mungkin ji-wi dapat menghabiskan semua daging ini, maka selain mengharapkan dapat ikut makan, kamipun mengharapkan mendapat sisa daging untuk kami jadikan dendeng dan kami bawa pulang."
Kini Bi Moli dan Ling Ay saling pandang, lalu tertawa. Bagaimanapun juga, menguliti dan memanggang daging di tempat itu tanpa perlengkapan memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Daging itu tidak akan enak kalau hanya dipanggang dan diberi garam saja, satu-satunya bumbu yang mereka bawa sebagai bekal dari rumah tadi.
"Baiklah, kami memang tidak suka ditolong orang tanpa imbalan. Nah, kalian panggangkan daging-daging itu dan semua sisanya boleh kalian ambil." kata Ling Ay. Iapun mencari tempat yang bersih untuk duduk, tak jauh dari gurunya. Mereka hanya duduk dan melihat kesibukan tiga orang itu. Mereka itu menguliti kijang dan dua ekor kelinci, membuang isi perutnya, membuat api, mengeluarkan bumbu yang lengkap, dan ada yang mencari air dengan panci yang memang sudah mereka bawa sebagai perlengkapan. Mereka dapat bekerja cepat dan nampak jelas bahwa ke tiga orang itu memang sudah terbiasa menyiapkan makanan dalam hutan.
Sambil memanggang daging yang mengeluarkan aroma sedap karena diberi bumbu yang lengkap, tiga orang itu tiada hentinya menceritakan keadaan mereka sebagai pemburu-pemburu yang miskin dan tinggal jauh di dusun yang terletak di pegunungan sebelah barat Nan-king. Mereka juga memuji-muji pemerintahan dari kerajaan Chi, dan seperti sambil lalu mereka juga menanyakan kedudukan dua orang wanita itu di dalam istana kaisar. Karena sikap mereka yang biasa ramah dan tidak mencurigakan, Ling Ay menceritakan dengan sejujurnya bahwa baru beberapa bulan saja gurunya bekerja menjadi pelatih silat di istana, dan ia sendiri menjadi seorang perwira pengawal permaisuri.
Setelah panggang daging itu matang, tiga orang pemburu menghidangkan bagian-bagian yang paling lunak dan lezat kepada Ling Ay dan gurunya, dan merekapun mengeluarkan seguci besar anggur yang baunya harum sekali. Tentu saja guru dan murid itu menjadi gembira, dan mereka tidak menolak ketika disuguhi anggur di dalam cawan-cawan bersih yang memang sudah dipersiapkan tiga orang pemburu itu. Bi Moli sendiri tidak menaruh curiga karena tiga orang itu pun minum anggur dari guci yang sama. Kalau anggur itu diberi racun, tentu tiga orang itu akan roboh lebih dahulu karena mereka yang lebih dulu minum.
Tiga orang itu tidak membual. Panggang daging itu sungguh lezat sekali. Lunak dan ada rasa bumbu asing yang aneh, namun yang membuat daging itu sedap. Guru dan murid itu makan sampai kenyang dan mereka masing-masing menghabiskan tiga cawan anggur.
"Hemm, kalian memang pandai sekali memasak," kata Bi Moli dengan senang dan ia menyusut bibirnya dengan saputangan.
"Semua sisa dagingnya boleh kalian ambil, kami tidak memerlukan lagi. Ling Ay, mari kita kembali, matahari sudah naik tinggi."
"Baik, subo," kata Ling Ay sambil bangkit berdiri dan menghampiri dua ekor kuda mereka yang masih makan rumput. Akan tetapi, tiba-tiba pandang matanya berkunang dan sekelilingnya seperti berputar. Ling Ay mengeluh dan menggunakan tangan untuk memegang kepalanya, namun ia terhuyung. Ia masih sampat melihat betapa subonya meloncat berdiri dan gurunya itu membuat gerakan untuk menyerang tiga orang pemburu tadi, akan tetapi gurunya mengeluh dan terguling roboh. Ling Ay tak dapat menahan kemarahannya karena ia dapat menduga bahwa ia dan gurunya telah keracunan.
"Kalian ...!" Ia melompat untuk menyerang, namun iapun terguling karena pening dan roboh di dekat gurunya. Ia masih sempat melihat munculnya belasan orang yang berpakaian serba hitam di tempat itu, lalu semua menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apalagi.
Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman luas. Kalau tadi ia sampai terkecoh dan minum anggur yang sudah dicampuri obat bius adalah karena ia menaruh kepercayaan melihat tiga orang pemburu itu juga minum anggur dari guci yang sama. Tentu saja ia tidak menduga bahwa tiga orang itu mempersiapkan segalanya, dan sebelum minum anggur, sudah lebih dahulu minum obat penawar racun atau pembius itu sehingga mereka tidak terpengaruh.
Begitu ia bangkit dan merasa pening, ia pun maklum bahwa ia dan muridnya keracunan, maka ia hendak menyerang tiga orang itu. Akan tetapi, ia segera teringat bahwa gerakan yang mengerahkan sin-kang akan membuat racun di dalam perutnya bekerja lebih cepat, maka iapun sengaja membuat dirinya terpelanting roboh. Diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti dalam perutnya, dan menggunakan telunjuknya untuk dimasukkan ke dalam mulut, menyentuh kerongkongannya. Seketika ia muntah-muntah, dan dengan penambahan dorongan tenaga sin-kang, maka tenaga muntahan itu menjadi senakin kuat dan semua yang berada di dalam pencernaannya tertuang keluar melalui mulutnya! Juga anggur yang mengandung obat pembius itu.
Yang tinggal di dalam perutnya hanya sedikit dan yang sedikit itu tidak lagi mempengaruhi tubuhnya yang sudah terlatih dan kuat.
Ia melihat betapa muncul belasan oraag yang berpakaian hitam-hitam maka iapun menanti sampai mereka bergerak mendekatinya. Tiba-tiba ia meloncat dan mengeluarkan suara melengking panjang, membuat belasan orang berpakaian hitam-hitam dan tiga orang pemburu tadi terkejut setengah mati karena di dalam lengkingan itu terkandung getaran yang membuat mereka semua tergetar seperti lumpuh!
Agaknya, belasan orang itu bukan orang-orang sembarangan. Terdengar seruan seorang di antara mereka,
"Sumbat telinga dan tangkap ia! Ia menggunakan tenaga sihir!"
Belasan orang itu menggunakan alat kecil penyumbat telinga, agaknya mereka memang sudah mempersiapkan segala kemungkinan, dan kini mengepung Bi Moli Kwan Hwe Li dan dari gerakan dan sikap mereka, datuk wanita ini maklum bahwa mereka bukanlah orang-orang lemah. Melihat ia dikepung belasan orang laki-laki yang berpakaian serba hitam, Bi Moli Kwan Hwe Li segera menggerakkan pedangnya. Ia tidak merasa perlu untuk bicara lagi karena mereka semua telah menyumbat telinga mereka sehingga mereka tidak akan mendengar apa yang ia katakan. Dengan marah ia memutar pedangnya dan para pengepungnya terkejut sekali melihat gulungan sinar pedang yang menyelimuti tubuh wanita cantik itu. Mereka memperlebar kepungan dan mengeroyok dari sekelilingnya sehingga Bi Moli terpaksa harus melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang, tanpa mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Ternyata bahwa belasan orang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Ketika seorang di antara mereka memberi isarat dengan mengeluarkan sebuah benda seperti gulungan kain, yang lain juga segera mengeluarkan benda yang sama. Tiba-tiba, seorang yang berdiri di belakangnya menggerakkan benda itu ke atas dan benda itu ternyata sehelai jaring hitam yang menyambar dan menubruk ke arah Bi Moli. Wanita ini cepat mengelak ke samping dan biarpun ia dapat menghindarkan diri dari terkaman jaring itu, ia disambut sambaran jaring lain. Ia mengelak dan menggerakkan pedang untuk menangkis, akan tetapi akhirnya, sehelai jaring menerkamnya dari belakang atas. Bi Moli mengerahkan tenaga menggerakkan pedangnya. Ternyata jaring itu terbuat dari bahan yang kuat dan ulet, yang tidak menjadi putus oleh sabetan pedangnya. Ketika Bi Moli bagaikan seekor ikan terjaring, menggerakkan tenaga meronta-ronta dan tangan kirinya yang menangkap jaring itu berhasil merenggut putus beberapa helai tali jaring, jaring kedua sudah menerkam di atas jaring pertama!
Bi Moli terkejut, maklum bahwa kalau banyak jaring menimpanya, ia tidak akan mampu lolos lagi. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara mengaung-ngaung dan dua orang pengeroyok terpelanting dan jaring-jaring itu ditarik kembali, hanya tinggal dua helai yang masih menyelimuti dirinya. Akan tetapi karena dua orang pemegang tali jaring itu diserang oleh seorang pemuda yang memegang sebatang pedang sehingga mereka terdesak mundur dan dengan mudah Bi Moli lalu meronta melepaskan diri dari dua helai jaring itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Dari pakaiannya yang ringkas saja dapat diduga bahwa dia seorang pemuda kang-ouw yang perkasa. Pedang di tangannya diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung. Melihat ini, Bi Moli menjadi gembira dan cepat iapun memutar pedangnya menerjang para pengeroyok.
Agaknya para pengepung maklum bahwa pemuda itu seorang yang lihai. Apalagi dua orang di antara mereka telah roboh oleh pedang di tangan pemuda itu. Mereka mengangkat dua orang kawan mereka yang terluka. dan melarikan diri menghilang ke dalam hutan.
Bi Moli tidak mengejar, dan pemuda itupun tidak melakukan pengejaran. Mereka berdiri saling berhadapan dan berpandangan dengan penuh selidik. Bi Moli tersenyum, memandang kagum karena pemuda itu memang gagah perkasa dan tampan.
"Aih, kalau aku tidak salah duga, bukankah engkau ini putera atau murid dari Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman?"
Pemuda itu memberi hormat. Dia memang benar Ouwyang Toan, putera tunggal Bu-eng-kim (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek. Dia meninggalkan Lembah Bukit Siluman dalam perjalanannya mencari Tiauw Hui Hong, murid atau anak tiri ayahnya yang pergi meninggalkan lembah untuk mencari ayah kandungnya. Ouwyang Toan ini jatuh cinta kepada adik seperguruan atau adik tirinya sendiri dan dia bertekad untuk memperisteri Hui Hong. Dalam perjalanannya nenuju ke kota raja Nan-king dalam usaha mencari Hui Hong, dia melihat betapa Bi Moli dikeroyok oleh belasan orang, maka diapun segera memberi bantuan. Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang pria dan keadaannya terancam, tentu dia tidak dapat membiarkannya begitu saja. Apalagi wanita itu demikian cantiknya, dan ada seorang nona cantik lain rebah pingsan di atas rumput.
"Toanio (nyonya) sungguh lihai dan bermata tajam, memang benar dugaan toanio, aku bernama Ouwyang Toan dan ayahku adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Ayahku pernah bercerita tentang seorang datuk wanita yang lihai dan selalu nampak cantik dan muda, juga ia seorang ahli sihir. Tadi toanio menggunakan kekuatan sihir, apakah toanio yang bernama Bi Moli Kwan Hwe Li?"
Bi Moli tertawa girang.
"Aih, engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi putera Bu-eng-kiam! Engkau gagah perkasa, tampan dan cerdik."
"Bibi Kwan terlalu memuji," kata Ouwyang Toan merendah, kini tanpa ragu lagi menyebut bibi karena ayahnya mengatakan bahwa ayahnya mengenal baik wanita yang dianggap setingkat dan segolongan dengan ayahnya itu.
"Akan tetapi, siapakah nona yang masih tak sadar itu, bibi?"
"Aih, aku sampai lupa! Ia adalah muridku dan tadi kami tertipu oleh tiga orang pemburu yang mencampurkan racun pembius dalam anggur yang mereka suguhkan." Bi Moli menghampiri muridnya yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan, diikuti oleh Ouwyang Toan yang diam-diam memandang kagum kepada wanita muda yang cantik itu.
"Bibi, aku mempunyai obat penawar segala macam racun. Kalau boleh, biarkan aku yang menyadarkannya," kata Ouwyang Toan. Bi Moli memandang wajah pemuda itu dan mengangguk sambil tersenyum! Sebagai seorang wanita berpengalaman, ia tahu bahwa pemuda putera datuk dari Lembah Bukit Siluman ini tertarik kepada muridnya. Mengapa tidak, pikirnya! Kalau muridnya dapat menjadi mantu Ouwyang Sek, berarti ia mempunyai sekutu yang amat kuat.
Setelah mendapatkan persetujuan Bi Moli Ouwyang Toan dengan girang lalu berlutut di dekat tubuh yang terlentang itu. Jantungnya berdebar keras karena dengan berlutut di dekat tubuh itu, dia dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh yang ramping padat itu, wajah yang cantik manis. Dia bukan seorang yang ber watak mata keranjang, akan tetapi Ling Ay memang memiliki kecantikan yang mampu menarik hati pria yang pendiam sekalipun!
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ouwyang Toan mengambil dua butir pel merah dari sebuah bungkusan, lalu menghancurkan dua butir pel itu ke dalam secawan arak. Setelah itu, dia menotok jalan darah di kedua pundak dan tengkuk Ling Ay. Gadis itu belum siuman, akan tetapi sudah mengeluh dan dapat bergerak tanpa membuka mata karena masih dipengaruhi racun pembius. Karena ia sudah mampu bergerak, Ouwyang Toan merangkulnya dengan lengan kiri, membantunya bangkit duduk, lalu memaksanya minum obat penawar racun dari cawan. Biarpun tidak mudah, namun setelah Ouwyang Toan meniup ke hidung Ling Ay, wanita ini gelagapan dan terpaksa dapat menelan semua isi cawan. Ouwyang Toan merebahkannya kembali dan dengan jari-jari tangan penuh gairah, dia memijit-mijit pundak dan tengkuk Ling Ay, merasa betapa lembut kulit itu, betapa hangat dan berisi.
Tak lama kemudian, Ling Ay mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat ada seorang laki-laki berlutut di dekatnya dan laki-laki itu meraba-raba dan memijit-mijit tengkuk dan pundaknya, ia mengeluarkan seruan nyaring dan sambil meloncat berdiri, ia mengirim pukulan ke arah muka laki-laki itu,
"Wuuuuttt ... plakkk!" Ouwyang Toan menangkis tamparan yang amat kuat itu dan diapun melompat berdiri.
Ling Ay sudah siap untuk melanjutkan serangannya, akan tetapi gurunya segera melangkah maju dan menangkap lengannya.
"Tenanglah, Ling Ay dan jangan salah mengerti. Pemuda ini tidak berniat buruk, bahkan dia yang telah mengobatimu dan menyadarkanmu dari pengaruh racun pembius." kata Bi Moli kepada muridnya. Mendengar ini, Ling Ay terkejut dan mundur dua langkah, memandang kepada pemuda itu dan kedua pipinya berubah kemerahan.
"Ahhh ... maafkan aku ...
" katanya gagap dan malu telah menyerang orang tanpa bertanya dulu sehingga hampir ia memukul penolongnya!
"Tidak mengapa, nona.
"kata Ouwang Toan.
"Ling Ay, dia adalah Ouwyang Toan, putera dari Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Kalau dia tidak datang, tentu akupun tadi akan terancam bahaya dari tangan orang-orang berpakaian hitam itu. Ouwyang Toan, kenalkan, muridku ini bernama Cia Ling Ay."
Ling Ay yang menyadari kesalahannya tadi, segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut dan ramah,
"Terima kasih atas bantuan Ouwyang Tai-hiap."
Ouwyang Toan tersenyum.
"Ahhh, harap nona jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)!"
Bi Moli tertawa.
"Engkau sendiri menyebut Ling Ay nona. Ketahuilah, ia bukan nona, melainkan nyonya muda, ia sudah janda tanpa anak ...
"
"Subo ...
" kata Ling Ay dan mukanya berubah kemerahan. Ia menganggap memalukan untuk memperkenalkan dirinya sebagai seorang janda muda tanpa anak.
"Aihh, Ling Ay. Ouwyang Toan ini adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang kuanggap sebagai segolongan dan sahabat sendiri, maka diapun dapat kita anggap orang serdiri. Engkau tidak perlu sungkan dan sebut saja dia toako, dan engkau menyebut siauw-moi kepada Ling Ay, Ouwyang Toan."
Kedua orang muda itu kembali saling pandang dan dengan sikap malu-malu karena mata pemuda itu menjelajahi seluruh tubuhnya, Ling Ay berkata,
"Ouwyang toako!"
"Cia-moi, di antara kita memang tidak perlu sungkan seperti apa yang dikatakan bibi Kwan."
"Kulihat Bibi Kwan dan Adik Ling Ay berpakaian seperti perwira kerajaan. Benarkah dugaanku ini?"
"Tidak salah, Ouwyang Toan. Aku bekerja di istana sebagai guru silat yang melatih para perwira dan para puteri, sedangkan Ling Ay bekerja sebagai perwira pasukan pengawal permaisuri."
"Ah, kiranya bibi dan adik telah menjadi orang-orang penting di istana! Sungguh mengagumkan sekali!"
"Tidak perlu memuji, Ouwyang Toan. Kami hanya perwira-perwira kecil. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan ayahmu di Lembah Bukit Siluman?"
"Terima kasih, bibi. Ayah baik-baik saja. Dan aku sendiri sedang mencari ... adikku yang pergi dari rumah."
"Siapakah adikmu itu? Dan, kalau tidak salah, Bu-eng kiam mempunyai seorang anak perempuan. itukah yang kaumaksudkan? Siapalagi namanya, aku sudah lupa."
"Benar, bibi. Namanya Hui Hong ... eh, ada apakah, adik Ling Ay? Kenalkah engkau dengan adikku, atau apakah engkau melihat ia di kota raja !"
Ling Ay menggeleng kepala.
"Aku ... rasanya aku pernah melihatnya dan mendengar namanya, yaitu kurang lebih empat tahun yang lalu ...
"
"Sebelum engkau menjadi muridku?" tanya gurunya.
Ling Ay sudah dapat menenangkan hatinya. ia ingat bahwa gadis bernama Hui Hong itu adalah gadis yang membuat hatinya merasa tidak enak dan cemburu karena gadis itu datang bersama Bun Houw dan mereka nampak demikian akrab, ia merasa tidak perlu bicara tentang itu dan iapun berkata tenang,
"Akan tetapi, sejak empat tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melihatnya."
"Mari ikut bersama kami, Ouwyang Toan. Kami akan membantu mencari keterangan. Kalau memang benar adikmu berada di kota raja, kami tentu akan dapat menemukannya. Kami harus cepat kembali ke kota raja untuk melaporkan tentang adanya gerombolan berpakaian hitam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mereka harus cepat dibasmi dan kami akan minta kepada panglima pasukan keamanan untuk menggerebek mereka di hutan ini."
Ouwyang Toan merasa girang, bukan saja karena akan mendapat bantuan menemukan Hui Hong, melainkan juga karena dia akan berdekatan dengan Ling Ay yang cantik manis, dan juga Bi Moli yang biarpun usianya sudah setengah abad, masih nampak jelita itu. Mereka lalu berangkat ke Nan-king. Bi Moli berboncengan satu kuda dengan muridnya dan kuda yang seekor lagi diberikan kepada Ouwyang Toan ...!"
Karena yang membawanya Bi Moli dan Ling Ay, tentu saja Ouwyang Toan tidak dilarang memasuki istana dan dia mendapatkan sebuah kamar dalam sebuah gedung di samping agak terpisah dari gedung induk, yaitu gedung yeng memang disediakan bagi para tamu istana. Bi Mo-li sendiri segera menghubungi panglima pasukan keamanan yang mengirim pasukan untuk menggerebek gerombolan berpakaian hitam yang tadi mengeroyok Bi Moli. Akan tetapi, pasukan itu tidak menemukan apa-apa. Pasukan itu tidak menemukan seorang pun anggauta gerombolan walaupun di tengah hutan didapatkan pondok-pondok darurat dan ada tanda-tanda bahwa baru saja banyak orang meninggalkan tempat itu.
Memenuhi janjinya, Bi Moli juga menyebar penyelidik untuk mencari seorang gadis bernama Ouwyang Hui Hong, namun sampai beberapa hari lamanya, pencarian mereka itu tidak berhasil menemukan gadis yang dicari. Sementara itu, Ouwyang Toan tinggal sebagai tamu terhormat di lingkungan istana, dan walaupun tempat itu dijaga para pengawal dan dia tidak dapat berkeliaran di dalam istana, namun di sekeliling gedung tamu itu terdapat taman yang luas dan indah sehingga membuat pemuda ini merasa betah tinggal di situ. Apalagi di waktu malam, seringkili Bi Moli dan Ling Ay datang berkunjung dan hubungan mereka telah akrab.
Karena sikap Ouwyang Toan memang baik terhadap dirinya, dan ia tahu bahwa pemuda itu seorang yang berkepandaian tinggi, maka ketika gurunya menyindirkan bahwa pemuda itu akan menjadi jodohnya yang baik, Ling Ay tersipu dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Ling Ay, pemuda itu seorang yang baik dan akan sukarlah mencari seorang calon suami yang melebihi dia. Dia lihai, tampan, gagah, putera seorang tokoh besar ...
"
"Subo! Subo tahu bahwa aku seorang janda, dan aku ... aku hanya mencinta seorang ...
"
"Bodoh! Jangan engkau meniru sikap hidupku yang membuat aku merana sampai setua ini! Apa artinya mencinta seorang pria mati-matian, padahal pria itu sendiri tidak mencintamu? Engkau akan menderita! Aku sudah bersikap bodoh ketika muda. Sebetulnya tidak seharusnya aku bersikap seperti itu, mengharapkan seorang pria menjadi jodohku sampai aku harus mengorbankan diri, bersetia sampai puluhan tahun, pada hal pria itu tidak mau menjadi jodohku! Seharusnya kita menempuh dua jalan, pertama, kita harus menggunakan segala daya upaya untuk mendapatkan pria yang kita cinta itu, baik secara halus maupun kasar. Kalau itu gagal, kita mencari pria lain dan melupakan yang pertama! Nah, untuk apa engkau mengharapkan kekasih pertamamu itu. padahal dia tidak mencintamu lagi, bahkan engkau pernah menikah dengan orang lain? Sekarang ada Ouwyang Toan, dan kurasa dia tidak kalah dibandingkan dengan pria manapun."
"Subo, dia serdiri belum tentu mau denganku. Aku hanya seorang janda, dan dia putera seorang datuk dan ...
"
"Aku yakin dia pasti mau memperisteri dirimu."
"Bagaimana mungkin subo tahu?"
Bi Moli tersenyum.
"Aku dapat melihat bahwa dia tertarik padamu, Ling Ay, baik dari pandang matanya dan sikapnya kalau bicara denganmu."
"Aih, subo hanya menduga-duga saja."
Demikianlah, sejak percakapan itu, Ling Ay semakin memperhatikan Ouwyang Toan bahkan kalau kini berhadapan dengan pemuda itu, ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan ia merasa sungkan dan tersipu. Pada suatu sore, beberapa hari setelah Ouwyang Toan tinggal di lingkungan istana sebagai tamu, Ling Ay mencari gurunya. Ketika mendengar dari pelayan gurunya bahwa Bi Moli sejak tadi pergi, Ling Ay menduga bahwa tentu subonya pergi mengunjungi Ouwyang Toan, seperti yang dilakukannya setiap hari setiap kali ada kesempatan. Iapun pergi menyusul. Pada waktu itu, gedung tempat penginapan tamu itu kebetulan kosong dan hanya ada sedikit saja tamu yang menginap di situ. Kamar Ouwyang Toan berada di bagian belakang dan Ling Ay langsung saja menuju ke kamar pemuda itu. Para penjaga di depan gedung itu tentu saja mengenal Ling Ay, dan mereka memberi hormat ketika perwira pengawal wanita itu masuk.
Tentu saja Ling Ay tidak berani mengetuk kamar pemuda itu. Hal itu tidak sopan. Bahkan belum pernah ia datang berkunjung sendirian saja, selalu bersama subonya. Kinipun ia bukan bermaksud datang berkunjung, melainkan menyusul dan mencari subonya. Maka, iapun menghampiri kamar itu dengan langkah ringan dan tidak menimbulkan suara sedikitpun. Tiba tiba, ketika ia berada di luar jendela, ia menghentikan langkahnya. Ada suara percakapan berbisik-bisik keluar dari jendela itu dan ia mengenal suara subonya! Subonya berada di dalam kamar seorang diri saja bersama pemuda itu, dan mereka bicara berbisik-bisik, diselingi tawa lirih gurunya, tawa aneh karena terdengar genit! Iapun menahan napas dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya, menangkap percakapan bisik-bisik itu.
"Bibi, kita telah berjanji, kuharap kelak engkau tidak akan melanggar janjimu kepadaku," terdengar suara Ouwyang Toan berbisik.
"Ihh, anak bandel! Kaukira Bi Moli tukang bohong? Akan tetapi kau juga harus selalu ingat. Biarpun Ling Ay telah menjadi milikmu, engkau harus tidak pernah menyia-nyiakan diriku. Kalau kelak engkau melupakan aku, maka aku pasti akan membunuh engkau dan Ling Ay!"
Tentu saja Ling Ay yang mendengarkan dari luar, seketika menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. Ingin ia meloncat dan pergi, akan tetapi kedua kakinya seperti lumpuh dan ia ingin mendengarkan lagi, ingin tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan,
"Aku melupakanmu? Ah, engkau begini cantik, begini pandai menyenangkan hatiku, sampai matipun aku tidak akan melupakanmu, bibi yang manis. Akan tetapi kalau engkau melanggar janji, tidak mengusahakan agar ia menjadi milikku, aku akan meninggalkanmu dan mengadu kepada ayah dan kami akan memusuhimu."
"Jangan khawatir, laki-laki ganteng. Aku tidak begitu pelit untuk membagi dirimu dengan muridku sendiri."
"Akan tetapi, ia kelihatan begitu pendiam dan angkuh. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk berhasil merayu dan memikatnya, bibi. Aku tidak pandai merayu."
"Apa sih sukarnya? Aku dapat mempergunakan kekuatan sihirku untuk menundukkannya."
"Dan aku mempunyai obat pembius dan racun perangsang untuk membantu kalau-kalau kekuatan sihirmu kurang berhasil." Lalu terdengar kedua orang itu cekikikan menahan tawa. Ling Ay bergidik. Ingin ia menjerit dan memaki, wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan ia lalu memaksa diri untuk berlari meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya, mengambil pakaian dan sore hari itu juga meninggalkan istana. Ketika ia berlari, karena ia marah sekali. ia kurang hati-hati dan kakinya menimbulkan suara yang tentu saja mengejutkan dua orang yang, sedang berbuat mesum di dalam kamar itu.
Ling Ay mendengar suaranya dipanggil, akan tetapi ia tidak perduli dan setelah berhasil membawa buntalan pakaian, iapun keluar dari dalam istana, terus menuju ke pintu gerbang kota raja untuk melarikan diri. Ia tidak akan sanggup melawan gurunya dan Ouwyang Toan, dan kalau ia tidak melarikan diri. tentu ia akan menjadi korban niat yang hina dan kotor dari kedua orang itu. Lebih baik ia mati dari pada menyerah kepada mereka!
Setelah keluar dari pintu gerbang bagian barat kota raja, Ling Ay terus melarikan diri secepatnya menuju ke barat, ke arah sungai Yang-ce-kiang karena ia bermaksud melarikan diri dengan menyewa perahu agar tidak mudah dapat dikejar dan ditangkap gurunya yang pasti akan melakukan pengejaran.
Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya ia tiba di tepi sungai Yang-ce. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak ada tukang perahu, bahkan tidak ada perahu di sungai yang dekat, semua yang nampak adalah perahu-perahu nelayan yang jauh dari tepi itu. Akan tetapi tiba-tiba meluncur sebuah perahu yang ditumpangi seorang laki-laki yang muka dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Perahu itu berhenti di sebuah belokan yang teduh dan laki-laki itu melempar kailnya.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 20
Pada saat itu terdengar suara gurunya memanggilnya! Gurunya belum nampak, akan tetapi suaranya sudah sampai di situ, tanda bahwa gurunya berteriak dengan kekuatan khi kang. Wajah Ling Ay menjadi pucat. Kalau sampai ia terlihat gurunya, tidak akan ada harapan lagi!
"Paman tukang perahu ...!" teriaknya ke arah tukang perahu yang bercaping lebar dan sedang memancing ikan itu.
"Tolonglah aku, tukang perahu! Tolong seberangkan aku ke sana ... cepat, tolonglah aku ...!!"
Akan tetapi, tukang perahu yang sedang memancing ikan itu agaknya tidak mendengarnya, atau memang tidak perduli atau mungkin juga dia bukan tukang perahu yang suka menyeberangkan orang melainkan seorang yang mempunyai kesenangan mengail.
"Tukang perahu ...!" Ling Ay berteriak lagi, akan tetapi terlambat. Tukang perahu itu tidak bergerak, dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan subonya Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah berdiri di depannya! Pemuda itu tersenyum mengejek, dan Bi Moli memandang dengan mata mencorong marah.
"Ling Ay, apa yang kaulakukan ini? Engkau minggat, pergi meninggalkan istana tanpa pamit? Apa yang kau kehendaki?" tanya Bi Moli dengan nada suara marah ... .
Ling Ay terkenang apa yang didengarnya dalam kamar tadi, maka ia bergidik.
"Subo biarkan aku pergi, aku tidak akan mengganggu kalian, akan tetapi harap kalian juga jangan menggangguku." kata Ling Ay, suaranya gemetar.
"Ling Ay, gilakah engkau? Kenapa engkau hendak meninggalkan aku? Hayo kembali bersamaku!"
"Tidak, subo, aku tidak mau kembali. Harap subo jangan memaksaku untuk menjadi permainan Ouwyang Toan!"
"Kau ... ?"
"Subo, aku sudah mendengar semua. Kalian hendak memaksaku, Ouwyang Toan hendak menggunakan racun pembius dan perangsang, subo sendiri hendak mempengaruhi aku dengan sihir. Tidak, lebih baik aku mati dari pada menuruti kemauan kalian yang kotor dan hina!" Kini Ling Ay marah, teringat betapa subonya, orang yang selama ini dihormati dan disayangnya, ternyata telah berubah menjadi iblis betina yang akan menjerumuskan murid sendiri, ia merasa heran mengapa subonya yang berdarah bangsawan dan biasanya angkuh itu, bahkan yang selama ini setia mempertahankan cintanya kepada Tiauw Sun Ong, telah berubah seperti itu!
"Ling Ay, engkau berani mengintai dan mendengar percakapan kami? Sungguh engkau murid durhaka!" bentak Bi Moli, marah sekali karena merasa malu membayangkan betapa muridnya telah mengetahui semua rahasianya dengan Ouwyang Toan.
Melihat kemarahan Bi Moli, Ouwyanng Toan berkata,
"Bibi, kiranya tidak perlu ribut-ribut di sini. Kita tangkap saja dan membawanya kembali ke istana. Biar kutangkap ia untukmu, bibi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Toan sudah menerjang ke depan, kedua lengannya dikembangkan, bagaikan seekor biruang yang hendak menangkap kelinci.
Dengan marah Ling Ay mengelak dengan loncatan ke samping dan menggerakkan kakinya menendang ke arah pusar pemuda itu. Tendangan itu cukup berbahaya, maka terpaksa Ouwyang Toan menghindarkan diri dari tendangan itu dengan elakan ke belakang. Bi Moli marah melihat muridnya melawan, maka iapun menerjang dari samping dan tangannya menyambar. Ling Ay berusaha mengelak, akan tetapi pundaknya terkena sentuhan jari tangan gurunya dan iapun terpelanting! Akan tetapi, kiranya gurunya hanya hendak menakut-nakutinya saja dan tidak melukainya maka iapun bangkit lagi, mukanya pucat saking marahnya.
"Singg ...!!" Ling Ay mencabut pedangnya dan menghadapi kedua orang itu.
"Subo, sudah kukatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada harus kembali ke sana. Dan terpaksa aku akan melawan mati-matian mempertahankan kehormatanku!" Ia mengangkat pedangnya, melintang di depan dada!
"Tahan pedangnya, biar aku merobohkan dan menangkapnya!" kata Bi Moli kepada Ouwyang Toan.
"Bibi, jangan bunuh Ling Ay ...
" kata Ouwyang Toan.
"Aku terlalu sayang padanya!"
"Aku tidak akan membunuhnya, melukai pun tidak asal engkau dapat menahan pedangnya dan memberi kesempatan kepadaku untuk merobohkannya."
Ouwyang Toan mencabut pedangnya dan, diapun menyerang dengan putaran pedangnya cepat sekali. Terpaksa Ling Ay menggerakkan pedang pula untuk membela diri. Ia berusaha untuk lebih banyak mengelak sambil memutar pedang karena maklum bahwa sedikit saja ada lowongan karena ia harus menghadapi pedang Ouwyang Toan, maka gurunya akan dengan mudah merobohkannya dengan totokan.
"Trangg ...!" Kembali ia menangkis ketika pedang Ouwyang Toan membacok dari atas, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya melekat pada pedang pemuda itu, tidak dapat dilepaskan kembali. Tentu saja ia dalam keadaan terbuka dan gurunya tentu akan mudah merobohkannya.
Bi Moli mergeluarkan suara tawa mengejek dan sudah bergerak ke depan, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan dan sebuah caping menyambar sambil berputar seperti gasing, menyambar ke arah Bi Moli. Tentu saja iblis betina yang cantik ini terkejut bukan main dan ia sudah mengurungkan totokannya kepada muridnya, melainkan membalik dan menghantam ke arah caping yang menyambarnya dari samping itu.
"Prakkk !" Caping itu hancur berkeping-keping, akan tetapi Bi Moli merasa betapa tangannya perih, tanda bahwa caping itu dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Kini di depannya telah berdiri seorang pemuda. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, wajahnya tampan namun sederhana, tidak pesolek, bahkan pakaiannya juga bersahaja. Demikian pula sikapnya, nampak ramah namun wajar bahkan agak acuh. Ling Ay terkejut dan juga wajahnya berubah kemerahan. Kiranya ini adalah tukang perahu yang tidak menanggapi seruannya tadi, dan setelah tidak bercaping lagi, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Kwa Bun Houw!
Memang pemuda itu adalah Kwa Bun Houw, pemuda yatim piatu yang menjadi murid Tiauw Sun Ong. Pemuda yang berbakat baik ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Tiauw Sun Ong. akan tetapi kini tingkat ilmu kepandaiannya bahkan melebihi gurunya karena secara kebetulan dia telah makan Akar Bunga Gurun Pasir, obat mujijat yang pernah diperebutkan semua tokoh dunia persilatan. Obat mujijat itu yang membuat tubuhnya menjadi kuat sekali. Baru pengaruh daya obat luar biasa itu saja sudah mendatangkan kemajuan hebat dalam diri Bun Houw, apalagi secara kebetulan pula dia berhasil mempelajari dan menguasai ilmu langka yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. maka dia memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat. Kini Bun Houw sedang dalam perjalanan yang membawa dua macam tugas yang diberikan gurunya kepadanya. Pertama, dia mencari Tiauw Hui Hong, puteri gurunya yang tadinya menjadi anak yang diakui sebagai anak sendiri oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dia tidak tahu ke mana Hui Hong pergi, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang gadis tanpa diketahui ke mana perginya. Adapun tugas kedua dari gurunya adalah agar dia mengamati dan meneliti bagaimana perkembangan keadaan setelah kerajaan Lui-sung jatuh dan kaisarnya diganti kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi.
Dia sedang menuju ke Nan-king dengan perahu dan pada sore hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Ling Ay terancam oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan.
Tentu saja dia segera mengenal Ling Ay ketika wanita itu tadi memanggilnya sebagai tukang perahu. Dia mengenal suara Ling Ay, dan ketika dia mengerling dan mengintai dari bawah capingnya, dia mengenal benar wajah wanita yang pernah menjadi kekasih dan tunangannya itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak perduli. Pertama, dia tidak ingin Ling Ay tahu bahwa dialah tukang perahu itu, dan ke dua, dia merasa heran dan ingin melihat apa yang terjadi sehingga Ling Ay berada di tepi sungai itu dengan sikap yang ketakutan. Ketika dia melihat Ouwyang Toan, dia terkejut, apalagi melihat sikap Ouwyang Toan dan wanita cantik itu terhadap Ling Ay dan mendengar percakapan mereka. Dari percakapan itu dia tahu bahwa wanita cantik itu guru Ling Ay yang kini mendadak saja menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat. Bagaimana mungkin seorang guru hendak memaksa muridnya menjadi permainan Ouwyang Toan seperti dikatakan Ling Ay tadi? Bun Houw sudah siap siaga, akan tetapi dia masih ingin melihat perkembangannya dan mempertimbangkan apakah dia perlu melindungi dan membantu Ling Ay.
Baru setelah dia melihat Ling Ay terancam dan nyaris dirobohkan, dia melempar capingnya untuk menggagalkan serangan Bi Moli dan dia sendiri meloncat ke darat dan kini dia sudah berhadapan dengan Bi Moli.
"Kakak Bun Houw ... !" Ling Ay tak dapat menahan mulutnya menyebut nama bekas tunangannya itu.
"Adik Ling Ay, tenanglah, biar aku menghadapi mereka." kata Bun Houw.
"Kwa Bun Houw, engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Ouwyang Toan marah sekali. Andaikan dia seorang diri harus menghadapi Bun Houw, tentu dia merasa gentar karena dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi pemuda itu. Akan tetapi di situ terdapat Bi Moli Kwan Hwe Li yang lihai, maka tentu saja dia menjadi berani.
"Hemm, Ouwyang Toan, agaknya di mana-mana engkau hendak menyebar benih busuk dengan perbuatanmu!" Berkata demikian, Bun Houw melangkah maju dan otomatis Ling Ay cepat mundur dan berdiri di belakang bekas tunangan itu.
"Bibi, ini adalah Kwa Bun Houw, murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh ...!" Bi Moli tertegun. Tak disangkanya dia bertemu dengan seorang pemuda yang pernah disebut-sebut muridnya sebagai bekas kekasih dan tunangan muridnya, juga yang menjadi murid Tiauw Sun Ong, bekas kekasihnya.
"Bibi, dia musuh besarku sejak dahulu, bahkan dia mengajak gurunya untuk memusuhi ayahku. Bantulah aku untuk membunuhnya, bibi. Baru kita dapat menangkap Ling Ay." kata pula Ouwyang Toan.
Mendengar bahwa pemuda itu murid bekas kekasihnya, hati Bi Moli merasa kurang enak.
"Orang muda, sebaiknya engkau tidak mencampuri urusan kami. Ini merupakan urusan, guru dan murid. Ling Ay adalah muridku dan engkau sebagai orang luar tidak berhak mencampurinya. Ling Ay, hayo engkau ikut enganku!"
"Tidak, subo. Sampai mati aku tidak akan suka ikut subo kembali ke istana!" kata Ling Ay berkeras,
"Subo telah bersekongkol dengan Ouwyang Toan untuk mempermainkan aku. Aku tidak sudi!"
"Locianpwe, saya tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, sudah menjadi tugas saya untuk mencampuri urusan yang menyangkut kejahatan yang menindas siapa saja, sudah menjadi tugas saya untuk membela yang benar dan menentang yang salah. Adik Cia Ling Ay ini sudah jelas menyatakan bahwa ia tidak mau ikut lo-cianpwe karena hendak dipaksa menjadi permainan Ouwyang Toan. Kalau lo-cianpwe dan Ouwyang Toan hendak memaksanya, sudah tentu saya akan membelanya!" kata Bun Houw dengan tegas.
Bi Moli tersenyum mengejek,
"Engkau hanya murid Tiauw Sun Ong, berani bersikap begini kepadaku? Berani engkau menentangku? Menentang aku sama saja dengan menentang gurumu sendiri!"
"Maaf, lo-cianpwe. Menurut pelajaran yang saya terima dari suhu, yang ditentang bukanlah orangnya, melainkan perbuatannya yang keliru. Bahkan guru sendiri atau orang tua sendiripun kalau melakukan perbuatan yang jahat, pernuatan itu harus ditentang, pelakunya harus disadarkan dari kesesatannya."
"Bocah sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa perbuatanku sesat?" bentak Bi Moli marah.
"Kalau lo-cian-pwe hendak memaksa Ling Ay untuk dipermainkan Ouwyang Toan di luar kehendaknya, sudah jelas perbuatan itu sesat dan harus ditentang."
"Jahanam! Engkau tidak tahu siapa aku! Lihat baik-baik Kwa Bun Houw, aku adalah seorang yang harus kau muliakan dan kau sembah. Berlututlah engkau!" Suaranya terdengar menggetar penuh wibawa dan mata itu mencorong seperti menembus di dahi Bun Houw antara kedua alisnya.
Seketika Bun Houw merasa tubuhnya menggetar hebat dan ada tenaga yang amat kuat dalam suara itu yang memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bun Houw cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini menjadi amat kuat setelah dia makan obat Akar Bunga Gurun Pasir, dan mengerahkan tenaga itu dari pusar ke atas sesuai dengan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dikuasainya. Hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya sampai ke ubun-ubun dan dorongan tenaga aneh yang memaksanya untuk berlutut tadi, lenyap bagaikan kabut ditimpa sinar matahari.
"Maaf kalau saya mengecewakan lo-cian-pwe, saya tidak akan pernah tunduk terhadap kejahatan. Sebaliknya lo-cianpwe dan Ouwyang Toan segera meninggalkan adik Ling Ay dan jangan mengganggunya lagi."
Bi Moli Kwan Hwee Li menjadi semakin marah karena merasa penasaran dan malu bahwa kekuatan sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda iru. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya sudah ke depan dan ia mengirim pukulan dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada Bun Houw. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Bun Houw yang maklum akan datangnya serangan dahsyat itu maka diapun dengan jurus Im-yang Bu-tek Cin-keng menekuk kedua lututnya, kedua tangan di rangkap depan dada seperti menyembah, lalu kedua tangan itu didorongkan ke depan dengan telapak tangan di muka untuk menyambut serangan lawan.
"Wuunuttt ... dessss ...!" Dua pasang telapak tangan itu belum saling sentuh, akan tetapi di antara mereka seperti ada angin kuat yang saling bertumbukan dan membuat keduanya terpental kebelakang. Akan tetapi kalau Bun Houw terpental hanya mundur dua langkah, sebaliknya Bi Moli Kwan Hwe Li terhuyung dan hampir roboh telentang kalau saja Ouwyang Toan tidak cepat menahannya dari belakang. Bi Moli merasa terkejut dan malu, membuatnya marah dan ia menepaskan tangan Ouwyang Toan yang menyangga punggung dan pinggulnya.
"Kwa Bun Houw, kalau aku menandingimu, sama dengan aku menghina gurumu. Baik akan kulaporkan kelakuanmu yang kurang ajar kepadaku ini kepada Tiauw Sun Ong!" Setelah berkata demikian, Bi Moli memberi isarat kepada Ouwyang Toan untuk meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Toan tentu saja merasa terkejut dan heran. Dia memang tahu bahwa Bun Houw amat lihai. Bahkan ayahnya pernah kalah oleh pemuda itu. Akan tetapi tadi di tidak melihat Bi Moli sudah dikalahkan, hanya terhuyung ke belakang, kenapa wanita sakti yang menjadi datuk persilatan ini nampak jerih untuk melanjutkan perlawanannya terhadap Kwa Bun Houw? Baru dia tahu setelah mereka tiba diluar pintu gerbang kota raja dan melihat Bi Moli muntahkan sedikit darah, bahwa datuk itu ternyata telah menderita luka dalam akibat adu tenaga sin-kang jarak jauh tadi! Tentu saja dia terkejut, akan tetapi tidak berani bertanya-tanya.
Biarpun dalam hati ia marah dan membenci Ling Ay, akan tetapi pada lahirnya Bi Moli Kwan Hwe Li terpaksa menghadap Permaisuri dan mohon maaf bahwa muridnya Cia Ling Ay pergi meninggalkan istana tanpa pamit karena mendengar bahwa seorang pamannya meninggal dunia dan pengawal itu malam-malam harus pergi meninggalkan kota raja dan tidak sempat mohon diri dari Permaisuri. Karena yang mintakan maaf dan melaporkan adalah Bi Moli Kwan Hwe Li, guru silat istana dan juga guru diri Ling Ay, maka Permaisuri menerima permintaan maaf itu dan tidak terjadi keributan apapun di dalam istana. Bi Moli terpaksa menghadap permaisuri demi dirinya sendiri karena kalau Kaisar dan keluarganya memarahi Ling Ay, ia sebagai gurunya tentu akan terlibat juga.
Atas permintaan Ouwyang Toan, Bi Moli akhirnya berhasil memperkenalkan Ouwyang Toan sebagai murid keponakannya dan setelah melalui ujian ilmu silat, Ouwyang Toan diterima sebagai seorang perwira pengawal pasukan penjaga keamanan istana. Dengan kedudukan ini. mereka berdua dapat bekerjasama dan dapat selalu berhubungan, dan Ouwyang Toan mempergunakan kesempatan itu untuk menyebar anak buahnya untuk mencari Hui Hong!
Mereka berdua, Bun Houw dan Ling Ay duduk di perahu kecil yang dibiarkan hanyut terbawa arus sungai oleh Bun Houw yang menggunakan dayung untuk mengemudikan perahu yang meluncur perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan Ling Ay.
"Houw-ko, kalau tidak ada engkau yang menolong, tentu sekarang aku sudah mati membunuh diri karena tidak mungkin aku mampu menandingi mereka dan aku tidak sudi dipaksa menjadi isteri Ouwyang Toan." Ling Ay berkata dengan terharu sambil menatap wajah bekas tunangannya.
Bun Houw menghela napas panjang,
"Orang yang benar dan baik akan selalu dilindungi Tuhan, Ay-moi. Betapa cepatnya waktu meluncur lewat. Rasanya baru kemarin dulu kita saling jumpa dalam peristiwa di Nan-king itu dan sekarang, tahu-tahu engkau telah menjadi seorang ahli silat tangguh, murid Bi Moli!"
"Aih, nasib telah mempermainkan diriku sedemikian rupa, Hou-ko, bahkan sampai saat ini akupun masih selalu dirundung nasib yang malang."
"Adik Ling Ay, aku sudah mendengarkan malapetaka yang menimpa ayah ibumu. Ketika aku meninggalkan rumah kalian untuk mencari Hui Hong, aku tidak dapat menemukan jejaknya dan ketika aku kembali ke Nan-king, aku mendengar betapa ayah ibumu telah terbunuh oleh utusan pemberontak. Aku mendengar pula bahwa engkau diculik penjahat yang berjuluk Hek-coa, akan tetapi engkau ditolong oleh Bi Moli, semua keterangan itu kudapatkan dari Souw Ciangkun, panglima di Nan-king yang kemudian menangkapi para pemberontak."
Ling Ay menghela napas panjang,
"Ya, siapa tahu akan nasib kita? Akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa guruku yang selamanya begitu baik kepadaku, menolongku dari penjahat yang menculikku, kernudian melihat aku telah kehilangan segalanya lalu mengajakku merantau dan mengambil aku sebagai murid, mengajarku ilmu dengan sungguh-sungguh, mendadak berubah sama sekali setelah ia bertemu dengah Ouwyang Toan." Ling Ay lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang percakapan antara Bi Moli dan Ouwyang Toan yang melakukan hubungan gelap dan yang merencanakan untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan sehingan ia melarikan diri dan dikejar sampai ke tepi-sungai.
"Hemm, akupun heran mengapa Ouwyang Toan ingin memperisterimu setelah dia menjadi kekasih Bi Moli. Padahal, Ouwyang Toan juga agaknya ingin memaksa Hui Hong yang tadinya menjadi adik tirinya, juga adik seperguruan, untuk menjadi isterinya. Mereka memang jahat sekali. Ouwyang Sek, ayahnya, dahulu menolong ibu Hui Hong dalam perjalanan pembuangan, akan tetapi hanya untuk dipaksa untuk menjadi isterinya. Untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya, wanita itu terpaksa mau menjadi isteri Ouwyang Sek. Ahh, para datuk itu agaknya terlalu mabok akan kekuatan sendiri sehingga mereka menjadi sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Sekarang, setelah engkau meninggalkan pekerjaanmu di istana, bahkan tidak berani kembali lagi ke kota raja, lalu engkau akan pergi ke mana, Ay-moi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba saja Ling Ay menangis. Ia sendiri merasa heran dengan tangisnya. Sejak ia menjadi murid Bi Moli, ia tidak pernah menangis. Gurunya menganggap pantang untuk menangis, karena tangis hanya kebiasaan orang-orang lemah. Akan tetapi kini, di depan Bun Houw, ia merasa lemah sekali, lemah dan perasa sehingga begitu ditanya ke mana ia akan pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan tersedu-sedu.
Bun Houw tertegun. Dia sudah mengarahkan perahunya ke seberang. Tidak akan mudah dikejar dan dicari orang, kalau-kalau Bi Moli mengerahkan pasukan mengejarnya, ia lalu minggirkan perahunya dan menghentikan perahu itu di pinggir dengan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon. Tempat itu sunyi. Mereka duduk di dalam perahu dan dia membiarkan Ling Ay menumpahkan semua perasaan dukanya keluar melalui air matanya.
Setelah melihat wanita itu mereda tangisnya, dengan hati-hati Bun Houw bertanya,
"Ling Ay, kenapa engkau menangis? Apakah engkau tidak ingin kembali ke Nan-ping, ke kampung halamanmu?"
Wanita itu sudah berhenti menangis dan mendengar pertanyaan itu, ia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda itu dengan kedua mata basah.
"Houw-ko, apakah engkau juga akan pulang ke Nan-ping?" dalam ucapannya terkandung harapan yang memancar pula dari pandang matanya.
Bun Houw menggeleng kepala.
"Aku masih harus melaksanakan tugas yang diberikan suhu kepadaku. Akan tetapi kalau engkau ingin pulang ke Nan-ping, biar aku akan mengantarmu sampai ke sana sebelum aku melanjutkan tugasku."
Kini sepasang mata itu seperti bergantung kepada mata Bun Houw, penuh harapan.
"Kalau begitu, biar aku menemanimu melaksanakan tugasmu, Houw-ko. Aku akan membantumu sekuat tenagaku! Ijinkan aku ikut denganmu, Houw-ko!"
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala.
"Maaf, Ay-moi. Tugasku ini merupakan urusan pribadi, tidak dapat dibantu oleh siapapun. Aku tidak dapat membawamu bersamaku, adik Ling Ay."
Hening sejenak. Bun Houw sebetulnya merasa iba sekali kepada bekas tunanganya ini, akan tetapi dia tahu bahwa memang tidak mungkin dia mengajak Ling Ay, maka dia memutar tubuh membelakanginya agar tidak melihat wajah cantik yang nampak amat berduka itu.
"Bunga itu kekeringan dan hampir layu," terdengar Ling Ay berkata lirih,
"ia merindukan datangnya embun yang akan membawa sedikit kesejukan, yang akan dapat menghidupkannya ... Houw-ko, aku ... aku selalu mengharapkan uluran tangan dan hatimu, apakah ... apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan tidak teringat akan ... cinta kasih antara kita dahulu ...?" Ia sudah memberanikan diri sekuat hatinya, mengenyahkan semua perasaan rikuh, sungkan dan malu. Ia telah menjadi seorang wanita yang tidak tahu malu lagi, seperti membujuk agar pemuda itu mau menerimanya kembali sebagai kekasihnya!
"Adik Ling Ay, engkau masih muda, cantik, pandai, dan bahkan kini memiliki ilmu silat yang tinggi. Engkau memang berhak untuk membentuk rumah tangga kembali, menemukan seorang suami yang baik, akan tetapi ... bukan aku, Ay-moi. Sebaiknya aku berterus terang kepadamu. Aku telah dijodohkan oleh suhuku dengan puteri suhu sendiri yaitu adik Tiauw Hui Hong dan kami berdua sudah saling mencinta."
Bun Houw mengeluarkan ucapan lirih itu tanpa memutar tubuhnya, dan ia mendengar keluhan lirih dari wanita itu.
"Adik Ling Ay, maafkanlah aku, agaknya memang kita tidak berjodoh ...
" Akan tetapi dia mendengar gadis itu meloncat pergi. Dia menoleh dan benar saja Ling Ay sudah lari meninggalkannya dengan cepat sekali dan masih tertinggal suara isakan yang dibawa pergi. Dia merasa iba sekali, akan tetapi hanya memandang dan menahan dirinya agar tidak memanggilnya. Memang beginilah yang terbaik, pikirnya. Harus dia akui bahwa perasaan kasihnya terhadap Ling Ay tidak pernah lenyap, akan tetapi tidak mungkin dia menuruti perasaan itu karena dia sudah terikat lahir batin dengan Hui Hong. Ikatan batin yang timbul karena dia saling mencinta dengan gadis itu, dan ikatan lahirnya adalah karena dia sudah menerima keputusan gurunya agar dia berjodoh dengan gadis itu.
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk golongan sesat yang menjadi majikan dari Bukit Bayangan Setan, dengan girang sekali menerima berita dari puteranya bahwa puteranya kini telah berhasil menghambakan diri kepada bekas kaisar Cang Bu, bahkan di jodohkan dengan adik perempuan kaisar atau bekas kaisar itu yang kini sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan oleh kerajaan baru Chi. Dia segera datang berkunjung ke perkampungan di lembah Yang-ce, tak jauh dari kota Kui-cu yang menjadi markas bekas kaisar itu menyusun kekuatan. Suma Koan diterima dengan penuh penghormatan dan mulai saat itu, Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, bukan saja menjadi pembantu-pembantu utama bekas kaisar itu, melainkan juga menjadi anggauta keluarga, karena Suma Hok segera menikah dengan Liu Kiok Lan, bekas puteri yang menganggap dirinya telah diperkosa oleh mendiang Pouw Cin! Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa yang memperkosanya adalah laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
Suma Koan menyarankan kepada bekas kaisar Cang Bu yang kini menggunakan nama samaran Siauw Tek, agar suka bersekongkol dengan kerajaan Wei di utara yang sejak lama memusuhi kerajaan di selatan.
"Ah, bagaimana paman Suma Koan mengusulkan hal seperti itu? Sejak puluhan tahun sejak kerajaan Liu-sung berdiri, kerajaan Wei selalu menjadi musuh utama kami! Kerajaan Wei yang merupakan musuh besar, musuh bebuyutan sejak dahulu, bagaimana mungkin kini kita ajak bekerja sama? Ini merupakan suatu pengkhianatan cita-cita para pendahuluku!" Siauw Tek memrotes. Kalau mendiang Jenderal Pauw Cin masih hidup, tentu panglima tua itupun akan memrotes keras.
Suma Koan tersenyum. Kakek yang kecil kurus ini lalu berkata dengan tenang,
"Harap kongcu pertimbangkan pendapatku ini," Dia menyebut kongcu sesuai dengan kehendak bekas kaisar itu yang sedang menyamar, dan memang sudah menjadi watak datuk sesat ini untuk tidak memperdulikan segala macam adat sopan santun maka diapun enak saja bersikap kasar kepada bekas kaisar itu.
"Kita haruslah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Di waktu kita kuat, kita dapat mengandalkan kekuatan kita untuk menundukkan musuh. Akan tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan, kalau kita kalah kuat, kita harus dapat mempergunakan daya lain, kita harus memakai kecerdikan untuk memperoleh kemenangan. Kongcu hendak melawan sebuah kerajaan yang memiliki balatentara besar dan kuat, kalau kita menggunakan pasukan, aku khawatir kita akan gagal. Karena itu, kita harus cerdik dan kalau kita dapat bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, besar kemungkinan usaha kongcu akan berhasil."
Bekas kaisar itu mengerutkan alisnya dan dia dapat melihat kebenaran ucapan itu.
"Akan tetapi, kerajaan Wei selama aku menjadi kaisar, adalah musuhku, bagaima mungkin mereka itu kini mau bersekutu dengan kita?"
"Setiap kerajaan akan selalu mendasari gerakan mereka dengan perhitungan rugi untung. Kalau sekarang bersekutu dengan kongcu untuk menentang kerajaan baru Chi dianggap menguntungkan kerajaan Wei, kenapa mereka tidak akan mau? Kalau kita bersekutu dengan Wei, maka kedua pihak akan mendapat untung. Kongcu harus cerdik."
"Hemm ... memang usulmu baik sekali. Akan tetapi, kalau kelak pasukan kerajaan Wei bersama pasukanku berhasil menumbangkan kerajaan Chi, lalu mereka tidak mau kembali ke utara dan hendak menguasai pula kerajaanku, bagaimana?"
"Harus diadakan dulu perjanjian yang menguntungkan mereka, kongcu. Selama ini, daerah yang luas antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce merupakan daerah tak bertuan yang selalu menjadi perebutan dan medan pertempuran. Kalau kongcu menjanjikan bahwa kalau persekutuan ini berhasil menumbangkan kerajaan Chi, dan kerajaan Liu-sung dapat dibangun kembali, aku akan menyerahkan daerah itu kepada Wei, tentu mereka akan menerimanya dengan girang sekali."
"Tapi, bagaimana kalau mereka menolak dan mencurigai kita? Bagaimana kita akan dapat mengadakan kontak dengan mereka? Belum apa-apa mereka tentu akan mencurigai kita."
"Harap kongcu jangan khawatir." kata Si Suling Setan.
"Aku mengenal tokoh-tokoh kerajaan Wei dan kalau kongcu memberi surat dengan tanda cap kekuasaan kongcu, aku yang akan menghubungi mereka."
Bekas kaisar itu girang sekali dan ternyata Suma Koan tidak membual. Setelah membawa surat bekas kaisar itu, dia segera melakukan perjalanan ke utara, memasuki daerah tak bertuan yang berbahaya itu.
Di daerah antara Huang-ho dan Yang-ce, dua batang sungai terbesar dan terpanjang di Cina, terdapat kehidupan yang aneh. Daerah tak bertuan ini merupakan daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan utara dan selatan, bahkan menjadi daerah pertempuran dan daerah di mana para mata-mata ke dua pihak, para penjahat buruan, saling bersaing. Memang terdapat dusun-dusun di daerah ini, akan tetapi di dusun-dusun inipun berlaku hukum rimba. Tidak ada pejabat pemerintah manapun yang duduk sebagai pemimpin di dusun-dusun itu. Yang ada hanyalah para jagoan yang hidup sebagai raja kecil! Karena kekuasaan yang didapat ini merupakan kekuasaan dari kekuatan badan, maka sering kali terjadi perebutan kekuasaan, bentrokan dan perkelahian. Kepala dusun silih berganti, yang kalah tunduk atau mati, yang menang menjadi pemimpin baru. Namun, karena para jagoan yang menjadi pemimpin ini juga membutuhkan adanya penduduk, mereka tidak membunuhi para penduduk dusun. Apa artinya berkuasa di sebuah dusun yang tidak ada penduduknya? Karena itu, mereka yang berkuasa bahkan melindungi penduduk agar dia dapat memperoleh dukungan.
Dusun Tai-bun adalah sebuah di antara dusun-dusun yang berada di dalam wilayah tak bertuan itu. Tai-bun berada di sebelah selatan, lebih dekat di perbatasan wilayah kerajaan Chi, dan dusun ini cukup ramai karena Tai-bun merupakan satu di antara dusun-dusun yang penduduknya suka berkunjung ke wilayah Chi untuk berdagang. Akan tetapi pada suatu pagi, serombongan orang yang jumlahnya dua puluh orang lebih memasuki dusun itu. Yang menyolok pada dua puluh orang lebih ini adalah pakaian mereka yang kesemuanya serba hitam! Dan yang lebih menggemparkan lagi adalah perbuatan mereka, karena begitu memasuki dusun itu, mereka segera membunuh siapa saja yang mereka jumpai! Cara mereka membunuh menunjukkan bahwa mereka terdiri dari orang-orang lihai. Sekali mereka menggerakkan tangan, tentu seorang penduduk yang bertemu dengan mereka, roboh dan tewas seketika!
Gegerlah dusun yang penduduknya hanya sekitar dua ratus orang itu. Para jagoan yang memimpin dusun itu segera mengerahkan tenaga dan puluhan orang lalu mengeroyok para penyerbu pakaian hitam itu. Akan tetapi, mereka yang melakukan penyerbuan itu amat lihai dan sebentar saja, orang-orang yang mempertahankan dusun mereka bergelimpangan, banyak yang tewas, ada yang luka-luka dan tidak sampai dua jam kemudian, dusun itu telah kosong, ditinggal lari mengungsi mereka yang belum menjadi korban! Dan sejak hari itu, dusun Tai-bun telah dikuasai kelompok orang yang berpakaian serba hitam dan setelah mereka semua datang, jumlah mereka ada kurang lebih seratus orang.
Gerombolan berpakaian hitam yang menguasai dusun Tai-bun ini bukan lain adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, perkumpulan baru yang didirikan oleh Bu-tek Sam-kwi dan yang bertugas menimbulkan kekacauan di kerajaan Chi yang baru. Mereka membutuhkan perkampungan yang dapat menjadi pusat gerakan mereka ke selatan dan setelah memilih-milih, dusun Tai-bun mereka rebut untuk di jadikan markas besar mereka. Dusun ini amat baik untuk di jadikan perkampungan mereka karena merupakan dusun terdekat dengan daerah musuh yang tidak berada dalam kekuasaan kerajaan Chi, melainkan wilayah daerah tak bertuan.
Serbuan yang menewaskan hampir seratus orang penduduk Tai-bun, dan mengalahkan para jagoan yang memimpin di situ, segera tersiar ke seluruh daerah tak bertuan itu dan semua orang tahu bahwa di situ kini berkuasa gerombolan yang menamakan diri mereka perkumpulan Thian-te Kui-pang. Ada beberapa orang pemimpin gerombolan lain yang mencoba untuk merebut perkampungan itu namun satu demi satu mereka dikalahkan oleh Thian-te Kui-pang sehingga akhirnya tak seorangpun berani mengganggu gerombolan berpakaian hitam itu.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu siang, para anggauta Thian-te Kui-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dusun Tai-bun, menghadang dan menghentikan seorang laki-laki yang hendak memasuki dusun itu. Semenjak dusun itu dikuasai Thian-te Kui-pang, tak seorangpun bukan anggauta diperbolehkan memasukinya dan siang malam pintu gerbang dusun dijaga ketat. Dusun itu berubah seperti sebuah benteng saja!
Kwa Bun Houw Menyamar Jadi Pengawal Kaisar
"BERHENTI! Harap melapor dulu siapa engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki dusun kami." kata kepala jaga dan sepuluh orang penjaga sudah mengepung pemuda itu dengan sikap yang galak.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, sikapnya lembut, pakaiannya indah dan mewah seperti seorang pemuda hartawan. Dia bersikap tenang dan tersenyum melihat sikap galak sepuluh orang itu.
"Kalian laporkan kepada Bu-tek Sam-kui bahwa Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun) Suma Hok mewakili ayahnya, Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Setan) Suma Koan, ingin bertemu dengan mereka bertiga."
Mendengar ucapan pemuda itu, sepuluh orang anggauta Thian-te Kui-pang terkejut dan sikap mereka segera berubah sama sekali.
"Harap kongcu suka menanti sebentar." kata kepala jaga dan para anak buahnya mempersilakan pemuda itu duduk di dalam gardu penjagaan, sementara menanti kepala jaga yang berlari masuk untuk membuat laporan.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang pimpinan Thian-te Kui-pang, yaitu tiga orang kakak beradik seperguruan yang disebut Bu-tek Sam-kui (Tiga Setan Tanpa Tanding) dengan sikap ramah. Tiga orang ini adalah Pek-thian-kui yang bertubuh gendut bulat, Huang-ho-kui yang tinggi kurus, dan Toat-beng-kui yang paling muda, berusia empat puluhan tahun dan wajahnya tampan.
"Kiranya Suma Kongcu yang datang, maafkan karena tidak tahu, kami terlambat menyambut."
Melihat sikap pimpinan mereka, para penjaga itupun berdiri tegak dengan sikap hormat. Suma Hok tersenyum dan membalas penghormatan mereka.
"Ayahku mewakilkan kepadaku sebagai utusan Kaisar kami untuk membicarakan urusan kita."
"Silakan, kongcu, mari kita bicara di dalam." Bu-tek Sam-kui mempersilakan pemuda itu memasuki dusun dan mereka segera mengadakan pembicaraan yang serius di dalam sebuah ruangan tertutup. Sebelum Suma Hok, berkunjung ke dusun yang menjadi sarang Thian-te Kui-pang, sudah lebih dulu ayahnya, Suma Koan, menghubungi Bu-tek Sam-kui dan dengan perantaraan Bu-tek Sam-kui, Suma Koan menyampaikan uluran tangan bekas Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajaan Wei di utara. Kaisar Cang Bu yang sudah terguling tahtanya itu minta bintuan kerajaan Wei untuk menyerang ke selatan dan merebut kembali tahta kerajaannya dari Kaiasar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi, dengan janji kalau berhasil akan menyerahkan daerah tak bertuan antara Huang-ho dan Yang-ce-kiang kepada kerajaan Wei. Kaisar Thai Wu dari kerajian Wei menerima baik uluran tangan itu dan akan memberi keputusan setelah itu diperbincangkan dahulu dengan para pembantunya. Dan hari itu, Suma Hok ditugaskan ayahnya untuk mewakilinya minta berita keputusan Kaisir Thai Wu, sekalian membicarakan rencana kerja bersama itu.
"Paman bertiga tentu sudah maklum apa maksud kunjunganku ini," kata Suma Hok setelah menerima hidangan selamat datang dari Bu-tek Sam-kui.
"Atas nama Sribaginda Kasar Cang Bu, ayah mengharapkan keputusan dari kerajaan Wei, dan juga ingin mendengar rencana siasat yang akan kita atur bersama."
"Kami gembira sekali. Suma Kongcu," kata Pek-thian-kui.
"Semula, kami membentuk Thian-te Kui-pang untuk melaksanakan tugas mengacau kerajaan baru Chi di selatan. Ketika kaisar kami menerima surat uluran tangan Kaisar Cang Bu, beliau merasa gembira dan menyatakan setuju. Ini kami membawa surat dari kaisar kami untuk Kaisar Cang Bu mengenai persetujuan kerja sama itu."
Dengan girang Suma Hok menerima surat itu dan menyimpan di balik jubahnya.
"Terima kasih, paman. Nah, sekarang kita bicarakan tenting usaha kerja sama itu. Kami telah mempersiapkan sekitar lima ribu orang pasukan yang siap tempur. Kaisar Cang Bu mengharapkan agar secepatnya kerajaan Wei mengirim pasukan untuk minta bantuan pasukan kami menggempur Nan-ping."
Toat beng-kui, orang termuda dari Bu-tek Sam-kui, tersenyum dan dia yang menjawab,
"Wah, tidak semudah itu, kongcu! Apa artinya pasukan yang hanya lima ribu orang banyaknya? Kalau menyerang kerajaan Chi begitu saja dengan kekuatan pasukan, maka akan terjadi perang besar yang menimbulkan banyak kerugian di pihak kerajaan kami karena kami yang menjadi penyerang dari tempat jauh, pada hal kekuatan antara kedua kerajaan berimbang. Belum tentu kita akan menang."
Suma Hok mengerutkan alisnya.
"Hemm, kalau begitu, apa artinya persekutuan ini? Apa yang direncanakan oleh Kaisar Wei Tay Wu untuk membantu kami?"
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kongcu, kaisar kami telah menyerahkan kerja sama dengan Kaisar Cang Bu kepada kami. Kami yang akan mengatur semua rencana, dan kami hanya akan mengacaukan kerajaan baru Chi dari dalam. Kalau perlu, kami dapat membunuh kaisar dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada pangeran yang tertinggal. Dengan keadaan yang kacau, kerajaan Chi akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan dikalahkan. Selain mencoba membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dan keluarga serta sekutunya, kitapun harus dapat menguasai dunia kang-ouw sehingga kalau saatnya yang baik tiba, kita dapat mengerahkan tenaga mereka untuk membantu kita. Bagaimana pendapat Suma Kongcu?"
Suma Hok mengangguk-angguk. Ayahnya sendiri sudah berpendapat bahwa kekuatan yang dihimpun bekas Kaisar Cang Bu masih terlalu lemah untuk dapat merebut kembali tahta kerajaan, oleh karena itu ayahnya menganjurkan Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajian Wei di utara.
"Rencana itu baik sekali," katanya.
"Dan tentang penguasaan dunia kang-ouw di daerah selatan, harap jangan khawatir. Ayahku telah melakukan usaha itu dan sudah menghubungi banyak tokoh kang-ouw. Bahkan kini Datuk wanita Kwan Im Sianli telah menjadi sahabat baik ayahku."
"Bagaimana dengan datuk yang menjadi majikan Lembah Bukit Siluman?" tanya Huang-ho-kui, orang ke dua Bu-tek Sam-kui.
Suma Hok mengerutkan alisnya. Dia telah mendengar berita tentang datuk yang tadinya akan menjadi ayah mertuanya, ketika dia mengharapkan Hui Hong, puteri angkat datuk itu, menjadi isterinya. Bahkan sampai sekarangpun dia masih merindukan gadis itu. Akan tetapi, berita yang diterimanya sungguh amat tidak menyenangkan, yaitu bahwa kini Ouwyang Toan, putera datuk itu, telah menjadi pengawal anggauta pasukan keamanan di istana Kaisar Siauw Bian Ong, bersama Bi Moli yang telah menjadi pengawal permaisuri kaisar itu. Dengan sendirinya Ouwyang Sek tentu akan berpihak kepada puteranya, berarti berpihak kepada kerajaan Chi yang baru itu.
"Ah, sukar mengharapkan kerja sama dengan dia," katanya.
"Puteranya, Ouwyang Toan, kini telah menjadi pengawal kerajaan Chi, bersama Bi Moli Kwan Hwe Li. Dari kedua orang datuk itu, Bi Moli (Iblis Betina Cantik) Kwan Hwe Li dan juga dari Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek kita tidak dapat mengharapkan kerja sama, bahkan mereka akan menjadi penghalang karena mereka berpihak kepada Kaisar Siauw Bian Ong."
Bu-tek Sam-kui tertawa dan Suma Hok memandang heran, juga penasaran.
"Kenapa paman bertiga malah tertawa?"
"Kenapa kongcu tidak dapat melihat kesempatan yang teramat baik ini? Kita harus dapat memanfaatkan segala macam keadaan demi keuntungan kita! Kami juga sudah mendengar tentang Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja di istana Kaisar Siauw Bian Ong. Dan itu justeru bagus sekali! Kami mengenal dua orang datuk itu. Bi Moli dan Bu-eng-kiam, mereka bukanlah orang yang suka dianggap pahlawan atau pendekar. Mereka akan bertindak demi keuntungan, mereka bukan orang bodoh. Kalau kita menawarkan keuntungan yang lebih besar, kedudukan yang lebih baik, mustahil mereka akan memilih menjadi pengawal kerajaan Chi saja. Ha-haha ha!" Pek-thian-kui tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak seperti hidup.
Kembali Suma Hok mengangguk-angguk setuju.
"Baiklah, aku akan melaporkan hasil pertemuan kita ini kepada ayah dan Sribaginda Kaisar Cang Bu. Sebaiknya kita membagi tugas. Paman bertiga yang menghubungi Paman Ouwyang Sek dan Bi Moli Kwan Hwe Li, sedangkan kami akan menghubungi Kwan Im Sianli dan tokoh-tokoh lain di daerah barat. Kami akan mengerahkan kepada para tokoh kang-ouw di daerah kerajaan selatan agar mengadakan pemilihan seorang beng-cu (pemimpin rakyat) dunia kang-ouw. Kalau beng-cu itu dapat kita kuasai, dan berpihak kepada kita, tentu mudah mengerahkan para tokoh kang-ouw membantu kita kelak."
"Bagus Sekali!" Pek-thian-kui berkata girang,
"Selain tugas itu, juga kami akan menyuruh orang-orang kami untuk menundukkan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw di wilayah Chi bagian utara ini, sedangkan untuk menguasai begian selatan, kami serahkan kepadamu, kongcu. Sebaiknya kalau mareka itu semua dapat dibujuk, kalau ada yang menentang, sebaiknya ditundukkan dengan kekerasan. Paling lama dalam waktu setengah tahun, kita harus sudah berhasil membasmi kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya dan termasuk semua sekutunya, lalu mengepung Nan-king dan membasmi pasukan yang mempertahankan kerajaan Chi."
Setelah berunding matang dan bermalam semalam di dusun Tai-bun, pada keesokan harinya Suma Hok meninggalkan tempat itu untuk kembali ke daerah Kui-cu, di lembah sungai di mana bekas kaisar Cang Bu bersama adiknya tinggal.
Sebuah persekutuan telah diatur, persekutuan yang merupakan ancaman bahaya bagi kerajaan Chi, karena persekutuan itu amat kuat. Di satu pihak bekas kaisar Cang Bu yang dibantu adik iparnya, Suma Hok dan datuk sesat Suma Koan, telah menghimpun pasukan yang berjumlah lima ribu orang. Di lain pihak ada kerajaan Wei di utara yang mau bekerja sama dan telah menyerahkan kerja sama itu kepada Bu-tek Sam-kui yang membentuk pasukan Thian-te Kui-pang yang terdiri diri orang-orang berkepandaian tinggi. Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat membujuk Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya memang terancam bahaya maut, karena dua orang tokoh kang-ouw ini sekarang telih menduduki jabatan pengawal dalam istana! "
Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-pang. Tuan rumah, ketua Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya sederhana dan ringkas seperti pakaian seorang pesilat, Wajahnya terhias brewok yang membuat dia nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah, bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan. Akan tetapi dia bukanlah seorang pengemis tua biasa, karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya adalah Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya kurus dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang dapat menduga bahwa dia bukanlah orang biasa.
"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk menaluk kepada mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk sesat? Sekarang, setelah kerajaan Liu-sung jatuh dan Kaisar Cang melarikan diri, dia berpura-pura muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."
"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga mereka ancam. Akan tetapi kami tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang.
"Kita semua melihat betapa bijaksananya Kaisar Siauw Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja yang akan membantu pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan memakmurkan kehidupan rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita tentang? Dan mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya mengejar kesenangan itu ke atas tahta? Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya sendiri dengan memperalat bekas kaisar muda itu."
"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini ikut pula bekerja di dalam istana?"
Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada pencemis tua.
"Lokai, siapa yang engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."
"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan matanya.
"Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu adalah seorang puteri bangsawan, bahkan kini ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana kaisar. Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman? Hemmm, ini berbahaya sekali!"
"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong? Tiga hari lagi dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."
"Takut apa, Lo-kai? Kalau dia memaksa kita melawan untuk mempertahankan nama dan kehormatan." kata ketua Thian-beng-pang itu.
"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu? Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang takluk padanya dan mau bekerja sama."
"Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.
Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah mengumpulkan anak buahnya sebanyak dua ratus orang lebih. Thian beng-pangcu Ciu Tek menyambut sahabatnya itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma Koan.
Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang biarpun di situ berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. Baik Hek-tung Lo-kai Kam Cu maupun Thian-beng-pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini merupakan urusan mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau sampai minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua anak buah kedua perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-ber g-pang yang berdiri di tereng sebuah bukit. Dari tereng itu. kini nampak serombongan orang tidak begitu besar jumlahnya, hanya sekitar tiga puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak Suma Hok puteranya, dan seorang yang bertubuh gendut bulat. Yang ke tiga itu adalah Pak-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat rombongan Suma Koan karena mereka sudah mendengar bahwa perkumpulan Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak membangkang terhadap perintah mereka.
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak buahnya, didampingan Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak buahnya, dengan golok besar siap di pinggang.
Suma Koan tersenyum mengejek setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua itu.
"Selamat pagi, Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut kami. Langsung saja kami ingin mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami sampaikan tiga hari yang lalu."
"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan langkah sendiri!" kata pula Hek-tung Lo-kai.
"Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap kami musuh. Kalau begitu, permusuhan ini kita selesaikan secara laki-laki sejati. Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Beranikah kalian menyambut tantangan kami, ataukah kalian begitu pengecut untuk mengerahkan anak buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju mendampingi Suma Koan.
"Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju untuk membela ketua mereka, akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar mereka mundur.
"Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan nyawapun, kami adalah laki-laki sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan satu lawan satu," kata mereka.
"Ha-ha-ha, bagus! Majulah kalian berdua dan bersiaplah untuk mati!" Kata Suma Koan sambil mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.
"Tahan ...!!!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ, di sebelah kanan kedua orang ketua itu, telah berdiri seorang pemuda, yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Melihat pemuda itu, Suma Koan dan Suma Hok terkejut, bahkan wajah Suma Hok berubah agak pucat.
"Kau...! Kwa Bun Houw, apakah engkau tidak tahu malu mencampuri urusan kami? Kami hanya berurusan dengan Thian-beng-pang dan Kek-tung Kai-pang, dan engkau tidak ada sangkut pautnya dengan mereka atau kami! Heii, Kam-pangcu dan Ciu-pangcu, apakah kalian sudah begitu pengecut untuk mengundang jagoan dari luar perkumpulan kalian untuk melindungi kalian?"
Disudutkan seperti itu, tentu saja kedua orang ketua itu merasa kehormatan mereka tersinggung.
"Kui-siauw Giam-ong, jangan sembarangan menuduh!" bentak Thian-bengcu Ciu Tek,
"Kami sama sekali tidak mengenal pemuda ini dan tidak mengundangnya untuk membantu kami!"
Sementara itu, Hek-tung Lo-kai sudah menghadapi Bun Houw dan dia memberi hormat.
"Orang muda yang gagah, harap engkau tidak mencampuri urusan kami. Kami ditantang oleh mereka, kami harus menghadapi secara jantan!"
Bun Houw melangkah maju.
"Ji-wi pang-cu, harap dengarkan sebentar, dan semua saudara anggauta Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang, harap ikut dengarkan apa yang kukatakan. Ketahuilah bahwa kedua pang-cu ini telah terjebak oleh kecurangan dan kelicikan Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya! Karena persekutuan itu tidak berhasil membujuk kedua orang pang-cu untuk bekerja sama, maka kini mereka datang dan menantang, dengan perhitungan bahwa mereka pasti menang. Kalau kedua pang-cu melawan dengan alasan menjaga kehormatan karena ditantang, maka berarti mereka terkena jebakan. Mereka tentu akan tewas seperti banyak dialami oleh para pimpinan perkumpulan yang bernasib sama. Karena itu, tidak semestinya kalau tantangan itu dilayani, bahkan sebaiknya kalau seluruh anggauta kedua perkumpulan bergerak mengusir pengacau brengsek ini dari tempat ini, dan aku akan membantu kalian menghadapi Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!"
Mendengar seruan ini, para anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang yang memang sejak tadi sudah marah kepada para penyerbu, bersorak penuh semangat.
Pek-thian-kui, orang pertama di Bu-tek Sam-kui yang belum mengenal Bun Houw, memandang rendah pemuda itu.
"Bocah pengacau ini biar kusingkirkan lebih dulu!" bentaknya dan tubuhnya yang bulat itu seperti sebuah bola besar menggelinding ke arah Bun Houw dan ternyata dia telah mengirim pukulan jarak jauh dengan kedua tangan didorongkan ke arah pemuda itu dan angin dahsyat menyambar ke arah Bun Houw.
Pemuda ini sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek gendut itu lihai sekali, maka diapun sudah mengerahkan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, mendorong pula dengan kedua tangan terbuka untuk menyambut serangan yang sepenuhnya mengandalkan hawa sin-kang (tenaga sakti) itu.
"Wuuuuttt ... desas ...!!" Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh yang gendut bundar itu terlempar ke belakang dan bergulingan! Akan tetapi, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini memang kebal dan kuat. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan sudah meloncat berdiri. Mukanya menjadi merah sekali saking marahnya. Dia, orang pertama dari Tiga Setan Tanpa Tanding, sekali mengadu tenaga, dalam segebrakan saja sudah terguling-guling oleh seorang pemuda tak ternama!
"Singg ...!!" Diapun sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam.
"Bocah keparat, pedangku akan minum darahmu!"
Akan tetapi Bun Houw tersenyum.
"Bukankah engkau ini Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui. Aku mendengar bahwa kok-su (guru negara) dari kerajaan Wei yang berjuluk Thian-te Seng-jin amat lihai dan bahwa di antara para muridnya terdapat Bu-tek Sam-kui. Sebaiknya kalau engkau kembali saja ke utara, tidak membuat kekacauan di daerah selatan sini!"
"Bocah sombong, majulah. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Si gendut yang merasa malu karena kekalahannya tadi, menantang untuk mengangkat kembali namanya yang tentu akan jatuh karena di depan banyak orang dia dikalahkan dalam segebrakan! "Baik, aku menyambut tantanganmu. Pek-thian-kui!" Dan begitu tangan kanan Bun Houw bergerak, nampak kilat menyambar dan semua orang menjadi silau oleh sinar pedang Lui-kong-kiam!
Pek-thian-kui terbelalak, akan tetapi dia sudah menerjang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Bun Houw mengerahkan tenaga lagi dan menggerakkan Lui-kong-kiam, menangkis dan sengaja mengadu tenaga lewat pedang.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 21
"Trakkk ...!" terdengar suara nyaring dan si gendut kembali meloncat ke belakang dengan muka pucat memandang pedang hitamnya yang sudah buntung, patah ketika bertemu dengan pedang di tangan Bun Houw. Kini dia tidak ragu lagi.
"Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) ...!!" serunya gentar. Dahulu, pedang itu pernah menjadi rebutan para tokoh persilatan, akan tetapi akhirnya terjatuh ke tangan Tiauw Sun Ong pendekar buta yang amat lihai.
Bun Houw tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.
"Apakah engkau masih ingin melanjutkan perkelahian, Pek-thian-kui? Atau engkau yang akan maju, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan? Dan bagaimana dengan engkau, Suma Hok?" Bun Houw sengaja menantang untuk membikin panas hati ayah dan anak itu.
Sementara itu, kedua orang pangcu hanya menonton dengan hati penuh kagum dan diam-diam bersukur bahwa ada bintang penolong datang. Kalau tidak, mungkin mereka berdua akan tewas di tangan masuh.
Suma Hok memandang dengan muka merah, akan tetapi tidak berani menyambut tantangan itu, sedangkan Suma Koan yang melihat betapa mudahnya orang pertama Bu-tek Sam-kui dikalahkan Bun Houw, juga menjadi ragu. Dia sendiri gentar terhadap Tiauw Sun Ong, akan tetapi tadinya masih memandang remeh murid Tiauw Sun Ong ini. Setelah tadi dia melihat betapa Bun Houw dengan mudah mengalahkan Pek-thian-kui, dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat.
"Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang telah mengundang murid hekas pangeran Tiauw Sun Ong, mulai sekarang, kalian adalah musuh-musuh kami. Lain kali kami akan datang membikin perhitungan!" satelah berkala demikian, Suma Koan memberi isarat dan bersama Suma Hok dan Pek-thian-kui yang merasa tidak akan mampu menang, dia meninggalkan tempat itu, diikuti semua anak buah mereka yang juga sudah merasa gentar melihat demikian banyaknya anak buah kedua perkumpulan itu yang agaknya sudah dipanaskan hatinya oleh ucapan Bun Houw tadi.
Sebetulnya, tiga puluh orang anak buah penyerbu itu adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, dan mereka terdiri dari orang-orang yang lihai dan mereka tidak akan gentar melawan anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang. Akan tetapi menyaksikan kelihaian Si Pedang Kilat, mereka menjadi gentar juga. Pemimpin mereka saja, yang juga merupakan guru mereka, dalam segebrakan dikalahkan pemuda itu, apa lagi mereka!
"Kejar mereka! Banuh!" Terdengar teriakan-teriakan anak buah kedua perkumpulan, akan tetapi Bun Houw mengangkat tangan.
"Jangan! Biarkan mereka pergi!"
Juga ketua dari dua perkumpulan itu mencegah anak buah mereka untuk melakukan pengejaran. Kara Cu dan Ciu Tek maklum bahwa tanpa bantuan Kwa Bun Houw, mereka berdua bersama anak buah mereka tidak akan mampu mengalahkan rombongan penyerbu itu. Keduanya lalu menghadapi Bun Houw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
'Terima kasih atas bantuan tai-hiap." kata Hek-tung Lo-kai.
"Kalau tidak tai-hiap yang muncul, pasti kami berdua telah tewas dan entah bagaimana jadinya dengan perkumpulan kami." kata pula Thian-beng-pang Ciu Tek.
"Sudahlah, ji-wi pang-cu (ketua berdua) telah kena dijebak oleh Suma Koan. Dia memang licik sekali. Kalau ji-wi tidak menghadapi tantangan mereka, akan tetapi mengerahkan semua anak buah ji-wi, kiranya tidak, akan mudah bagi mereka untuk menggertak. Juga, kalau ji-wi menghubungi pasukan keamanan, tentu akan mendapatkan bantuan karena pasukan keamanan pemerintah kini amat memperhatikan keamanan daerahnya."
"Tai-hiap, mari kita bicara di dalam. Kami merasa kagum kepada tai-hiap yang masih begini muda telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas sekali julukan Si Pedang Kilat bagi tai-hiap." kata pula tuan rumah, ketua Thian-beng-pang.
"Benar, silakan tai-hiap. Kami juga ingin sekali mendengar tentang keadaan sekarang ini dan apa pula yang mendorong tindakan mereka tadi," kata Hek-tung Lo-kai.
Bun Houw merasa tidak enak untuk menolak dan diapun mengikuti mereka berdua memasuki pusat perkumpulan Thian-beng-pang itu. Diam-diam dia tersenyum dalam hatinya. Kedua orang ketua ini tadi mendengar seruan Pek-thian-kui nama pedangnya yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan menganggap bahwa itu adalah nama julukannya. Akan tetapi dia diam saja dan tidak menyangkal. Apa salahnya kalau dia dikenal sebagai Si Pedang Kilat?
Setelah mereka memasuki rumah Thian-beng-pangcu Ciu Tek, mereka lalu bercakap-cakap sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan tuan rumah untuk menyambut pemuda itu.
"Dapatkah Kwa-taihiap menerangkan mengapa seorang datuk seperti Suma Koan, tiba-tiba saja menaklukkan banyak perkumpulan, bahkan memaksa mereka takluk kalau tidak mau dibujuk? Apa yang tersembunyi di balik tindakannya itu?" tanya Ciu Tek.
"Tadinya aku menganggap bahwa dia hanya ingin mengangkat diri menjadi beng-cu di dunia persilatan, akan tetapi setelah tadi aku melihat dia muncul bersama Pek-thian-kui, aku merasa curiga sekali. Ketahuilah, ji-wi pangcu. sekarang Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, membantu bekas kaisar Cang Bu yang bersiap-siap untuk merampas kembali tahta kerajaan."
"Ahhh ...!!" kedua orang pang-cu itu berseru kaget. Bun Houw menghela napas panjang.
"Sebetulnya, orang-orang seperti kita ini yang hanya berkewajiban mempertahankan kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil yang tertindas, tidak perlu mencampurkan diri ke dalam perebutan kekuasaan itu. Adalah hak bekas kaisar Cang Bu untuk mencoba merampas kembali tahta kerajaan. Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu, berarti terjadi lagi perang dan kembali rakyat yang akan menderita sebagai akibat perang. Apalagi mengingat betapa dahulu, ketika kaisar Cang Bu masih berkuasa, dia terlalu lemah sehingga hampir semua pejabat menyelewengkan kekuasaan masing-masing dengan tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan, dan sekarang kita melihat sendiri betapa baiknya kaisar yang baru memegang pemerintahan, tegas, adil dan juga memperhatikan nasib rakyat jelata. Aku sendiri tidak ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, akan tetapi sekarang aku melihat gejala yang amat tidak haik. Munculnya Suma Koan bersama Pek-Thian-kui sungguh mencurigakan. Pek-thian-kui adalah orang pertama dari Bu-tek Sam-kui, yang merupakan tokoh-tokoh dan jagoan dari istana kerajaan Wei di utara, sedangkan Suma Koan jelas membantu bekas kaisar Cang Bu. Besar kemungkinannya, bekas kaisar Cang Bu agaknya kini bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mereka bermaksud menguasai dunia kang-ouw untuk persiapan perang mereka terhadap kerajaan Chi yang baru."
"Ah, kalau begitu berbahaya sekali, taihiap!" kata Ciu Tek ketua Thian-beng-pai.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk mencegah terjadinya hal itu?"
"Tidak ada jalan lain, kita harus menentang mereka menguasai dunia persilatan. Sebaiknya kalau ji-wi mengusahakan agar dapat berhubungan dengan para ketua perkumpulan persilatan lain yang tidak mau mereka peralat dan kita bersama mendirikan kubu yang kuat. Kalau perlu, kita mengadakan pemilihan beng-cu tandingan."
"Bagus sekali itu !" kata Hek-tung Kai-pang.
"Aku akan menghubungi seluruh kai-pang di negeri ini agar mendukung Si Pedang Kilat untuk menjadi bengcu!"
"Benar, kamipun mendukung Kwa-taihiap menjadi bengcu!" kata pula Ciu Tek.
Bun Houw mengangkat tangan ke atas.
"Harap ji-wi tidak salah duga. Aku sama sekali tidak ingin menjadi beng-cu. Aku hanya ingin menentang dan menjaga agar kedudukan beng-cu tidak dipegang orang yang dapat diperalat persekutuan antara bekas kaisar Cang Bu dan kerajaan Wei. Kalau kerajaan Wei dari utara hendak menyerang selatan, bagaimanapun juga kita harus menentangnya!"
"Kami akan mengerjakan usul taihiap. Akan tetapi, bagaimana caranya kalau kami hendak menghubungi taihiap? Kalau muncul suatu persoalan dan kami ingin minta petunjuk tai-hiap, bagaimana kami dapat menghubungimu?"
"Aku yang akan datang ke sini, pang-cu. Aku akan berada di sekitar Nan-king dan kalau, ada keperluan mendadak, mungkin aku bertemu dengan anak buah Hek-tung Kai-pang dan melalui mereka pang-cu dapat menghubungiku."
Selagi mereka bercakap-cakap, seorang anggauta Thian-beng-pang mengetuk pintu ruangan itu. Ketika dia disuruh masuk, dia memberi hormat,
"Maafkan gangguan saya, pang-cu. Akan tetapi di luar datang seorang tamu yang katanya mempunyai keperluan penting untuk Hek-tung Kai-pangcu."
"Hemm, siapakah dia dan dari mana?" tanya ketua perkumpulan pengemis itu.
"Mengatakan datang dari kota raja, diutus oleh Thai-kam (Sida-sida) Koan." jawab anggauta Thian-beng-pang itu.
Mendengar ini, ketua Hek-tung Kai-pang nampak bergairah.
"Ah. kalau begitu, minta dia masuk sekarang juga!" Setelah orang itu pergi, dia memberitahu kepada Ciu Tek dan Bun Houw,
"Thai-kam Koan adalah sahabatku yang bekerja di istana kaisar. Dari dialah aku dapat mengetahui semua keadaan dalam istana, dan kini dia mengutus seseorang datang kepadaku, tentu ada berita penting dari istana."
Mendengar itu, sahabatnya, ketua Thian-beng-pang, mengangguk-angguk, Bun Houw juga kagum. Kiranya Kam Cu, biarpun hanya pemimpin para pengemis, mempunyai hubungan yang luas sampai dapat mengetahui keadaan dalam istana kaisar Siauw Bian Ong. Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki tua yang pakaiannya seperti seorang buruh kecil, sederhana dan bahkan butut. Dia memberi hormat kepada tiga orang itu.
"Harap memaafkan kalau saya mengganggu sam-wi. Saya perlu bertemu dengan Hek-tung Lo-kai ...
"
"A-sin, ada kepentingan apakah sampai engkau menyusulku ke sini?" tanya Hek-tung Lo-kai yang sudah mengenal orang itu.
"Maaf, pang-cu. Tadi aku pergi ke markas Hek-tung-kaipang, di sana kosong dan aku, mendengar bahwa pangcu berada di sini, maka aku langsung menyusul ke sini karena Koan-thaikam memesan agar suratnya dapat secepat mungkin kuserahkan kepada pang-cu." Dia mengeluarkan segulung surat dari dalam saku bajunya dan menyerahkannya kepada ketua Hek-tung Kai-pang itu. Ketua itu menerimanya dan membuka gulungan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan matanya terbelalak lalu tanpa banyak cakap dia menyerahkan surat itu kepada Ciu Tek.
Ketua Thian-beng-pang inipun membacanya dan wajahnya berubah pucat.
"Tai-hiap, silakan baca surat ini. Penting sekali!" katanya dan Kam Cu mengangguk menyetujui.
Bun Houw yang tadinya tidak memperhatikan karena mengira bahwa surat itu merupakan urusan pribadi, menyambut dan membaca surat itu. Dalam surat itu, secara ringkas dikabarkan bahwa Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah mengundang Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ke istana dan bahkan diterima oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Akan tetapi bukan itu yang terpenting, melainkan bahwa mereka bertiga itu membentuk persekutuan dengan orang-orang dari kerajaan Wei. mengadakan persekongkolan untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarga berikut para pembantu yang setia kepada kaisar baru ini! Dan bahwa Koan-thaikam mengharapkan bantuan sahabatnya, Hek-tung Lo-kai untuk membantu dan menyelamatkan kaisar dari ancaman bahaya itu.
"Hemm, kiranya keluarga Ouwyang telah dapat pula menyelundup ke istana?" kata Bun Houw, mengerutkan alisnya karena kalau ayah dan anak itu di sana, berarti memang ancaman bahaya bagi keselamatan kaisar.
"Bukan mereka saja, akan tetapi juga Kwan Hwe Li bekerja di sana sebagai pengawal permaisuri," kata Hek-tung Lo-kai.
"Memang di istana terdapat banyak jagoan istana yang tangguh, akan tetapi kalau mereka itu terlalu dekat dengan kaisar, tentu akan sulit untuk menjamin keselamatan kaisar. Jalan satu-satunya adalah mengharapkan bantuanmu Kwa-taihiap!"
"Hemm, aku siap menghadapi kejahatan mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat melindungi kaisar?" tanya pemuda ini ragu.
"Kalau tai-hiap muncul seperti biasa dan persekutuan itu mengetahui, tentu mereka akan menjadi waspada dan keadaan menjadi semakin berbahaya. Sebaiknya thai-hiap menyamar dan biar oleh Koan-thaikam dihadapkan sribaginda agar thai-hiap dapat diterima menjadi pengawal pribadi. Tentang penyamaran, harap jangan khawatir karena kami mempunyai ahli-ahli penyamaran yang akan dapat menyulap tai-hiap menjadi orang lain." kata-Hek-tung Lo-kai.
Demikianlah, pada hari itu juga Hek-tung Lo-kai memberi kabar kepada Koan-thaikam melalui A-sin agar thaikam itu dapat membuat persiapan menyambut Bun Houw di istana. Setelah semua siap, Bun Houw dipertemukan dengan Koan thaikam dan diajak masuk istana. Kini tak seorangpun akan dapat mengenal Bun Houw karena wajahnya telah berubah sama sekali. Muka yang biasanya halus tampan itu berubah menjadi muka yang ternoda bopeng (bekas cacar), juga bentuk hidung dan matanya berubah. Orang yang terdekat sekalipun dengan Bun Houw, akan sukar dapat mengenalnya.
Sebelumnya. Koan-thaikam telah memberi tahu kepada Kaisar bahwa dia mempunyai seorang keponakan yang memiliki ilmu silat tinggi dan dapat diandalkan untuk menjadi pengawal pribadi kaisar, atau menambah lagi pasukan pengawal pribadi. Kaisar amat percaya kepada Koan-thaikam yang memang amat setia kepadanya itu, maka pada hari itu, kaisar berjanji akan menerima keponakan Koan-thaikam yang bernama Koan Jin itu.
Ketika pada pagi hari itu Koan-thaikam menghadapkan seorang pemuda yang wajahnya bopeng dan tidak mengesankan, kaisar menerimanya dengan alis berkerut dan nampak kecewa. Keponakan Thai-kam kepercayaannya itu sungguh tidak mengesankan, selain mukanya tidak menarik juga penampilannya tidak dapat membayangkan seorang yang kuat. Bahkan pasukan pengawal yang berjaga di ruangan itu, yang dipimpin Ouwyang Toan sebagai perwira pasukan pengawal, melirik dengan senyum mengejek. Mereka sudah mendengar dari para thai-kam bahwa Koan-thaikam akan memasukkan keponakannya sebagai calon anggauta pengawal pribadi kaisar! Pada hal selama Ouwyang Toan berada di situ, dialah yang sudah memasukkan enam orang pengawal baru yang telah diuji kepandaiannya dan kini menjadi anak buah pasukan pengawal istana. Biarpun hatinya merasa panas karena ada thaikam berani mengajukan keponakannya sendiri sebagai calon pengawal, akan tetapi Ouwyang Toan tidak berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya. Dia tahu bahwa Koan-thaikam adalah seorang thaikam kepercayaan kaisar, sedangkan dia sendiri adalah seorang perwira pengawal yang masih baru. Akan tetapi dia sudah bersepakat dengan anak buahnya untuk menggagalkan keponakan thaikam itu menjadi pengawal, dan dalam ujian ilmu silat, mereka dapat membuat keponakan thaikam itu dan Koan-thaikam sendiri mendapat malu. Apalagi ketika melihat calon pengawal itu masuk dengan sikap takut-takut dari dusun, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek.
Setelah mengamati sejenak pemuda yang nampak tidak mengesankan itu, Sribaginda Kaisar Siauw Bian Ong, yang juga merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh, karena ketika dia masih bernama Souw Hui! Kong, dia adalah seorang petualang yang telah mempelajari banyak ilmu sehingga akhirnya dia berhasil menumbangkan kerajaan Liu-sung yang telah menjadi lemah dan mendirikan kerajaan Chi, berkata kepada thaikam kepercayaannya dengan nada menegur,
"Koan thaikam, tidak kelirukah permohonanmu untuk memasukkan keponakanmu ini sebagai seorang pengawal istana? Engkau tentu tahu bahwa seorang pengawal istana harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi sebagai pengawal pribadi kami yang melindungi keselamatan kami, haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sakti."
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak keliru, karena keponakan hamba ini, Koan Ji, sejak kecil telah berguru kepada ratusan orang guru silat yang pandai dan kini dia telah memiliki ilmu kepandaian silat yang ampuh."
Kembali para anggauta pasukan pengawal tersenyum simpul dan kebetulan Kaisar memandang kepada mereka sehingga tanpa disengaja kaisar melihat mereka bersenyum simpul mengejek. Hal ini membuat kaisar merasa tidak senang kepada mereka.
"Koen-thaikam, apakah keponakanmu ini siap untuk diuji kepandaiannya?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Dia sudah siap untuk menghadapi ujian."
Kembali kaisar memandang kepada Bun Houw. Wajah yang tidak meyakinkan dan tidak menarik. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan. Sebaiknya memang pasukan pengawal istana terdiri dari laki-laki yang wajahnya buruk dan tidak menarik bagi wanita untuk mencegah terjadinya hal-hal yang akan menodai nama dan kehormatan istana kalau sampai ada wanita istana jatuh cinta kepada seorang anggauta pasukan pengawal. Untuk mencegah perjinaan seperti itulah maka semua petugas istana yang pria diharuskan menjadi sida-sida, karena seorang thai-kam sudah bukan pria normal lagi, tidak dapat lagi berjina dengan wanita.
"Koan Ji, beranikah engkau kami suruh melawan seorang di antara para perajurit pengawal itu?" Dia menuding ke arah para pengawal yang berdiri tegak dalam barisan di, bagian luar ruangan itu.
Koan Ji yang berlutut itu memberi hormat.
"Siapa saja yang mengancam keamanan paduka dan seisi istana, pasti akan hamba lawan mati-matian, Yang Mulia!" kata Kwa-Bun Houw dengan sikap seperti seorang dusun.
Kaisar Siauw Bian Ong tertawa.
"Ha-ha. maksud kami bukan melawan sebagai musuh. Mereka adalah anggauta pasukan pengawal dan mereka semua sudah lulus ujian ketangkasan. Engkau akan kami uji dengan bertanding ilmu silat melawan seorang di antara mereka. Yang mana kaupilih?"
Bun Houw menoleh ke arah selusin perajurit pengawal yang dikepalai Ouwyang Toan, lalu dia memberi hormat lagi,
"Yang mana pun akan hamba hadapi, Yang Mulia."
"Bagus! Ouwyang-ciangkun pilihkan seorang di antara anak buahmu untuk menguji apakah keponakan Koan-thaikam ini pantas menjadi pengawal pribadi kami."
"Maaf, Yang Mulia. Untuk menjadi anggauta pasukan pengawal istana, memang cukup dapat menandingi seorang di antara anak buah hamba. Akan tetapi untuk menjadi pengawal pribadi paduka, dia haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sedikitnya memiliki tingkat kepandaian dua kali lipat dari tingkat seorang perajurit pengawal istana. Karena itu, sebaiknya kalau calon ini dapat menghadapi dan menandingi pengeroyokan dua atau tiga orang perajurit pengawal." kata Ouwyang Toan.
Kaisar itu mengangguk-angguk dan kembali berkata kepada Bun Houw yang maklum bahwa Ouwyang Toan jelas tidak menghendaki ada pengawal pribadi kaisar yang baru.
"Bagaimana, Koan Ji. Beranikah engkau melawan dua atau tiga orang perajuril pengawal istana? Kalau engkau merasa tidak sanggup, katakan saja. Kami tidak ingin bersikap sewenang-wenang, hanya ingin menguji kemampuanmu."
"Kalau paduka memerintahkan, biar menghadapi berapa saja lawan, hamba siap untuk menandinginya, Yang Mulia." kata Bun Houw dengan sikap bersahaja.
Kaisar Siauw Bian Ong kembali tertawa gembira.
"Ha-ha ha, baru semangatmu saja sudah menyenangkan hati kami, Koan Ji. Nah, Ouwyang-ciangkun, engkau sudah mendengar sendiri. Calon pengawal pribadi ini berani menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahmu."
"Baik, Yang Mulia. Hamba akan memilih tiga orang di antara mereka."
Ouwyang Toan memilih tiga orang anak buahnya yang paling jagoan. Tiga orang ini bukan sembarangan orang. Mereka adalah jagoan-jagoan dari Thian-te Kui pang dan tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkat Ouwyang Toan! Biar Ouwyang Toan sendiri, agaknya tidak akan mungkin menang menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahnya ini dan kini dia mengajukan mereka untuk mengeroyok seorang calon, perajurit pengawal!
Tiga orang pengawal itu setelah memberi hormat kepada Kaisar, lalu siap dan mengepung Bun Houw yang juga sudah memberi hormat dan bangkit berdiri, membiarkan dirinya dikepung oleh tiga orang lawan yang membentuk segi tiga. Seorang di depannya, seorang di kanan dan seorang di kiri. Diam-diam dia mengamati mereka dan gerak-gerik mereka. Seorang yang menghadapinya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang mukanya penuh brewok tebal dan nampak menyeramkan. Yang berada di kirinya seorang laki-laki tinggi kurus muka hitam arang, sedangkan yang berada di sebelah kanannya seorang laki-laki bertubuh sedang dan didahinya terdapat codet bekas bacokan senjata tajam. Sikap mereka ketika memegang kuda-kuda saja memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat dan usia mereka rata-rata tiga puluh tahun.
Bun Houw memutar tubuhnya membelakangi mereka, memberi hormat lagi kepada kaisar dan diapun berkata,
"Hamba telah siap, Yang Mulia. Mereka itu boleh mulai menyerang sekarang."
"Heii, Koan Ji, kenapa engkau membelakangi tiga orang lawanmu?" tiba-tiba Koan-thaikam berseru karena merasa cemas melihat betapa pemuda itu membelakangi tiga orang pengeroyoknya.
"Ha-ha, kenapa engkau melakukan itu, Koan Ji? Bagaimana engkau dapat melawan tiga orang itu kalau engkau berdiri membelakangi mereka?" Kaisar juga bertanya heran dan geli.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak berani sedemikian kurang sopan untuk berdiri membelakangi paduka."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Sribaginda Kaisar tertawa bergelak. Pemuda ini memang lucu dan aneh. Pikirnya "Kalau begitu, kalian saling berhadapan di sebelah kiri dan kanan, jadi tidak adanya membelakangiku." katanya.
Kini tiga orang itu sudah siap, ketiganya menghadapi Bun Houw yang berdiri seenaknya, namun waspada dan siap siaga.
"Aku sudah siap, kalian boleh mulai!" katanya tenang.
Tiga orang anggauta Thian-te Kui pang itu sebetulnya menanti agar Bun How menyerang lebih dulu. Mereka merasa diri mereka tangguh, dan bagaimanapun mereka agak malu karena harus mengeroyok seorang calon pengawal yang kelihatannya lemah. Akan tetapi karena pemuda itu tidak mau menyerangnya dan mempersilakan mereka yang maju lebih dulu, merekapun mulai menyerang. Serangan mereka merupakan pukulan yang kuat dan berat, juga cepat. Bun Houw menggerakkan tubuh, dia menangkisi semua pukulan itu. Begitu kedua lengan bertemu, seorang penyerang mengeluh karena merasa seolah-olah lengannya bertemu dengan besi panas yang amat keras! Demikian pula orang ke dua dan ke tiga. Si raksasa brewok yang merasa paling kuat dan besar tenaganya, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dari atas ke arah kepala Bun Houw. Pemuda ini mengangkat lengan kiri menangkis.
"Dukk ...! suhhh ...!" Si raksasa brewok berteriak kesakitan, dan terhuyung ke belakang.
Bun Houw hanya mengandalkan tanaga sinkangnya, karena dia tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya sehingga akan mencurigakan hati Ouwyang Toan. Dia tidak mau memperkenalkan diri dan dengan tenaga sin-kang dia menangkis, juga mengelak sehingga dia sama sekali tidak mengeluarkan ilmu silat yang akan dikenal Ouwyang Toan.
Karena merasa malu, tiga orang itu menahan rasa nyeri dan mereka menyerang semakin kuat dan gencar. Bahkan si raksasa brewok mengandalkan kakinya yang besar, kokoh dan panjang, mengayun kaki kirinya menendang. Tendangan itu kuat bukan main dan sekiranya mengenai tubuh Bun Houw, agaknya tubuh yang tidak berapa besar itu akan terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Akan tetapi, Bun Houw tidak mengelak, bahkan menggerakkan pula kaki kanannya menyambut atau menangkis tendangan itu.
"Dukkk!" Kini si brewok raksasa itu menggigit bibir. Kiut-miut rasa kakinya, seperti patah-patah tulangnya, rasa nyeri sampai menyengat seluruh tubuh sampai ke ubun-ubun dan karena dia menahan rasa nyeri sambil menggigit bibir, kakinya yang tidak tahan dan diapun mengangkat kaki kiri ke belakang, memeganginya dap berloncat-loncatan dengan kaki kanan!
Sribaginda Kaisar tertawa bergelak-gelak karena memang pemandangan itu lucu bukan main. Akan tetapi Ouwyang Toan dan anak buahnya terbelalak, hampir tidak percaya betapa pemuda yang agaknya tidak pandai silat itu karena tidak pernah mengeluarkan jurus silat, ternyata memiliki kaki tangan yang agaknya kebal dan kuat sekali.
Dua orang yang lain menjadi marah dan menyerang sekuat tenaga, hanya untuk meringis karena ketika lengan mereka ditangkis, mereka merasa lengan mereka semakin nyeri seperti patah-patah. Lengan mereka, kanan dan kiri, sudah matang biru dan bengkak-bengkak! Pada hal, lengan dan kaki mereka itu terlatih baik, sekali hantam saja lengan mereka dapat memecahkan bambu. Akan tetapi sekarang, lengan mereka seperti diadu dengan baja!
Biarpun mereka bertiga menahan nyeri, akhirnya lengan mereka yang tidak tahan. Kedua lengan mereka itu akhirnya tergantung lemah, terkulai dan tak dapat diangkat, juga kaki mereka hampir tak kuat untuk berdiri dan dengan sendirinya perlawanan merekapun terhenti!
"Ha-ha-ha, bagaimana ini? Mengapa kalian bertiga tidak menyerang lagi?" tanya Kaisar Siauw Bian Ong gembira, pada hal dia sebagai seorang ahli silat tahu bahwa tiga orang itu sudah kalah, walaupun Koan Ji belum pernah memukul mereka!
"Kenapa kalian bertiga? Hayo jawab pertanyaan Yang Mulia!" bentak Ouwyang Toan marah dan merasa malu, juga terheran-heran melihat ulah tiga orang anak buahnya itu.
Dua orang berlutut, dan si raksasa brewok akhirnya juga berlutut menghadap kaisar dan mewakili dua orang temannya.
"Mohon paduka mengampuni hamba bertiga. Yang Mulia. Hamba bertiga tidak mampu melanjutkan pertandingan, agaknya lawan hamba itu memasang baja pada kaki tangannya ...
"
"Yang mulia, hamba mohon ijin untuk memeriksa kaki dan tangan calon perajurit pengawal ini." kata Ouwyang Toan dan kaisar mengangguk.
"Periksalah, apakah benar di dalam lengan baju dan kaki celananya terdapat potongan baja." kata kaisar sambil tersenyum geli.
Sebetulnya Ouwyang Toan bukanlah seorang yang demikian bodohnya. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, iapun maklum bahwa orang yang sin-kangnya sudah amat kuat, dapat saja membuat kaki tangannya keras seperti baja. Akan tetapi, dia tidak percaya Koan Ji memiliki sin-kang sedemikian kuatnya, maka mendengar keluhan tiga orang anak buahnya tadi, diapun merasa curiga. Setelah mendapat ijin kaisar, Ouwyang Toan lalu menghampiri Bun Houw dan menyingkap lalu menggulung ke atas kedua lengan baju dan pipa celananya. Akan tetapi tentu saja dia tidak menemukan apa-apa kecuali kaki dan tangan biasa yang bertulang, berotot dan berkulit!
Tentu saja Ouwyang Toan tidak dapat berkata apa-apalagi, lalu mundur sambil menundukkan mukanya.
Seorang tokoh pengawal pribadi kaisar yang sejak tadi hanya menjadi penonton bersama para pengawal pribadi lainnya, kini berkata dengan hormat, '"mpun, Yang Mulia. Menurut pendapat hamba, saudara Koan Ji ini cukup pantas untuk menjadi pengawal pribadi paduka, menambah kekuatan pasukan pengawal pribadi paduka."
Kaisar Siauw Bian Ong menoleh ke arah lima orang pengawal pribadinya dan mereka semua mengangguk menyetujui. Kaisar tersenyum girang. Dia menemukan seorang pengawal lain yang lihai dan tentu saja dapat dipercaya karena pemuda itu adalah keponakan Koan-thaikam, seorang yang sudah dipercayanya penuh sebagai seorang hamba yang setia.
Demikianlah, mulai saat itu, Bun Houw diterima sebagai seorang pengawal pribadi kaisar sehingga kini pengawal pribadi kaisar berjumlah sebelas orang yang melakukan penjagaan terhadap keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong pribadi, Bun Houw juga berjumpa dengan Kwan Hwe Li yang menjadi pengawal permaisuri, akan tetapi datuk wanita itu tidak mengenalnya.
Koan-thaikam yang cerdik tidak memberitahu kepada kaisar tentang siapa sebenarnya Koan Ji, akan tetapi, dia diam-diam mengumpulkan sepuluh orang pengawal pribadi kaisar yang lain. Dia percaya sepenuhnya kepada sepuluh orang itu sebagai orang-orang yang setia kepada kaisar dan merupakan pengawal lama, sejak Kaisar Siauw Bian Ong menduduki singasana kerajaan Chi yang baru. Tentu saja sepuluh orang itu tidak dapat dia kumpulkan sekaligus, hal itu tidak mungkin karena setiap saat harus ada sedikitnya dua orang pengawal yang mengawal kaisar. Bahkan kalau kaisar sedang berada di dalam kamar tidurnya, dua atau tiga orang pengawal berjaga di luar kamar itu, walaupun sudah ada pasukan istana yang melakukan penjagaan di seluruh istana. Koan-thaikam dengan cerdik dapat mengajak sepuluh orang pengawal pribadi kaisar itu untuk mengadakan pertemuan, setiap kali hanya dengan lima orang. Dalam dua kali pertemuan saja dia sudah dapat mengadakan perundingan dengan mereka.
Sepuluh orang pengawal pribadi itu terkejut bukan main mendengar laporan Koan-thaikam yang telah mendengar rahasia Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan yang mengadakan persekutuan dengan kaki tangan kerajaan Wei untuk melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Siauw Bian Ong.
"Koan-taijin, kalau begitu, kenapa kita tidak langsung saja menangkap para pengkhianat itu!" kata para pengawal atau jagoan istana itu dengan penasaran.
"'Atau kita langsung laporkan kepada Sri-baginda biar mereka itu ditangkap?" kata yang lain.
Akan tetapi Koan Thai-kam menggeleng kepalanya.
"Hal itu tidak mungkin kita lakukan, walaupun persekongkolan mereka sudah jelas karena aku telah mendengarnya sendiri. Akan tetapi apa buktinya? Tanpa bukti, apa yang dapat kita lakukan terhadap mereka? Ingat, selain mereka itu merupakan dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga mereka telah berhasil memperoleh kedudukan yang tinggi pula, dan mendapat kepercayaan Sribaginda, Kwan Hwe Li telah menjadi pengawal permaisuri, sedangkan Ouwyang Toan telah menjadi perwira pasukan pengawal istana. Tanpa bukti, kalau kita melaporkan kepada Sribaginda, kemudian mereka berbalik menuduh kita melakukan fitnah, kita tidak akan menang. Demikian pula, melakukan kekerasan tanpa bukti, tentu akan membuat Sribaginda marah kepada kita."
"Habis, bagaimana baiknya? Kalau kita melihat Sribaginda terancam keselamatannya, apakah kita harus tinggal diam saja?" mereka mencela.
"Tidak begitu," kata Koan-thaikam,
"tentu saja kita harus bertindak dan karena itulah cu-wi (anda sekalian) saya undang untuk berunding. Kita sekarang, para pengawal pribadi Sribaginda, telah tahu akan rencana jahat mereka dan dapat melakukan penjagaan yang lebih ketat tanpa menimbulkan kecurigaan mereka. Selain itu, kita mengadakan hubungan rahasia dengan para panglima pasukan pengawal dan pasukan keamanan, agar mereka mempersiapkan pasukan untuk bergerak sewaktu-waktu diperlukan. Kita mau tidak mau harus membiarkan para pengkhianat itu bergerak, agar kita dapat menindak mereka dengan bukti."
"Akan tetapi, hal itu berarti membiarkan Sribaginda terancam bahaya! Bagaimana kalau mereka turun tangan secara tiba-tiba sehingga kita terlambat dan Sribaginda dan keluarganya tertimpa bencana?" kembali para pengawal pribadi itu membantah dan mencela dengan hati khawatir sekali,
"Kami lebih condong melapor kepada Sribaginda!"
"Jangan! Cu-wi tentu telah mengenal watak Sribaginda. Beliau amat bijaksana menghargai kegagahan, juga beliau selalu bersikap adil. Kalau kita melapor, akan tetapi beliau tidak menemukan bukti, bagaimana mungkin beliau akan menangkap dan menghukum para pengkhianat itu? Kitalah yang akan mendapat kemarahan, atau bukan mustahil kita yang akan ditangkap dan dihukum karena dianggap malakukan fitnah dan membuat kekacauan. Tentang keselamatan Sribaginda dan keluarganya, kenapa khawatir? Bukankah ada cu-wi yang selalu menjaga dan mengawal Sribaginda? Dan hendaknya cu-wi tahu bahwa pemuda yang baru saja diterima sebagai pengawal pribadi itu ...
"
"Koan Ji, keponakan Koan-aijin itu?"
"Ya, dialah yang akan menjamin keselamatan Sribaginda!"
"Ah, maaf, taijin. Memang Koan Ji memiliki tubuh yang kebal dan kuat, akan tetapi apa artinya itu? Ingat, Ouwyang-ciangkun amat lihai dan Kwan Hwe Li jauh lebih lihai lagi. Kami semua sudah membuktikannya sendiri ketika mereka diuji. Bahkan kami akan kewalahan melawan mereka berdua. Biarpun ditambah Koan Ji itu ... maaf. bukan kami hendak memandang rendah keponakan tai-jin,"
"Ketahuilah, Koan Ji itu bukan keponakanku! Saya memang sengaja mencari bantuan dari luar dan dia adalah orang yang dipilih oleh Hek-tung Lo-kai untuk tugas penting melindungi Sribaginda. Hanya dialah yang akan mampu menandingi Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan. Karena saya tidak ingin membuat persekutuan itu curiga, maka saya mengakuinya sebagai keponakan dan juga agar Sri baginda percaya kepadanya."
Sepuluh orang pengawal pribadi itu merasa kagum. Kalau benar pemuda itu pilihan Hek-tung Lo-kai yang mereka kenal sebagai seorang tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan juga mendukung pemerintah baru, tentu pemuda itu bukan orang sembarangan.
"Akan tetapi, siapa dia sesungguhnya, taijin? Kami merasa tidak pernah mengenal seorang tokoh dunia persilatan yang wajahnya seperti dia itu."
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja, karena itu adalah wajah penyamaran, bukan wajah aselinya. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan dia berjuluk Si Pedang Kilat! Bahkan oleh Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu dia dicalonkan menjadi beng-cu dunia persilatan."
"Bukan main! Siapa namanya, taijin?"
"Namanya Kwa Bun Houw, memang belum begitu terkenal di dunia persilatan, akan tetapi dia merupakan seorang bintang baru yang hebat. Kalian tahu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan ...
"
"Datuk sesat majikan Bukit Bayangan Iblis itu?"
"Benar, Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, dibantu oleh Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi kaki tangan kerajaan Wei, hendak memaksa Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang untuk bekerja sama. Ketika mereka hendak membunuh kedua pang-cu itu, muncullah Si Pedang Kilat ini dan dia yang mengalahkan para tokoh sesat itu."
Tentu saja para pangawal pribadi kaisar itu terbelalak dan sukar dapat percaya berita ini. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu mengalahkan Kui-siauw Giam-ong Suma Koam yang mereka tahu amat sakti itu?
Para jagoan istana ini masih belum yakin benar kalau belum mengerti kepandaian Bun Houw. Mereka mempunyai sebuah tempat tersendiri untuk berlatih silat dan tidak ada orang lain yang boleh menonton mereka berlatih. Sebagai pengawal-pengawal pribadi kaisar, tentu saja mereka memiliki pengaruh dan wibawa. Kesempatan inilah mereka pergunakan untuk menguji sendiri kepandaian Bun Houw. Kwa Bun Houw sudah mendengar dari Koan-thaikam bahwa keadaan dirinya sudah bukan rahasia lagi bagi sepuluh orang pengawal pribadi kaisar, maka diapun tidak berpura-pura terhadap mereka. Dalam kesempatan berlatih, dia membiarkan dirinya dikeroyok oleh lima orang pengawal yang paling tangguh dan tanpa banyak kesukaran dia dapat mengalahkan mereka semua, baik dalam pertandingan tangan kosong maupum mempergunakan pedang kilatnya.
Setelah sepuluh orang pengawal pribadi itu membuktikan sendiri kemampuan Bu Houw, barulah mereka merasa tenang dan kini Bun Houw merupakan pengawal pribadi kaisar yang paling depan, selalu paling dekat dengan kaisar, terutama kalau di ruangan terbuka di mana terdapat para anggauta pasukan pengawal istana yang dipimpin oleh Ouwyang Toan. Sementara itu, Koan-thaikam juga sudah menghubungi para pimpinan pasukan pengawal, bahkan panglimanya dan merekapun mempersiapkan pasukan untuk turun tangan sewaktu-waktu para pengkhianat itu mengadakan gerakan.
Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan memang telah terbujuk dan mau mengadakan persekutuan dengan kerajan Wei. Hal ini terjadi ketika Ouwyang Toan bertemu dengan ayahnya, Ouwyang Sek di luar kota raja, ketika Ouwyang Sek sengaja datang untuk bertemu dengan puteranya. Datuk sesat ini mendengar bahwa puteranya kini menjadi seorang perwira pasukan pengawal di istana kerajaan Chi yang baru. Hal ini membuat Ouwyang Sek marah sekali. Puteranya, putera majikan Lembah Bukit Siluman, yang terkenal sebagai datuk besar dunia persilatan, kini merendahkan diri menjadi seorang perwira pasukan pengawal saja! Kalau menjadi pembesar yang tinggi kedudukannya, tentu akan lain pendapatnya.
Dalam keadaan marah dan murung ini, Ouwyang Sek menerima kunjungan Bu-tek Sam-kui yang telah dikenalnya. Dia mendapat uluran tangan utusan kerajaan Wei ini yang mengajak dia untuk bersekongkol membantu bekas kaisar Cang Bu untuk merebut kembali kerajaan dari tangan kaisar Chi, dan adanya Ouwyang Toan di istana kaisar Siauw Bian Ong sungguh merupakan keuntungan besar dan kesempatan yang baik sekali. Ouwyang Sek mendengar bahwa bekas Kaisar Cang Bu telah menghimpun pasukan, bahkan kini dibantu oleh Suma Koan dan Suma Hok yang telah menjadi adik iparnya, menikah dengan adik bekas kaisar itu, dan bahwa bekas Kaisar Cang Bu kini telah bekerja sama dengan kerajaan Wei di utara. Dengan janji bahwa kalau gerakan itu berhasil. Ouwyang Sek dan puteranya akan mendapatkan kedudukan tinggi sebagai menteri dan panglima. Ouwyang Sek menjadi bersemangat. Lenyaplah kemarahannya terhadap puteranya dan diapun mencari puteranya, mengirim orang untuk memanggil puteranya itu menemuinya di luar kota raja.
Ouwyang Sek yang menceritakan semua penawaran Bu-tek Sam-kui sebagai utusan ke puteranya, dan dia menuntut agar Ouwyang Toan dapat membujuk Bi-moli untuk bekerja sama.
Bi-moli Kwan Hwe Li adalah seorang wanita yang haus cinta. Setelah ia mengalami kekecewaan karena cintanya terhadap Tiauw Sun Ong putus, kemudian setelah mereka menjadi tua, Tiauw Sun Ong tetap tidak mau hidup bersamanya, maka kini bertemu dengan Ouwyang Toan yang muda dan pandai mengambil hati, tentu saja membuat ia takluk. Ketika Ouwyang Toan membujuknya untuk menerima uluran tangan kerajaan Wei, iapun tanpa berpikir panjang lagi menerimanya. Ia rela hidup dan mati bersama kekasihnya yang masih muda itu.
Demikianlah, kedua orang yang mendapatkan kepercayaan Kaisar Siauw Bian Ong ini mulai siap-siap melaksanakan perintah dari persekutuan itu. Ouwyang Toan yang telah mendapat kepercayaan itu berhasil menyelundupkan beberapa orang anggauta Thian-te Kui-pang reka menanti saatnya yang matang, bukan hanya mempersiapkan para anggauta Thian-te Kui-pang yang diselundupkan sebagai anggauta pasukan pengawal, akan tetapi juga menyebar para anggauta perkumpulan Iblis itu di kota raja agar pada saat yang ditentukan, para anggauta itu, dipimpin oleh Bu-tek Sam-kui sendiri, dapat menyerbu ke istana. Kalau penyerbuan dan pembunuhan terhtdap kaisar dan keluarganya dilaksanakan, maka pasukan bekas Kaisar Cang Bu dan pasukan bantuan dari kerajaan Wei yang sudah mempersiapkan diri akan menyerbu masuk ke daerah kerajaan Chi, dimulai dari sarang pasukan yang dihimpun bekas Kaisar Cang Bu.
Persiapan pertempuran! Persiapan perang! Persiapan bunuh membunuh. Kapankah keadaan seperti ini akan berakhir? Dunia dilanda perang, permusuhan, kebencian sejak sejarah tercatat sampai kini. Tak pernah ada henti-hentinya. Perang saling bunuh, demi kemenangan, demi kedudukan, demi keuntungan, demi nama baik, demi pemuasan dendam.. Perang senjata, perang ekonomi, perang sosiaL perang ideologi, bahkan ada perang agama dan yang disebut perang suci! Ada yang menganggap perang satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian! Betapa palsunya omong kosong semua itu. Perang adalah pencetusan dari kebencian, dendam, permusuhan, perebutan kekuasaan atau harta. Perang antara bangsa hanya peluasan dari pada perang antara dua manusia yang juga menjadi akibat dari pada perang yang terjadi di dalam batin kita sendiri! Konflik batin berkembang menjadi konflik dengan manusia lain. Kemelut yang berkecamuk di dalam mencuat keluar.
Manusia yang sudah tidak memiliki lagi kasih sayang, menjadi mahluk yang lebih buas dari pada binatang yang paling buas. Kebuasan binatang hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya, dan kebuasan itu dituntut oleh kebutuhan untuk hidup. Akan tetapi manusia memiliki hati akal pikiran yang membuat dia menjadi lebih buas dan lebih berbahaya. Dalam perang, manusia menjadi haus darah yang ada hanyalah membunuh atau dibunuh, cara menyelamatkan diri dengan jalan membunuh dan membunuh lagi. Kalau sudah begini, segala kepalsuan manusiapun nampak . Bahkan Tuhan dibawa-bawa ke dalam perang saling bantai itu. Kedua pihak yang berperang memohon kepada Tuhan untuk diberi bantuan agar menang. Tuhan dimintai bantuan untuk membunuh manusia lain sebanyak-banyaknya!
Dan yang menyedihkan sekali, setiap peperangan selalu menjadikan rakyat sebagai korban. Mereka yang tidak tahu apa-apa, yang tidak ikut berperang, bahkan yang paling parah menderita karena perang. Melarikan diri mengungsi ke sana ini, menjadi korban perampokan, pembunuhan, perkosaan dan penghinaan. Mereka yang sama sekali tidak berdosa kehilangan harta milik, kehilangan rumah tinggal, kehilangan kehormatan, bahkan kehilangan nyawa.
Melihat betapa ketatnya panjagaan terhadap istana dan seluruh penghuninya, Bi Moli dan Ouwyang Toan tidak berani melakukan gerakan dan mereka seringkali mengadakan perundingan rahasia di luar istana dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan Bu-tek Sam-kui.
"Lalu kapan rencana kita dapat dilaksanakan? Kami sudah mempersiapkan anak-buah di kota raja dan hal ini tidak dapat dilakukan terlalu lama. Kalau sampai ketahuan, tentu sebelum kita bergerak, pasukan keamanan sudah akan melakukan penggerebekan dan, semua usaha akan gagal. Bahkan dari Kaisar Cang Bu kami sudah mendapat berita bahwa selain beliau sudah mampersiapkan pasukannya, juga Kui-siauw Giam-ong sudah berhasil mengerahkan para tokoh kang-ouw berikut anak buah mereka yang berhasil diajak bergabung, untuk membantu kalau terjadi keributan di kota raja." kata Pak-thian-kui yang sudah kehilangan kesabaran.
"Pak-thian-kui, semua pekerjaan harus dilaksanakan sebaik mungkin. Kalau tanya serampangan saja lalu gagal, apa artinya?" Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menegur orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi itu yang tadi nadanya menegur puterinya yang dianggap bekerja lambat dan belum juga siap.
Melihat Bu-eng-kiam marah, Bi Moli cepat berkata,
"Sebaiknya kita tidak meributkan persoalan ini. Ouwyang Kongcu benar. Memang penjagaan di istana amatlah ketatnya sehingga menyulitkan kami untuk bergerak. Kalau kami nekat, tentu akan gagal. Akan tetapi, Pak-thian-kui juga benar. Persiapan sudah dilakukan, kalau tidak cepat cepat gerakan dilakukan dan ketahuan, tentu semua akan gagal. Sebaiknya kita mencari jalan terbaik bagaimana agar kita dapat cepat bergerak dan tidak sampai gagal."
Sejenak dalam ruangan itu menjadi hening.
Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, mencari jalan terbaik agar semua rencana mereka dapat dilaksanakan. Bu-tek Sam-kui bertanggung jawab terhadap kaisar mereka yang tentu saja menghendaki agar semua rencana berhasil baik, sedangkan bekas Kaisar Cang Bu juga tentu saja sudah menanti saat terbaik yang sudah lama dinanti-nanti itu.
"Ada satu jalan yang kurasa paling baik untuk dilaksanakan," kata Kwan Hwe Li dan semua orang memandang kepadanya penuh harap.
"Jalan apa itu, Mo-li? Cepat ceritakan!" kata Bu-eng-kiam Ouwyang Sek.
"Sudah kuperhitungkan baik-baik, kalau kami yang bertugas di istana harus menyerang Kaisar sekeluarganya, hal itu amatlah sulitnya. Penjagaan amat ketat, bahkan kurasa, pengawal pribadi yang baru dan kelihatan tidak meyakinkan itu, bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Karena itu sulit rasanya kalau sekaligus kita harus menyerang seluruh keluarga."
"Akan tetapi, Mo-li. Menurut Kaisar kami, kalau hanya membunuh kaisar kerajaan Chi saja tidak ada gunanya, karena tentu akan segera diganti oleh seorang pangeran. itulah sebabnya mengapa kami ditugaskan untuk membasmi seluruh keluarga. Dengan demikian, tentu pemerintahannya akan menjadi kacau seolah ular tanpa kepala, dan dalam keadaan kacau tanpa adanya raja itulah pasukan akan mulai menyerbu masuk."
Kwan Hwe Li mengangguk-angguk.
"Aku mengerti, dan kiranya hanya ada satu jalan, yaitu menawan kaisar. Sebetulnya, menawan permaisuri jauh lebih mudah, akan tetapi kurang berguna. Sebaliknya, kalau kita dapat menawan kaisar, kita tentu dapat melumpuhkan semua kekuatan di istana. Dengan kaisar sebagai sandera, kita dapat memaksa semua menteri, panglima dan pangeran untuk menyerah. Sandera itu dapat kita pergunakan untuk menangkapi seluruh keluarga kaisar!"
"Hebat! Engkau memang lihai dan pintar sekali, Bi Moli. Akan kami laporkan jasamu ini kepada kaisar kami dan juga kepada Kaisar Ceng Bu agar kelak mereka tidak melupakan jasamu, Nah, kita laksanakan saja seperti yang direncanakan Moli tadi."
Mereka lalu mangadakan perundingan, Bi Moli dan Ouwyang Toan akan melaksanakan penawanan terhadap kaisar itu, dengan bantuan enam orang anggauta Thian-te Kui-pang yang menjadi pengawal. Kalau mereka berdua telah berhasil menawan kaisar, maka mereka akan menggunakan kaisar sebagai sandera untuk memasukkan semua anggauta Thian-te Kui-pang yang sudah berada di kota raja untuk menguasai istana. Kesempatan itu pula akan dipergunakan oleh Bu-tek Sam-kui dan Bu-eng-kiam untuk memasuki istana, memim pin pasukan Thian-te Kui-pang untuk menangkapi semua keluarga kaisar dan sekutunya. Bahkan mereka telah menentukan harinya, yaitu tiga hari lagi ketika Kaisar Siauw Bian Ong pergi ke kuil istana dan melakukan sembahyang bersama permaisuri. Saat itu memang tepat karena kaisar dan permaisuri berada di satu tempat sehingga tentu saja Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan dapat pula berada di sana dan bersama-sama mereka dapat melaksanakan penawanan itu. Kalau mungkin, mereka bahkan dapat menawan kaisar dan permaisurinya, sedangkan anak buah Ouwyang Toan yang enam orang dapat membantu melumpuhkan para pengawal lain yang hendak menghalangi gerakan mereka. Mereka sudah memperhitungkan bahwa paling banyak akan ada tiga atau empat orang pengawal pribadi kaisar dan Kwan Hwe Li yakin akan mampu mengatasi mereka, sedangkan Ouwyang Toan akan menawan kaisar dilindungi anak buahnya yang penting, asal kaisar sudah jatuh ke tangan mereka, tentu semua perlawanan akan dapat dihentikan dengan menjadikan kaisar itu seorang sandera yang amat penting dan berharga.
Kuil istana pagi itu nampak meriah dan sibuk sekali. Para hwesionya mengenakan jubah bersih dan wajah merekapun nampak segar berseri. Semua orang menyambut pagi itu dengan hati gembira karena hari itu Kaisar Siauw Bian Ong dan permaisuri akan melakukan sembahyang leluhur di kuil istana. Jarang sekali kaisar sendiri melakukan sembahyang di kuil dan setiap kali hal ini terjadi, para hwesio di kuil itu merasa mendapat kehormatan besar. Kaisar Siauw Bian Ong memang pandai sekali mengambil hati rakyat dari semua golongan. Dia bijaksana pula terhadap para hwesio di kuil ini sehingga para pendeta itu juga kagum dan memujinya, tak pernah melalaikan menyebut nama sribaginda dalam sembahyangan mereka mendoakan yang baik-baik bagi kaisar yang bijaksana itu.
Sejak pagi tadi, sebelum kaisar dan permaisuri pergi ke kuil itu, Ouwyang Toan telah sibuk bersama dua belas orang anak buahnya, melakukan pembersihan, di kuil itu.
Hanya para hwesio saja yang diperkenankan berada di kuil. Para hwesio dipesan agar dalam sehari itu, tidak seorangpun boleh berkunjung ke kuil, demi keamanan kaisar dan permaisuri. Para hwesio menaati perintah perwira pasukan pengawal ini dan mereka sibuk mempersiapkan semua keperluan sembahyang itu. Semua perlengkapan telah dipersiapkan, meja diberi tilam baru yang indah, bahkan seluruh ruangan sembahyang telah dibersihkan dan dicat baru sejak beberapa hari yang lalu. Lantainyapun mengkilap karena dipel sampai beberapa kali oleh para hwesio. Pendeknya, ruangan sembahyang itu menjadi tempat yang bersih dan menyenangkan. Pot-pot bunga dengan yang mekar semerbak menghiasi semua sudut ruangan. Sejak pagi, dupa harum dibakar sehingga ruangan itu berbau harum dan terasa nyaman. Ouwyang Toan sengaja mengatur agar penjagaan di sebelah dalam ruangan sembahyang dilakukan oleh enam orang anak buahnya sedangkan perajurit pasukan pengawal yang lain berjaga di ruangan depan dan belakang. Setelah semua persiapan selesai, dia lalu melapor kepada Kaisar Siauw Bian Ong yang sudah bersiap dengan permaisurinya.
Matahari sudah naik tinggi dan hawa udara tidak begitu dingin lagi katika Kaisar Siauw Bian Ong dan permaisurinya berjalan melalui lorong di taman istana, menuju ke istana, yang berada di ujung taman, di atas sebuah bukit buatan yang kecil. Kaisar dan permaisuri tidak mau duduk di joli, hanya terjalan kaki karena pagi itu cerah dan sinar matahari hangat. Juga pemandangan di taman itu amat indahnya. Musim bunga membuat taman itu nampak indah bukan main, juga jarak ke kuil tua itu tidaklah terlalu jauh.
Tewasnya Bi Moli, Ouwyang Toan, dan Suma Hok
Karena kaisar dan permaisuri hanya pergi ke kuil istana, ke dalam lingkungan istana, maka penjagaan tidaklah luar biasa ketatnya. Rombongan itu hanya terdiri dari kaisar, permaisuri, dua orang selir terdekat dan tujuh orang gadis dayang saja. Tentu saja Bi Moli Kwan Hwe Li sebagai pengawal pribadi permaisuri, tidak ketinggalan dan wanita cantik ini berjalan di belakang rombongan. Di belakang kaisar dan permaisuri berjalan tiga orang pengawal pribadi, yaitu Koan Ji atau Kwa Bun Houw dan dua orang pengawal lain. Koan Thai-kam sebagai kepala thai-kam, ikut pula dalam rombongan itu karena dia yang akan mengatur sembahyangan itu bersama para hwesio kuil. Di depan, kanan kiri dan belakang nampak pasukan pengawal terdiri dari duabelas orang, dipimpin oleh Ouwyang Toan.
Baik Bi Moli Kwan Hwe Li maupun Ouwyang Toan sama sekali tidak pernah menduga sedikit pun juga bahwa semua rencana mereka dan yang mereka atur bersama Bu-tek Sam-kui, telah diketahui oleh Kwa Bun Houw! Bersama Koan-thaikam, Bun Houw sudah mengatur siasat untuk menghadapi usaha pemberontakan yang membahayakan keselamatan keluarga kaisar itu. Memang Bun Houw belum mengetahui dengan tepat, tindakan apa yang akan dilakukan oleh Bi Moli dan Ouwyang Toan, akan tetapi dia dan Koan Thai-kam telah menduga bahwa hari itu, saat Kaisar dan permaisuri bersembahyang, merupakan saat yang amat gawat, dan mereka menduga bahwa tentu para pemberontak akan bergerak pada saat itu. Koan Thai-kam sudah mengadakan kontak dengan panglima pasukan pengawal dan keamanan, dan mata-mata telah disebar. Mata-mata ini yang melaporkan bahwa ada kurang lebih seratus orang asing bukan penduduk kota raja yang nampak bersembunyi di sekitar pintu gerbang istana, ada yang menyamar sebagai pedagang keliling, menjadi pengemis dan ada yang seperti pelancong biasa. Keterangan tentang gerakan orang-orang asing ini didapatkan oleh komandan pasukan dari para anggauta Hek-tung Kai-pang yang seperti biasa berkeliaran di kota raja. Karena mereka adalah anggauta kai-pang, maka kehadiran mereka tidak mencurigakan orang, juga para anggauta Thian-te Kui-pang tak mencurigai mereka. Pada hal, para anggauta pengemis ini adalah orang-orang yang mengamati gerak-gerik mereka!
Juga Bun Houw telah dapat menduga bahwa di antara dua belas orang perajurit pengawal, termasuk yang pernah disuruh mengujinya, adalah kaki tangan komplotan itu, maka diapun sudah bersikap waspada. Agar jangan sampai mencurigakan Ouwyang Toan dan Bi Moli, maka penjagaan terhadap kaisar dan permaisuri hanya dilakukan oleh dia dan dua orang pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi, telah diatur dengan rapi agar banyak pengawal yang setia terhadap kaisar, mengatur barisan pendam di sekitar tempat sembahyang itu.
Setelah tiba di kuil, para hwesio menyambut kaisar dan permaisuri dengan sikap hormat. Semua berlangsung seperti biasa, tidak ada perubahan sedikitpun dan ini memang dikehendaki Koan-thaikam agar tidak mencurigakan komplotan pemberontak. Dia bersama lima orang hwesio melayani kaisar dan permaisuri, menemani mereka memasuki ruangan sembahyang, ditemani pula oleh dua orang selir dan tujuh orang gadis dayang yang setelah masuk ke ruangan sembahyang lalu duduk bersimpuh di pinggiran. Kwa Bun Houw dan dua orang rekannya ikut pula masuk, akan tetapi merekapun berdiri di pinggiran. Demikian pula Ouwyang Toan dan enam orang pengawal ikut masuk dan berjaga di pintu ruangan.
Bi Moli ikut pula masuk dan ia yang paling dekat dengan kaisar dan permaisuri dan dua orang selir yang kini sudah berlutut di depan meja sembahyang, dilayani oleh lima orang hwesio yang menyerahkan hio-swa (dupa biting) untuk sembahyang, dan menyerahkan alat penyulut lilin yang akan dinyalakan Kaisar.
Saat yang dinanti-nanti itu tiba. Saat ini memang yang sudah ditentukan oleh Bi Moli dan Ouwyang Toan untuk bertindak. Pada saat kaisar hendak menyalakan lilin dan permaisuri beserta dua orang selir berlutut dan menerima hio-swa dari para hwesio. Saat itu memang amat baik karena tiga orang pengawal pribadi kaisar tidak berani mendekat, dan juga para pengawal yang bukan kaki tangan mereka berada di luar. Sudah mereka rencanakan bahwa Ouwyang Toan akan menangkap kaisar dan Bi Moli menangkap permaisuri, sedangkan enam orang kaki tangan mereka menjaga agar tidak ada yang berani menghalangi perbuatan kedua orang itu menawan kaisar dan permaisuri. Kalau kaisar dan permaisuri sudah ditawan, maka segalanya akan menjadi mudah!
Dan memang perhitungan itu tepat sekali. Ketika tiba-tiba sekali Ouwyang Toan dan Bi Moli meloncat ke depan sambil mencabut pedang, Bun Houw sempat dibuat tertegun.
Tak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang itu akan bergerak pada saat yang khidmat itu, di mana kaisar dan permaisuri baru mulai melakukan sembahyang. Juga kedua orang rekannya terbelalak.
Ouwyang Toan dengan pedang di tangan meloncat ke dekat kaisar, dan Bi Moli juga meloncat ke dekat permaisuri sambil menendang seorang selir yang menghalang di samping sehingga selir itu terguling sambil menjerit.
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 22
"Semua diam! Kaisar dan Permasuri kami tawan!" kata Ouwyang Toan dengan suara nyaring. Enam orang pengawal yang menjadi kaki tangannya juga tiba-tiba mencabut pedang dan hendak melindungi dua orang itu. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali di luar perhitungan Ouwyang Toan dan Bi Moli. Lima orang hwesio yang tadinya melayani kaisar, permaisuri dan dua orang selir, yang nampaknya adalah hwesio-hwesio yang lemah dan lembut, tiba-tiba saja mereka itu menerjang ke arah Bi Moli dan Ouwyang Toan!
Mereka yang lebih dekat dengan kaisar dan permaisuri sehingga mereka dapat menyerang sambil membelakangi kaisar dan permaisuri. Terkejutlah Ouwyang Toan ketika hwesio yang tadi menyerahkan alat penyulut lilin kepada kaisar tiba-tiba menyambutnya dengan serangan tusukan alat penyulut lilin itu. Dan Bi Moli juga terkejut ketika dua orang hwesio sudah menyerangnya dari depan. Karena para hwesio itu menyerang Ouwyang Toan dan Bi Moli dari depan dan sekaligus menghalangi mereka menawan kaisar dan permaisuri, terpaksa kedua orang pengkhianat itu lalu menggerakkan pedang mereka menyerang para hwesio itu! Dan mereka semakin terkejut. Kiranya mereka bukanlah hwesio-hwesio lemah, karena mereka mampu melakukan perlawanan dengan gerakan yang cukup gesit dan tangkas.
Biarpun akhirnya lima orang hwesio itu roboh mandi darah oleh pedang Ouwyang Toan dan Bi Moli Kwan Hwe Li, namun telah memberi waktu yang cukup bagi Kwa Bun Houw untuk turun tangan. Dia dan dua orang rekannya berloncatan.
"Amankan Sribaginda!" teriak Bun Houw kepada dua orang rekannya. Dua orang pengawal pribadi kaisar itu lalu menggandeng kaisar dan permaisuri, menarik mereka keluar dari ruangan sembahyang itu, sedangkan dua orang selir itu menangis dan lari ke sudut ruangan bersama para dayang. Kini tinggal Bun Houw seorang yang berdiri di pintu samping dari mana kaisar tadi menyelamatkan diri dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan.
"Si Pedang Kilat ... !" Ouwyang Toan berseru kaget bukan main melihat pedang yang berkilauan di tangan Bun Houw itu. Juga Bi Moli yang telah merobohkan tiga orang hwesio itu terkejut mendengar teriakan yang mengandung rasa gentar yang amat sangat dari kekasihnya itu.
"Siapa ...?!?" tanyanya.
"Kwa Bun Houw ... murid Tiauw Sun Ong ...!" kata Ouwyang Toan dan diapun sudah memberi isarat kepada enam orang anggauta Thian-te Kui-pang untuk menerjang dan mengeroyok Bun Houw. Enam orang itu-pun maklum bahwa usaha mereka gagal, maka dengan nekat mereka lalu menggerakkan senjata dan menerjang pemuda yang memegang sebatang pedang yang berkilauan itu.
"Moli, kita lari!" teriak Ouwyang Toan kepada kekasihnya dan mereka berloncatan keluar pintu ruangan sembahyang. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu telah terkepung ratusan orang pasukan keamanan istana yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di situ. Tahulah mereka bahwa kesemuanya telah gagal sama sekali. Kekecewaan membuat mereka menjadi marah, ditambah lagi dengan rasa takut. Mereka menumpahkan semua kesalahannya kepada Bun Houw dan seperti ada persetujuan tanpa kata, keduanya membalik dan meloncat masuk lagi untuk membuat perhitungan dengan Kwa Bun Houw! Ouwyang Toan memang membenci pemuda itu, dan Bi Moli mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Tiauw Sun Ong, maka iapun amat membencinya!
Sementara itu, melihat dia diserang oleh enam orang kaki tangan Ouwyang Toan, Bun Houw tidak mau membuang banyak waktu melayani mereka. Dia tahu bahwa kaisar dan permaisuri sudah selamat, dan dua orang pengkhianat itu tidak akan mungkin dapat lolos dari tempat itu, maka diapun menggerakkan pedang di tangannya. Enam orang itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka merupakan para anggauta di-lihan dari Thian-tc Kui-pang. Akan tetapi, berhadapan dengan. Si Pedang Kilat, enam orang itu seperti berhadapan kakek guru mereka! Nampak gulungan sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata dan satu demi satu, enam orang itu roboh dan tewas seketika. Nampaknya saja mereka tidak terluka, saking tajamnya pedang pusaka itu sehingga ketika menembus dada atau leher lawan, hampir tidak meninggalkan bekas dan hanya diketahui orang itu terluka setelah darah mengalir keluar dan orang itu tewas seketika!
Ketika Ouwyang Toan dan Bi Moli meloncat kembali memasuki ruangan sembahyang, mereka terbelalak. Di samping mayat lima orang hwesio yang sebenarnya merupakan pengawal-pengawal yang menyamar, nampak mayat enam orang anggauta Thian-te Kui-pang itu rebah malang melintang dalam keadaan tewas. Begitu cepatnya enam orang itu tewas dan hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda yang masih berdiri dengan pedang berkilauan di tangan itu.
"Kwa Bun Houw! Engkau selalu menjadi penghalang bagiku dan selalu memusuhiku!" bentak Ouwyang Toan marah.
"Engkau keliru, Ouwyang Toan. Engkau tentu tahu bahwa aku menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tak terkecuali engkau. Adalah engkau dan Bi Moli yang sungguh tidak tahu diri, tak mengenal budi. Sribaginda telah memberikan kedudukan yang baik bagi kalian, akan tetapi kalian bahkan mengkhianati dan bersekutu dengan pemberontak dan dengan kerajaan Wei."
'Bocah she Kwa, hari ini engkau harus menebus dosa gurumu kepadaku!" Bi Moli membentak dan ia sudah menggerakkan pedangnya. Ouwyang Toan juga membantu kekasihnya itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya pula. Akan tetapi, Bun Houw memutar Lui-kong-kiam dan nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata dan dua orang itu terpaksa meloncat keluar dari ruangan itu karena tempat itu terlalu sempit dengan adanya sebelas sosok mayat yang bergelimpangan. Bun Houw juga menerjang keluar karena diapun menghendaki agar dapat melawan kedua orang musuhnya itu di tempat yang lebih luas.
Melihat dua orang pengkhianat itu berloncatan keluar, disusul oleh pengawal pribadi yang baru, para pengawal siap untuk mengepung dan mengeroyok.
"Tahan, jangan keroyok, biarkan Si Pedang Kilat sendiri menghadapi dua orang itu." kata Kaisar Siauw Bian Ong.
Kaisar ini tadi telah mendapat laporan yang singkat dan jelas dari Koan Thai-kam tentang diri Kwa Bun Houw yang dijuluki Si Pedang Kilat, mendengar pula bahwa dia dan Hek-tung Kai-pang mengatur agar pendekar itu melindungi kaisar, kemudian tentang persekutuan pemberontak dan betapa dia sudah mengadakan kontak dengan para panglima untuk menanggulangi pengkhianatan itu. Juga dia beritahukan mengapa dia tidak melapor lebih dahulu kepada kaisar, yaitu karena kedua orang pengkhianat itu telah mendapatkan kedudukan, maka dia khawatir kalau-kalau kaisar tidak percaya begitu saja tanpa adanya bukti. Kaisar dapat memaklumi dan mendengar bahwa Kwan Bun Houw yang berjuluk Si Pedang Kilat adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi, maka melihat kedua orang pengkhianat itu kini bertanding melawan Si Pedang Kilat, kaisar ini yang juga suka ilmu silat ingin sekali menontonnya.
"Kalau dia terdesak, barulah kalian boleh membantunya," pesannya kepada para pengawal pribadi dan para pengawal yang mengerti apa yang dikehendaki junjungan mereka, mengangguk dan mereka siap dengan senjata di tangan untuk membantu kalau-kalau Si Pedang Kilat terdesak.
Kaisar lalu memberi isarat kepada panglima pasukan keamanan untuk mendesak, lalu berkata,
"Panglima, cepat kerahkan pasukan dan tangkapi semua anggauta gerombolan Thian-te Kui-pang yang berkeliaran di kota raja."
Panglima itu memberi hormat lalu mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu, berkat latihan yang diterimanya dari Tiauw Sun Ong, gurunya yang buta, Kwa Bun Houw telah dapat melatih pendengarannya menjadi amat tajam, pengganti kedua mata bagi gurunya dan bagi dia, membantu pekerjaan mata, pendengarannya menjadi amat peka dan dengan kepekaan inilah dia dapat pula mendengar perintah kaisar kepada para pengawalnya tadi, walaupun dia menghadapi dua lawan yang tangguh. Bun Houw maklum bahwa tentu kaisar telah mendengar dari Koan Thai-kam siapa dia, maka kini kaisar ingin menyaksikan pertandingan yang seru, maka dia-pun segera mengerahkan tenaganya dan memutar Lui-kong-kiam dengan dahsyat sekali.
Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan sudah maklum bahwa mereka telah terkepung ratusan orang pasukan pengawal. Dengan gagalnya mereka menawan kaisar dan permaisuri, mereka tidak dapat mengandalkan apapun untuk melindungi diri, maka mereka menjadi gelisah, kecewa dan akhirnya membuat mereka menjadi nekat. Semua kemarahan mereka tumpahkan kepada Kwa Bun Houw yang mereke anggap sebagai penghalang dan penghancur semua rencana mereka yang sudah tersusun rapi.
Bi Moli Kwan Hwe Li mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia menggerakkan pedangnya secara dahsyat karena selain didorong oleh tenaga sin-kang, juga ada kekuatan sihir dalam gerakannya itu. Karena maklum akan kelihaian murid bekas pacarnya ini, Bi Moli mengerahkan seluruh tenaga sin-kang dan sihirnya untuk membunuh lawan. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak akan lolos dari hukuman, namun setidaknya ia harus dapat melampiaskan kemarahannya dengan membunuh Kwa Bun Houw. Demikian pula dengan Ouwyang Toan. Pemuda inipun sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak akan mungkin bebas dari hukuman mati, maka dia ingin lebih dulu membunuh Bun Houw sebelum mengamuk sampai titik darah terakhir.
Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw juga maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang tangguh, tidak berani memandang ringan. Dia tahu bahwa Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk sesat yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, setingkat dengan kepandaian para datuk seperti Suma Koan, Ouwyang Sek, Kwan Im Sianli, bahkan tidak begitu jauh selisihnya dengan tingkat gurunya, Tiauw Sun Ong. Kalau saja dia tidak secara kebetulan minum sari Akar Bunga Gurun Pasir sehingga tubuhnya menjadi kokoh kuat dan tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa, dan kemudian tidak menemukan ilmu Im-yan Bu-tek Cin-keng secara kebetulan pula, kiranya akan sukar baginya untuk dapat menandingi Bi Moli. Apalagi di situ terdapat pula Ouwyang Toan yang mengeroyoknya dan putera datuk Bu-eng-kiam Ouwyang Sek majikan. Lembah Bukit Siluman inipun termasuk seorang yang tangguh.
Kwa Bun Houw mengandalkan pedang pemberian suhunya. Didorong oleh kekuatan sin-kangnya yang ampuh, diapun menyambut kedua orang lawannya dan sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan mata, membuat kagum Kaisar Siauw Bian Ong dan pari pengawal dan penonton lainnya.
"Roboh kau ... !" Bi Moli Kwan Hwe Li menjerit dengan suara melengking dan di antara para perajuiit keamanan yang mendengar lengking suara yang mengandung tenaga sihir yang berpengaruh dan berwibawa itu. ada yang merasa kedua lutut mereka lemas dan kalau tidak saling berpegangan, tentu mereka itu akan roboh terguling!
Demikian hebatnya pengaruh yang terkandung dalam lengking itu. Apalagi terhadap Bun Houw yang dijadikan sasaran, dan bentakan itu diikuti pula oleh tusukan pedang yang meluncur bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat berbahaya, diperhebat oleh kecepatan gerakan, kekuatan sin-kang, dan kekuatan sihir!
Namun, kekuatan sihir itu tidak ada artinya bagi Bun Houw. Lewat begitu saja seperti angin kencang meniup batu karang. Pemuda ini maklum bahwa di antara kedua orang lawannya, yang paling tangguh adalah Bi Moli, maka kepada Iblis Wanita Cantik inilah dia harus mencurahkan perhatian dan perlawanannya. Pada saat itu, Ouwyang Toan juga sudah membacokkan pedangnya dari samping ke arah kepalanya. Dengan gerakan ringan dia memutar tubuh sehingga terlepas dari bacokan pedang, dan pedangnya sendiri dengan cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Bi Moli yang menusuknya, gerakan itu memutar dari samping. Bi Moli terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa tusukannya akan disambut oleh bacokan dari samping yang mengancam pergelangan tangannya. Kalau ia melanjutkan serangan, maka sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, lebih dulu pergelangan tangannya akan terbabat pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu. Terpaksa ia menarik kembali tusukannya. Ouwyang Toan yang serangannya mengenai tempat kosong, menjadi penasaran sekali karena serangan itu dapat dihindarkan sedemikian mudahnya. Dia menyerang lagi, diikuti oleh Bi Moli dan kedua orang ini agaknya hendak berlumba untuk dapat lebih dulu merobohkan Bun Houw.
Bun Houw memperlihatkan keringanan tubuhnya dan tubuh itu seperti dibungkus gulungan sinar kilat pedangnya dan menyusup di antara sambaran kedua pedang lawan, dan dari gulungan sinar pedangnya kadang mencuat sinar bagaikan kilat menyambar ke arah lawan. Terjadilah serang menyerang yang amat seru dan menyilaukan mata. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus jen gotnya. Diam-diam dia amat mengagumi Kwa Bun Houw, walapun ada pula perasaan menyesal mengapa dua orang seperti Ouwyang Toan dan Bi Moli, yang memiliki kepandaian demikian hebat pula, telah mengkhianatinya. Sungguh patut disayangkan ilmu kepandaian seperti itu dikuasai orang-orang yang menjadi hamba nafsu angkara murka.
Pertandingan itu memang amat hebat. Jarang mereka semua yang hadir di situ menyaksikan pertandingan sehebat itu, bukan sekedar pengujian ilmu seperti yang sering terjadi di istana, melainkan suatu pertandingan yang merupakan perkelahian sungguh-sungguh! Setiap kali sinar pedang menyambar berarti tangan maut yang haus darah mencari korban.
Diam-diam Kwa Bun Houw mengeluh. Sudah lewat dari tiga puluh jurus, belum juga dia mampu merobohkan dua orang lawannya walaupun mereka sendiri juga tidak pernah dapat mendesaknya. Dia maklum bahwa kalau mengadu ilmu pedang, akan sukarlah baginya untuk dapat merobohkan mereka. Dengan mengeroyok, mereka benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan sukar dirobohkan. Ilmu pedangnya hanyalah ilmu pedang Lui-kong-kiamsut (Ilmu Pedang Kilat) yang dia pelajari dari gurunya, dan hanya karena dia memiliki kelebihan sin-kang dari pengaruh Akar Bunga Gurun Pasir sajalah maka dia mampu mengimbangi kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa kalau mereka mengadu ilmu tangan kosong, dengan Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pasti akan lebih unggul. Dia sejak tadi tidak berani mengadu pedangnya secara langsung sambil mengerahkan sin-kang. Dengan cara itu, tentu pedang kedua orang pengeroyoknya akan patah-patah, seperti yang sudah sering dia lakukan dengan Lui-kong-kiam itu. Akan tetapi, sekali ini dia merasa khawatir kalau-kalau pedang pusaka pemberian gurunya itu akan menjadi rusak karena dia menduga bahwa kedua orang lawan ini tentu juga memegang pedang pusaka yang ampuh.
Kemudian dia teringat akan persiapan persekutuan pemberontak untuk menyerbu kota raja seperti yang didengarnya dari Koan Thai-kam. Hal ini membuat dia terpaksa harus cepat mengakhiri pertandingan itu agar perhatian dapat dialihkan untuk menghadapi persiapan para pemberontak di luar kota raja. Maka, secara tiba-tiba saja Bun Houw mengubah gerakannya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan pedangnya untuk langsung menyambut pedang lawan, sengaja mengadukan pedangnya dengan pedang lawan.
Terdengar bunyi nyaring berdentang dua kali dan kedua orang lawannya itu mengeluarkan teriakan kaget. Bi Moh meloncat ke belakang, demikian pula Ouwyang Toan dan mereka memandang ke arah tangan kanan masing-masing yang kini hanya memegang sebatang pedang buntung! Ternyata pedang mereka telah patah oleh Lui-kong-kiam yang ampuh. Hal ini sesungguhnya bukan terjadi hanya karena keampuhan pedang di tangan Bun Houw karena sesungguhnya, pedang kedua orang lawan itupun terbuat dari bahan yang kuat dan ampuh. Akan tetapi, pedang Bun Houw itu disaluri tenaga sin-kang yang jauh lebih kuat, maka getarannya tak tertahan oleh kedua pedang lawan sehingga menjadi patah. Bun Houw menyimpan pedangnya setelah dengan lega melihat bahwa pedang pusakanya tidak rusak dan kini dia menghadapi kedua orang lawan dengan tangan kosong. Mereka berdua juga melemparkan sisa pedang ke atas tanah dan mereka siap melanjutkan perkelahian itu dengan tangan kosong. Kembali Kaisar Siauw Bian Ong memandang kagum dan memberi isarat kepada para pengawalnya agar jangan mencampuri. Dia sedang menikmati pertandingan yang jarang dilihatnya itu.
Bi Moli dan Ouwyang Toan lega melihat Bun Houw menyimpan pedangnya yang ampuh itu, Hal itu mereka anggap sebagai suatu kesombongan dari Bun Houw, maka keduanya mempergunakan kesempatan setelah Bun Houw menyarungkan kembali pedangnya untuk cepat menerjang dengan pukulan-pukulan mereka.
Akan tetapi sekali ini Bun Houw sudah siap dengan ilmunya yang amat hebat yaitu Im-yang Bun-tek Cin-keng. Bahkan gurunya sendiri tidak mampu menandingi ilmu ini! Begitu melihat kedua orang lawan sudah menyerang, Bun Houw segera menggerakkan kaki tangannya secara aneh dan akibatnya hebat. Kedua orang lawan itu seperti terdorong badai yang amat kuat, membuat mereka terjengkang dan terguling-guling. Keduanya tentu saja terkejut bukan main, akan tetapi karena tidak melihat lain jalan, keduanya sudah mengeluarkan hentakan nyaring dan menerjang lagi. Untuk kedua kalinya, mereka seperti menyerang gelombang dahsyat yang membuat mereka kembali terjengkang dan terbanting. Mereka bangkit lagi, menyerang lagi roboh lagi dan hal ini berulang sampai liga kali dan Ouwyang Toan tidak mampu bangkit kembali karena kehabisan tenaga dan sudah terluka dalam. Bi Moli masih terus menyerang mati-matian akan tetepi dengan menggunakan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) Bun Houw berhasil merobohkannya dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak lagi. Sorak-sorai menyambut kemenangan Kwa Bun Houw, Kaisar Siauw Bian Ong kagum bukan main karena ternyata pemuda itu tidak membunuh kedua orang lawannya, hanya membuat mereka tak berdaya! Kini maklumlah kaisar itu bahwa kalau dia menghendaki agaknya pemuda itu sudah sejak tadi dapat membunuh kedua orang lawannya. Karena tidak ingin membunuh itulah yang membuat pertandingan berlangsung lebih lama. Kaisar itupun memerintahkan petugas untuk menangkap kedua orang itu dan menjebloskan mereka kepenjara untuk menanti diadili kelak.
Kwa Bun Houw kini menghadap kaisar dan berlutut. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum,
"Orang muda yang gagah, kami sungguh bersukur bahwa negara kita mempunyai seorang pendekar seperti engkau yang gagah perkasa dan bijaksana. Kami ingin melihat wajahmu yang aseli."
Bun Houw terpaksa melepaskan penyamarannya, mencabut alis palsu dan juga kedok tipis seperti kulit yang menutupi mukanya, monggosok-gosok cat dan nampaklah wajah aselinya. Oleh perintah kaisar, dia mengangkat mukanya dan kaisar beserta permaisurinya melihat wajah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah.
"Kwa Bun Houw, kami berterima kasih kepadamu dan kami ingin memberi hadiah yang sesuai dengan kehendak hatimu. Katakanlah, apa yang kau kehendaki? Kedudukan? Atau harta benda?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak mengharapkan hadiah dan imbalan, karena apa yang hamba lakukan ini hanya merupakan suatu kewajiban hamba menentang segala bentuk kejahatan. Hamba hanya dimintai bantuan oleh Hek-tung Lo-kai dan Koan Thai-kam." dan maklumlah dia bahwa pemuda itu memang seorang pendekar sejati yang tidak mempunyai keinginan demi kesenangan atau kepentingan diri sendiri. Apa yang diajukan oleh seorang pendekar sejati semata-mata membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, tanpa pamrih sedikitpun.
"Hemm, biarlah kita bicarakan lagi hal ini setelah segalanya selesai. Kita masih harus membasmi para pemberontak yang berkeliaran di kota raja, kaki tangan kerajaan Wei, dan juga memadamkan pemberontakan yang dikobarkan oleh bekas kaisar Cang Bu."
Pada saat itu, komandan pasukan keamanan yang bertugas membasmi para anggauta Thian-te Kui-pang yang berkeliaran di luar pintu gerbang istana, datang menghadap dan melapor kepada Kaisar bahwa usahanya gagal karena semua anggauta Thian-te Kui-pang telah melarikan diri dan pasukannya hanya berhasil menangkap tiga orang saja!
"Bawa mereka ke sini! Kami ingin mendengar keterangan mereka tentang ikut campurnya kerajaan Wei dalam pemberontakan ini!" perintah kaisar penasaran.
"Ampun, Yang Mulia. Begitu tertawan, tiga orang anggauta Thian-te Kui-pang itu membunuh diri dengan menelan sebutir racun."
Kaisar mengepal tinju,
"Kirim pasukan dan tundukkan pemberontak bekas kaisar yang tak tahu diri itu. Kami sengaja mengalah dan tidak mengejarnya, akan tetapi dia malah menghimpun pasukan dan hendak memberontak!"
"Yang Mulia, biar hamba yang melakukan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kui yang memimpin Thian-te Kui-pang." kata Bun Houw.
Setelah kaisar menyatakan persetujuannya, Bun Houw meninggalkan istana dan diapun melakukan pengejaran ke sarang Thia-te Kui-pang, di daerah tak bertuan, yaitu di dusun Tai-bun. Dia sudah mendengar tentang dusun ini yang dikuasai oleh Thian-te Kui-pang, sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya dari Koan Thai-kam.
Setelah tiba di luar kota raja, Bun Houw bukan langsung pergi ke sarang Thian-te Kui-pang, melainkan menuju ke Kui-cu, ke lembah sungai untuk mengunjungi bekas kaisar Cang Bu! Bagaimanapun juga, kaisar itu adalah bekas kaisar yang kalah perang dan Bun Houw sama sekali tidak dapat menyalahkan kaisar ini kalau hendak berusaha merebut kembali tahta kerajaan yang telah direbut oleh Kaisar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi. Dia tidak hendak mecampuri urusan perebutan kekuasaan itu. Akan tetapi, dia merasa tidak enak mendengar bahwa bekas Kaisar Cang Bu bersekutu dengan kerajaan Wei di utara. Ini berbahaya sekali karena mungkin saja kelak kerajaan Wei akan menguasai kerajaan di selatan. itulah sebabnya mengapa dia kini melakukan perjalanan cepat ke pusat gerakan yang dilakukan bekas kaisar itu, mendahului pasukan yang dikirim Kaisar Siauw Bian Ong untuk membasmi pemberontakan ini. Kalau teringat kepada Liu Kiok Lan, puteri adik bekas kaisar itu, dia merasa kasihan karena kalau tempat itu diserbu, tentu gadis bangsawan itu akan menjadi korban pula. Dia ingin menyadarkan bekas Kaisar Cang Bu agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei, dan agar cepat melarikan diri sebelum terlambat.
Pada saat itu, bekas kaisar Cang Bu sudah mendengar laporan dari seorang mata-matanya yang ditugaskan mengamati keadaan di kota raja bahwa usaha membunuh atau menawan kaisar telah gagal! Bahkan mata-mata itu mengabarkan betapa orang-orang Thian-te Kui-pang yang tadinya siap di kota raja, telah pula melarikan diri setelah mendengar kegagalan itu. Juga Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, yang tadinya memimpin orang orang kang-ouw dan anak buah mereka sendiri, bersiap-siap untuk membantu gerakan di kota raja kalau penawanan terhadap kaisar berhasil, terpaksa mengundurkan diri dan ayah beserta puteranya itu kini telah kembali ke Kui-cu. Melihat Suma Koan dan Suma Hok kembali dengan wajah lesu, bekas kaisar Cang Bu mengepal tinju dan membanting-banting kaki.
"Celaka, kenapa sampai gagal? Dan kenapa pula paman Suma pulang dengan tangan hampa? Semestinya paman membantu usaha di dalam istana itu sampai berhasil! Ah, aku telah mempercayakan urusan penting kepada orang-orang yang tak dapat diandalkan."
Kaisar Cang Bu benar-benar merasa menyesal sekali karena kegagalan ini memusnakan harapannya untuk dapat menguasi kembali kerajaan yang telah dirampas oleh Siauw Bian Ong.
Kui-siauw Giam-ong mengerutkan alisnya. Dia memang tadinya tidak begitu ingin mencampuri urusan pemberontakan. Hanya karena puteranya telah menjadi adik ipar bekas kaisar itu maka dia mendapat semangat untuk ikut meraih kedudukan yang tinggi. Kini semua telah gagal dan dia kehilangan semangat. Dia menghela napas panjang.
"Sudahlah, Liu-kongcu. Saya tidak mempunyai semangat lagi dan akan pulang ke tempat tinggalku. Selamat tinggal!" Sebelum bekas kaisar itu sempat menjawab, kakek kurus itu telah berkelebat dan pergi dari tempat itu. Puteranya, Suma Hok, maklum bahwa ayahnya tidak pulang karena mereka tadi telah bersepakat untuk bergabung dengan Bu-tek Sam-kui dan mencari kedudukan di kerajaan Wei, di utara sana! Suma Hok sendiri lalu memasuki perkemahan di mana isterinya, Liu Kiok Lan, telah menantinya.
Seolah tidak melihat isterinya yang cantik, Suma Hok langsung saja mengumpulkan pakaian dan barang berharga, berkemas seperti orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Melihat ini, Liu Kiok Lan mengerutkan alisnya dan menghampiri suaminya yang sedang berkemas.
"Aku mendengar bahwa usaha di kota raja itu gagal. Benarkah itu, suamiku?"
Tanpa menoleh Suma Hok menjawab,
"Benar. Sialan! Hancurlah semua cita-citaku."
Hening sejenak. Suma Hok tetap saja mengumpulkan semua barang berharga, emas permata, sisa kekayaan yang dibawa dari istana oleh Liu Kiok Lan ketika lari mengungsi, memasukkan semua itu ke dalam buntalan pakaian.
"Engkau hendak mengajak aku pergi ke manakah?" tanya isterinya.
"Siapa yang hendak mengajak engkau pergi? Aku akan pergi sendiri!" jawab Suma Hok.
Liu Kiok Lan terkejut dan kerut di keningnya semakin dalam.
"Apa maksudmu? Engkau mengemasi semua barang, termasuk perhiasan dan barang berharga milikku, dan engkau akan meninggalkan aku?"
Kini Suma Hok membalik dan isterinya terkejut melihat wajah yang tampan itu kini berubah seperti iblis, begitu bengis dan kasar.
"Sialan! Setelah semua yang kulakukan, hanya barang-barang ini yang kudapatkan! Sungguh rugi besar selama berbulan-bulan ini aku memaksa diri tinggal di sini dan menghambakan diri kepada bekas kaisar yang ternyata kini gagal segala-galanya. Huh!"
Wajah Liu Kiok Lan menjadi pucat.
'"Kau ... kau ...! Bukankah engkau telah menjadi suamiku dan aku ini isterimu? Dan kau mengatakan semua cita-citamu sia-sia? Dan aku ini kau anggap apa? Kalau memang hendak pergi, tinggalkan semua barangku!"
"Ha-ha-ha, barang-barang ini untuk imbalan semua jasaku! Kalau bukan karena aku, engkau akan menjadi seorang gadis yang ternoda aib, gadis yang bukan perawan lagi. Tadinya, aku mengharapkan untuk menjadi seorang yang berkedudukan, akan tetapi melihat keadaannya sekarang, kakakmu sudah tidak ada harapan. Untuk apa aku harus merendahkan diri lebih lama lagi di sisimu?"
"Suma Hok!" Liu Kiok Lan membentak marah dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suaminya.
"Setelah semua apa yang kaulakukan terhadap diriku, dan semua itu kuterima dengan perasaan hancur namun terpaksa kudiamkan saja demi menjaga nama baik keluarga kami, dan engkau sekarang hendak meninggalkanku begitu saja? Setelah engkau membunuh Paman Pouw Cin yang setia, kemudian melakukan fitnah pula kepadanya, kemudian engkau membohongi kakakku dan aku, engkau kini tidak mau bertanggung jawab? "
Suma Hok terbelalak.
"Apa ...? Apa yang kaumaksudkan ...?"
Sebelum Kiok Lan menjawab, terdengar langkah kaki dan muncul seorang pengawal sehingga suami isteri yang sedang bertengkar itu menahan kemarahan mereka dan menghentikan pertengkaran.
"Ada keperluan apa engkau datang ke sini tanpa dipanggil?" bentak Suma Hok marah.
"Maaf, tai-hiap. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa pemuda yang dulu pernah menjadi buronan, yang bernama Kwa Bun Houw itu sekarang datang dan bercakap-cakap dengan Sribaginda."
Diam-diam Suma Hok terkejut bukan main, sebaliknya Kiok Lan yang mendengar disebutnya nama pendekar itu, nampak girang.
"Pergilah kami tidak ingin diganggu!"' kata Suma Hok dan pengawal itu lalu pergi. Setelah dia pergi, Suma Hok menutupkan kembali daun pintu kamarnya dan menghadapi isterinya.
"Sekarang katakan, apa maksudmu dengan mengatakan semua tadi? Engkau bilang aku melakukan fitnah kepada Paman Pouw Cin? Apa maksudmu?"
"Kaukira aku dapat percaya begitu saja ketika dahulu itu engkau mengatakan bahwa engkau membunuh Paman Pouw Cin karena dia memperkosaku? Aku tidak pernah percaya seujung rambutpun! Paman Pouw Cin adalah orang yang paling setia kepada kakakku dan aku, sudah kukenal sejak aku kecil. Aku tahu dan mengenal betul orang macam apa dia. Bagaimana mungkin dia mendadak saja berubah menjadi demikian keji? Akan tetapi karena engkau bersedia mencuci aib pada diriku dengan menikahiku, akupun hanya menyimpan semua keraguan itu di dalam hatiku. Kemudian, setelah aku mengenal benar watakmu. aku semakin yakin bahwa dahulu engkaulah yang memperkosaku. Engkau membuat aku tidak sadar, kemudian engkau memperkosaku. Ketika Paman Pouw Cin memergoki perbuatanmu, dia kau bunuh, lalu engkau memutar balik kenyataan dan mengatakan bahwa engkau melihat Paman Pouw Cin memperkosaku dan engkau membunuhnya. Kemudian, engkau memperlihatkan kebaikanmu dengan bersedia mencuci aib dan menikahiku. Semua itu kaulakukan dengan pamrih mendapatkan kedudukan! Dan sekarang, setelah usaha kakakku gagal, engkau hendak meninggalkan aku begitu saja? Suma Hok, aku tidak akan tinggal diam, akan ku-laporkan perbuatanmu itu kepada kakakku!"
Wajah Suma Hok berubah pucat ketika dia mendengar kata-kata itu. Kalau bekas kaisar Cang Bu mendengar laporan adiknya ini, tentu dia akan ditangkap dan dihukum berat. Maka, dia lalu pura-pura terkejut setengah mati dan dengan muka dibuat sedih dia mendekati isterinya.
"Isteriku, bagaimana engkau dapat mengeluarkan kata-kata sekeji itu? Tidak kusangkal bahwa aku memang ingin mendapatkan kedudukan, akan tetapi siapakah orangnya yang tidak mempunyai cita-cita tinggi? Akan tetapi, aku sama sekali tidak memperkosamu aku bahkan menikahimu karena aku kasihan padamu, aku cinta padamu. Paman Pouw Cin yang melakukannya, aku berani bersumpah Isteriku, kalau engkau tidak ingin aku pergi akupun tidak akan pergi, akan tetapi jangan menuduhku yang bukan-bukan! Aku yang sudah mengorbankan segalanya untukmu, kini masih menerima tuduhan keji ...
" dan pemuda itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan isterinya.
Kiok Lan terkejut juga melihat suaminya menangis dan berlutut di depan kakinya. Bagaimanapun juga, pria ini telah menjadi suaminya dan iapun sudah pernah berusaha memaksa hatinya untuk mencintainya. Sikap suaminya yang menangis sedih dan berlutut di depan kakinya itu membuat ia sejenak meragukan dugaannya sendiri dan iapun membungkuk untuk membangunkan Suma Hok. Akan tetapi pada saat ia membungkuk untuk membangunkan suaminya, Suma Hok menggerakkan tangan memukul dada istrinya. Pukulan itu datangnya sama sekali tidak terduga-duga oleh Kiok Lan.
"Dukkk!!" Dadanya kena hantaman tangan Suma Hok dan seketika ia muntah darah. Akan tetapi matanya melotot dan wanita itu masih mampu melakukan serangan totokan dengan ilmu totok It-sin-ci, yaitu totokan satu jari. Namun, Suma Hok dapat menangkisnya sehingga jari tangan Kiok Lan hanya mengenai lengan baju dan lengan baju itu berlubang, akan tetapi tubuh wanita muda itu terkulai dan roboh, tewas seketika dengan mulut mengalirkan darah.
Suma Hok berteriak-teriak setelah mendorong jendela kamar itu terbuka dan diapun menangis. Beberapa orang pengawal datang dan melihat adik majikan mereka tewas ditangisi Suma Hok, mereka segera melapor kepada bekas kaisar Cang Bu.
Pada saat itu, Liu Tek atau bekas kaisar Cang Bu sedang menerima kunjungan Kwa Bun Houw. Mula-mula, bekas kaisar itu terkejut bukan main melihat munculnya Kwa Bun Houw di depannya. Akan tetapi karena sikap Bun Houw baik, tidak seperti musuh, diapun mempersilakan tamu itu duduk dan diam-diam dia memberi isarat agar para pengawalnya melakukan penjagaan.
"Kwa Bun Houw, apakah maksud kedatanganmu sekarang ini? Sebagai kawan atau sebagai lawan?" tanya bekas kaisar itu sambil menatap tajam.
"Kongcu, saya datang bukan sebagai kawan maupun lawan karena sesungguhnya saya tidak mempunyai urusan pribadi apapun dengan kongcu. Akan tetapi mengingat akan kebaikan kongcu dan terutama sekali Nona Liu Kiok Lan, saya datang untuk memberi nasihat kepada kongcu. Pertama, sebaiknya kalau kongcu menghentikan hubungan kongcu dengan kerajaan Wei di utara. Dan ke dua sebaiknya kongcu cepat meningalkan tempat ini karena pasukan kerajaan Chi akan melakukan penyerbuan setelah usaha pembunuhan terhadap Kaisar Siauw Bian Ong dapat digagalkan."
Pada saat itulah pengawal datang berlari-larian dan melaporkan dengan napas memburu bahwa adik bekas kaisar itu telah tewas di kamarnya. Mendengar ini, Liu Tek terbelalak dan segera lari ke dalam, diikuti oleh Bun Houw yang juga terkejut bukan main mendengar laporan itu. Dia belum tahu bahwa adik bekas kaisar itu telah menikah dengan Suma Hok.
Ketika mereka tiba di kamar itu, mereka melihat Kiok Lan telah diangkat ke pembaringan dan Suma Hok duduk di tepi pembaringan sambil menangisi kematian isterinya.
"Suma Hok, apa yang telah terjadi?" Liu Tek berteriak ketika memasuki kamar. Bun Houw juga berdiri tertegun memandang ke arah mayat Kiok Lan yang masih nampak mengalirkan darah dari mulutnya.
Suma Hok menoleh dan begitu melihat Kwa Bun Houw, diapun meloncat dan menyerang Bun Houw dengan marah sambil membentak,
"Engkau pembunuh! Engkau telah membunuh isteriku!"
Bun Houw cepat mengelak ketika tangan Suma Hok menyambar ke arah mukanya. Suma Hok yang serangannya luput itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Namun, Bun Houw menangkis dan Suma Hok terhuyung.
"Suma Hok, hentikan ini! Engkau menuduhku yang bukan-bukan!" kata Bun Houw.
Suma Hok sudah menyambar sulingnya yang tadinya terletak di atas meja.
"Jahanam Kwa Bun Houw, engkau telah membunuh isteriku, aku harus membalas kematian isteriku!"
Mendengar ini, Liu Tek menengahi.
"Nanti dulu, apa artinya ini, Suma Hok? Saudara Kwa Bun Houw ini baru saja datang dan menghadap padaku, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia telah membunuh Kiok Lan?"
"Ah, paduka tidak tahu. Jahanam ini memang licik sekali. Sebelum menghadap paduka dia telah menyelinap ke kamar ini dan membunuh dinda Kiok Lan. Saya melihat sendiri ketika saya memasuki kamar, jahanam ini melarikan diri melalui jendela!" Dia menunjuk ke arah daun jendela yang terbuka.
Bekas kaisar ini kini menghadapi Bun Houw dan memandang penuh perhatian dan keraguan. Bun Houw segera berkata,
"Kongcu, harap diteliti dulu peristiwa ini. Mungkinkah saya akan masih berada di sini, mengingatkan kongcu akan datangnya bahaya, kalau benar saya membunuh nona Kiok Lan? Kalau boleh, saya ingin memeriksa jenazah nona Kiok Lan untuk meneliti apa yang menyebabkan kematiannya."
Bekas kaisar itu mengangguk dan bersama Bun Houw dia mendekati jenazah adiknya. Bun Houw memeriksa dan membuka baju di bagian dada. Nampak tanda pukulan membiru di dada itu, pukulan yang amat kuat dan mengandung hawa panas! Akan tetapi bekas pangeran itu lebih tertarik melihat tangan kanan adiknya seperti menekan atau mencengkeram ke arah perut. Ketika dia menarik tangan itu, Bun Houw melihat betapa jari telunjuk tangan kanan itu bengkak dan ketika dirabanya, maka tulang telunjuk itu patah pada buku jarinya. Bekas kaisar Cang Bu melihat ujung lipatan kertas menyembul dari balik baju di pinggang adiknya. Diambilnya benda itu yang ternyata sehelai kertas berlipat yang agaknya disembunyikan di ikat pinggang. Dia membuka dan merabanya. Wajahnya berubah pucat sekali, dan tanpa bicara dia menyerahkan kertas itu kepada komandan pengawalnya. Panglima itu membaca pula dan cepat dia berlari keluar entah apa yang dilakukannya, hanya dia dan bekas kaisar itu yang mengetahuinya.
Sementara itu, Bun Houw yang memeriksa telunjuk, kini memandang kepada Suma Hok yang masih berdiri tegak. Dan diapun menemukan apa yang dicarinya. Lengan baju Suma. Hok berlubang dan tahulah dia bahwa agaknya tangkisan Suma Hok membuat jari telunjuk wanita itu patah buku jarinya dan lubang pada lengan baju itu akibat ilmu totokan It-sin-ci dari mendiang Liu Kiok Lan Suma Hok,
"Engkaulah yang telah membunuh Nona Liu Kiok Lan dengan pukulan Lui-kong-ciang (Tangan Halilintar), dan agaknya Nona Liu menyerangmu dengan totokan It-sin-ci yang mengenai lenganmu ketika kau tangkis. Buktinya, lengan bajumu itu berlubang. Dan engkau masih berani menuduh, aku yang membunuhnya!" kata Bun Houw.
"Ha-ha-ha, Kwa Bun Houw, engkau murid Tiauw Sun Ong, tentu tidak jauh berbeda dari gurunya! Tidak perlu menyangkal atau memutarbalikkan kenyataan. Kenapa aku membunuh isteriku sendiri yang tercinta? Engkaulah yang membunuhnya dan ketika aku memasuki kamar ini, aku masih melihat bayanganmu meloncat keluar melalui jendela!"
Pada saat itu, komandan pengawal tadi muncul lagi bersama tujuh orang perwira, termasuk pengawal yang tadi mengabarkan kepada Suma Hok tentang kedatangan Kwa Bun Houw.
"Yang Mulia." kata panglima itu kepada Liu Tek.
"Pengawal ini menjadi saksi bahwa ketika dia melapor tentang kedatangan tamu, dia melihat Nona itu dan suaminya berada di kamar ini dan agaknya sedang bertengkar."
"Suma Hok, engkau hendak berkata apalagi?" bekas kaisar itu menegur marah.
"Bukan itu saja, bukan hanya engkau membunuh adikku, juga dahulu engkaulah yang berbuat keji terhadap adikku, lalu mengatakan bahwa Jenderal Pouw Cin yang melakukannya!"
Wajah Suma Hok menjadi pucat.
"Sribaginda, semua itu bohong!" katanya membantah.
"Hemm, bohongkah surat yang ditulis sendiri oleh adikku ini? Agaknya adikku telah mendapatkan firasat tidak enak dan membuat pengakuan ini di atas kertas. Sayang sebelum melapor kepadaku, engkau sudah membunuhnya. Engkau manusia iblis!"
"Sudahlah, kalau engkau tidak percaya lagi kepadaku, aku mau pergi!" Suma Hok mencabut sulingnya dan hendak menerjang keluar.
"Nanti dulu, engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang jahat dan kejam!" kata Kwa Bun Houw dan diapun menghadang di pintu.
"Kwa Bun Houw, pengecut busuk. Engkau, hendak mengandalkan pengeroyokan?" teriak Suma Hok yang tidak melihat jalan keluar lagi dan bersikap gagah untuk menyembunyikan rasa takutnya.
"Siapa hendak mengeroyokmu? Hayo kita bertanding satu lawan satu di luar. Harap Kongcu tidak memerintahkan orang mengeroyoknya, biar saya sendiri melawanuya."
Mendengar ucapan Kwa Bun Houw itu, Li Tek mengangguk, hanya memerintahkan para perwiranya untuk mengatur pasukan mengepung agar Suma Hok tidak sampai lolos. Melihat bahwa tidak mungkin lagi baginya untuk mololoskan diri, maka Suma Hok menjadi nekat. Semuanya sudah gagal dan tidak ada jalan lain kecuali menunjukkan kegagahannya. Maka, melihat Kwa Bun Houw sudah melangkah keluar, diapun dengan mengangkat dada, membawa sulingnya, mengikuti keluar. Mereka saling berhadapan di ruangan terbuka sebelah luar kamar. Maklum bahwa lawannya adalah putera seorang datuk besar dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, Bun-Houw sudah mencabut pula senjatanya, yaitu Lui-kong-kiani (Pedang Kilat)! dan semua orang terkesiap karena pedang itu seperti mengeluarkan sinar kilat ketika dicabut.
"Kwa Bun Houw, sejak dahulu engkau menentangku dan menjadi penghalang bagiku! Sekali ini, engkau atau aku yang mati!" bentak Suma Hok.
"Yang kutentang kejahatanmu, bukan dirimu!" bentak pula Bun Houw akan tetapi dia sudah harus cepat menghindar karena selagi dia bicara, Suma Hok telah menyerang dengan suling mautnya. Suling digerakkan dan ada sinar hitam menyambar dari ujung suling Bun Houw miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang. Beberapa batang jarum beracun halus dapat dipukul runtuh oleh pedangnya dan diapun memutar pedang membalas serangan lawan.
Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya. Dia telah mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya dan bahkan dia amat keji mempergunakan racun sehingga dijuluki Suling Beracun. Sulingnya yang disepuh perak itu bukan saja mampu mengeluarkan jarum beracun, juga permukaan suling itu mengandung racun yang amat jahat. Ketika dia mengamuk dan menerjang Bun
Houw, bentuk suling itu lenyap dan yang nampak hanyalah gulungan sinar putih dibarengi suara mendengung-dengung.
Akan tetapi, yang dilawannya adalah Kwa Bun Houw, Si Pedang Kilat yang dalam segala hal jauh lebih tinggi tingkatnya. Bahkan ayahnya sendiri, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat, apalagi dia! Ketika Bun Houw memainkan pedangnya, nampak sinar kilat bergulung-gulung dan menggulung sinar perak dari suling di tangan Suma Hok. Pemuda ini terkejut bukan main karena ke manapun sulingnya bergerak, selalu bertemu sinar pedang yang bagaikan benteng yang kokoh. Sebaliknya, dari gulungan sinar pedang itu kadang mencuat sinar yang menyambar bagaikan kilat, membuat Suma Hok berulang kali harus melempar tubuh ke belakang dengan muka pucat karena nyaris dia disambar sinar pedang kilat.
Mulailah rasa takut dan panik mencengkeram hati Suma Hok. Dia maklum bahwa dia tidak akan menang bertanding melawan Kwa Bun Houw, maka dari pada melanjutkan perkelahian yang tidak memberi harapan itu. lebih baik dia mencoba menerobos kepungan dan melarikan diri ...
Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah meloncat ke sebelah kiri. Dia disambut todongan golok dan tombak pasukan, akan tetapi Suma Hok menggerakkan sulingnya dan sinar hitam dari jarum-jarum halusnya merobohkan lima orang! Dan diapun mengamuk dengan sulingnya dan berhasil merobohkan lagi lima orang! Dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan sepuluh orang lawan yang tidak mungkin dapat ditolong lagi karena keracunan. Melihat ini, sekali melompat Bun Houw sudah berada di depannya dan menggerakkan pedangnya.
"Trangg ...!!" Nampak bunga api berpijar ketika suling di tangan Suma Hok menangkis dan patah menjadi dua potong! Iblis Suling Beracun ini terkejut dan marah, lalu dengan nekat dia menubruk ke depan dengan sulingnya yang buntung, akan tetapi kaki Bun Houw menyambutnya dengan tendangan.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Desss ...!!" Dada Suma Hok tertendang dan diapun terjengkang pingsan.
"Tangkap dia hidup-hidup!" bentak bekas kaisar Cang Bu yang sudah marah sekali terhadap bekas adik iparnya itu. Banyak tangan membelenggu Suma Hok yang sudah pingsan itu sehingga kaki tangannya terikat kuat-kuat, membuat dia setelah siuman tak mampu bergerak lagi.
Bun Houw segera menghadapi bekas kaisar itu dan berkata,
"Kongcu, seperti pernah saya katakan dahulu, saya tidak ingin mencampuri urusan perebutan kekuasaan. Kedatangan saya ini hanya untuk memberi tahu agar kongcu suka cepat menyelamatkan diri. Saya ikut bersedih dengan peristiwa terbunuhnya Nona Liu Kiok Lan. Sekarang, perkenankan saya untuk berparait."
Bekas kaisar itu merasa kecewa sekali bahwa seorang yang lihai seperti Si Pedang Kilat itu tidak mau bekerja sama dengan dia. Biarpun dia berterima kasih dengan peringatan dan pemberitahuan bahwa pasukan kerajaan Chi akan menyerbu, namun dia tidak ingin mundur lagi. Dia sudah bersusah payah mengumpulkan tenaga untuk melakukan perang merebut kembali tahta kerajaan, maka dia tidak mau melarikan diri lagi.
"Terima kasih, Kwa-taihiap. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Aku merasa menyesal sekali telah terkena bujukan dan tipuan penjahat macam Suma Hok sehingga pernah memusuhimu."
Bun Houw meninggalkan tempat itu dan benar seperti yang dia peringatkan kepada bekas kaisar itu, dua hari kemudian, tempat itu diserbu pasukan yang amat besar jumlahnya. Terjadi perang karena bekas Kaisar Cang Bu melakukan perlawanan mati-matian. Namun semua usahanya itu sia-sia. Kerajaan Wei di utara juga tidak mengirim bantuan melihat sekutunya diserang itu, hanya memperkuat penjagaan di perbatasan. Pasukan dari bekas kaisar Cang Bu itu dapat dihancurkan setelah pertempuran selama sehari semalam. Kaisar Cang Bu sendiri tidak mau ditawan dan membunuh diri, setelah dia dengan pedangnya sendiri membunuh Suma Hok yang menjadi tawanan.
Perang merupakan puncak merajalelanya nafsu, karena perang memperebutkan kemenangan tanpa menghiraukan pengorbanan banyak nyawa manusia. Mengapa di seluruh dunia ini, kehidupan manusia tidak terbebas dari pada perang, baik perang antara bangsa, antara kelompok, antar keluarga, maupun antar perorangan? Perang terjadi setiap hari, dimulai dari perang atau konflik dalam batin pribadi, mencetus keluar menjadi konflik antar perorangan, membengkak menjadi perang antar kelompok, sampai antar bangsa. Sumbernya terletak kepada si aku yang mengejar kesenangan dengan cara apapun juga. Si aku adalah pikiran yang bergelimang nafsu, dan nafsu selalu memang mengejar kesenangan dan kepuasan.
Memperebutkan kemenangan karena yang menang itu berkuasa, dan yang berkuasa tentu saja selalu benar, selalu berada di atas, karenanya menginjak yang di bawah dan tidak mungkin terinjak karena yang di bawah tidak mungkin dapat menginjak yang berada di atas. Menang, berkuasa, duduk di atas, selalu benar, selalu baik, selalu dapat menentukan apa saja, karenanya, tentu saja senang! Jadi, semua pencarian itu menuju ke arah satu, yaitu kesenangan! Kedudukan diperebutkan karena kedudukan merupakan sarang kesenangan. Segala macam kebutuhan terpenuhi, segala macam keinginan tercapai, dan di dalam kekuasaan itu terdapat segalanya. Kekayaan, identitas, dan kemuliaan.
Betapa kita mudah melupakan kenyataan: yang dapat kita lihat dati sejarah, bahwa makin besar kesenangan yang kita raih dan dapatkan, makin besar pula kesusahan menanti di ambang pintu. Seseorang yang disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai pendukungan, pada lain keadaan mungkin akan disambut dengan cemooh dan binaan, sebagai korban dari kedudukannya. Seorang yang kaya raya dan menikmati kekayaannya di satu saat, di lain saat mangkin saja akan dicekam ketakutan hebat akan kehilangan kekayaannya, atau disiksa kedukaan besar karena kehilangan kekayaannya. Seorang yang berada di puncak kemashuran dan dipuja-puja, sekali waktu dapat saja jatuh ke bawah dan pujaan itu berubah menjadi ejekan dan kutukan. Bagaikan sebuah biduk kecil dipermainkan gelombang samudera. kitapun dipermainkan oleh hasil dan gagal, kepuasan dan kekecewaan, kesenangan, dan kesusahan, kebosanan, iri hati, iba diri, dan segala macam permainan pikiran yang dicengkeram nafsu daya rendah.
Sekelompok orang yang berada di dalam ruangan besar itu nampak muram, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang marah-marah. Mereka duduk mengelilingi meja besar dan yang duduk di kepala meja adalah tiga orang yang kelihatan berwibawa. Mereka merupakan pimpinan dari pasukan Kerajaan Wei yang kini menduduki dusun Thai-bun dan yang membentuk sebuah perkumpulan bernama Thian-te Kui-pang. Tiga orang pimpinan itu merupakan saudara-saudara seperguruan, yaitu yang pertama berjuluk Pek-thian-kui (Iblis Putih dari Utara) berusia lima puluh tahun dengan tubuh gendut bundar dan mukanya halus. Orang ke dua berjuluk Huang-ho Kui (Iblis Sungai Ku ning) berusia empat puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan jenggot dan kumis jarang. Yang ke tiga berjuluk Toar beng-kui (Iblis Pencabut Nyawa) bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun dan wajahnya tampan, matanya liar. Mereka inilah yang dikenal sebagai Bu-tek Sam kui (Tiga Iblis Tanpa Tanding) yang menjadi jagoan-jagoan istana kaisar kerajaan Wei dan nama mereka amat terkenal di utara. Kini mereka menerima tugas dari kaisar mereka untuk membawa seratus orang anak buah, menyusup ke selatan untuk membikin kacau kerajaan baru Chi yang nampak semakin berkembang. Di dusun Thai-bun, pasukan itu membunuhi penduduk, menjadikan dusun itu sebagai markas mereka dan mereka tidak lagi memakai seragam pasukan kerajaan Wei, melainkan berpakaian hitam-hitam sebagai anggauta. Thian-te Kui-pang.
Di sisi lain dari meja panjang itu, menghadap tiga orang Bu-tek Sam-kui, duduk tokoh-tokoh persilatan yang dikenal sebaga datuk-datuk persilatan yang lihai. Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis) Suma Koan, datuk besar majikan bukit Bayangan Iblis berada di situ. Juga nampak Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek, datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman yang berusia lima puluh tiga tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Suma Koan.
Di samping Ouwyang Sek duduk pula Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im) Bwe Si Ni yang biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun akan tetapi masih nampak cantik manis seperti baru berusia tiga puluh tahun saja. Seperti kita ketahui, wanita yang dahulunya merupakan seorang dayang istana ini, yang pernah jatuh cinta dan tergila-gila kepada bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, dalam usahanya membalas dendam karena ditolak cintanya oleh bekas pangeran itu, kalah oleh Tiauw Sun Ong dan ia dibantu oleh Ouwyang Sek. Semenjak waktu itu, ia bersahabat dengan Ouwyang Sek dan memang keduanya memiliki watak yang sama, apalagi Ouwyang Sek telah menjadi seorang duda, maka keduanya menjadi akrab. Oleh karena itu, ketika Ouwyang Sek dibujuk oleh Bu-tek Sam kui untuk bekerja sama, dia mengajak pula Kwan Im Sian-li sehingga keduanya sekarang berada di markas Thian-te Kui-pang itu.
Selain tiga pimpinan Thian-te Kui-pang dan tiga orang datuk ini, masih ada lagi lima orang pembantu Bu-tek Sam-kui yang merupakan perwira atau pimpinan pasukan Thian-te Kui-pang. Mereka agaknya nampak murung dan marah, membicarakan sesuatu yang penting dengan penuh semangat.
"Brakk!" Tangan kiri Kui-siauw Giam-ong menggebrak meja di depannya sehingga tergetar.
"Puteraku Suma Hok mati terbunuh! Akan tetapi aku tidak mau melakukan balas dendam karena pembunuhnya, bekas Kaisar Cang Bu, juga sudah mampus. Sungguh membuat hati merasa penasaran sekali!" Kakek yang kecil kurus namun amat lihai ini menyambar cawan araknya dan sekali tuang, arak dalam cawan sudah memasuki perutnya. Agaknya dia masih belum puas dan menyambar guci arak lalu menuangkan isinya, menggelogoknya, seolah arak itu akan dapat mengusir ke marahannya.
"Giam-ong, kenapa penasaran kepada bekas kaisar itu? Yang menjadi biang keladi kematian puteramu bukanlah dia, melainkan orang yang juga menjadi biang keladi puteraku Ouwyang Toan tertangkap dan dihikum mati. Orang itulah yang telah membunuh anakmu dan anakku!"
"Siapakah dia !" Suma Koan bertanya dan memandang kepada rekannya dengan mata merah.
"Siapalagi kalau bukan si jahanam Kwa Bun Houw? Menurut para penyelidik yang berhasil lolos ketika markas bekas Kaisar Cang Bu diserbu pasukan pemerintah, sebelum pasukan pemerintah menyerbu, Kwa Bun Houw datang berkunjung untuk memperingatkan bekas kaisar itu agar tidak bergabung dengan kerajaan Wei dan agar melarikan diri karena akan diserbu pasukan pemerintah. dan dalam pertemuan itulah Kwa Bun Houw menyerang dan merobohkan puteramu. Dia ditangkap dengan tuduhan membunuh isterinya serdiri, adik bekas Kaisar Cang Bu. Kemudian, setelah terjadi penyerbuan dan Kaisar Cang Bu kalah, dia membunuh anakmu yang telah tertawan sebelum membunuh diri. Nah. bukankah kematian anakmu itu gara-gara Kwa Bun Houw? Karena Kaisar Cang Bu sudah mati, engkau harus membalas kematian anakmu kepada Kwa Bun Houw, seperti juga aku akan menuntut balas atas kematian anakku."
"Bukankah Ouwyang Toan, anakmu itu mati karena dihukum mati oleh pemerintah kerajaan Chi?" tanya Suma Koan.
Bu-eng kiam Ouwyang Sek menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara sedih.
"Memang benar, akan tetapi kegagalan Ouwyang Toan dan Bi Moli Kwan Hwe Li juga gara-gara campur tangannya Kwa Bun Houw yang menyamar dan menjadi pengawal pribadi kaisar. Karena dialah maka penyerangan itu gagal dan anakku bersama Bi Moli tertawan dan dijatuhi hukuman mati." Dia mengepal tinju dan berteriak.
"Kwa Bun Houw, aku pasti akan menghancurkan kepalamu untuk membalas kematian anakku!"
Dua orang datuk yang biasanya tidak pernah saling mengacuhkan itu, kini bersatu hati untuk menentang dan membalaskan kematian putera mereka kepada Kwa Bun Houw.
Melihat kedua orang datuk itu marah-marah, Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi, berkata,
"ji wi (kalian berdua) suka bersabar. Kami mengetahui akan dendam kemarahan hati ji-wi, akan tetapi kita harus mengingat bahwa selain Kwa Bun Houw itu memiliki ilmu silat yang amat tangguh, juga agaknya dia memiliki pula kawan-kawan dari golongan kang-ouw yang menentang kita, seperti terbukti ketika dia membantu Thian-beng-pai dan Hek-tung Kai-pang yang tidak mau tunduk kepada kita. Oleh karena itu, harap ji-wi suka bersabar dan bergabung dengan kami. Kalau kita bersatu, dengan kekuatan anak buah kita, kiranya tidak akan sukar untuk membalas dendam kita terhadap Kwa Bun Houw."
"Akupun harus menghajar pemuda sombong itu!" Kwan Im Sian li Bwe Si Ni berkata.
"Beberapa kali diapun berani menentangku!"
"Kalau begitu, bagus sekali! Pek-thian-kui, kami rasa, kami bertiga saja sudah cukup untuk menemukan Kwa Bun Houw dan memenggal lehernya! Tidak perlu kalian Bu-tek Sam-kui ikut-ikut!" kata Ouwyang Sek.
"Apa yang dikatakan Bu-eng-kiam itu benar, Bu-tek Sam-kui." kata pula Kui-siauw Giam-ong Suma Koan.
"Setelah usaha kita bersama gagal, bahkan kami berdua telah mengorbankan putera kami, maka tidak ada gunanya lagi kerja sama ini. Kaisar Cang Bu telah tewas, pasukannya telah hancur, untuk apalagi kita bekerja sama? Kalian adalah petugas dari kerajaan Wei, akan tetapi kami bertiga tidak mempunyai urusan dengan perebutan kekuasaan antara kerajaan di utara dan kerajaan di selatan. Kami bertiga hendak mencari dan menghukum Kwa Bun Houw karena urusan pribadi, tidak ada lagi sangkut-pautnya dengan kerajaan Wei."
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 23
"Akupun setuju," kata Kwan Im Sian-li.
"Yang jelas, kerja sama itu ternyata tidak menguntungkan, bahkan merugikan kami. Giam-ong dan Bu-eng-kiam, mari kita bertiga mencari Kwa Bun Houw dan kalau Tiauw Sun Ong membela muridnya, kita bunuh sekalian manusia sombong itu!"
Tiga orang datuk itu lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu tanpa ada yang berani mencegah. Bu-tek Sam-kui hanya dapat saling pandang saja. Mereka mendapat tugas memimpin anak buah mereka untuk mengacau dan melemahkan kerajaan Chi, dan untuk melaksanakan tugas itu mereka berhasil menarik banyak tokoh kang-ouw golongan sesat untuk membantu mereka dengan janji yang muluk. Bahkan mereka berhasil mengikat kerja sama dengan bekas Kaisar Cang Bu dan bersama-sama mengatur siasat untuk membunuh Kaisar kerajaan Chi dan menguasai dunia kang-ouw. Akan tetapi, ternyata usaha membunuh Kaisar Siauw Bian Ong itu gagal, juga mereka tidak berhasil menguasai dunia kang-ouw sepenuhnya. Tadinya, mereka mengharapkan para datuk seperti Ouwyang Sek dan Suma Koan untuk mereka jadikan jago dan beng-cu dalam pemilihan beng-cu dunia kang-ouw. Hal inipun gagal karena sekarang, dua orang datuk itu bersama Kwan Im Sian-li meninggalkan mereka dalam usaha mereka untuk mencari musuh pribadi mereka.
'Tidak ada jalan lain, kita harus mulai dari pertama, yaitu mengadakan pengacauan di sepanjang tapal batas selatan sambil mengirim laporan tentang kegagalan itu kepada Sribaginda dan menanti perintah selanjutnya," kata Pek-thian-kui. Dua orang sutenya setuju dan segera mereka membuat laporan untuk dikirim kepada kaisar mereka di utara.
Mulailah para anggauta Thian-te Kui-pang itu mengganas lagi di perbatasan, mengganggu dusun-dusun, merampok dan membunuh dan mereka dikenal sebagai gerombolan iblis Hitam karena pakaian mereka serba hitam dan kebuasan mereka seperti iblis. Gegerlah perbatasan dan banyak penduduk mengungsi ke pedalaman. Kalau ada pendekar atau petugas keamanan berani menentang, mereka semua dibunuh.
Sementara itu, Ouwyang Sek, Bwe Si Ni dan Suma Koan melakukan perjalanan bersama menuju Hoa-san. Bwe Si Ni yang menjadi penunjuk jalan karena wanita itu pernah mendatangi tempat bekas pangeran itu mengasingkan diri, yaitu di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Hoa-san. Mereka bertiga sudah bertekad untuk mencari Bun Houw di sana dan kalau pemuda yang menjadi musuh besar mereka itu tidak berada di sana, mereka akan menawan Tiauw Sun Ong untuk memancing datangnya pemuda itu yang mereka yakin pasti akan membela gurunya.
"Si Buta itu lihai bukan main," Ouwyang Sek memperingatkan rekannya, Suma Koan.
"Babkan aku dan Sian-li pernah mengeroyoknya dan biarpun kami dapat melukainya, dia masih mampu memaksa kami pergi membawa luka."
"Akan tetapi aku yakin bahwa dengan adanya Giam-ong membantu, kita akan dapat menundukkan jahanam buta itu," kata Kwa Im Sian-li gemas karena kini ia amat membenci pria yang pernah dicintanya setengah mati itu.
Cintakah itu kalau dapat berubah menjadi benci? Cinta yang mengandung cemburu, ingin memiliki, kemudian berubah menjadi kebencian sesungguhnya hayalah gairah nafsu belaka Cinta seperti itu tentu saja menimbulkan berbagai masalah, mendatangkan konflik-konflik-Sudah menjadi sifat nafsu untuk selalu mengejar kesenangan. Aku cinta padamu, karena kamu mendatangkan kesenangan padaku, demikianlah isi cinta gairah nafsu itu, baik itu cinta antara pria dan wanita, kitara orang tua dan anaknya, antara sahabat, bah kan cinta seseorang terhadap apa saja. Selama terkandung pamrih demi kesenangan diri pribadi, walaupun pamrih ini seringkali bersembunyi di balik siogan dan gagasan agung maka cinta seperti itu pasti menimbulkan konflik, dan dapat berubah meojadi benci, karena cinta gairah dan kebencian bersumber satu, yaitu nafsu. Aku cinta kamu selama kamu menyenangkan. Begitu kamu tidak menyenangkan, maka aku benci kamu! Karena itu, cinta seperti ini selalu memilih, yang paling menyenangkan, itulah yang dicinta.
Demikian pula "cinta" yang pernah mengusik hati Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni. Ia pernah jatuh cinta kepada seorang pangeran yang tampan dan menyenangkan, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Biarpun cintanya tidak mendapat balasan, namun ia tetap mencinta karena ia kagum dan suka kepada pangeran itu, bahkan setelah dia tidak lagi menjadi pangeran dan menjadi seorang buta, ia tetap mengharapkan menjadi pasangan hidupnya. Namun, penolakan-penolakan Tiauw Sun Ong, bahkan yang mengakibatkan perkelahian, mengubah cintanya menjadi benci. Kalau ia masih mengharapkan diterima sebagai pasangan hidup, adalah karena biarpun sudah tua dan buta, Tiauw Sun Ong masih amat menarik hatinya sebagai seorang yang amat lihai ilmu silatnya. Penolakan itu menyakitkan hatinya dan sekaligus mengubah cintanya menjadi benci dan kini ia hanya mempunyai satu keinginan terhadap Tiauw Sun Ong, yaitu membunuhnya!
Pada waktu itu, Tiauw Sun Ong tidak tinggal sendirian lagi di pondoknya. Kini dia ditemani puterinya, Tiauw Hui Hong, anak kandung yang baru ditemukannya setelah anak itu berusia dua puluh satu tahun! Bahkan baru saja dia mengetahui bahwa dia mempunyai seorang keturunan dari selir kaisar yaitu kakaknya, yang menjadi kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu telah mengandung keturunannya ketika mereka tertangkap dan dipisahkan. Tentu saja ayah dan anak ini merasa berbahagia sekali dan Tiauw Sun Ong yang menemukan anaknya sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sebagai anak tiri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. segera menggembleng puterinya itu dan mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya. Karena gadis itu memang telah memiliki dasar yang kuat sebagai anak angkat dan murid datuk majikan Lembah Bukit Siluman itu, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk melatih ilmu-ilmu yang kini diajarkan ayah kandungnya kepadanya. Selama beberapa bulan tinggal bersama ayahnya di Hoa-san. Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan ia kini menjadi jauh lebih lihai dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, Karena puterinya itu memiliki ilmu Siang-kiam (Sepasang Pedang) yang cukup lihai, maka Tiauw Sun Ong lalu mengajarkan ilmu totok dengan tongkat yang dimainkan oleh tangan kiri Hui Hong, sedangkan tangan kanannya tetap memainkan pedangnya. Kalau tadinya Hui Hong bersenjatakan sepasang pedang, kini ia mengganti pedang kirinya dengan sebatang tongkat yang dapat diambilnya di mana saja, sebatang rantingpun jadi. Dan ternyata ranting itu jauh lebih berbahaya. bagi lawan dibandingkan kalau tangan kirinya memegang pedang! Juga pedang di tangan kanannya mendapatkan banyak kemajuan setelah Tiauw Sun Ong menambahkan jurus-jurus baru. Juga bekas pangeran ini mengajarkan cara menghimpun hawa sakti kepada puterinya sehingga dalam hal tenaga sakti, Hui Hong juga menjadi semakin kuat.
Gadis itu merasa berbahagia sekali. Bukan hanya karena kini ia hidup dekat ayahnya, dapat mencucikan pakaian ayahnya, dapat memasakkan makanan untuk ayahnya dan menerima pelajaran ilmu dari ayahnya. Akan tetapi juga karena ayahnya menjodohkan ia dengan Bun Houw! Kini ia tinggal menanti datangnya pemuda yang memang sebelum ayahnya menjodohkannya, telah menjadi pujaan hatinya itu. Kebahagiaan membuat Hui Hong nampak semakin cantik jelita karena wajahnya selalu cerah. Kalau dahulu, sebagai puteri datuk Ouwyang Sek, ia bersikap dingin, keras dan galak, kini di bibirnya yang mungil itu selalu nampak senyum manis, matanya yang tajam bersinar-sinar itu mengandung kelembutan, dan wajahnya selalu berseri.
Pada sore hari itu, Hui Hong berlatih silat pedang dan tongkatnya di belakang pondok ayahnya. Kini ia duduk mengaso dan menghapus keringat yang membasahi leher dan dahinya, dengan sehelai kain. Ia harus mengeringkan dulu keringatnya sebelum mandi! Dalam udara dingin puncak dapat berkeringat seperti itu, menunjukkan bahwa dalam latihan tadi Hui Hong mengerahkan banyak tenaga. Namun ia merasa puas dan tersenyum-senyum. Jurus paling sulit yang diajarkan ayahnya, setelah diulang-ulang selama beberapa hari, akhirnya hari ini dapat ia lakukan dengan baik. Ayahnya tentu akan girang sekali. Melihat Hui Hong duduk di atas batu, rambutnya awut-awutan, mukanya basah oleh keringatnya, dan kemerahan karena mengerahkan tenaga, kedua pipinya segar kemerahan dan bibirnya lebih merah lagi, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa kagum. Ia memang cantik jelita, seperti ibunya, selir kaisar yang memadu kasih dengan ayahnya.
Hui Hong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga orang bersembunyi di balik batu-batu gunung yang besar dan mengintai ke arah pondok ayahnya. Tentu saja tiga orang itu tidak dapat melihat Tiauw Sun Ong yang berada di dalam pondok, sebaliknya melihat jelas Hui Hong yang duduk di atas batu.
"Bu-eng-kiam, bukankah gadis itu anakmu Hui Hong?" Suma Koan berbisik.
"Ia bukan anakku lagi," jawab Ouwyang Sek gemas.
"Ahhh, kiranya begitu? Jadi gadis itu telah bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya?" kata pula Suma Koan.
"Ssttt, kebetulan sekali ia berada di sini," kata Kwan Im Sian-li,
"Ia merupakan umpan yang lebih baik untuk memancing datangnya Kwa Bun Houw."
"Benar sekali, bocah itu saling mencinta dengan Bun Houw. Kalau kita tawan, pasti Bun Houw akan muncul dan mencoba untuk membebaskannya." kata Ouwyang Sek,
"Hemm, kalau begitu, kalian berdua siap menghadapi Tiauw Sun Ong, biar aku sendiri yang menangkap gadis itu." kata Raja Maut Suling Setan itu, akan tetapi Kwan Im Sian-li menyentuh lengannya ketika datuk itu hendak keluar dari tempat sembunyinya.
"Giam-ong, kalau engkau sembrono, engkau akan menggagalkan semuanya. Jangan pandang ringan bekas murid Bu-eng-kiam itu. Kalau kita menghadapi Tiauw Sun Ong bertiga, tentu kita akan mampu menang, akan tetapi kalau Tiauw Sun Ong dibantu gadis itu, akan lebih sulit bagi kita. Sebaikya kita bertiga bersama-sama menangkap gadis itu sehingga kalau Tiauw Sun Ong keluar, kita dapat menundukkannya tanpa membuang tenaga, hanya dengan menyandera puterinya saja. Dan dengan mereka berdua sebagai umpan pancingan, aku yakin Kwa Bun Houw akan segera datang dan terjatuh ke tangan kita."
Dua orang datuk itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Kwan Im Sian-li. Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat dan tak lama kemudian ketiganya berindap-indap menghampiri Hui Hong yang masih duduk menyeka keringat dan menikmati kenyamanan hawa udara sejuk yang mengipasi tubuhnya yang masih panas oleh pengerahan tenaga-dalam latihan tadi. Tiga orang itu adalah datuk-datuk persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali sehingga mereka mampu bergerak tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, selama beberapa bulan menerima gemblengan ayahnya yang buta, Hui Hong telah diajar pula mempertajam pendengarannya, seperti ayahnya yang seolah menggantikan tugas matanya yang tidak dapat melihat itu dengan telinganya. Maka, setelah tiga orang itu agak dekat, pendengarannya dapat menangkap pernapasan mereka dan cepat ia meloncat turun dari atas batu. Namun terlambat. Tiga orang itu sudah terlampau dekat dan kini mereka telah mengepung Hui Hong dari tiga jurusan.
Andaikata ia tidak dikepung sekalipun, Hui Hong tidak akan melarikan diri. Gadis ini memiliki keberanian luar biasa, apalagi setelah ia mendapat gemblengan dari ayahnya dan sepasang senjata itu masih di tangannya. Ia tidak akan gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, ketika ia melihat siapa yang mengepungnya, ia mengerutkan alisnya dan maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang amat tangguh. Tentu saja ia mengenal Ouwyang Sek, orang yang selama ini dianggap sebagai ayahnya sendiri, juga gurunya yang mengajarkan ilmu silat kepadanya sejak ia kecil. Dan ia mengenal pula Suma Koan, datuk majikan Bukit Bayangan Iblis yang amat tangguh itu, orang yang pernah melamarnya untuk dijadikan mantunya. Dan iapun mengenal pula Kwan Im Sian-li, datuk wanita yang pernah membohonginya dan berusaha mengadu ia dengan ayah kandungnya sendiri. Tiga orang datuk kaum sesat maju sekaligus menghadapinya! Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya. Namun, ia siap dengan pedang dan tongkatnya, menghadapi mereka dengan sikap gagah sekali.
"Kalian ...! Mau apa kalian bertiga datang ke sini?" ia bertanya dan sedikitpun ia tidak memperlihatkan sikap takut.
"Tangkap ...!!" Ouwyang Sek berseru dan iapun sudah menyerang dengan kedua tangannya terjulur ke depan dan dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan dahsyat ketika dia berusaha untuk merobohkan bekas murid atau anak tirinya itu dengan totokan dan cengkeraman. Akan tetapi Hui Hong sama sekali tidak mengelak, bahkan tongkat di tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan Ouwyang Sek dengan totokan ke arah telapak tangan itu, dan pedangnya menyambar ke arah pergelangan tangan yang menotoknya!
Akhir Kisah
"AHHH ...!!" Ouwyang Sek berseru kaget, tidak menyangka bekas murid ini akan menyambutnya seperti itu, dengan jurus yang sama sekali tidak disangka dan tidak dikenalnya, bahkan menggantikan pedang kiri dengan tongkat yang lihai bukan main. Terpaksa dia meloncat ke belakang dan pada saat itu Kwan Im Sian-li dan Suma Koan sudah bergerak maju membantu rekan mereka. Suma Koan menggunakan suling mautnya untuk melakukan serangan totokan, sedangkan Bwe Si Ni menerkam dari samping dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau. Serangan kedua orang ini hebat sekali sehingga Hui Hong terdesak hebat, biarpun ia sudah memutar pedang dan tongkatnya. Tenaga sin-kang dari kedua orang inipun amat kuat.
Selagi ia berlompatan mengelak dari desakan kedua orang lawan itu, tiba-tiha belakang lutut kirinya terkena tendangan kaki Ouwyang Sek dan Hui Hong jatuh berlutut dengan sebelah kaki dan pada saat itu, pedang di tangan Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni telah menempel di lehernya.
"Jangan berserak, bergerak berarti mati!" bentak Bwe Si Ni dengan suara mengejek.
Suma Koan merampas tongkat dan pedang dari tangan Hui Hong yang terpaksa melepaskannya karena ia sudah tidak berdaya ditempeli pedang lehernya. Ia bukan seorang nekat yang bodoh untuk melawan dalam keadaan seperti itu yang akan sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Akan tetapi ia masih sempat berseru nyaring,
"Ayaaaahhh ...!!"
Terdengar jendela pondok itu jebol dan tubuh Tiauw Sun Ong melesat di luar bagaikan seekor burung garuda menyambar ke arah tempat itu! Tiga orang itu sudah siap dan pedang yang menempel di leher Hui Hong semakin kuat. Tanpa mengeluarkan suara tubuh Tiauw Sun Ong sudah berdiri di depan tiga orang itu, tongkatnya melintang di depan, mukanya agak miring karena dia menggunakan tenaga yang dikerahkan kepada kedua telinganya untuk mendengarkan gerakan tiga orang itu. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat lagi, namun perasaan dan pendengaran, juga penciumannya, seolah dapat menggantikan kekurangan itu dan dia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di depannya!
"Hui Hong, tak dapatkah engkau melepaskan dirimu?" tanya Tiauw Sun Ong dan suaranya mengandung wibawa yang kuat sehingga tiga orang itu mau tidak mau merasa jerih juga.
"Ayah, mereka mengeroyok dan menangkapku secara curang." kata Hui Hong, namun ia tidak berani bergerak karena sekali ia bergerak, pedang itu dapat memenggal lehernya.
"Hemm, siapa kalian bertiga dan apa maksud kalian menangkap puteriku?"
"Tiga orang datuk itu menutupi perasaan jerih mereka dengan suara tawa mereka. Mereka sengaja menertawakan Tiauw Sun Ong karena sudah merasa menang dengan tertawannya puteri bekas pangeran itu.
Mendengar suara tawa mereka, Tiauw Sun Ong mengerutkan alisnya,
"Bwe Si Ni! dan tentu seorang di antara kalian adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dan siapa yang seorang lagi?"
"Tiauw Sun Ong, aku adalah orang yang suka bermain musik," jawab Suma Koan dan tiba-tiba terdengar suara suling ditiup ketika datuk ini meniup suling mautnya.
"Hemm, kiranya Kui-siauw Giam-ong? Kalian tiga orang datuk sesat telah bertindak seperti penjahat-penjahat kecil yang curang. Bebaskan puteriku, dan kalau kalian menghendaki, mari hadapi aku, tua sama tua, bukan tiga orang tua mengeroyok dan menawan seorang muda!"
"Hemm, Tiauw Sun Ong manusia berhati kejam!" teriak Kwan Im Sian-ii marah.
"Engkau tidak dapat melihat akan tetapi ketahuilah bahwa pedangku sudah menempel di leher puterimu. Sekali saja engkau membuat gerakan, pedangku akan lebih dulu memenggal batang leher puterimu yang putih mulus ini!"
Kedua tangan Tiauw Sun Ong gemetar karena dia menahan kemarahannya,
"Bwe Si Ni, apa kehendak kalian bertiga? Katakan!" Dia tahu bahwa tiga orang manusia curang itu sengaja menyandera Hui Hong untuk memaksa dia.
"Tiauw Sun Ong, buang tongkatmu dan menyerahlah menjadi tawanan kami atau puterimu akan kupenggal batang lehernya di depan hidungmu!" kata pula Kwan Im Sian-li dengan suara mengejek, hatinya girang dapat membuat orang yang kini amat dibencinya itu gelisah.
"Ayah, jangan dengarkan omongannya! Jangan perdulikan aku, hajar saja mereka. Aku tidak takut mati!" teriak Hui Hong.
"Bwe Si Ni, aku selamannya tidak pernah mengganggumu, dan tidak pernah ada urusan dengan Bu-eng-kiam maupun Kui-siauw Giam-ong. Akan tetapi kalau kalian sampai berani mengganggu puteriku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sampai dapat membunuh kalian bertiga!" Suara bekas pangeran itu mengandung wibawa yang menggetarkan perasaan tiga orang itu.
Suma Koan dan Ouwyang Sek sudah siap dengan senjata mereka, menghadang di depan Tiauw Sun Ong agar bekas pangeran itu tidak mempergunakan kekerasan untuk menolong puterinya.
"Tiauw Sun Ong, menyerahlah, atau kubunuh puterimu!" teriak Bwe Si Ni dan dari suara wanita ini, tahulah Tiauw Sun Ong bahwa ia bersungguh-sungguh dan keselamatan nyawa puterinya tergantung kepada sikapnya.
"Ayah, serang saja mereka!" kembali Hui Hong berseru.
"Hui Hong, tenang dan sabarlah," kata Tiauw Sun Ong yang kemudian bertanya kepada Bwe Si Ni,
"Si Ni, lihat aku sudah menyerah, lalu apa kehendak kalian bertiga?" Dia melepaskan tongkatnya yang jatuh ke depan kedua kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara wanita yang nyaring dan amat berpengaruh,
"Kwan Im Sian-li, lepaskan pedangmu! Cepat!"
Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, terutama sekali Kwan Im Sian-li dan tanpa disadarinya, iapun melepaskan pedangnya yang tadi dipergunakan untuk mengancam Hu Hong.
"Hui Hong, cepat!" teriak Tiauw Sun Ong kepada puterinya, akan tetapi sebetulnya Hui Hong tidak memerlukan peringatan ini lagi. Begitu merasa betapa pedang itu meninggalkan lehernya, iapun menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dada Kwan Im Sian-li yang terpaksa melangkah mundur menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Hong untuk bergerak cepat ke kiri dan menyambar tongkat dan pedangnya yang tadi dirampas oleh Suma Koan dan dilemparkan ke atas tanah.
"Haiiiittt ...!!" Tiauw Sun Ong juga sudah menggerakkan kedua tangannya menerjang ke arah Ouwyang Sek dan Suma Koan. Demikian hebat serangannya sehingga kedua orang datuk ini mundur, dan kesempatan itu dia pergunakan untuk memungut kembali tongkatnya.
Hui Hong menoleh ke arah suara wanita tadi dan muncullah seorang wanita muda yang cantik. Hui Hong memandang penuh perhatian.
"Kau ...? Bukankah engkau ... Cia Ling Ay ...
" Nama ini tak pernah ia lupakan karena Cia Ling Ay, seperti yang didengarnya dari Bun Houw, adalah bekas tunangan pemuda yang dicintanya itu.
Ling Ay tersenyum dan mengangguk.
"Adik Hui Hong, mari kita hajar iblis betina yang jahat ini!" katanya.
Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Hui Hong sudah memutar pedang dan tongkatnya menyerang Kwan Im Sian-li. Cia Ling Ay juga menggerakkan pedangnya membantu. Dalam hal ilmu silat, sebagai murid mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, tentu saja Ling Ay bukan tandingan Kwan Im Sian-li yang mempunyai tingkat sebanding gurunya, akan tetapi wanita muda ini memiliki kelebihan, yaitu ilmu sihir! Biarpun dalam ilmu ini ia tidak sekuat mendiang gurunya, namun sudah cukup untuk dapat mempengaruhi seorang datuk wanita seperti Kwan Im Sian-li sehingga ia dapat menyelamatkan Hui Hong. Sejak tadi ia memang menyaksikan peristiwa di belakang pondok itu. Ia datang ke Hoa-san dengan niat mencari Kwa Bun Houw. Ia merasa menyesal sekali telah memperlihatkan perasaan duka dan putus asa meninggalkan Bun Houw seperti seorang yang merasa cemburu. Ia hendak menemui dan minta kepada bekas tunangannya itu dan ia mengira bahwa Bun Houw dapat ia temukan di tempat kediaman guru pemuda itu. Ia pernah bersama gurunya datang ke tempat ini. maka ia dapat mengunjungi pondok dari arah belakang dan kebetulan melihat betapa Hui Hong ditangkap oleh tiga orang datuk. Tadinya, ia tidak ingin mencampuri, akan tetapi melihat betapa bekas pangeran itu dan Hui Hong diancam secara curang oleh tiga orang itu. ia merasa penasaran dan segera berusaha untuk membantu. Ia tidak begitu bodoh mengandalkan ilmu silatnya terhadap tiga orang datuk yang ia tahu amat lihai, maka satu-satunya jalan baginya untuk menolong Hui Hong adalah dengan ilmu sihirnya, menyerang dengan tiba-tiba mengejutkan Kwan Im Sian-li sehingga datuk wanita itu terkejut dan melepaskan pedangnya dan Hui Hong dapat terbebas dari ancaman maut.
Sementara itu, Tiauw Sun Ong sudah menggerakkan tongkatnya menghadapi pengeroyokan Suma Koan dan Ouwyang Sek. Diam-diam dia merasa gembira bahwa puterinya terbebas dari ancaman maut, dan dia belum tahu siapa wanita yang menyelamatkan puterinya dengan sihir tadi. Akan tetapi dia merasa lega bahwa puterinya dan penolong itu yang kini menghadapi Kwan Im Sian-li, karena kalau dia yang harus melawannya, bagaimanapun juga dia masih merasa kasihan dan tidak tega untuk membunuh bekas dayang itu.
Betapapun lihainya Tiauw Sun Ong, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang berilmu tinggi. Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan masih untunglah bahwa berkat kebutaannya, dia memiliki kepekaan melebihi orang biasa, dan pendengarannya menjadi amat tajam sehingga dia dapat mengetahui setiap gerakan lawan walaupun gerakan itu dilakukan dari arah belakangnya. Bagaimanapun juga, karena kedua orang lawannya merupakan datuk-datuk yang berilmu tinggi, Tiauw Sun Ong lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang. Dia terdesak sungguhpun kedua orang lawannya tidak mudah untuk dapat merobohkannya.
Di lain pihak, Kwan Im Sian-li repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang wanita muda itu. Apalagi kini Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan ayahnya. Kalau ia harus melawan sendiri bekas dayang itu, agaknya Hui Hong masih akan merasa kewalahan. Akan tetapi di situ ada Ling Ay yang juga lelah mewarisi sebagian besar ilmu mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li. Dengan kerja sama yang baik, dua orang wanita muda ini perlahan-lahan mulai mendesak Kwan Im Sian-li, membuat datuk wanita itu repot membela diri dan jarang ia dapat membalas serangan mereka.
Diam-diam Hui Hong merasa kagum kepada Ling Ay. Bekas tunangan Kwa Bun Houw ini, pada kurang lebih empat tahun yang lalu, masih dikenalnya sebagai seorang wanita yang lemah. Akan tetapi sekarang mendadak muncul sebagai seorang wanita yang lihai dalam ilmu silatnya, bahkan juga memiliki kekuatan sihir yang tadi dipergunakannya dan berhasil menyelamatkan ia dan ayahnya!
Bukan main! Dan iapun melihat betapa bekas tunangan Bun Houw itu kini bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwan Im Sian-li. Melihat ini, timbul semangatnya dan iapun menggerakkan pedang dan tongkatnya lebih cepat lagi.
Tentu saja Kwan Im Sian-li menjadi semakin repot setelah dua orang wanita muda itu memperhebat serangan mereka. Apalagi ketika ia mengerling ke arah kedua orang rekan mereka, dari dua orang datuk itu iapun tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka berdua itu masih bertanding seru mengeroyok Tiauw Sun Ong dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan menang dalam waktu pendek, Hui Hong juga mengerling ke arah ayahnya dan ia maklum bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, lambat laun ayahnya tentu akan terancam bahaya karena dua orang datuk itu memang lihai bukan main. Ia harus dapat merobohkan Kwan Im Sian-li lebih dahulu sebelum dapat membantu ayahnya, karena kalau ia tinggalkan Ling Ay seorang diri menghadapi bekas dayang itu, sama saja dengan membunuh wanita yang kemunculannya telah menyelamatkan ia dan ayahnya itu.
Maka ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mencoba merobohkan wanita itu secepatnya, namun harapannya itu agaknya tidak akan mudah dapat menjadi kenyataan. Kwan Im Sian-li adalah seorang datuk wanita yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Ouwyang Sek ataupun Suma Koan. Dan melihat betapa ayahnya mulai terdesak, timbul kegelisahan di hati Hui Hong, khawatir kalau ayahnya akan celaka di tangan dua orang datuk itu. Dan kegelisahannya ini justeru membuat gerakannya menjadi kacau dan hal ini membuat Kwan Im Sian-li nampak semakin kuat dan sukar dikalahkan.
Tiauw Sun Ong memang mulai terdesak oleh kedua orang pengeroyoknya. Keadaan di dua gelanggang pertempuran itu membuat keadaan kedua pihak seimbang. Tiauw Sun Ong terdesak oleh dua orang pengeroyoknya, sebaliknya, puterinya dan Ling Ay juga mendesak Kwan Im Sian-li. Mereka semua maklum bahwa pihak yang kalah lebih dulu berarti akan kalah semua karena pihak yang menang tentu akan dapat membantu perkelahian yang lain.
"Enci Ling Ay, cepat kaubantu ayahku!" tiba-tiba Hui Hong memutar pedangnya dengan sepenuh tenaganya menyerang Kwan Im Sian Li karena ia sudah mengambil keputusan untuk membiarkan ia seorang diri yang terdesak oleh lawan, akan tetapi ayahnya harus dibantu dan itulah sebabnya ia minta kepada Ling Ay untuk membantu ayahnya. Ling Ay menjadi agak bingung mendengar permintaan itu karena ia pun tahu bahwa menghadapi Kwan Im Sian-li sendiri saja merupakan bahaya besar bagi gadis itu. Akan tetapi Ling Ay adalah seorang yang cukup cerdik, iapun tahu bahwa Hui Hong sengaja membiarkan dirinya terancam asal ayahnya terbebas dari desakan dua orang pengeroyoknya. Dan iapun percaya bahwa bagaimanapun juga Kwan Im Sian-li tidak akan mudah saja mengalahkan atau merobohkan Hui Hong. walaupun gadis itupun tidak akan mungkin menang kalau melawan datuk wanita itu seorang diri saja. Maka, iapun meloncat dan memutar pedangnya, terjun ke dalam gelanggang pertandingan membantu Tiauw Sun Ong.
Bekas pangeran itu terkejut sekali ketika dengan pendengarannya ia dapat mengetahui bahwa wanita yang tadi membantu puterinya, kini datang membantunya. Hal ini berarti bahwa puterinya itu seorang diri saja menghadapi Kwan Im Sian-li! Dan diapun segera tahu bahwa puterinya sengaja mengorbankan diri demi keselamatannya, sengaja menyuruh wanita penolong tadi membantunya agar dia terbebas dari desakan dan ancaman dua orang datuk yang mengeroyoknya.
"Nona bantulah Hui Hong saja!" teriaknya berulang kali.
"Enci Ling Ay. kau bantu ayah!" teriak pula Hui Hong.
Tentu saja terikan ayah dan anak ini membuat Ling Ay menjadi bingung. Juga membuat Tiauw Sun Ong dan Hui Hong kehilangan pencurahan perhatiannya sehingga membuyar atau terpecah dan tiba-tiba Hui Hong mengaduh karena ujung pedang Kwan Im Sian-li yang tadinya menyambar ke arah lehernya, agak lambat ia mengelak dan pundak kirinya disambar ujung pedang sehingga berdarah
Melihat ini, Ling Ay meloncat dan menangkis pedang Kwan Im Sian-Ii yang sudah menyambar lagi ke arah tubuh Hui Hong yang terhuyung sehingga gadis itu terbebas dari maut dan mereka berdua sudah mengeroyok lagi Kwan Im Sian-li. Teriakan Hui Hong yang tertahan ketika pundaknya terluka, dapat tertangkap telinga Tiauw Sun Ong dan bekas pangeran itu menjadi sedemikian kaget dan gelisahnya sehingga ujung suling di tangan Suma Koan berhasil menghantam paha kaki kirinya.
"Dukk_ ...!" Dan tubuh bekas pangeran itu terhuyung ke belakang. Untung dia masih sempat mengerahkan sin-kang sehingga tulang pahanya tidak patah, akan tetapi dalam keadaan terhuyung itu. tentu saja dia membuka kesempatan bagi kedua orang pengeroyoknya untuk mendesak maju. Melihat ini, Ling Ay mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya menyambar cepat untuk melindungi bekas pengeran itu. Teriakannya yang mengandung wibawa karena dikerahkan dengan kekuatan sihir, membuat kedua orang datuk itu agak tertahan gerakan mereka, akan tetapi ketika suling di tangan Suma Koan bertemu pedang di tangan Ling Ay, tetap saja Ling Ay terhuyung dan pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Bagaimanapun juga, bantuan Ling Ay ini telah membebaskan Tiauw Sun Ong dari ancaman maut. Ketika kedua orang datuk itu mendesak lagi, Tiauw Sun Ong sudah dapat memutar tongkatnya membela diri, juga Ling Ay membantunya dengan putaran pedangnya. Namun, bantuan Ling Ay ini tidak membuat keadaan Tiauw Sun Ong lebih baik. Apalagi, pahanya telah terluka terasa nyeri.
Keadaan ayah dan anak itu sungguh gawat. Bantuan Ling Ay memang telah dua kali menyelamatkan Tiauw Sun Ong dan Hui Hong akan tetapi tidak meloloskan mereka dari desakan tiga orang datuk itu. Keadaan Hui Hong yang paling repot. Pundaknya telah terluka dan biarpun luka itu tidak terlalu parah, namun gerakannya membuat luka itu terus mengucurkan darah! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban tusukan pedang Kwan Im Sian-li dan ketika ia berhasil menangkis sebuah tusukan, tiba-iiba kaki Kwan Im Sian-li berhasil menendang kakinya di bawah lutut dan Hui Hong terpelanting! Kwan Im Sian-li mengeluarkan suara tawa dan pedangnya berkelebat.
"Tranggg ...!"
"Aihhh ...!!" Kwan Im Sian-li terkejut bukan main dan terbelalak memandang kepada pedang yang dipegangnya karena pedang itu telah patah ujungnya. Ia tadi hanya melihat kilat menyambar dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis dan menjadi buntung! Ketika ia memandang, kiranya di depannya telah berdiri orang yang dicari-cari tiga erang datuk itu, yaitu Kwa Bun Houw yang sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan di tangannya, dan dengan tangan kirinya dia menarik tangan Hui Hong dan membantu gadis itu bangkit berdiri.
"Houw-koko, kau bantu ayah ...!" kata Hui Hong, gembira bukan main melihat munculnya Bun Houw.
Bun Houw menoleh dan melihat betapa gurunya, Tiauw Sun Ong, didesak hebat oleh Ouwyang Sek dan Suma Koan dan gurunya itu dibantu oleh Cia Ling Ay dengan mati-matian, hal yang membuat ia terheran-heran bukan main. Akan tetapi dia mengerti bahwa Ling Ay membantu Hui Hong dan ayahnya, maka diapun cepat berseru,
"Adik Ling Ay, kau bantu Hong-moi."
Ling Ay juga gembira melihat munculnya Bun Houw.
"Baik!" katanya dan dengan penuh semangat, janda muda ini lalu meloncat dan menyerang Kwan Im Sian-li dengan pedangnya. Hui Hong menggerakkan pedang dan tongkatnya mengeroyok. Hui Hong sedemikian gembiranya melihat kedatangan Bun Houw sehingga ia melupakan luka di pundaknya dan gerakannya kini bagaikan seekor harimau betina mengamuk. Tentu saja Kwan Im Sian-li yang sudah buntung pedangnya, menjadi semakin panik dan menurun semangatnya.
Sementara itu, sekali melompat saja Bun Houw sudah terjun ke gelanggang perkelahian. Dua orang datuk itu pun terkejut setengah mati melihat munculnya pemuda itu. Tadinya mereka memang ingin bertemu Bun Houw untuk membalas dendam, akan tetapi bukan sekarang, di mana terdapat Tiauw Sun Ong, Tiauw Hui Hong, dan Cia Ling Ay yang dapat membantunya. Menghadapi bekas pangeran dan dua orang wanita muda itu saja, sampai sekian lamanya mereka belum mampu menundukkan mereka, apalagi kini muncul Kwa Bun Houw! Akan tetapi, dua orang datuk yang merasa dirinya besar dan tinggi kedudukannya itu, menutupi kegelisahan mereka.
"Bagus, engkau muncul sendiri, Kwa Bun Houw! Bersiaplah untuk mampus di tanganku sebagai pembalasan kematian puteraku!" kata Ouwyang Sek marah.
"Puteramu sendiri yang bersalah hendak membunuh kaisar dan dia tertangkap, dihukum mati. Kenapa salahkan aku?" Bun Houw menjawab.
"Engkau yang menyebabkan dia tertawan!" bentak Ouwyang Sek dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Kwa Bun Houw.
Datuk ini berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), tentu saja dia memiliki ilmu pedang yang ampuh. Namun, sekali ini dia berhadapan dengan Kwa Bun Houw yang bukan saja telah menguasai hampir seluruh kepandaian Tiauw Sun Ong, namun bahkan kini dia lebih lihai dari gurunya karena dia telah menguasai pula ilmu rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tubuhnya amat kuat, mengandung tenaga sakti yang hebat berkat khasiat Akar Bunga Gurun Pasir yang secara kebetulan diminumnya. Maka, begitu Bun Houw menggerakkan pedangnya untuk melawan, terjadi pertandingan seru dan hebat, namun yang membuat Ouwyang Sek segera terdesak hebat!
Tiauw Sun Ong juga kini dapat mendesak Suma Koan. Biarpun pahanya terasa nyeri, akan tetapi bekas pangeran itu dapat mendesak lawan yang hanya tinggal seorang itu, dan perlahan-lahan, sinar dari suling di tangan Suma Koan semakin mengendur dan menyempit.
Yang paling payah keadaannya adalah Kwan Iin Sian-li. Kembali Ling Ay membantu Hui Hong dan kedua orang wanita muda itu dengan penuh semangat menghimpit dan menekan datuk wanita yang pedangnya sudah buntung, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, apalagi melarikan diri. Kwan Im Sian-li hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengelak atau menangkis dengan pedang buntungnya. Namun, usaha ini hanya dapat membuat ia bertahan selama belasan jurus saja karena ketika mendapat kesempatan baik, ranting di tangan kiri Hui Hong berhasil menotok dadanya, membuat datuk wanita itu terhuyung lemas dan kesempatan itu dipergunakan oleh Cia Ling Ay untuk menusukkan pedangnya ke lambung Kwan Im Sian-li. Bekas dayang istana itu menjerit, akan tetapi jeritnya tertahan karena saat itu, pedang di tangan kanan Hui Hong menyambar dan menusuk tembus lehernya. Wanita itu terkulai dan tewas seketika, mandi darah.
Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Bun Houw dengan pengerahan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, telah menyambar dan menampar ke arah dada lawan. Pada saat itu pedang Ouwyang Sek bertemu dengan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan biarpun pedang datuk itu tidak patah karena terbuat dari baja pilihan, namun dia tidak dapat menariknya kembali. Pedang itu melekat dengan pedang di tangan Bun Houw dan selagi dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya, tiba-tiba saja Bun Houw menampar dengan tangan kirinya. Ouwyang Sek tidak dapat mengelak dan mengerahkan sin-kang untuk membuat dadanya dilindungi kekebalan. Dia tidak tahu betapa hebatnya tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
"Plakkk!" Mata Ouwyang Sek terbelalak dan ketika tubuhnya terjengkang roboh, nyawanya sudah melayang. Tamparan itu telah menghancurkan semua isi dadanya.
Melihat gurunya belum juga merobohkan Suma Koan, Bun Houw maklum bahwa agaknya gurunya tidak ingin membunuh lawan. Gurunya sudah mendesak hebat dan kalau gurunya menghendaki, tentu tongkat di tangan gurunya itu sudah dapat membunuh lawan. Diapun melompat ke depan dan berseru,
"Suhu, biar teecu menghadapinya!"
Mendengar ucapan muridnya ini. Tiauw Sun Ong melompat ke belakang dan Suma Koan menjadi lega bukan main. Tadi dia sudah repot dan tinggal menanti robohnya saja dan sekarang, lawan yang amat tangguh itu meninggalkannya dan digantikan muridnya. Bagaimanapun juga, sang murid tidak mungkin selihai sang guru. Diapun cepat menyerang Bun Houw dengan sulingnya, mengerahkan semua tenaganya. Bun Houw menyambut dan mengerahkan tenaga pula.
"Tranggg ...!!" Bunga api berpijar dan hampir saja Suma Koan melepaskan sulingnya karena telapak tangan yang memegang suling merasa panas tergetar hebat. Dia terkejut dan nekat, namun matanya silau oleh gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar-nyambar itu. Dia berusaha untuk membela diri, namun baru dia tahu bahwa pemuda ini bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan bekas pangeran itu. Sebelum dia dapat membalas hujan serangan itu, tiba-tiba kilat menyambar berkelebat di depan matanya dan di lain saat iapun sudah roboh terjengkang dengan dada ditembusi pedang. Raja Maut Suling Iblis itu pun roboh dan tewas seketika.
"Ya Tuhan ... terima kasih bahwa aku tidak dapat melihat semua kengerian ini ...!" terdengar Tiauw Sun Ong berkata, alisnya berkerut dan wajahnya nampak muram.!
"Harap suhu memaafkan teecu, terpaksa teecu membunuh mereka karena mereka memang amat jahat dan mereka tadi berusaha mati-matian untuk mencelakai suhu." kata Bun Houw.
Hui Hong cepat menghampiri ayahnya dan memegang lengan ayahnya.
"Ayah. Houw-ko tidak bersalah. Memang benar, yang jahat adalah tiga orang sesat itu. Mereka mencari kematian sendiri. Kalau tadi tidak ada enci Cia Ling Ay yang datang menolong, tentu ayah dan aku sudah tewas di tangan mereka."
"Hemm, nona yang pandai menggunakan sihir ... engkau seperti Kwan Hwe Li, bagaimana tiba-liba dapat menolong kami? Siapakah engkau?" Bekas pangeran itu bertanya dan diapun memalingkan mukanya ke arah Ling Ay.
"Lo-cian-pwe mungkin lupa kepada saya. Saya pernah datang ke sini bersama subo Bi Moli."
"Ahhh ... !" Tiauw Sun Ong berseru kaget.
"Jadi engkau murid Kwan Hwe Li itu. Akan tetapi ... kenapa engkau sekarang malah membantu kami?"
"Ayah, enci Ling Ay bukanlah orang jahat walaupun ia menjadi murid Bi Moli." kata Hui Hong.
"Bahkan ia dahulu adalah ... sahabat baik dan sekampung dengan Houw ko."
Mendengar ucapan Hui Hong itu, wajah. Ling Ay berubah kemerahan dan ia tersipu. Tentu Bun Houw sudah bercerita kepada gadis itu tentang hubungan mereka dahulu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Pantas menjadi kekasih dan tunangan Bun Houw.
"Aih, sudahlah, adik Hui Hong, aku bukan seorang yang patut dipuji puji. Sekarang aku mohon diri. Lo-cianpwe, saya mohon pamit ... akan melanjutkan perjalanan ...
"
"Ling Ay, nanti dulu!" kata Bun Houw dengan perasaan tidak enak sekali. Dia tahu betapa dia telah melukai dan mengecewakan hati wanita ini, dan sekarang wanita ini muncul sebagai penyelamat gurunya dan kekasihnya.
"Engkau tiba-tiba saja muncul di sini dan menyelamatkan suhu dan Hong-moi, bagaimana engkau akan pergi begitu saja? Kami ingin mendengar bagaimana engkau dapat muncul di sini dan ...
"
"Benar, enci. Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Aku ingin sekali berkenalan lebih akrab denganmu." kata Hui Hong sambil memegang tangan wanita itu.
"Nona, kami mengundangmu untuk singgah di pondok kami dan bicara, kecuali kalau nona tidak sudi menerima undangan kami ...
" kata pula Tiauw Sun Ong.
Tentu saja Ling Ay merasa tidak enak sekali untuk menolak.
"Kalau itu yang kalian inginkan, baiklah saya akan singgah sebentar ...
"
"Bun Houw, lebih dahulu kita harus kubur tiga jenazah ini baik-baik dan dengan penuh penghormatan." kata Tiauw Sun Ong.
"Ayah, mereka adalah orang-orang jahat, datuk-datuk sesat!" Hui Hong memprotes.
"Hui Hong, yang kita tentang adalah kejahatan mereka, bukanlah orangnya. Mereka itu sama saja dengan kita, manusia-manusia yang senasib sependeritaan dengan kita yang patut dikasihani. Setelah mereka tewas, tidak ada lagi kejahatan pada diri mereka."
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka berempat lalu menggali lubang di permukaan puncak yang agak jauh dari pondok itu karena mereka harus memilih tempat yang tidak mengandung banyak batu sehingga mudah menggali lubang. Kemudian, dengan sederhana namun cukup khidmat, mereka mengubur jenazah tiga orang datuk itu di dalam tiga buah lubang. Tidak urung Hui Hong yang pada dasarnya berhati lembut itu menangis di depan makam Ouwyang Sek karena ia teringat akan segala kebaikan yang telah dilimpahkan datuk itu kepadanya sejak ia kecil sampai dewasa. Harus diakuinya bahwa sebelum ia menjadi dewasa dan hendak dijodohkan dengan Suma Hok datuk ini bersikap amat baik kepadanya, seperti kepada anak sendiri.
Setelah pemakaman itu selesai, mereka semua memasuki pondok dan bercakap-cakap. Terpaksa Ling Ay menceritakan bagaimana secara kebetulan sekali ia dapat berada di situ dan membantu Tiauw Sun Ong dan Hui Hong menghadapi tiga orang datuk yang lihai itu. Akan tetapi ceritanya itupun merupakan karangannya saja, karena bagaimana mungkin ia mengaku kepada mereka, terutama Hui Hong, bahwa ia datang untuk mencari Bun Houw dan menyampaikan permintaan maafkan atas sikapnya kepada Bun Houw tempo hari ketika pemuda itu menolak harapannya untuk menyambung tali pertunangan mereka yang putus?
Dengan terus terang ia menceritakan bahwa tadinya ia mengikuti subonya ke kota raja, bahkan mendapatkan pekerjaan di kota raja. Akan tetapi melihat subonya bekerja sama dengan Ouwyang Toan, iapun merasa tidak setuju dan mendengar niat mereka untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan, ia lalu melarikan diri. Mereka mengejarnya sehingga tersusul dan hampir saja ia celaka di tangan mereka.
"Untung sekali muncul kakak Kwa Bun Houw yang kebetulan sekali melihat aku dikeroyok mereka, dan telah menolongku lepas dari tangan mereka. Setelah aku berpisah dari guruku, aku lalu merantau seorang diri tanpa tujuan tertentu dan kebetulan sekali aku lewat di bawah pegunungan Hoa-san. Aku teringat ketika diajak oleh subo naik ke puncak ini, maka iseng-iseng saja aku mendaki puncak dan melihat tiga orang itu juga naik puncak di depanku. Aku lalu membayangi mereka dan melihat apa yang terjadi tadi, maka aku lalu berusaha membantu kalian."
"Dan engkau telah berhasil, enci Ling Ay. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan ayah dan aku. Houw-ko, engkau datang terlambat!"
"Aih, adik Hui Hong, jangan berkata begitu. Kalau tidak ada kakak Bun Houw tadi datang, apa kaukira kita juga akan mampu bertahan? Mereka amat lihai." kata Ling Ay, tidak sengaja seperti membela Bun Houw.
Ketika tiba giliran Bun Houw menceritakan pergalamaanya, Bun Houw bercerita tentang penyerangan yang dilakukan Bi Moli dan Ouwyang Toan di istana terhadap kaisar dan betapa dengan perantaraan Hek-tung Lo-kui dia ditugaskan untuk menjaga keselamatan kaisar dengan menyamar sebagai seorang pengawal baru.
"Suhu, teecu berhasil menangkap Bi Moli dan Ouwyang Toan, Sribaginda Kaisar berhasil diselamatkan. Setelah meninggalkan istana teecu segera pergi mengunjungi bekas Kaisar Cang Bu untuk menyadarkan beliau agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mengingatkan beliau bahwa gerakan beliau untuk memberontak itu tidak akan benar dan hanya akan mendatangkan perang yang menyengsarakan rakyat. Teecu di sana bentrok dengan Suma Hok yang mengkhianati bekas kaisar itu, dan teecu berhasil pula menundukkannya sehingga dia ditawan bekas kaisar itu. Akan tetapi teecu tidak berhasil membujuk Kaisar Cang Bu. Dia tidak mau mundur sehingga diserbu pasukan pemerintah. Teecu tidak mencampuri pertempuran itu dan teecu pulang ke sini sebelum teecu melanjutkan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kwi dan membasmi Thian-te Kui-pang, gerombolan yang telah mengacau di perbatasan dan membunuh banyak rakyat dan tokoh kang-ouw itu." Bun Houw lalu menceritakan kepada gurunya tentang Thian-te Kui-pang, gerombolan seratus orang yang dikirim oleh Kerajaan Wei untuk mengacau daerah perbatasan.
Mendengar penuturan muridnya itu Tiauw Sun Ong menghela napas panjang.
"Semua orang tiada henti-hentinya saling memperebutkan kekuasaan. Agaknya manusia telah lupa bahwa kekuasaan mutlak berada di Tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kehadiran manusia di bumi bukan untuk saling memperebutkan kekuasaan, melainkan untuk melakukan suatu manfaat bagi manusia pada umumnya, berguna pula bagi dunia. Manusia bertugas menjadi alat dari kekuasaan Tuhan. Akan tetapi nafsu mempermainkan manusia sehingga mereka lupa diri, mereka memegang kekuasaan bukan demi kesejahteraan rakyat melainkan demi kesenangan diri pribadi. Karena itu timbullah perang dan pertempuran tak kunjung hentinya yang hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Kalian semua memang benar. Sebagai orang-orang muda yang pernah dengan susah payah mempelajari kepandaian, setelah menguasai ilmu harus dipergunakan demi menolong manusia yang sengsara, demi menegakkan kebenaran, dan keadilan, menentang kejahatan, bukan ikut-ikutan memperebutkan kekuasaan. Sayang aku sudah tua, kalau aku masih kuat, aku pun tidak dapat membiarkan saja gerombolan seperti Thian-te Kui-pang itu mengganggu kehidupan rakyat di pedusunan sepanjang perbatasan."
"Harap suhu tenangkan hati. Teecu adalah, murid suhu dan teecu sanggup mewakili suhu untuk menghancurkan perkumpulan iblis itu." kata Bun Houw.
"Houw-koko benar, ayah. Di sini ada Houw ko dan aku, untuk apa ayah harus turun tangan sendiri? Biar aku yang akan membantu Houw-ko menghancurkan perkumpulan, iblis itu!" kata pula Hui Hong dengan penuh semangat.
"Lo-cian-pwe, tugas ini memang untuk yang muda-muda. Sayapun siap membantu membasmi perkumpulan iblis itu, tentu saja kalau kakak Bun Houw dan adik Hui Hong suka menerima saya untuk membantu mereka."
"Heii, enci Ling Ay, kenapa engkau berkata demikian? Tentu saja kami senang sekali kalau engkau suka membantu, bahkan kalau engkau tidak menawarkan bantuan sekalipun, tentu aku akan memintamu!" kata Hui Hong sambil memegang tangan gadis itu.
Akan tetapi sambil menggandeng tangan-Hui Hong, Ling Ay masih menoleh kepada Bun Houw untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu. Ia tahu diri dan tidak ingin mengganggu kalau memang pemuda itu tidak menghendaki bantuannya. Akan tetapi Bun Houw juga mengangguk dan berkata dengan sungguh-sungguh.
"Kawanan gerombolan iblis itu lihai, dan semakin banyak tenaga yang dipersatukan untuk membasmi mereka, semakin baik lagi. Tentu saja kami merasa senang mendapat bantuanmu, adik Ling Ay."
Setelah memberi nasihat agar mereka berhati-hati menghadapi gerombolan iblis itu, Tiauw Sun Ong memperkenankan mereka turun gunung untuk menunaikan tugas sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa.
Tiga orang muda itu melakukan perjalanan cepat karena mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni pegunungan Hwa san. Tadinya, Hui Hong berada di tengah. Bun Houw berada di samping kanannya sedangkan Ling Ay berada di samping kirinya. Akan tetapi di dalam perjalanan, secara halus dan tidak kentara, Hui Hong sengaja pindah dan berada di sebelah kanan Bun Houw sehingga dengan sendirinya Bun Houw kini berada di tengah-tengah, Hui Hong di kanannya dan Ling Ay di kirinya! Karena hal ini dilakukan Hui Hong dengan sikap seolah tidak sengaja, maka biarpun merasa canggung Ling Ay terpaksa menahan guncangan hatinya dan berjalan terus di sebelah kiri Bun Houw seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara ia dan pemuda itu.
Setiap mereka terpaksa harus bermalam di sebuah kota, mereka menyewa dua buah kamar di rumah penginapan, sebuah kamar untuk Bun Houw dan sebuah kamar lagi untuk dua orang wanita itu. Dan hubungan antara kedua orang wanita itu menjadi semakin akrab saja. Mereka merasa cocok sekali. Hui Hong merasa iba kepada Ling Ay yang hidupnya penuh dengan kepahitan, sebaliknya Ling Ay diam diam merasa bersukur bahwa bekas tunangannya itu telah mendapatkan seorang isteri yang benar-benar gagah perkasa dan baik budi, di samping kecantikannya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di dekat perbatasan. Karena dusun ini menjadi tempat pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan menyeberangi daerah tak bertuan, untuk berdagang, maka dusun itu berkembang menjadi tempat yang ramai. Rumah rumah penginapan didirikan orang karena banyak pedagang dan rombongan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang) berhenti di situ. Banyak pula rumah makan yang cukup lengkap berada di tempat itu.
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay pada pagi hari itu memasuki sebuah rumah makan untuk sarapan. Malam tadi mereka bermalam di dusun itu dan mereka mendengar keterangan bahwa dusun Tai-bun yang dijadikan sarang gerombolan Thian-te Kui-pang berada sekitar lima puluh li dari dusun itu, di sebelah barat. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan ke sana dan sebelum itu hendak sarapan dulu dan membeli bekal makanan karena perjalanan di daerah tak bertuan itu kakang-kadang tidak akan bertemu penjual makanan lagi. Memang banyak dusun yang sudah ditinggalkan penduduknya yang lari mengungsi semenjak Thian-te Kui-pang berkuasa di dusun Tai-bun dan sekitarnya.
Selagi tiga orang itu makan minum, tiba-tiba terdengar suara tuk-tuk-tuk menghampiri mereka. Ketiganya menengok dan nampaklah seorang pengemis yang usianya sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampiri meja mereka yang berada di sulut luar. Suara berketuk itu adalah suara tongkat yang dibawanya, dan dia berjalan bertopang kepada tongkat itu yang mengeluarkan bunyi yang berat. Pengemis tua itu tidak mendatangkan kesan sesuatu, akan tetapi ketika Bun Houw memandang kearah tongkatnya, dia mengerutkan alisnya. Tongkat itu terbuat dari logam berat, mungkin besi dan tidak jelas karena dicat hitam.
"Kalau tidak salah, orang ini tentu anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)," bisik Bun Houw kepada dua orang wanita itu. Mereka melirik dan melihat pengemis itu sudah tiba di dekat meja mereka. Tentu saja dua orang wanita itu mengerutkan alis merasa tidak senang sedang makan di dekati seseorang pengemis yang bajunya nampak kotor. Akan tetapi Bun Houw yang tidak ingin mencari keributan, segera mengambil sepotong uang dan memberikan kepada pengemis itu sambil berkata dengan suara lembut.
"Paman, ambilah uang ini dan sampaikan salam hormatku kepada Hek-tung Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) Kam Cu."
Pengemis itu menerima kepingan uang dan menjura dengang sikap hormat sekali.
"Ah, kiranya saya dapat menemukan taihiap dengan mudah. Tentu taihiap yang oleh pangcu kami disebut Perdekar Pedang Kilat. Pangcu kami mengundang taihiap bertiga untuk bertemu dengannya."
Bun Houw tercengang. Setahunya, Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam) Kam Cu berada di sebelah selatan Nan-king. Bagaimana dapat mengundangnya?"
'"Di mana Kam-pangcu?" tanyanya cepat.
"Hal ini harus dirahasiakan," bisik pengemis itu.
"Nanti kalau sam-wi (anda bertiga) sudah selesai makan, saya menanti di luar dan akan menjadi penunjuk jalan. Sam-wi ikuti saja aku keluar dusun." Setelah berkata demikian, tanpa banyak bicara lagi sehingga tidak menarik peihatian orang, pengemis itu menghampiri meja lain untuk minta sedekah. Kemudian, diapun keluar dari rumah makan itu.
Sambil melanjutkan makan, dengan lirih Bun Houw menceritakan tentang Hek-tung Kai-pang, perkumpulan pengemis yang tidak sudi diajak bekerja-sama dengan Thian-te Kui-pang.
"Tentu ada hal penting sekali maka dia berada di sini, dan agaknya dia mengetahui bahwa kita berada di dusun ini." Bun Houw berkata dan setelah mereka selesai makan, mereka membayar harga makanan lalu melangkah keluar dari rumah makan itu dengan sikap santai sehingga tidak akan menarik perhatian orang.
Benar saja, mereka melihat pengemis yang tadi berada dalam jarak serarus meter dari tempat itu dan kini pengemis itu berjalan santai pula menuju ke timur dan keluar diri dusun itu. Dari jauh Bun Houw dan dua orang wanita itu mengikutinya. Setelah tiba di tempat yang sunyi, pengemis itu lalu berjalan dengan cepat, Bun Houw dan dua orang temannya membayanginya dengan cepat pula dan dia menghilang di dalam sebuah hutan.
Setelah Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay berlari memasuki hutan itu, agak ke tengah, mereka telah ditunggu oleh belasan orang yang berpakaian pengemis dan kesemuanya memegang tongkat hitam, yang berada di depan sendiri adalah seorang pengemis berusia lima puluhan tahun yang bertubuh kurus. Bun Houw segera mengenal orang ini sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu, ketua dari Hek-tung Kai-pang dan di sebelahnya lagi nampak seorang pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan dia tidak mengenakan pakaian pengemis. Sebatang golok besar tergantung di pinggangnya.
Bun Houw juga mengenal si golok besar ini yang bukan lain adalah ketua diri Thian-beng-pang yang bernama Ciu Tek. Dua orang inilah yang pernah dibantu Bun Houw ketika mereka hendak dipaksa oleh Pek-thian-kui orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang dibantu oleh Suma Hok dan Suma Koan.
"Ha ha-ha, sungguh beruntung sekali kami bertemu dengan Si Pedang Kilat Kwa Thai hiap di sini!" kata si brewok Ciu Tek, ketua Thian-beng pang itu.
Bun Houw membalas penghormatan mereka dan memperkenalkan nama Hui Hong dan Ling Ay. Dua orang ketua itu memberi hormat kepada dua orang wanita itu dan Hek-tung Lo-kai berkata,
"Kami sungguh kagum sekali, karena melihat cara ji wi li hiap (kedua pendekar wanita) berlari cepat tadi saja kami sudah dapat menduga bahwa ji-wi li-hiap memiliki ilmu kepandaian yang tinggi."
"Ji-wi pang cu (kedua ketua) mengundang kami ke sini, sebenarnya ada kepentingan apakah?"
"Mari kita duduk di sana, ada urusan penting sekali, taihiap," kata dua orang ketua itu. Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada di tengah hutan.
"Kwa taihiap, kami lelah lama sekali menanti tai-hiap di dusun ini, dan begitu tai-hiap bertiga dengan ji-wi li hiap ini memasuki dusun, kami sudah mengetahuinya, akan tetapi kami membiarkan sam-wi beristirahat semalam baru pagi ini kami hubungi. Kami yakin bahwa tai-hiap tentu akan membasmi gerombolan Thian-te Kui pang, maka kami sudah siap di tempat ini menanti tai-hiap dan kami telah mengerahkan anak buah kami berdua, sebanyak tiga ratus orang. Tentu tai hiap bertiga datang ke sini hendak menyerang sarang Thian-te Kui pang, bukan?"
KISAH SI PEDANG KILAT JILID 24
"Benar sekali, pangcu. Dan kami juga gembira sekali mendapat bantuan ji-wi pangcu dan anak buah ji wi. Kalau begitu, mari kita segera berangkat ke sarang gerombolan iblis itu."
"Harap tai-hiap berhati-hati dan tidak memandang rendah pihak lawan. Anak buah mereka memang hanya kurang lebih seratus orang, akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dan lebih dari itu, kami berhasil mengetahui bahwa Bu-tek Sam kui kini menjadi lebih kuat dari pada dahulu." kata Thian beng-pangcu Ciu Tek.
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala.
"Pangcu salah kira. Dahulu mereka dibantu oleh para datuk sesat seperti Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan puteranya, Ouwyang Toan. Akan tetapi kini mereka semua itu telah tewas. Mereka hanya tinggal bertiga, bagaimana pangcu mengatakan bahwa Bu-tek Sam-kui kini menjadi lebih kuat?"
"Ah, engkau tidak mengerti. Lui-kong Kiam hiap (Pendekar Pedang Kilat)," kata Hek-tung Lo kai.
"Biarpun para datuk itu sudah tidak ada, akan tetapi kini Bu-tek Sam kui dibantu sendiri oleh guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin yang menjadi Koksu (Guru Negara) Kerajaan Wei. Kabarnya, Thian-te Seng-jin memiliki ilmu silat yang amat tinggi, juga ilmu sihirnya amat berbahaya."
"Hemm, betapapun lihainya pihak lawan, kita harus tetap menentang kejahatan, pang-cu." kata Bun Houw tenang.
"Akupun tidak takut!" kata Hui Hong penuh semangat.
"Kalau mereka menggunakan kekuatan sihir, biar aku yang menghadapi mereka!" kata Ling Ay yang selain ilmu silat, juga pernah mempelajari ilmu sihir dari mendiang gurunya, yaitu Bi Moli Kwan Hwe Li.
Melihat semangat tiga orang muda itu. kedua orang pangcu menjadi kagum bukan main.
"Kami juga sama sekali tidak menjadi gentar taihiap, hanya amat baik kalau kita berhati-hati dan mempergunakan siasat dalam penyerbuan kita."
"Memang begitulah sebaiknya, dan kami serahkan saja kepada ji-wi pangcu untuk mengatur siasat penyerbuan itu." kata Bun Houw karena dia sendiri belum pernah mengatur pasukan sehingga tidak tahu bigaimana harus mengatur anak buah untuk menyerbu sarang gerombolan iblis itu.
Kedua orang pangcu itu lalu mengutarakan siasat yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Tiga ratus orang anak buah mereka akan dibagi empat, masing-masing tujuh puluh lima orang dan setiap pasukan dipimpin oleh mereka berdua dan tiga orang pendekar muda itu.
"Kami berdua akan memimpin sebuah pasukan dari tujuh puluh lima orang dan akan menyerbu dari pintu depan," kata Hek-tung Lo-kai.
"Kedua lihiap memimpin masing-masing sebuah pasukan menyerbu dari kanan dan kiri, sedangkan tai-hiap memimpin sebuah pasukan menyerang dari belakang. Dengan cara demikian, mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk kabur atau membokong kita. Juga diserang dari empat penjuru, tentu mereka akan menjadi kacau dan di dalam sarang mereka, empat pasukan kita dapat saling bantu. Bagaimana pendapat tathiap dan ji-wi lihiap dengan yaiasat kami itu?"
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay merasa kagum.
"Bagus sekali, pangcu!" kata Bun Houw. Setelah terjadi pertempuran nanti, biar aku yang menghadapi Thian-te Seng-jin, sedangkan Hong-moi, adik Ling Ay dan ji-wi pangcu mengeroyok Bu-tek Sam-kui, dibantu pula oleh anak buah yang memiliki kepandaian tinggi."
Mereka juga merencanakan bahwa gerakan itu akan dilakukan malam hari itu karena kalau dilakukan shang hari, tentu gerak gerik tiga ratus orang akan menarik perhatian dan sebelum mereka tiba di sarang gerombolan, pihak Thian-te Kai-pang akan lebih dulu mengetahui dan dapat membuat persiapan yang akan menjebak mereka.
Berita yang didapat oleh kedua orang ketua itu memang benar. Kaisar Thai Wu dari kerajaan Wei merasa penasaran dan marah sekali mendengar laporan akan gagalnya usaha Bu-tek Sam kui untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi, bahkan gerakan bekas Kaisar Cang Bu yang menjadi sekutu mereka juga dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Chi. Mendengar betapa kerja-sama yang sudah amat baik, kemajuan yang mendatangkan harapan itu akhirnya, hancur karena ulah seorang pendekar muda yang dijuluki Si Pedang Kilat, Kaisar Thai Wu segera memanggil penasihatnya, juga gurunya, Thian-te Seng-jin untuk dimintai pendapatnya, juga setengah ditegur mengapa tugas yang dipikul saudara-saudara seperguruannya yaitu Bu-tek Sam-kui, menjadi gagal.
Thian-te Seng-jin sendiri juga merasa penasaran.
"Biarlah hamba sendiri yang akan datang membantu Bu-tek Sam-kui, Yang Mulia. Hamba akan menangkap dan menyeret bocah bernama Kwa Bun Houw itu ke depan kaki paduka!"
Demikianlah, tosu yang berusia empat puluh lima tahun itu segera menyusul tiga orang muridnya itu ke Tai-bun, tinggal di sarang gerombolan itu untuk menyusun rencana baru setelah rencana yang pertama itu mengalami kegagalan.
Malam itu gelap. Tidak ada sebuahpun bintang nampak di langit yang tertutup mendung. Suasana di dusun Tai-bun yang kini menjadi sarang gerombolan itupun nampak sunyi. Hanya di sana-sini di antara rumah-rumah penduduk yang kini menjadi rumah-rumah anggauta gerombolan, terdengar isak tangis wanita. Mereka adalah para wanita yang diculik oleh gerombolan Thian-te Kui-pang dan menjadi korban kebuasan mereka, dipaksa untuk melayani mereka. Tentu saja gerombolan ini tidak membutuhkan harta kekayaan karena para penduduk dusun mana ada yang kaya? Pula, mereka sudah mendapatkan upah cukup dari kerajaan Wei. Yang mereka butuhkan dalam tugas mereka mengacau di daerah wilayah kerajaan Chi adalah wanita-wanita, dan kadang mereka juga merampok, akan tetapi bukan harta yang mereka rampok, melainkan bahan makanan seperti ternak, gandum dan lain-lain. Tentu saja banyak wanita yang mereka culik dan mereka paksa tinggal di sarang mereka.
Sore tadi Thian-te Seng-jin sudah merencanakan siasat baru dengan para muridnya. Mereka mengambil keputusan untuk menguasai dunia kang-ouw dengan merebut kedudukan beng-cu, dan Thian-te Seng-jin sendiri akan muncul sebagai calon beng-cu, mengalahkan para tokoh kang-ouw. Tentu saja dia akan menggunakan penyamaran dan menggunakan nama lain. Kalau mereka sudah dapat menguasai dunia kang-ouw, akan mudah menimbulkan kekacauan di wilayah kerajaan Chi, sehingga kerajaan itu akan menjadi lemah sehingga akan membuka kesempatan bagi kerajaan Wei untuk meluaskan wilayah kekuasaan mereka ke selatan.
Tanpa ada yang mengetahui, dari kegelapan malam muncullah pasukan yang bergerak perlahan-lahan, datang dari empat jurusan dan kini mereka, menjelang tengah malam, telah mengepung sarang gerombolan iblis itu dari empat penjuru. Mereka semua masih bersembunyi di luar dusun Tai bun, menanti datangnya isarat seperti yang telah mereka rencanakan, isarat itu tak lama kemudian nampak oleh mereka semua, yaitu hujan anak panah berapi yang mula-mula dilepaskan oleh pasukan dari depan yang dipimpin oleh Hek-tung Lo-kai dan Thian-beng Pang-cu. Begitu melihat anak panah api menghujani sarang itu dan mulai nampak kebakaran pada atap beberapa buah rumah, pasukan dari empat penjuru itu lalu menyerbu, baik melalui pintu gerbang dusun maupun merobohkan pagar dusun, sambil berteriak-teriak.
Anak buah Thian-te Kui-pang memang merupakan perajurit pilihan di kerajaan Wei, akan tetapi sekali ini, mereka menjadi panik juga karena sebagian besar di antara mereka sudah tidur nyenyak dan tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dan terjadi kebakaran di mana-mana, kemudian sarang mereka diserbu banyak orang. Mereka sendiri ada yang masih belum bersepatu, bahkan banyak yang dalam keadaan setengah telanjang! Mereka mengira bahwa pasukan pemerintah yang menyerbu, maka mereka menjadi semakin panik.
Bu-tek Sam kui sendiri berlompatan keluar dan mereka berteriak-teriak kepada anak buah mereka agar tidak panik dan melakukan perlawanan. Juga Thian-te Seng-jin keluar dari pondoknya, sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Sebagai orang-orang berpengalaman. Bu-tek Sam kui dan guru mereka itu sekali melihat saja maklum bahwa yang menyerbu sarang mereka bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang bergolok dan orang-orang berpakaian pengemis dan bertongkat hitam.
"Lawan, jangan panik!" Mereka berteriak-teriak sambil mengamuk dan menyambut para penyerbu.
"Mereka hanya jembel-jembel busuk! Hajar mereka!!"
Akan tetapi, dibawah sinar api dari rumah-rumah yang terbakar, Bu-tek Sam-kui terkejut ketika melihat dua orang wanita muda yang cantik dan gagah menerjang mereka, dibantu pula oleh dua orang setengah tua gagah yang mereka kenal sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu ketua Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pangcu Ciu Tek. Hui Hong yang sudah diberi tahu oleh Bun Houw segera menerjang Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata pedang. Dengan pedang di tangan kanan dan sebatang ranting di tangan kiri, Hui Hong menyerang Pek-thian-kui. Orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini terkejut bukan main karena dari gerakan pedang meluncur bagaikan kilat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang rendah lawannya. Dia menggerakkan pedangnya menangkis, akan tetapi sebelum dia sempat membalas, ranting di tangan kiri Hui Hong sudah menotok ke arah dadanya dan yang membuat Pek-thian-kui terkejut adalah bahwa serangan ranting di tangan kiri ini bahkan lebih lihai dibandingkan serangan pedang di tangan kanan. Terpaksa dia membuang diri ke belakang dan membuat salto sampai empat kali, baru dapat terbebas dari susulan serangan Hui Hong yang bertubi-tubi. Kini mereka berhadapan dengan penasaran, dan diam-diam mereka mengerahkan seluruh tenaga karena maklum menghadapi lawan tangguh.
Huang-ho-kui, orang ke dua dari Bu-tek Sam kui, juga menghadapi lawan berat ketika Ciu Tek, ketua Thian-beng-pang dibantu oleh tujuh orang murid kepala mengeroyoknya. Dia mengamuk dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang dayung dari besi yang dimainkan seperti sebuah toya. Andaikata Ciu Tek hanya maju seorang diri, tentu ketua ini akan payah menandingi Huang-ho-kui yang tingkat kepandaiannya sedikit lebih tinggi. Akan tetapi karena ada tujuh orang muridnya membantu kini Huang-ho-kui yang terdesak hebat dan dia harus memutar dayungnya secepatnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan para pengeroyoknya.
Adapun Toat beng-kui, orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata golok, segera diterjang oleh Ling Ay yang dibantu oleh Hek-tung lo-kai seperti yang telah mereka atur sebelumnya. Orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui inipun segera terdesak hebat karena tingkat kepandaian kedua orang itu masing-masing hanya terpaut sedikit di bawah tingkatnya. Karena mereka maju bersama, maka dialah yang terdesak.
Bu-tek Sam-kui yang kewalahan ini mengharapkan bantuan guru mereka, namun ketika mereka menengok, mereka terkejut melihat guru merekapun sedang didesak hebat oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw! Thian-te Seng-jin yang seperti juga tiga orang muridnya terkejut melihat penyerbuan tiba-tiba di tengah malam itu, tadinya tidak merasa khawatir karena mengira bahwa yang menyerbu hanya orang-orang biasa saja yang pasti akan mampu dihadapi tiga orang muridnya dan anak buahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang muridnya itu menghadapi lawan berat, diapun terkejut dan melolos pedang dari punggungnya. Dia bermaksud hendak menggunakan ilmu sihir untuk membantu para muridnya, akan tetapi pada saat itu, Bun Houw sudah melompat di depannya.
"Hemm, agaknya engkau yang bernama Thian-te Seng-jin, guru Bu-tek Sam-kui yang mendirikan Thian-te Kui-pang dan mengacau di daerah ini? Sebagai guru mereka, engkau harus bertanggung jawab atas kejahatan mereka, Thian-te Seng-jin!"
Melihat seorang pemuda berani bersikap seperti itu di depannya, Thian-te Seng-jin menjadi marah. Matanya mencorong dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu dan membentak, suaranya lantang berpengaruh.
"Orang muda, siapakah engkau berani bicara seperti itu di depan pinto?"
"Aku bernama Kwa Bun Houw, dan aku tahu bahwa engkau adalah Thian-te Seng-jin. Koksu Kerajaan Wei yang bertugas mengacau di daerah kerajaan Chi!"
Diam-diam Thian-te Seng-jin terkejut. Tugas tiga orang muridnya adalah tugas rahasia yang tidak boleh diketahui orang, karena Kaisar Thai Wu yang juga muridnya tidak menghendaki perang terbuka dengan kerajaan Chi. Tugas mereka hanya mengacau dan melemahkan kerajaan Chi yang semakin kuat dan kini ternyata rahasia itu telah diketahui oleh pemuda yang bernama Kwa Bun Houw ini.
"Kwa Bun Houw, lihat baik-baik, aku adalah Naga Merah dari Utara yang akan menghukum kamu atas kelancanganmu. Berlututlah kamu! !" Suara itu melengking nyaring menggetarkan siapa saja yang berada di dekatnya.
Terutama sekali Bun Houw yang langsung menerima serangan yang ditujukan kepadanya. Dia terbelalak karena benar-benar lawannya telah berubah menjadi seekor naga bersisik merah! Mata naga itu mencorong dan moncongnya terbuka lebar mengeluarkan api. Sungguh merupakan penglihatan yang menyeramkan sekali. Seandainya Bun Houw tidak memiliki keberanian yang amat kuat, tentu dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi dia seorang pemberani dan tabah, apalagi ada tekad di hatinya bahwa dia akan melawan kejahatan tanpa mengenal rasa takut dan siap mengorbankan dirinya demi membela kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, biarpun dia terkejut sekali, dia tetap tabah dan tidak mau berlutut.
Akan tetapi apa yang dilihatnya memang menggiriskan hati. Naga itu siap untuk menerkamnya, dan biarpun Bun Houw sudah siap dengan pedang Lui kong kiam (Pedang Kilat) di tangan, namun wajahnya tetap saja berubah agak pucat karena memang penglihatan itu cukup untuk membuat jerih hati orang yang paling tabah sekalipun. Bun Houw menerjang dengan pedang kilatnya membacok ke arah kepala naga merah itu.
"Singg ... wuuuttt ... plakkk!" Tubuh Bun Houw terpelanting. Ketika pedangnya bertemu kepala naga merah, pedang itu tembus seperti membacok bayang-bayang saja dan ekor naga itu menghantamnya dari samping, sedemikian kerasnya sehingga dia terpelanting!
Pada saat yang gawat itu, Ling Ay muncul di depan naga merah itu. Wanita ini tadi merasakan getaran hebat dari pengaruh sihir yang dikerahkan Thian-te Seng-jin, maka ia lalu berteriak kepada Hek-tung Lo-kai untuk menghadapi Toat-beng-kui sendiri bersama anak buahnya karena ia akan membantu Bun Houw. Hek-tung Lo-kai berteriak memanggil para murid kepala dan lima orang murid Hek-tung Lo-kai membantu ketua mereka mengeroyok Toat-beng-kui sedangkan Ling Ay sudah meloncat ke depan Naga Merah buatan itu. Ia meraih tanah dan setelah berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan segenap tenaga sihir seperti yang pernah ia pelajari dari mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, iapun menyambitkan tanah itu ke arah naga sambil berteriak dengan suara melengking, suara yang berpengaruh karena mengandung tenaga sakti.
"Asal dari tanah kembali kepada tanah!!"
Tanah yang disambitkan itu meluncur mengenai naga merah. Terdengar suara letupan keras dan naga jadi-jadian itupun lenyap berubah menjadi asap! Bun Houw merasa girang sekali dan kini dia melihat lagi tosu siluman itu, maka diapun menggerakkan pedangnya untuk menyerang dengan dahsyat.
"Trang-trang-trang ...!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang di tangan Thian-te Seng-jin bertemu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bun Houw-Pedang tosu itu juga merupakan sebatang pedang pusaka yang terbuat dari logam pilihan, maka tidak menjadi rusak ketika beradu dengan Lui kong-kiam. Akan tetapi, tosu itu merasa betapa telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas dan nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa lawannya itu, biarpun masih muda, memiliki teaaga sakti yang amat kuat. Juga tosu ini merasa penasaran sekali betapa ilmu sihirnya tadi dapat dipunahkan oleh seorang wanita muda yang kini hanya menjadi penonton dan siap untuk menandingi ilmu sihirnya. Mulailah dia merasa jerih, apalagi ketika melihat betapa tiga orang muridnya menghadapi lawan-lawan berat, dan anak buah Thian-te Kui-pang juga mulai kocar kacir menghadapi pengeroyokan jumlah musuh yang jauh lebih banyak.
Tiba-tiba Thian-te Seng-jin mengeluarkan gerengan aneh dan Ling Ay sudah siap untuk menghadapi ilmu sihirnya. Akan tetapi ternyata kakek tinggi kurus bermuka pucat itu tidak menggunakan sihir, melainkan mengeluarkan ilmu silat yang amat aneh. Tubuhnya tiba-tiba saja ditekuk seperti seekor binatang menggiling dan dia menjatuhkan diri di atas tanah, bagaikan seekor menggiling atau sebuah bola dia lalu menggelundung ke arah Bun Houw. Pemuda ini terkejut dan cepat menggerakkan pedangnya untuk menangkis ketika bola menggelundung itu tiba dekat dan dari gulungan itu mencuat sinar pedang yang menyerang kakinya.
"Trangg ... !" Kembali bunga api berpijar akan tetapi kini Bun Houw yang terhuyung ke belakang. Kiranya pedang yang diserangkan sambil bergulingan itu kini menjadi amat kuat, seolah memperoleh tenaga aneh dari dalam bumi, dan tangan kiri tosu itupun ikut pula menyerang dengan dorongan yang kuat sekali.
Kembali tubuh tosu yang seperti menggiling melingkar itu sudah bergulingan dengan cepat menyerang Bun Houw lagi. Bun Houw menyambutnya dengan tangkisan yang akan dilanjutkan tusukan balasan, namun dia tidak sempat membalas karena begitu pedangnya bertemu pedang lawan ada kekuatan dahsyat yang membuat dia terhuyung, bahkan semakin keras sampai lima langkah ke belakang. Banyak sudah dia melihat ilmu silat yang dimainkan dengan bergulingan, terutama sekali bagi orang yang bersenjatakan golok dan perisai, dan permainan silat dengan bergulingan itu memang berbahaya bagi lawan. Akan tetapi, belum pernah melihat cara bergulingan seperti ini, tosu itu benar-benar mirip seekor trenggiling. Tubuhnya melingkar menjadi bulat dan tenaganya menjadi berlipat ganda ketika menyerang dari atas tanah seperti itu.
Berulang kali Bun Houw diserang dan dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas, dan setiap kali serangan lawan itu menjadi semakin kuat saja. Pemuda ini maklum bahwa kalau dilanjutkan seperti itu mungkin akhirnya dia akan terluka, baik oleh pedang lawan maupun oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat. Setelah memperhatikan gerakan lawan yang menyerangnya berulang kali, begitu tubuh lawan menggelundung ke arahnya, sebelum Thian-te Seng-jin menyerang, dia menghindar dengan loncatan. Tubuh yang seperti bola itu cepat mengejarnya dan kini Bun Houw sudah siap siaga. Dia bahkan menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga dari ilmunya yang dahsyat, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Ketika bola manusia itu menggelundung dekat, dia menyambut dengan dorongan kedua tangannya, pada saat lawan menyerang.
Satu di antara keanehan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah daya tolak yang membuat seorang penyerang akan diserang oleh tenaganya sendiri yang membalik!"
"Desas ... !!" Bertemu dengan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, tosu itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti sebuah bola yang ditendang, terlempar dan menggelundung jauh. Beberapa orang yang sedang bertempur, ketika terlanda bola ini, terlempar dan tak mampu bangkit kembali.
Bun Houw berloncatan mengejar, diikuti oleh Ling Ay.
"Houw-ko, hati-hati!" teriak Ling Ay dan pada saat itu terdengar ledakan kecil dan nampak asap hitam mengepul tebal. Tosu itu menghilang di balik asap dan mendengar peringatan Ling Ay, Bun Houw tidak mengejar melainkan meloncat jauh ke belakang. Hal ini menguntungkan karena asap hitam yang keluar dari bahan peledak itu adalah asap beracun. Tidak kurang dari lima orang, baik dari pihak penyerbu maupun anak buah Thian-te Kui-pang sendiri, roboh dan tewas ketika terlanda asan hitam itu. Dan tentu saja Thian-te Seng-jin sendiri sudah lenyap dari tempat itu. Bun Houw menengok dan melihat betapa Bu-tek Sam kui masih terdesak hebat, namun belum juga dapat dirobohkan. Hanya Pek-thian-kui yang benar-benar payah melawan Hui Hong. Pundak kirinya sudah terluka pedang di tangan Hui Hong dan kini dia yang tidak mampu melarikan diri kerena tempat itu sudah dikepung anak buah Hek-tung Kaipang dan Thian-beng-pang, mengamuk mati-matian sehingga membuat Hui Hong harus berlaku hati-hati. Melawan seorang yang sudah nekat untuk mengadu nyawa memang berbahaya sekali, sama dengan melawan seorang gila. Tongkat di tangan kiri Hui Hong membuat orang pertama dari Bu-tek Sam-kui itu benar-benar repot. Biarpun dia berusaha untuk mengamuk dan membalas dengan pedangnya, namun selalu pedangnya bertemu dengan periasi sinar pedang yang dibuat oleh putaran pedang Hui Hong, sedangkan luncuran tengkat di tangan kiri Hui Hong mengirim totokan-totokan yang benar-benar amat dahsyat karena sekali saja totokan itu mengenai tubuhnya, tentu dia akan roboh!
Melihat ini, Bun Houw lalu berkata kepada Ling Ay,
"Adik Ling Ay, kau bantulah Hong-moi, dan aku akan menghadapi dua orang iblis yang lain."
Ling Ay mengangguk dan ia lalu menerjang maju dengan pedang di tangan, membantu Hui Hong.
"Adik Hong, mari kita basmi iblis busuk ini!" bentaknya sambil menggerakkan pedang menusuk ke arah lambung Pek-thian-kui.
Menghadapi Hui Hong seorang saja, Pek-thian-kui sudah kewalahan, apalagi kini ditambah dengan seorang wanita selihai Ling Ay. Nyaris tusukan itu mengenai lambungnya dan diapun melempar tubuh ke belakang dan begitu dia meloncat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Hui Hong dan Ling Ay. Namun, dengan mudah kedua orang wanita itu menangkis dan paku-paku hitam beracun yang menyambar ke arah mereka tadi dipukul runtuh semua dan kini kedua orang wanita perkasa itu sudah menghujani lawan dengan serangan pula, Hek-tung Lo-kai Kam Cu dan anak buahnya mengepung dan mengeroyok Toat-beng-kui, demikian pula Thian-beng Pang-cu Ciu Tek dibantu anak buahnya mengeroyok Huang-ho-kui. Namun, kedua orang lawan itu memang lihai bukan main dan mereka dapat mengamuk sehingga beberapa orang anak buah kedua orang ketua itu roboh terkena senjata mereka.
Melihat betapa dayung di tangan Huang-ho-kui memang dahsyat sekali sehingga orang-orang Thian-beng-pang nampaknya menjadi jerih, Bun Houw yang sudah kehilangan lawan, lalu meloncat dan tangan kirinya menyambar dengan pengerahan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng.
"Wuuuuttt ... dessas ... !" Huang-ho-kui mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti dilanda badai, terlempar sampai sejauh beberapa meter dan sebelum dia sempat bangun lagi karena masih merasa nanar, orang-orang Thian-beng-pang, dipimpin oleh Ciu Tek, telah menghujaninya dengan senjata mereka sehingga tewaslah orang ke dua dari Cu-tek Sam-kui ini dengan tubuh yang tidak utuh lagi.
Bun Houw kini meloncat dan melihat Hek-tung Lo-kai dan anak buahnya masih belum mampu merobohkan Toat-beng-kui, diapun menyerang Toat-beng-kui dengan dorongan tangan yang mengandung kekuatan dahsyat itu. Seperti juga rekannya, tubuh Toat-beng-kui terlempar dan diapun tewas di bawah hujan senjata Hek-tung Lo-kai dan para anak buahnya.
Bun Houw kini melihat ke arah dua orang wanita yang mengeroyok Pek-thian kui. Tepat pada saai dia memandang, Pek-thian-kui mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya terjungkal dengan dada ditembusi dua batang pedang!
Anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang bersorak gembira melihat Bu-tek Sam-kui tewas dan mereka menjadi lebih bersemangat. Sebaliknya, anak buah Thian-te Kui-pang yang sudah kehilangan pimpinan dan banyak pula di antara mereka yang sudah tewas, menjadi panik dan mereka berusaha untuk melarikan diri. Namun, kedua orang ketua itu bersama anak buah mereka mengejar dan menganuk dan akhirnya hanya belasan orang saja di antara para anak buah Thian-te Kui-pang yang berhasil lolos. Juga Thian-te Seng-jin sendiri sudah lebih dulu melarikan diri dan kembali ke utara untuk melapor kepada kaisarnya tentang kegagalan gerakan Thian-te Kui pang.
Bun Houw sendiri bersama Hui long dan Ling Ay segera berpamit dari dua orang ketua itu setelah Bun Houw terpaksa menyanggupi untuk kelak dicalonkan menjadi beng-cu (pemimpin) kalau tiba saatnya diadakan pemilihan beng-cu atau pemimpin dunia persilatan. Bagi dia, siapa saja yang menjadi beng-cu baik atau bukan tokoh dunia sesat yang akan menyeret dunia persilatan ke arah kejahatan.
Mereka bertiga sudah jauh meninggalkan dusun Tai-bun yang berada diperbatasan daerah tak bertuan itu. Setelah melewati sebuah bukit terakhir, mereka tiba di persimpangan jalan. Sejak tadi Ling Ay tidak banyak bicara dan hanya menjawab dengan ya atau tidak kalau Hui Hong mengajaknya bicara. Wajahnya yang cantik manis itu nampak muram, sinar matanya suram seperti lampu kehabisan minyak atau seperti bintang terselaput kabut.
Setelah tiba di persimpangan jalan, Ling Ay menahan langkahnya dan berkata,
"Sudah, sampai di sini saja ...
" suaranya lirih. Bun Houw dan Hui Hong juga berhenti dan mereka memandang kepada janda muda itu.
"Enci Ling Ay, kenapa berhenti?" tanya Hui Hong.
Ling Ay memaksa senyum, namun wajahnya agak pucat dan layu sehingga senyumnya nampak menyedihkan,
"Adik Hong, dan Houw ko, aku tidak ingin mengganggu kalian lebih lama lagi. Kita harus berpisah, aku akan pergi ... entah ke mana, mungkin merantau ke mana saja kaki ini membawa diriku dan ... aku hanya memujikan semoga kalian diberkahi Tuhan ... selamat berpisah ...
" tanpa menanti jawaban, Ling Ay cepat membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan mereka.
"Enci Ling Ay, berhenti dulu?" Hui Hong berseru karena ia melihat betapa Ling Ay cepat membalik untuk tidak memperlihatkan mukanya. Ketika Ling Ay tetap berjalan tanpa menoleh, Hui Hong melompat dan tiba di belakang Ling Ay terus ia memegang kedua pundak wanita itu dan memutarnya menghadapinya. Tepat seperti diduganya, Ling Ay menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran.
"Enci, kau kenapa? Engkau ... menangis?" Hui Hong bertanya heran.
"Adik Hong ...!" Ling Ay menjadi semakin bersedih dan mereka berangkulan.
"Adik Hong, lepaskan aku, kuharap engkau dapat membahagiakan Houw-koko. Kalian berhak menikmati kebahagiaan hidup, kalian orang-orang baik, dan aku ... ahh, biarkan aku pergi ...
"
Hui Hong mengerti. Ia merasa iba sekali kepada janda yang kini menjadi sahabat baiknya itu. Sudah berulang kali Ling Ay membantu dan menolongnya, memperlihatkan kebaikan hati dan kesungguhannya dalam persahabatan. Memang jauh sebelum hari ini ia telah mengambil suatu keputusan dalam hatinya dan apa yang hendak diputuskannya sekarang ini bukan sekedar dorongan keharuan belaka.
"Tidak, enci Ay, engkau tidak boleh pergi. Aku ingin bicara berdua denganmu. Mari ...!" Hui Hong masih merangkul pundak janda itu dan diajaknya menjauh.
"Heiii ... ! Kalian hendak pergi ke mana?" teriak Bun Houw melihat betapa kedua orang wanita pergi menjauh.
Hui Hong menengok dan berteriak kembali.
"Houw-ko, engkau tunggu saja di situ sebentar jangan mendekati kami!"
Bun Houw membelalakkan matanya, menggerakkan kedua pundaknya lalu mencari tempat duduk di bawah sebatang pohon, tidak mengerti akan ulah kedua orang wanita itu. Setelah berada agak jauh sehingga suara mereka tidak akan dapat didengar oleh Bun Houw, Hui Hong menoleh. Ia melihat Bun Houw duduk di atas batu besar seperti arca dan iapun tersenyum.
"Adik Hong, apa yang ingin kaubicarakan dengan aku?"" Ling Ay telah dapat menguasai keharuan hatinya dan bertanya sambil memandang heran. Mereka sendiri saling berhadapan, dua orang wanita muda yang cantik jelita dan sebaya. Hui Hong berusia dua puluh satu tahun dan Ling Ay berusia dua puluh tiga tahun.
"Enci Ling Ay, sebelum aku bertanya, lebih dulu aku mengharapkan kejujuranmu. Dapatkah dan maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan jujur, sejujur-jujurnya?"
Ling Ay mengerutkan alisnya, tidak mengerti ke mana maksud tujuan ucapan itu, akan tetapi selama ini ia memang bersikap jujur maka ia mengangguk, bahkan dapat tersenyum kini, senyum seorang yang merasa lebih dewasa menghadapi seorang gadis yang masih kekanak-kanakan.
"Tanyalah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Sambil menatap tajam wajah Ling Ay, Hui Hong bertanya,
"Enci Ling Ay, apakah engkau masih mencinta Houw-koko?"
Mata itu terbelalak, mulut itu ternganga dan wajah itu menjadi agak pucat, lalu kemerahan.
"Adik Hong, apa artinya pertanyaanmu ini? Mengapa engkau bertanya begini?" Mata yang terbelalak itu memandang penuh selidik untuk menjenguk isi hati dari penanyanya.
"Enci Ling Ay, engkau berjanji akan menjawab sejujurnya!"
"Adik Hong, aku sudah tidak berhak lagi bicara tentang itu. Hubungan antara kami sudah lama putus, dan aku ... aku tidak berhak menjawab." Ling Ay menundukkan mukanya, dan sekilas matanya mengerling ke arah Bun Houw duduk.
"Enci Ling Ay, itu bukan jawaban. Yang kutanyakan, apakah engkau masih mencinta Houw-koko?"
Didesak begitu, Ling Ay berkata,
"Adik Hong, cinta adalah cinta, sekali ada akan tetap ada, tidak berkurang tidak berlebih, bagaimana bisa ditanyakan masih ada atau sudah tidak ada lagi? Akan tetapi, aku sudah tidak berhak mengenang tentang itu.'"
"Kenapa tidak berhak?"
"Kenapa? Engkau tentu sudah mengetahui. Aku telah mengkhianati cinta kasih Houw-koko. Ketika kami masih bertunangan, pihak keluargaku yang memutuskan pertunangan itu dan aku menikah dengan pria lain. Aku ... aku malu untuk bicara tentang cintaku itu."
"Tidak, engkau tidak mengkhianatinya" enci. Aku sudah mendengar semuanya. Engkau dipaksa ayah ibumu untuk menikah dengan pemuda bangsawan. Engkau tidak berdaya karena ketika itu engkau bukanlah enci Ling Ay yang sekarang, engkau hanya seorang gadis lemah. Engkau sama sekali tidak mengkhianati cintanya, enci."
"Adik Hong, apa perlunya engkau mengorek-ngorek hal yang telah lampau? Semua itu hanya menyakitkan hatiku. Apakah engkau merasa cemburu kepadaku karena urusan yang lampau itu?"
"Sama sekali tidak. enci. Bahkan aku merasa iba kepadamu, aku merasa suka kepadamu dan aku ingin menolongmu, aku ingin melihat engkau berbahagia pula. Karena itu aku ingin melihat engkau menyambung kembali pertalian jodoh yang dirusak orang tua mu dengan paksa. Aku ingin engkau menjadi isteri Houw-koko."
"Gila ...!!" Saking kagetnya Ling Ay meloncat ke belakang.
"Hong-moi, apa maksudmu ini? Jangan engkau memperolok dan menggodaku!" Wajah itu berubah kemerahan karena marah, mengira bahwa Hui Hong sengaja hendak mempermainkannya.
"Siapa menggodamu, enci? Aku bicara sungguh-sungguh!" jawab Hui Hong serius pula.
"Tapi ... Houw-koko sendiri pernah mengaku kepadaku bahwa dia telah bertunangan denganmu, bahwa dia saling mencinta dengan mu!"
"Memang benar, enci Ay, dan kami memang akan menikah, menjadi suami isteri ..."
"Nah, kalau begitu kenapa engkau mengusulkan hal yang gila itu kepadaku?"
"Bukan usul gila, enci. Aku ingin agar engkaupun menikmati kebahagiaan keluarga bersama kami, menjadi keluarga kita. Perjodohanku dengan Houw-koko tidak akan menghalangi engkau menjadi isteri pula dari Houw-koko ..."
"Gila. Kaumaksudkan ... aku ... engkau ... kita berdua menjadi isterinya ... ?"
"Kenapa tidak, enci? Aku telah mengenalmu dan tahu bahwa engkau seorang wanita yang berbudi baik, gagah perkasa dan aku tahu pula bahwa engkau masih mencinta Houw-koko. Aku akan suka sekali menjadi saudaramu dan kita bersama menjadi isteri Houw-koko yang sama-sama kita cinta."
Wajah itu berubah merah sekali dan kedua mata itu menjadi basah kembali. Ling Ay meraba betapa jantungnya seperti diremas-remas.
"Tapi ... bagaimana ini, adik Hong? Aku ... aku pernah memusuhimu, bahkan hampir membunuh ayah kandungmu dan sekarang ... kau ...
" Ia menutupi muka dengan kedua tangannya.
Hui Hong merangkulnya.
"Semua itu kaulakukan karena hendak menaati guru, bukan salahmu, enci. Akan tetapi, yang lalu biarkan lalu, tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini, aku ingin engkau menjadi saudaraku, bersama-sama membahagiakan Houw-koko. Nah, bagaimana jawabanmu?"
"Adik Hui Hong, bagaimana aku harus menjawab? Aku tidak memiliki apa-apalagi, tidak berhak apa-apalagi untuk memilih atau memutuskan. Semua terserah kepada ... Houw-ko dan kepadamu ...
"
"Jadi, kalau aku setuju dan Houw-koko setuju, engkau mau menjadi isteri Houw-koko, hidup sekeluarga dengan aku?"
Dengan salah tingkah dan merasa malu dan sungkan, terpaksa Ling Ay mengangguk. Habis, apalagi yang dapat ia lakukan? Menolak tawaran itu? Berarti ia gila! Ia memang tak pernah kehilangan cintanya terhadap Bun Houw, dan kini ia melihat betapa Hui Hong adalah seorang gadis yang baik sekali.
"Nah, kau tunggu sebentar di sini, enci. Aku mau bicara dengan Houw-ko."
"Tapi ... tapi ... jangan membikin malu padaku, adik Hong. Jangan sekali-kali memaksa dia ...
"
Hui Hong hanya tersenyum dan iapun ber lari-lari menghampiri kekasihnya yang masih duduk melamun karena tidak dapat menduga apa yang dibicarakan oleh kedua orang wanita itu.
"Houw-koko, aku ingin bertanya kepadamu, akan tetapi aku minta engkau menjawab sejujurnya!" Hui Hong berkata. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan menatap wajah kekasihnya dengan heran. Belum pernah dia melihat Hui Hong seserius sekarang ini.
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja, Hong-moi. Pernahkah aku tidak jujur kepadamu?"
"Nah, sekarang jawablah sejujurnya. Apakah engkau masih mencinta enci Ling Ay?"
Bun Houw terbelalak, lalu mengerutkan alisnya.
"Aih, Hong-moi, setelah engkau kini bersahabat baik dengannya, kenapa engkau mengorek peristiwa dahulu yang hanya akan menimbulkan perasaan tidak enak? Apakah engkau merasa cemburu !"
"Jangan berlika-liku, Houw ko. Aku hanya bertanya apakah engkau masih cinta kepada enci Ling Ay itu saja dan jawablah sejujurnya."
"Bagaimana aku dapat menjawabnya? Engkau sudah kuberitahu bahwa dahulu memang Ling Ay adalah tunanganku, akan tetapi sejak ia dipisahkan dariku dan menikah dengan orang lain, lalu aku bertemu denganmu dan kita saling mencinta. Aku tidak lagi berhak untuk memikirkan dirinya, Hong-moi! Engkau tidak adil kalau mengajukan pertanyaan seperti itu kepadaku."
"Sudahlah, jangan bertele-tele. Sekarang jawab, apakah engkau cinta padaku?"
"Ehh? Tentu saja!"
"Dan engkau akan memenuhi semua keinginanku? Engkau mau memenuhi syaratku untuk menjadi isterimu?"
"Wah? Engkau mengajukan syarat lagi?" Bun Houw tersenyum.
"Syarat apakah itu, calon isteriku yang manis?"
"Syaratku bukan harta bukan kedudukan, syaratku hanya satu. Aku mau menjadi isterimu hanya kalau ... engkau juga memperisteri enci Ling Ay."
Mata itu terbelalak, memandang penuh selidik, tidak percaya.
"Apa kata-katamu tadi? Aku belum mengerti!" kata Bun Houw, bingung dan menduga-duga apakah ucapan tadi hanya untuk menguji kesetiaannya!
"Kukatakan bahwa aku mengajukan syarat agar engkau juga mengambil enci Ling Ay sebagai isterimu, hidup bersamaku dalam satu keluarga."
"Heii! Kenapa begini? Apa alasanmu mengambil keputusan yang aneh ini?"
"Aku sayang kepada enci Ling Ay, aku kasihan kepadanya dan aku tahu ia masih mencintamu. Perpisahan kalian bukan kehendaknya. Kalau kita membiarkan ia pergi, ia akan hidup merana dan aku akan selalu terkenang kepadanya dengan hati duka. Karena itu, aku ingin ia hidup berbahagia bersama kita."
Sampai lama Bun Houw termenung. Harus diakuinya bahwa di samping keheranan dan kekejutan, jantungnya berdebar tegang dan girang. Dia memang tak pernah dapat melupakan Ling Ay, dan dia merasa kasihan kepada bekas tunangannya itu. Akan tetapi tak pernah terbayangkan olehnya akan dapat hidup bersama dengan wanita itu, Apalagi, menjadi isterinya atas kehendak Hui Hong! Bagaikan mimpi saja!
"Bagaimana, Houw-ko? Jawablah. Maukah engkau memenuhi syaratku itu?"
Bun Houw menghela napas panjang dan melirik ke arah di mana Ling Ay berdiri dengan kepala ditundukkan. Baru sekarang dia teringat betapa dalam perjalanan mereka bertiga, Hui Hong berpindah tempat ke sebelah kanannya sehingga dia berada di tengah diapit kedua orang wanita itu. Agaknya memang sudah lama Hui Hong mempunyai gagasan aneh itu.
"Apa yang harus kujawab, Hong-moi?" katanya, sikapnya seperti seorang kanak-kanak yang ditawari kembang gula, sebetulnya hatinya senang dan ingin sekali menerimanya, akan tetapi karena malu-malu maka sukar melaksanakan.
"Hal ini tentu terserah kepadamu sajalah."
Hui Hong tertawa.
"Hi-hik, seperti diatur saja. Enci Ling Ay menjawab terserah kepadaku, dan engkau juga menjawab begitu. Kalau terserah kepadaku, maka jadilah! Engkau akan memiliki dua isteri sekaligus, koko, aku dan enci Ling Ay! Tunggu di sini!" Gadis itu lalu berlari cepat menghampiri Ling Ay dan Bun Houw hanya melihat betapa kekasihnya itu menarik-narik tangan Ling Ay dibawa mendekat.
Dia berdiri dan ketika menatap wajah itu, kebetulan Ling Ay juga memandang kepadanya dan keduanya menunduk dengan muka kemerahan dan jantung berdebar keras.
"Hong-moi, bagaimana aku dapat menghadapi suhu dalam urusan ini?"
"Benar, Hong-moi. Akupun malu berhadapan dengan ayahmu." kata Ling Ay lirih.
"Aih, ayahku adalah seorang yang bijaksana. Akulah yang akan menghadapinya dan aku yakin dia akan menyetujuinya. Aku yang akan bicara kepadanya dan memberi penjelasan."
"Kalau begitu, terserah kepadamu, Hong-moi."
"Akupun hanya menyerahkan kepadamu, adik Hong."
Hui Hong memandang mereka bergantian lalu tertawa, membuat keduanya tersipu malu.
"Hik-hik, jawaban kalian selalu sama, seolah kalian telah bersekutu!"
"Ihh, engkau nakal, adik Hong. Siapa yang bersekutu?" Ling Ay mencubit.
Hui Hong lalu menggandeng tangan kanan Bun Houw dan memaksa kekasihnya itu untuk menggandeng Ling Ay di sebelah kirinya, kemudian mereka meninggalkan tempat itu, berjalan bergandeng tangan dengan wajah penuh seri bahagia, menyosong masa depan yang cerah.
Sampai di sini, selesailah sudah KISAH SI PEDANG KILAT ini, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar